Hari ini gerimis membungkus kota. Bulir hujan pun turun bagai tetesan air mata di teduhnya senja.
Setelah melerai ketegangan dan kesalahpahaman di antara kami berdua, aku memutuskan untuk tidur sebentar sebelum menyiapkan makan malam.‘’Sel,’’ panggil Mas Ega, padahal aku sudah tidak kuat membuka mata.‘’Hm?’’‘’Tiga puluh menit lagi kita pergi. Kamu siap-siap.’’Kutemukan Mas Ega tengah berkutat dengan ponsel ketika mata ini ku paksa untuk terbuka.‘’Kemana? Aku mager, Mas,’’ kataku, malas.Besar harapan agar Mas Ega memaklumi ketidak inginan ku untuk beranjak dari empuknya pulau kapuk. Namun tampaknya, Mas Ega tidak mau menerima alasan apapun bila melihat dari lirikannya yang setajam belati itu.Sebenarnya, aku lelah sekali setelah menghabiskan aktivitas suami istri kemarin malam. Remuk badan dan sakit pinggang, baru terasa sekarang.‘’Pak Abi mengundang kita ke acara ulang tahunnya. Kamu harus dandan yang cantik pokoknya. Aku sudah menyiapkan gaun di lemari. Jadi, kamu tinggal pakai. Dia itu klien penting. Kita jangan sampai menyinggungnya, dengan tidak datang padahal sudah diundang.’’Bila dicermati, hubungan Mas Ega dan Pak Abi ini terjalin sangat baik. Aku pun tidak mau mengecewakan suamiku.Walau tubuh begitu berat untuk digerakkan, aku tetap turun dari ranjang. Demi baktiku sebagai istri.Seketika mencari pakaian yang dimaksud. Namun lagi-lagi dibuat tak mengerti dengan selera busana Mas Ega.Gaun ungu dengan belahan tinggi mencapai paha, berbelahan dada rendah, langsung menyita perhatian ketika aku membuka lemari untuk memastikan.Apakah wanita-wanita di dunia model, selalu mengenakan pakaian minim seperti ini?Aku bergumam dalam hati.‘’Gimana? Bagus, nggak?’’Sudah pernah protes terkait gaun untuk menghadapi klien, berujung disalahkan karena memakai pilihan sendiri, aku pun terpaksa mengangguk demi menghindari perdebatan.Bapak melarangku berpakaian terbuka selama di desa. Tapi orang yang menjadi imamku, secara tidak langsung malah membuatku memperlihatkan aurat yang seharusnya hanya dia yang melihat.‘’Kamu cepat ganti baju. Aku mau terima telepon dulu.’’ Mas Ega buru-buru keluar dengan telepon di telinga.Kok seperti ada yang aneh dari gelagatnya. Aku membatin, sebab, Mas Ega sempat melirik ke arahku sebelum keluar dari kamar.Tanpa Mas Ega tau, aku mengintip dari sela pintu dan menguping pembicaraan yang mana tanpa sepengetahuan Mas Ega, suara penelponnya bisa aku dengar walau samar.‘’DP nya sudah masuk, Pak. Tapi nanti sebelum check in, tolong langsung dibayar full.’’‘’Baik, akan segera saya transfer sekarang.’’‘’Wah, apa tidak buru-buru?’’ ujar Mas Ega dibarengi tawa.‘’Saya tidak pernah menunda untuk sesuatu yang memang saya inginkan, Ega. Persiapkan saja dia, seperti kemarin.’’‘’Jangan khawatir, Pak Bos. Semua beres.’’‘’Saya tidak mau berhubungan dengan patung seperti yang pertama. Saya mau seperti yang kemarin. Setengah sadar.’’‘’Baik, baik. Akan saya usahakan.’’‘’Jangan kecewakan saya, Ega. Kalau tidak, uang yang sudah saya berikan, kamu harus kembalikan.’’Dug.Jantungku bergemuruh ketika Mas Ega menoleh ke arah kamar. Buru-buru aku melompat, mengambil gaun dan menyibukkan diri berdandan.‘’Kamu dari tadi di situ?’’Munculnya Mas Ega dalam pantulan kaca tak kalah membuat diri ini panik bukan kepalang. Namun aku berusaha tenang mati-matian. Bernafas teratur walau sulit.‘’Memangnya kamu mau aku di mana, Mas? Bukannya tadi kamu nyuruh aku siap-siap?’’Sangking takutnya, aku berdoa dalam hati agar Mas Ega percaya.‘’Oh.’’Dan syukurnya doa itu terkabul saat itu juga. Aku menghela napas, begitu lega mendengar dua kata dari bibirnya.‘’Tadi siapa yang menelepon?’’ Ku alihkan obrolan karena sangat penasaran.Masih menjadi pertanyaan, tentang dia yang akan dipersiapkan.Aku tidak tau dia itu siapa atau mungkin benda. Namun obrolan di telepon itu, sudah jelas telah terjadi deal transaksi.Mas Ega tidak memberitahuku ada jadwal pemotretan yang harus aku lakukan. Itu berarti, Mas Ega punya bisnis lain selain menjadi fotographer. Jika memang ada, tega sekali aku sebagai istrinya tidak diberi tahu pekerjaannya apa.‘’Klien.’’‘’Klien? Klien dari produk apa?’’‘’Kali ini bukan untuk pemotretan. Dan, kamu tidak perlu tahu, Sel. Soalnya, ini urusan laki-laki.’’Sisi diriku yang merasa tak dihargai, sontak bangkit berdiri. Aku tidak pernah menutup apapun darinya dan teganya dia merahasiakan sesuatu dariku padahal aku ini bukan orang lain baginya.‘’Aku istri kamu, loh, Mas,’’ ucapku, marah. ‘’Kamu ngapain di luar sana, sama siapa, ngapain saja, masa aku gak boleh tahu? Kita ini sudah menikah.’’‘’Seandainya aku yang begitu, bagaimana?’’ imbuhku, lagi.‘’Selin, kamu kok, marah?’’ Dia malah kaget melihat reaksiku.‘’Bagaimana aku tidak marah. Kamu nggak menganggapku sebagai istrimu. Dengan enteng kamu bilang aku tidak perlu tau. Di mana-mana, suami istri itu harus saling terbuka. Aku jadi curiga, sebenarnya kamu tuh sayang nggak sih, mas, sama aku?’’Dasarnya wanita ingin dimanja dan dimengerti, Mas Ega langsung menghampiri dan memelukku. Membuat amarah ini luruh dan hatiku langsung luluh.Tak lupa, kecupan di bibir yang menjadi alasan senyumku kembali merekah.‘’Tentu saja, Sayang. Kalau tidak, untuk apa aku mempertahankanmu.’’Aku jadi dibuat bingung dengan kata-katanya. Bukankah seharusnya, untuk apa aku menikahimu? Kenapa malah jadi mempertahankan?Seperti aku ini dinikahi hanya untuk menjadi kelinci uji coba Mas Ega. Yang akan dibuang jika tidak berguna.‘’Sekarang jangan marah-marah lagi,’’ ucapnya sambil membelai pipi ini.‘’Aku nggak marah kalau kamu nggak ngomong kaya tadi. Lagian kamu punya bisnis apa, sih, selain di bidang fotografi?’’‘’Hm, bagaimana bilangnya, ya?’’Bukannya menjawab cepat, Mas Ega malah mengabsen setiap inci tubuhku dari bahu turun hingga ke bawah panggul. Membuat bulu kudukku jadi meremang.‘’Jual beli barang yang indah di pandang mata,’’ bisiknya seraya merapatkan tubuh kami berdua.Aku tidak munafik. Saat ini, aku jadi ingin sekali mengulang kejadian tadi malam.‘’Mas…’’‘’Hm?’’‘’Aku pengen.’’ Aku berucap manja. Memeluk pinggangnya namun kepalaku menengadah untuk bisa melihatnya.Senyum miring tercipta di wajah tegas suamiku itu. Mungkin dia tidak menyangka, bila aku akan berkata begitu padahal Mas Ega sedang menjelaskan bisnis yang sempat membuatku berkeras ingin tahu.‘’Kalau kamu sungguhan mau, nanti saja setelah selesai dari acara Pak Abi, bagaimana? Acaranya di villa dan semua tamu menginap di sana. Ingat, kita tidak boleh terlambat, Sel.’’Aku tidak keberatan menunggu, asal bisa merasakan kembali momen itu.Aku pun setuju. Dan wajah Mas Ega langsung terlihat senang, seperti habis mendapat undian besar.‘’Tapi dengan satu syarat,’’ ujarnya tiba-tiba.‘’Syarat apa?’’‘’Kamu harus dalam kondisi kayak kemarin. Mas suka sekali melakukannya ketika kamu mabuk. Persis seperti, kupu-kupu cantik yang sudah tidak berdaya,’’ ucapnya seraya tersenyum miring.Setengah jam seperti yang diperintahkan, aku sudah berdiri di samping mobil putih yang pernah menyambangi rumah sederhana milik orang tuaku. Sekaligus membuat heboh warga desa.Sedikit orang yang memiliki kendaraan roda empat di tempatku, sehingga menganggap, siapapun yang memiliki benda besi ini, dianggap kaya dan berkelimpahan harta.‘’Selin.’’Di tengah asik menunggu Mas Ega selesai memakai baju, tiba-tiba seseorang memanggil namaku.Keningku langsung berkerut rapat, setelah melihat sosok yang membuat seluruh tubuhku berputar seratus delapan puluh derajat.‘’Bu Retno?’’
