Perlahan Pak Ega membantuku berdiri, tapi dengan cepat ku dorong kembali. Dalam keadaan sadar ataupun tidak, aku tak mau disentuh oleh laki-laki manapun. Termasuk Mas Ega. Sekalipun kami masih berstatus suami istri.
‘’Saya bukan barang yang bisa diperjual belikan!’’ sentakku.
‘’Saya tahu, Selin. Tapi saya yakin kamu pasti tidak tahu, kalau Ega telah melelang kamu.’’
‘’Lelang?’’ lirihku dengan perasaan hancur, ‘’Tolong ulangi lagi?’’ Masih berharap jika pendengaranku tidak bekerja seperti seharusnya.
‘’Ya, Ega menawarkanmu pada banyak klien di tempat ini. Karena dia tahu, banyak orang-orang beruang yang s
Berbelok ke kiri. Lalu mengambil koridor di sebelah kanan.Aku sampai di jantung pesta.Keramaian yang masih sama. Orang yang kian bertambah banyak.Ku tutupi wajah dengan kedua tangan, sebab melihat orang-orang memperhatikan. Tanpa menoleh kemanapun lagi, aku berhasil keluar.Villa di tengah bukit berpohon rindang, ku lalui dengan berjalan kaki. Menghindari jalan utama, menyusuri aspal yang diapit pepohonan lewat hutan.Rasanya begitu lelah. Sangat. Sekalipun turunan, namun jarak yang ku tempuh sangatlah jauh. Matahari berada di atas kepala ketika aku menghirup kebebasan sementara. Namun kini matahari terasa berada di telapak kaki, mengin
‘’Sel, kamu tidak apa-apa?’’ Mbak Ros berada di depan mukaku ketika baru saja aku membuka mata.Jadi, bukan hanya dari minuman melainkan juga dari aroma terapi?Sebegitu bersiapnya, kah, Mas Ega? Sampai membutuhkan dua senjata untuk menaklukkanku?Aku jadi teringat jar aroma terapi rasa kopi yang ada di rumah. ‘’Mbak, aku butuh bantuanmu.’’ Dengan kondisiku sekarang, aku tidak bisa melakukannya sendiri.‘’Pasti, Sel. Pasti akan mbak bantu. Apa yang kamu perlukan?’’‘’Aku ingin memenjarakan Ega, Mbak. Tapi aku perlu bukti kuat untuk membuatnya mendekam di penjara.’’Wajah Mbak Ros berubah ragu. Tapi tak memudarkan keinginanku yang telah ditipu mentah-mentah ini.Ega harus mendapatkan ganjaran atas perbuatannya. Atas tindak kriminal yang membuatku dirugikan. Aku memang wanita kampung tapi soal harga diri tidak akan ku biarkan diinjak seenaknya.‘’Mbak takut, Sel. Beneran, deh.’’‘’Sebenarnya apa yang sudah dilakukan Ega pada mbak? Apa dia sudah melakukan kekerasan?’’Dari awal aku sang
‘’Benar kamu tidak mau dengar dulu? Mungkin kamu mau memikirkannya barang sehari atau dua hari?’’Apalagi yang bisa diminta beliau selain kehangatan. Aku sudah terlanjur kotor, dan bapak telah banyak berkorban. Jika bapak saja bisa mengorbankan kebahagiaannya demi aku, kenapa aku tidak bisa melakukannya juga?‘’Ya, Pak. Apapun syaratnya. Saya akan penuhi. Semuanya, yang bapak minta. Sekali lagi terimakasih atas bantuannya, Pak.’’‘’Jangan terlalu banyak mengatakan terimakasih. Lagi pula ini tidak gratis, Sel.’’ Aku mengangguk cepat. Membayangkan jika setelah ini nyawa bapak bisa tertolong. Foto yang dikirim Handi membuat tubuhku sangat lemas. Bapak berada di koridor rumah sakit tanpa penanganan.Mata tua bapak menutup, mulutnya sedikit terbuka yang kian membuatku kian larut dalam kesedihan.‘’Kamu benar-benar tidak mau tahu syaratnya, Sel? Setidaknya bicarakan dulu dengan Ega.’’ Pak Abi ingin memastikan apakah aku tidak keberatan dengan persyaratannya.‘’Mas Ega? Saya tidak mau beru
