Bukan melabrak atau melayangkan pukulan pada Mas Ega, aku memilih membalikkan badan menjauhi keduanya.
Mencari tempat sepi karena Mas Ega dan Ana sudah masuk ke dalam sebuah kamar.
Seketika terduduk lemah, meratapi kebodohan juga kenyataan pahit ini. Aku langsung teringat akan bapak.
Seharusnya aku menurutinya dan tidak termakan bujuk rayu Mas Ega dan juga ibu. Andai saja aku mendengarkan bapak waktu itu. Semua ini pasti tidak akan terjadi.
Aku tidak sanggup, bila harus bercerita bahwa suamiku menjajakanku pada pria hidung belang selama ini.
Ternyata benar apa kata Mbak Ros dan juga Bu Retno.
‘’Seharusnya aku lihat apa, Mas?’’ kataku. Dengan tubuh gemetar menahan emosi.. ‘’Eh,’’ Mas Ega tampak salah tingkah. Menggaruk kepala yang tidak gatal di mana aku ingin sekali menghantam kepala yang menyimpan banyak ide jahat itu. ‘’Maksudku, kamu ngapain di sini? Terus tadi sama Pak Abi bahas apa saja?’’ kilahnya agar aku tidak curiga. ‘’Kamu dulu deh, Mas. Waktu mau pakai ruangan beliau, kamu gunakan bahasa apa sampai bisa diizinin?’’ Lagi. Mas Ega kembali menggaruk kepala. Namun kali ini disertai seringai bangga. Membuat tanganku mengepal tegang karena bisa-bisanya dia tak merasa bersalah sudah melakukan hal keji padahal kami berstatus suami istri. ‘’Kamu gak perlu tahu. Yang jelas, aku dan Pak Abi sudah seperti teman akrab. Ya, kamu tau kan maksudku? Kayak, milikku adalah milik beliau. Begitu pula sebaliknya. Kami saling menguntungkan intinya.’’ Kurang ajar! Aku benar-benar geram. Bedebah sekali menganggapku layaknya barang. ‘’Terkecuali kamu!’’ imbuhnya karena mendapati
‘’Sel, kamu jangan bilang Ega, ya. Jangan bilang kalau kamu tahu dari aku.’’Lagi-lagi kata-kata itu terlontar.Binar takut di mata Mbak Ros, menyiratkan betapa menakutkannya sosok Mas Ega bagi penata rias di depanku ini.‘’Memangnya kenapa kalau Mas Ega tahu, Mbak?’’‘’Aku nggak mau terdepak dari studionya Ega. Aku butuh uang.’’Jika membahas faktor ekonomi, siapapun tidak berdaya dibuatnya. Uang membuat semua orang lupa diri. Berkorban bahkan tega mendagangkan istri.‘’Kamu jangan khawatir, Mbak. Tapi aku butuh informasi tentang Mas Ega lebih banyak. Kamu bisa bantu aku kan, Mbak?’’ pintaku penuh harap.Sejenak lengang, akhirnya hatiku lega ketika Mbak Ros mengangguk setuju.‘’Ega itu sangat mencintai istri pertamanya, Sel. Yang mbak tau, istrinya itu sakit keras.’’‘’Apa mbak pernah bertemu dengannya?’’‘’Pernah. Namanya Dian.’’Uhuk!Tiba-tiba saja Mbak Ros terbatuk sampai memegangi dada. ‘’Mbak… mbak sakit?’’ Cukup sering bertatap muka, baru kali ini ku lihat Mbak Ros terlihat k
Terang-terangan memberontak. Sengaja ingin melihat, seperti apa Mas Ega sebenarnya. Semenakutkan apa sehingga Mbak Ros berulang kali memastikan, agar aku tidak buka suara bahwa dialah pengungkap belang Mas Ega.‘’Sel!’’ serunya seraya mencekal tanganku. Namun Selin yang sekarang bukan Selin satu, dua atau beberapa hari lalu. Sehingga dengan tegas ku sentak cekalan tersebut hingga terlepas.Mata Mas Ega melotot. Besar seperti burung hantu. Kaget akan perlawananku.‘’Jangan maksa, Mas. Aku capek!’’Kini tak kalah kaget hingga terperangah. Karena aku menyentaknya balik. Ku lirik Mbak Ros di ambang pintu. Beliau memilih pergi. Mungkin karena tak ingin disalahkan atau jadi bahan pelampiasan.‘’Sel, kamu harus bersikap profesional. Gimana mau jadi model berkelas kalau baru lelah sedikit saja kamu mengeluh capek.’’ Terang saja nafas ini menggebu-gebu. Dadaku naik turun akibat tersulut emosi. Begitu pula dengan Mas Ega.Bisa-bisanya dia membahas profesionalisme di saat yang sebenarnya beke