‘’Astaga!’’Apa yang terjadi padaku? Kenapa aku bisa di sini? Kemana perginya Pak Abi? Apa Mas Ega yang melakukan ini?Beruntun pertanyaan di kepala tapi tidak ada jawabannya.Berulang kali kepala ini melihat kesana kemari, tetap tidak ada siapapun ku jumpai.Byur!Terdengar suara dari kamar mandi. Seseorang menekan flush kloset. Tak lama kemudian, gemericik dari shower yang dihidupkan.‘’Mas?’’ teriakku sambil turun dari tempat tidur. Memungut gaun berikut dalaman dengan hati cemas.Se
Bukan melabrak atau melayangkan pukulan pada Mas Ega, aku memilih membalikkan badan menjauhi keduanya.Mencari tempat sepi karena Mas Ega dan Ana sudah masuk ke dalam sebuah kamar.Seketika terduduk lemah, meratapi kebodohan juga kenyataan pahit ini. Aku langsung teringat akan bapak.Seharusnya aku menurutinya dan tidak termakan bujuk rayu Mas Ega dan juga ibu. Andai saja aku mendengarkan bapak waktu itu. Semua ini pasti tidak akan terjadi.Aku tidak sanggup, bila harus bercerita bahwa suamiku menjajakanku pada pria hidung belang selama ini.Ternyata benar apa kata Mbak Ros dan juga Bu Retno.
‘’Seharusnya aku lihat apa, Mas?’’ kataku. Dengan tubuh gemetar menahan emosi.. ‘’Eh,’’ Mas Ega tampak salah tingkah. Menggaruk kepala yang tidak gatal di mana aku ingin sekali menghantam kepala yang menyimpan banyak ide jahat itu. ‘’Maksudku, kamu ngapain di sini? Terus tadi sama Pak Abi bahas apa saja?’’ kilahnya agar aku tidak curiga. ‘’Kamu dulu deh, Mas. Waktu mau pakai ruangan beliau, kamu gunakan bahasa apa sampai bisa diizinin?’’ Lagi. Mas Ega kembali menggaruk kepala. Namun kali ini disertai seringai bangga. Membuat tanganku mengepal tegang karena bisa-bisanya dia tak merasa bersalah sudah melakukan hal keji padahal kami berstatus suami istri. ‘’Kamu gak perlu tahu. Yang jelas, aku dan Pak Abi sudah seperti teman akrab. Ya, kamu tau kan maksudku? Kayak, milikku adalah milik beliau. Begitu pula sebaliknya. Kami saling menguntungkan intinya.’’ Kurang ajar! Aku benar-benar geram. Bedebah sekali menganggapku layaknya barang. ‘’Terkecuali kamu!’’ imbuhnya karena mendapati
‘’Sel, kamu jangan bilang Ega, ya. Jangan bilang kalau kamu tahu dari aku.’’Lagi-lagi kata-kata itu terlontar.Binar takut di mata Mbak Ros, menyiratkan betapa menakutkannya sosok Mas Ega bagi penata rias di depanku ini.‘’Memangnya kenapa kalau Mas Ega tahu, Mbak?’’‘’Aku nggak mau terdepak dari studionya Ega. Aku butuh uang.’’Jika membahas faktor ekonomi, siapapun tidak berdaya dibuatnya. Uang membuat semua orang lupa diri. Berkorban bahkan tega mendagangkan istri.‘’Kamu jangan khawatir, Mbak. Tapi aku butuh informasi tentang Mas Ega lebih banyak. Kamu bisa bantu aku kan, Mbak?’’ pintaku penuh harap.Sejenak lengang, akhirnya hatiku lega ketika Mbak Ros mengangguk setuju.‘’Ega itu sangat mencintai istri pertamanya, Sel. Yang mbak tau, istrinya itu sakit keras.’’‘’Apa mbak pernah bertemu dengannya?’’‘’Pernah. Namanya Dian.’’Uhuk!Tiba-tiba saja Mbak Ros terbatuk sampai memegangi dada. ‘’Mbak… mbak sakit?’’ Cukup sering bertatap muka, baru kali ini ku lihat Mbak Ros terlihat k