Mobil berhenti di rumah besar tingkat dua berbalkon. Rumah yang sangat indah, apakah mungkin ini milik Pak Abi?Aku sampai melongo memandangi kemegahannya. Berbeda dengan rumahku di kampung. Terbuat dari bilik juga banyak lubang di setiap sisinya. Tikus juga sering masuk dari dapur belakang.‘’Ayo, turun!’’Aku mengangguk tanpa banyak protes. Mengekor di belakang Pak Abi bagai anak kucing takut kehilangan induknya.Aku sadar aku bukan siapa-siapa, hanya wanita yang beliau beli dari suamiku yang gila. Baju milikku pun hanya yang menempel di badan saja. ‘’Ini kamar kita. Jangan sampai salah, Sel.’’Aku mengangguk. Mungkin Pak Abi khawatir aku tersesat karena banyaknya ruangan di rumah ini.‘’Lemarinya ada di sana. Kamu mandi, lalu dandan yang cantik.’’ Pak Abi menunjuk salah satu sudut ruangan.Baju-baju indah tertata rapi di balik lemari berkaca. Sepatu, tas, semuanya. Entah mengapa aku merasa tidak pantas. Mungkin karena, tahu jika semua itu telah memiliki tuannya sebelumnya.‘’Pak,
Di saat aku mengangguk, Abi tersenyum lebar lalu tanganya menelusup ke dalam tengkuk. Memulai keintiman dengan ciuman. Mematik nafsu lewat belaian halus pada bahu.Bulu kudukku meremang. Aku tak pandai melakukan ini.Ku tundukkan kepala, menghindari pagutan yang sejak tadi tidak ku balas. Namun untuk yang kesekian kali, Abi mengangkat dagu membelai wajah ini mengikuti bentuk rahang khas seorang wanita. Lalu memberikan ciuman lembut yang baru ku rasakan nikmatnya.‘’Tatap aku, Sel. Aku berjanji tidak akan pernah memperlakukanmu dengan buruk. Akan aku buat kamu bahagia.’’Sejenak aku menatap mata Abi begitu dalam. Dia terlihat sungguh-sungguh. Aku ingin percaya namun tangannya yang ingin menurunkan utas tali baju tidurku, menyadarkan jika semua ucapan hanyalah bualan. Menggunakan berbagai cara demi mendapat yang diinginkan.‘’Abi… aku…’’Mata Abi membulat liar, saat bongkahan besarku berhasil dibuka. Namun aku menutupinya dengan satu tangan. Sedangkan tangan yang satunya,‘’Abi!’’ Kud
Perlahan namun pasti, Abi berbaring di sebelahku, namun… memunggungiku. Apakah aku sudah kelewatan?Rasanya sangat gelisah berpikir berlebihan, menduga benar tidaknya. Inikah yang namanya tersiksa? Tadi aku membuatnya begitu sekarang malah aku yang kena batunya.‘’Abi.’’ Memanggilnya dengan suara lirih. Sangat berharap Abi akan berbalik.Namun jangankan memutar badan, malahan tidak ada jawaban sama sekali. ‘’Bi.’’ Kali ini ku gerakkan lengan kekarnya. Juga beringsut mendekat. Hingga bisa melihat wajahnya dari samping. Dan ternyata…‘’Sudah tidur?’’ Aku benar-benar tak habis pikir.Matanya memejam dan napasnya juga sudah teratur. Aku menepuk jidat sangat tidak menduganya. Astaga, kalau begini, malah diriku yang tidak bisa tidur karena menahan penyesalan.Akhirnya aku pun mencoba beristirahat walau butuh agak lama. Iseng memandangi kamar baru yang menjadi tempat tinggalku kini. Terasa asing memang, namun semua butuh waktu beradaptasi. Tidak ada yang instan.Terkecuali kebencian pada Eg
Padahal aku hanya tidak sanggup menerima sentuhan-sentuhan itu. Diikuti gigitan-gigitan kecil pada leher dan pundak. Wajar, kan, jika aku refleks menjauhkan diri? Tetapi sepertinya yang ku lakukan itu lagi-lagi dianggap berbeda olehnya. Saat tubuh menjauh, dadaku membusung tinggi. Abi pun tersenyum nakal tetapi aku yang merasa ngeri. Bukan karena senyumannya, tetapi karena Abi terlihat seperti kerasukan setan hingga wajahnya berubah mengerikan.Kebetulan aku tidak suka tidur menggunakan bra, sehingga ketika Abi menciumi belahanku, titik pusat gunung kembar mengintip jelas. Jangan tanyakan perasaanku saat ini, karena benar-benar campur aduk. Entah aku harus bersyukur atau tidak di rumah hanya kami berdua, karena baru saja kami menyantap nasi goreng, semua langsung berubah malah aku yang disantap Abi.Seandainya ada seorang saja selain kami, mungkin akan sangat malu karena suamiku begitu bernafsu sampai tak mengenal tempat untuk menjamah istrinya.‘’Mas… nghhh…’’ Ini bukan yang pert