Laki-laki bau tanah seumuran bapak.Itulah sosok di depanku saat ini. Berjas lengkap dengan dasi hitam terikat di lehernya.‘’Kamu tidak bohong rupanya, Ega. Ternyata dia memang sangat cantik,’’ ucapnya disertai senyum selicik rubah.‘’Saya Ari,’’ sambungnya sembari mengulurkan tangan.Tak ku katakan namaku dan hanya menyambut jari-jari keriput itu dengan wajah lesu. ‘’Selin, kamu tidak boleh seperti itu. Beliau klien penting. Bisa gak ekspresinya dibuat lebih ramah?’’ bisik Mas Ega di telinga ini. ‘’Kalau kamu terus seperti ini, bagaimana kita bisa dapat uang yang sedang kamu butuhkan?’’Ya Tuhan.Jika bukan karena bapak dan Handi, aku benar-benar tidak sudi berhadapan dengan kambing tua seperti Pak Ari ini.‘’Bersikaplah lebih sopan, Selin. Orang di depan kita ini adalah sumber uang. Dia sama seperti Pak Abi,’’ tekan Mas Ega lagi. Kali ini disertai remasan pelan pada pundak. Aku sampai meringis karena jari-jari Mas Ega bergerak dan menekan lebih kuat.Di sela-sela bisik-bisik ters
Hanya dengan kemeja putih yang membentuk badan atletisnya, Pak Abi berdiri di samping tempat tidur. ‘’Kemarilah, Selin,’’ panggilnya lagi. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, aku memundurkan langkah. Pikiranku berkelana kemana-mana. Tadi Pak Ari masuk kemari. Dan sekarang ada Pak Abi. Itu artinya… Apakah… apakah aku akan ditiduri oleh dua orang sekaligus? Jantungku berpacu cepat mencerna pemikiran tersebut. Jika memang demikian, ketika matipun aku akan jadi setan gentayangan dan menghantui Mas Ega. Demi Tuhan aku tidak akan membiarkannya hidup tenang. ‘’Selin, tidak ada Ari di sini. Dia sudah saya suruh pergi lewat pintu itu.’’ Pak Abi menunjuk connecting door di tembok. Menjelaskan seperti bisa membaca pikiranku. ‘’Kamu pasti bingung. Makanya, kemari. Biar saya jelaskan padamu,’’ sambungnya bersama seulas senyum ramah. Firasatku tidak pernah salah. Entah mengapa aku merasa Pak Abi adalah orang baik dan tidak akan berbuat jahat padaku. Padahal beberapa jam lalu, beliau tela
Perlahan Pak Ega membantuku berdiri, tapi dengan cepat ku dorong kembali. Dalam keadaan sadar ataupun tidak, aku tak mau disentuh oleh laki-laki manapun. Termasuk Mas Ega. Sekalipun kami masih berstatus suami istri.‘’Saya bukan barang yang bisa diperjual belikan!’’ sentakku.‘’Saya tahu, Selin. Tapi saya yakin kamu pasti tidak tahu, kalau Ega telah melelang kamu.’’‘’Lelang?’’ lirihku dengan perasaan hancur, ‘’Tolong ulangi lagi?’’ Masih berharap jika pendengaranku tidak bekerja seperti seharusnya.‘’Ya, Ega menawarkanmu pada banyak klien di tempat ini. Karena dia tahu, banyak orang-orang beruang yang s
Berbelok ke kiri. Lalu mengambil koridor di sebelah kanan.Aku sampai di jantung pesta.Keramaian yang masih sama. Orang yang kian bertambah banyak.Ku tutupi wajah dengan kedua tangan, sebab melihat orang-orang memperhatikan. Tanpa menoleh kemanapun lagi, aku berhasil keluar.Villa di tengah bukit berpohon rindang, ku lalui dengan berjalan kaki. Menghindari jalan utama, menyusuri aspal yang diapit pepohonan lewat hutan.Rasanya begitu lelah. Sangat. Sekalipun turunan, namun jarak yang ku tempuh sangatlah jauh. Matahari berada di atas kepala ketika aku menghirup kebebasan sementara. Namun kini matahari terasa berada di telapak kaki, mengin