Terang-terangan memberontak. Sengaja ingin melihat, seperti apa Mas Ega sebenarnya. Semenakutkan apa sehingga Mbak Ros berulang kali memastikan, agar aku tidak buka suara bahwa dialah pengungkap belang Mas Ega.‘’Sel!’’ serunya seraya mencekal tanganku. Namun Selin yang sekarang bukan Selin satu, dua atau beberapa hari lalu. Sehingga dengan tegas ku sentak cekalan tersebut hingga terlepas.Mata Mas Ega melotot. Besar seperti burung hantu. Kaget akan perlawananku.‘’Jangan maksa, Mas. Aku capek!’’Kini tak kalah kaget hingga terperangah. Karena aku menyentaknya balik. Ku lirik Mbak Ros di ambang pintu. Beliau memilih pergi. Mungkin karena tak ingin disalahkan atau jadi bahan pelampiasan.‘’Sel, kamu harus bersikap profesional. Gimana mau jadi model berkelas kalau baru lelah sedikit saja kamu mengeluh capek.’’ Terang saja nafas ini menggebu-gebu. Dadaku naik turun akibat tersulut emosi. Begitu pula dengan Mas Ega.Bisa-bisanya dia membahas profesionalisme di saat yang sebenarnya beke
Laki-laki bau tanah seumuran bapak.Itulah sosok di depanku saat ini. Berjas lengkap dengan dasi hitam terikat di lehernya.‘’Kamu tidak bohong rupanya, Ega. Ternyata dia memang sangat cantik,’’ ucapnya disertai senyum selicik rubah.‘’Saya Ari,’’ sambungnya sembari mengulurkan tangan.Tak ku katakan namaku dan hanya menyambut jari-jari keriput itu dengan wajah lesu. ‘’Selin, kamu tidak boleh seperti itu. Beliau klien penting. Bisa gak ekspresinya dibuat lebih ramah?’’ bisik Mas Ega di telinga ini. ‘’Kalau kamu terus seperti ini, bagaimana kita bisa dapat uang yang sedang kamu butuhkan?’’Ya Tuhan.Jika bukan karena bapak dan Handi, aku benar-benar tidak sudi berhadapan dengan kambing tua seperti Pak Ari ini.‘’Bersikaplah lebih sopan, Selin. Orang di depan kita ini adalah sumber uang. Dia sama seperti Pak Abi,’’ tekan Mas Ega lagi. Kali ini disertai remasan pelan pada pundak. Aku sampai meringis karena jari-jari Mas Ega bergerak dan menekan lebih kuat.Di sela-sela bisik-bisik ters
Hanya dengan kemeja putih yang membentuk badan atletisnya, Pak Abi berdiri di samping tempat tidur. ‘’Kemarilah, Selin,’’ panggilnya lagi. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, aku memundurkan langkah. Pikiranku berkelana kemana-mana. Tadi Pak Ari masuk kemari. Dan sekarang ada Pak Abi. Itu artinya… Apakah… apakah aku akan ditiduri oleh dua orang sekaligus? Jantungku berpacu cepat mencerna pemikiran tersebut. Jika memang demikian, ketika matipun aku akan jadi setan gentayangan dan menghantui Mas Ega. Demi Tuhan aku tidak akan membiarkannya hidup tenang. ‘’Selin, tidak ada Ari di sini. Dia sudah saya suruh pergi lewat pintu itu.’’ Pak Abi menunjuk connecting door di tembok. Menjelaskan seperti bisa membaca pikiranku. ‘’Kamu pasti bingung. Makanya, kemari. Biar saya jelaskan padamu,’’ sambungnya bersama seulas senyum ramah. Firasatku tidak pernah salah. Entah mengapa aku merasa Pak Abi adalah orang baik dan tidak akan berbuat jahat padaku. Padahal beberapa jam lalu, beliau tela