‘’Mama mau dengar ceritanya tidak?’’‘’Cerita saja.’’ Pertanyaanku berhasil mengundang rasa penasaran mama.Aku pun tersenyum namun mencari kata yang pas untuk merangkai kalimat. ‘’Begini, Ma. Kalau makan nasi tapi lauknya habis, pasti jadi tidak enak lagi makannya, kan? Itu semua karena Mas Abi mencuri telur Selin.’’ Aku belum menuntaskan ingin melihat tanggapan mama.‘’Lalu?’’ Ternyata mama menunggu. Syukurlah.‘’Nggak tanggung-tanggung. Dua telur besar dimakannya semua. Lalu Selin hanya gigit jari. Padahal…’’ Lagi-lagi aku berhenti, ingin melihat sejauh mana mama mendengarkan.Dan benar, mama langsung bertanya ingin tahu kelanjutannya. ‘’Padahal apa?’’‘’Padahal Mas Abi juga sudah punya dua. Dia sangat serakah ternyata.’’‘’Kenapa kamu gak ngambil punya Abi juga?’’ balasannya sangat antusias. Aku pun kembali tersenyum jadinya.‘’Bagaimana mau ambil, Ma. Soalnya, Mas Abi tidak mengeluarkan telurnya. Dia sembunyikan sangat rapi.’’ Aku berpura-pura mengeluh untuk menjaga komunikasi ya
Suasana di ruang vip agak tenang setelah bapak juga beristirahat. Handi pun juga tidur namun menyisakan aku yang masih terjaga.Waktu menunjukkan pukul dua belas siang. Sejak tadi teringat Abi. Apa yang sedang dilakukannya sekarang? Aku bertanya-tanya dan menatap ponsel dengan hati kian mengecil.Apakah Abi masih marah?Mas, mungkin tiga hari lagi aku baru pulang. Mas apa kabarnya?Semoga saja kali ini pesanku dibalas. Perut yang dari pagi belum terisi apapun sudah berisik sekali. Aku pun pergi mencari makan di kantin, namun sebelum itu kebetulan melihat loket administrasi.Pas sekali.Aku masih penasaran mengapa tiba-tiba ibu dan bapak dipindahkan. ‘’Permisi, Mbak. Saya mau tanya, pasien atas nama bapak Sandri dan ibu Hana yang dipindahkan pagi ini ke vip.’’‘’Oh, ya. Kenapa memangnya, Bu?’’‘’Kalau boleh tahu, kenapa tiba-tiba dipindahkan?’’ Aku bergeming demi menunggu wanita berparas ayu di balik komputer mengecek sistemnya.‘’Pagi ini ada pembayaran untuk pemindahan pasien atas
Suara berisik tiada hentinya menandakan telah dimulai aktivitas kehidupan. Mulai dari percakapan, rutinitas mengantar makanan dan obat-obatan yang dilakukan perawat, sampai pemeriksaan oleh dokter langsung.Sakit sekali badan ini karena tidur di ubin, namun segera aku berdiri karena bapak pun ternyata sudah bangun.‘’Nak, bapak mau dipindahin ruangannya.’’ Dua orang perawat berbaju biru telah mengatur sedemikian rupa agar brankar dapat digerakkan dengan mudah. Setahuku, dipindah artinya menjalani pemeriksaan lebih lanjut.Aku pun yang masih mengantuk langsung segar begitu saja. ‘’Tapi bukannya bapak sudah membaik?’’ Bukan tanpa alasan karena semalam Handi bercerita bapak sudah bisa pulang hari ini.‘’Katanya mau dipindah ke ruang vip.’’ Bapak pun sama bingungnya namun hanya pasrah saja sangking tidak mengertinya. ‘’Vip?’’ Seketika menoleh pada dua perawat meminta penjelasan.‘’Maaf, Mbak. Saya hanya menjalankan tugas, kalau bapak tidak seharusnya di sini. Untuk kamar sudah di upgr
‘’Anak bapak, kamu datang, Nak?’’ Peluk hangat cium kasih sayang menyerbuku saat bertemu dengan bapak. Keadaannya sangat jauh lebih baik, seperti harapan juga doa-doa yang ku langitkan setiap hari.‘’Iya,Pak. Selin langsung ke sini begitu Handi ngabarin tentang ibu.’’‘’Abi mana?’’Bapak melihat jauh ke belakang, mencari seseorang yang dipikirannya mungkin akan bersamaku. Namun gelengan kepala ini membuat bapak langsung mengerti.‘’Ya sudah tidak apa-apa.’’‘’Mbak, apa kabar? Terimakasih sudah datang, Mbak. Handi benar-benar keteteran soalnya.’’ Begitu melihatku, Handi mencium tangan lalu berdiri di samping tempat tidur bapak.Dia terlihat sangat kurus untuk anak usia tujuh belas tahun. Beruntung dia tinggi jadi tidak terlalu terlihat seperti anak kurang gizi.Dan aku paham penyebabnya. Karena menjaga orang tua kami sendirian. Pasti sangat melelahkan. ‘’Kamu pasti capek. Biar mbak jaga bapak, kamu jaga ibu. Tadi mbak ke ruangannya, ibu masih belum sadar.’’‘’Iya, mbak. Ibu terlalu sy