‘’Sel, kamu tidak apa-apa?’’ Mbak Ros berada di depan mukaku ketika baru saja aku membuka mata.Jadi, bukan hanya dari minuman melainkan juga dari aroma terapi?Sebegitu bersiapnya, kah, Mas Ega? Sampai membutuhkan dua senjata untuk menaklukkanku?Aku jadi teringat jar aroma terapi rasa kopi yang ada di rumah. ‘’Mbak, aku butuh bantuanmu.’’ Dengan kondisiku sekarang, aku tidak bisa melakukannya sendiri.‘’Pasti, Sel. Pasti akan mbak bantu. Apa yang kamu perlukan?’’‘’Aku ingin memenjarakan Ega, Mbak. Tapi aku perlu bukti kuat untuk membuatnya mendekam di penjara.’’Wajah Mbak Ros berubah ragu. Tapi tak memudarkan keinginanku yang telah ditipu mentah-mentah ini.Ega harus mendapatkan ganjaran atas perbuatannya. Atas tindak kriminal yang membuatku dirugikan. Aku memang wanita kampung tapi soal harga diri tidak akan ku biarkan diinjak seenaknya.‘’Mbak takut, Sel. Beneran, deh.’’‘’Sebenarnya apa yang sudah dilakukan Ega pada mbak? Apa dia sudah melakukan kekerasan?’’Dari awal aku sang
Suasana di ruang vip agak tenang setelah bapak juga beristirahat. Handi pun juga tidur namun menyisakan aku yang masih terjaga.Waktu menunjukkan pukul dua belas siang. Sejak tadi teringat Abi. Apa yang sedang dilakukannya sekarang? Aku bertanya-tanya dan menatap ponsel dengan hati kian mengecil.Apakah Abi masih marah?Mas, mungkin tiga hari lagi aku baru pulang. Mas apa kabarnya?Semoga saja kali ini pesanku dibalas. Perut yang dari pagi belum terisi apapun sudah berisik sekali. Aku pun pergi mencari makan di kantin, namun sebelum itu kebetulan melihat loket administrasi.Pas sekali.Aku masih penasaran mengapa tiba-tiba ibu dan bapak dipindahkan. ‘’Permisi, Mbak. Saya mau tanya, pasien atas nama bapak Sandri dan ibu Hana yang dipindahkan pagi ini ke vip.’’‘’Oh, ya. Kenapa memangnya, Bu?’’‘’Kalau boleh tahu, kenapa tiba-tiba dipindahkan?’’ Aku bergeming demi menunggu wanita berparas ayu di balik komputer mengecek sistemnya.‘’Pagi ini ada pembayaran untuk pemindahan pasien atas
Suara berisik tiada hentinya menandakan telah dimulai aktivitas kehidupan. Mulai dari percakapan, rutinitas mengantar makanan dan obat-obatan yang dilakukan perawat, sampai pemeriksaan oleh dokter langsung.Sakit sekali badan ini karena tidur di ubin, namun segera aku berdiri karena bapak pun ternyata sudah bangun.‘’Nak, bapak mau dipindahin ruangannya.’’ Dua orang perawat berbaju biru telah mengatur sedemikian rupa agar brankar dapat digerakkan dengan mudah. Setahuku, dipindah artinya menjalani pemeriksaan lebih lanjut.Aku pun yang masih mengantuk langsung segar begitu saja. ‘’Tapi bukannya bapak sudah membaik?’’ Bukan tanpa alasan karena semalam Handi bercerita bapak sudah bisa pulang hari ini.‘’Katanya mau dipindah ke ruang vip.’’ Bapak pun sama bingungnya namun hanya pasrah saja sangking tidak mengertinya. ‘’Vip?’’ Seketika menoleh pada dua perawat meminta penjelasan.‘’Maaf, Mbak. Saya hanya menjalankan tugas, kalau bapak tidak seharusnya di sini. Untuk kamar sudah di upgr
‘’Anak bapak, kamu datang, Nak?’’ Peluk hangat cium kasih sayang menyerbuku saat bertemu dengan bapak. Keadaannya sangat jauh lebih baik, seperti harapan juga doa-doa yang ku langitkan setiap hari.‘’Iya,Pak. Selin langsung ke sini begitu Handi ngabarin tentang ibu.’’‘’Abi mana?’’Bapak melihat jauh ke belakang, mencari seseorang yang dipikirannya mungkin akan bersamaku. Namun gelengan kepala ini membuat bapak langsung mengerti.‘’Ya sudah tidak apa-apa.’’‘’Mbak, apa kabar? Terimakasih sudah datang, Mbak. Handi benar-benar keteteran soalnya.’’ Begitu melihatku, Handi mencium tangan lalu berdiri di samping tempat tidur bapak.Dia terlihat sangat kurus untuk anak usia tujuh belas tahun. Beruntung dia tinggi jadi tidak terlalu terlihat seperti anak kurang gizi.Dan aku paham penyebabnya. Karena menjaga orang tua kami sendirian. Pasti sangat melelahkan. ‘’Kamu pasti capek. Biar mbak jaga bapak, kamu jaga ibu. Tadi mbak ke ruangannya, ibu masih belum sadar.’’‘’Iya, mbak. Ibu terlalu sy
‘’Menantu!’’ seru mama saat melihatku yang ternyata dicarinya.Mama duduk di atas brankar dan Abi mengikutiku dari belakang.‘’Kamu dari mana? Mama cari-cari dari tadi, tau, Menantu!’’Aku terkejut mendengar panggilan mama barusan, memang tidak salah aku memang menantunya. Tetapi, mama biasa memanggilku Selin.Aku pun bertanya-tanya ada apa dengan mama?‘’Sayang, ditanya mama kamu dari mana?’’Terlihat jelas bahwa kini aku sudah diterima menggantikan Ratih, mama ingin aku di dekatnya, padahal ada anaknya. Kalau bisa, harus ada di sekitarnya terus-menerus.‘’Sayang?’’Ya ampun, aku sampai lupa menjawab. ‘’Itu ma, tadi Selin…’’‘’Nggak mungkin buang sampah, kan, Sayang,’’ potong Abi karena memang keranjang sampah lengkap dengan isinya itu masih di tempat semula.‘’Anu… mas, tadi Selin menghubungi bapak,’’ jawabku jujur.‘’Bapak?’’ Mama menatapku dan Abi bergantian. ‘’Mama ngira kamu yatim piatu.’’ Abi tersenyum sembari mengajakku duduk di tepi brankar.Sekarang baru mengerti arti tatap
‘’Mas, bicaranya jangan yang aneh-aneh nanti mama dengar.’’ Aku tidak kuasa untuk tidak menunduk, merasakan wajah yang merona merah.Aku pun lagi-lagi berusaha menghindari, berpura-pura sibuk ingin membuang sampah segala.Sialnya Abi tidak menahan padahal, kan, aku sedang cari perhatian. Huh, menyebalkan sekali. Dasar suami tidak pengertian!Dia kembali duduk di samping mama, mengusap rambut yang setengahnya telah memutih. Bapak bilang, jika ingin mendapat suami penyayang carilah suami yang sayang sama ibunya. Jika dengan ibunya saja demikian apalagi dengan istrinya/Dan yang dikatakan bapak ada di diri Abi. Semuanya terpancar jelas.Haruskah aku bersyukur karena sebelumnya dijual Ega? Apa harusnya menyesal karena dari sana bisa berjumpa dengan Abi? Sesungguhnya pernikahan ini masih begitu canggung dalam menjalaninya. Mungkin karena terjadi lewat jalur yang salah.Ting.Nduk, bagaimana kabarmu, Nak?Akhirnya ada alasan jelas meninggalkan ruangan. Aku pun membalas pesan singkat itu de
‘’Mama mau dengar ceritanya tidak?’’‘’Cerita saja.’’ Pertanyaanku berhasil mengundang rasa penasaran mama.Aku pun tersenyum namun mencari kata yang pas untuk merangkai kalimat. ‘’Begini, Ma. Kalau makan nasi tapi lauknya habis, pasti jadi tidak enak lagi makannya, kan? Itu semua karena Mas Abi mencuri telur Selin.’’ Aku belum menuntaskan ingin melihat tanggapan mama.‘’Lalu?’’ Ternyata mama menunggu. Syukurlah.‘’Nggak tanggung-tanggung. Dua telur besar dimakannya semua. Lalu Selin hanya gigit jari. Padahal…’’ Lagi-lagi aku berhenti, ingin melihat sejauh mana mama mendengarkan.Dan benar, mama langsung bertanya ingin tahu kelanjutannya. ‘’Padahal apa?’’‘’Padahal Mas Abi juga sudah punya dua. Dia sangat serakah ternyata.’’‘’Kenapa kamu gak ngambil punya Abi juga?’’ balasannya sangat antusias. Aku pun kembali tersenyum jadinya.‘’Bagaimana mau ambil, Ma. Soalnya, Mas Abi tidak mengeluarkan telurnya. Dia sembunyikan sangat rapi.’’ Aku berpura-pura mengeluh untuk menjaga komunikasi ya
Padahal aku hanya tidak sanggup menerima sentuhan-sentuhan itu. Diikuti gigitan-gigitan kecil pada leher dan pundak. Wajar, kan, jika aku refleks menjauhkan diri? Tetapi sepertinya yang ku lakukan itu lagi-lagi dianggap berbeda olehnya. Saat tubuh menjauh, dadaku membusung tinggi. Abi pun tersenyum nakal tetapi aku yang merasa ngeri. Bukan karena senyumannya, tetapi karena Abi terlihat seperti kerasukan setan hingga wajahnya berubah mengerikan.Kebetulan aku tidak suka tidur menggunakan bra, sehingga ketika Abi menciumi belahanku, titik pusat gunung kembar mengintip jelas. Jangan tanyakan perasaanku saat ini, karena benar-benar campur aduk. Entah aku harus bersyukur atau tidak di rumah hanya kami berdua, karena baru saja kami menyantap nasi goreng, semua langsung berubah malah aku yang disantap Abi.Seandainya ada seorang saja selain kami, mungkin akan sangat malu karena suamiku begitu bernafsu sampai tak mengenal tempat untuk menjamah istrinya.‘’Mas… nghhh…’’ Ini bukan yang pert
Perlahan namun pasti, Abi berbaring di sebelahku, namun… memunggungiku. Apakah aku sudah kelewatan?Rasanya sangat gelisah berpikir berlebihan, menduga benar tidaknya. Inikah yang namanya tersiksa? Tadi aku membuatnya begitu sekarang malah aku yang kena batunya.‘’Abi.’’ Memanggilnya dengan suara lirih. Sangat berharap Abi akan berbalik.Namun jangankan memutar badan, malahan tidak ada jawaban sama sekali. ‘’Bi.’’ Kali ini ku gerakkan lengan kekarnya. Juga beringsut mendekat. Hingga bisa melihat wajahnya dari samping. Dan ternyata…‘’Sudah tidur?’’ Aku benar-benar tak habis pikir.Matanya memejam dan napasnya juga sudah teratur. Aku menepuk jidat sangat tidak menduganya. Astaga, kalau begini, malah diriku yang tidak bisa tidur karena menahan penyesalan.Akhirnya aku pun mencoba beristirahat walau butuh agak lama. Iseng memandangi kamar baru yang menjadi tempat tinggalku kini. Terasa asing memang, namun semua butuh waktu beradaptasi. Tidak ada yang instan.Terkecuali kebencian pada Eg
Di saat aku mengangguk, Abi tersenyum lebar lalu tanganya menelusup ke dalam tengkuk. Memulai keintiman dengan ciuman. Mematik nafsu lewat belaian halus pada bahu.Bulu kudukku meremang. Aku tak pandai melakukan ini.Ku tundukkan kepala, menghindari pagutan yang sejak tadi tidak ku balas. Namun untuk yang kesekian kali, Abi mengangkat dagu membelai wajah ini mengikuti bentuk rahang khas seorang wanita. Lalu memberikan ciuman lembut yang baru ku rasakan nikmatnya.‘’Tatap aku, Sel. Aku berjanji tidak akan pernah memperlakukanmu dengan buruk. Akan aku buat kamu bahagia.’’Sejenak aku menatap mata Abi begitu dalam. Dia terlihat sungguh-sungguh. Aku ingin percaya namun tangannya yang ingin menurunkan utas tali baju tidurku, menyadarkan jika semua ucapan hanyalah bualan. Menggunakan berbagai cara demi mendapat yang diinginkan.‘’Abi… aku…’’Mata Abi membulat liar, saat bongkahan besarku berhasil dibuka. Namun aku menutupinya dengan satu tangan. Sedangkan tangan yang satunya,‘’Abi!’’ Kud