‘’Menantu!’’ seru mama saat melihatku yang ternyata dicarinya.Mama duduk di atas brankar dan Abi mengikutiku dari belakang.‘’Kamu dari mana? Mama cari-cari dari tadi, tau, Menantu!’’Aku terkejut mendengar panggilan mama barusan, memang tidak salah aku memang menantunya. Tetapi, mama biasa memanggilku Selin.Aku pun bertanya-tanya ada apa dengan mama?‘’Sayang, ditanya mama kamu dari mana?’’Terlihat jelas bahwa kini aku sudah diterima menggantikan Ratih, mama ingin aku di dekatnya, padahal ada anaknya. Kalau bisa, harus ada di sekitarnya terus-menerus.‘’Sayang?’’Ya ampun, aku sampai lupa menjawab. ‘’Itu ma, tadi Selin…’’‘’Nggak mungkin buang sampah, kan, Sayang,’’ potong Abi karena memang keranjang sampah lengkap dengan isinya itu masih di tempat semula.‘’Anu… mas, tadi Selin menghubungi bapak,’’ jawabku jujur.‘’Bapak?’’ Mama menatapku dan Abi bergantian. ‘’Mama ngira kamu yatim piatu.’’ Abi tersenyum sembari mengajakku duduk di tepi brankar.Sekarang baru mengerti arti tatap
‘’Mas, bicaranya jangan yang aneh-aneh nanti mama dengar.’’ Aku tidak kuasa untuk tidak menunduk, merasakan wajah yang merona merah.Aku pun lagi-lagi berusaha menghindari, berpura-pura sibuk ingin membuang sampah segala.Sialnya Abi tidak menahan padahal, kan, aku sedang cari perhatian. Huh, menyebalkan sekali. Dasar suami tidak pengertian!Dia kembali duduk di samping mama, mengusap rambut yang setengahnya telah memutih. Bapak bilang, jika ingin mendapat suami penyayang carilah suami yang sayang sama ibunya. Jika dengan ibunya saja demikian apalagi dengan istrinya/Dan yang dikatakan bapak ada di diri Abi. Semuanya terpancar jelas.Haruskah aku bersyukur karena sebelumnya dijual Ega? Apa harusnya menyesal karena dari sana bisa berjumpa dengan Abi? Sesungguhnya pernikahan ini masih begitu canggung dalam menjalaninya. Mungkin karena terjadi lewat jalur yang salah.Ting.Nduk, bagaimana kabarmu, Nak?Akhirnya ada alasan jelas meninggalkan ruangan. Aku pun membalas pesan singkat itu de
‘’Mama mau dengar ceritanya tidak?’’‘’Cerita saja.’’ Pertanyaanku berhasil mengundang rasa penasaran mama.Aku pun tersenyum namun mencari kata yang pas untuk merangkai kalimat. ‘’Begini, Ma. Kalau makan nasi tapi lauknya habis, pasti jadi tidak enak lagi makannya, kan? Itu semua karena Mas Abi mencuri telur Selin.’’ Aku belum menuntaskan ingin melihat tanggapan mama.‘’Lalu?’’ Ternyata mama menunggu. Syukurlah.‘’Nggak tanggung-tanggung. Dua telur besar dimakannya semua. Lalu Selin hanya gigit jari. Padahal…’’ Lagi-lagi aku berhenti, ingin melihat sejauh mana mama mendengarkan.Dan benar, mama langsung bertanya ingin tahu kelanjutannya. ‘’Padahal apa?’’‘’Padahal Mas Abi juga sudah punya dua. Dia sangat serakah ternyata.’’‘’Kenapa kamu gak ngambil punya Abi juga?’’ balasannya sangat antusias. Aku pun kembali tersenyum jadinya.‘’Bagaimana mau ambil, Ma. Soalnya, Mas Abi tidak mengeluarkan telurnya. Dia sembunyikan sangat rapi.’’ Aku berpura-pura mengeluh untuk menjaga komunikasi ya
Padahal aku hanya tidak sanggup menerima sentuhan-sentuhan itu. Diikuti gigitan-gigitan kecil pada leher dan pundak. Wajar, kan, jika aku refleks menjauhkan diri? Tetapi sepertinya yang ku lakukan itu lagi-lagi dianggap berbeda olehnya. Saat tubuh menjauh, dadaku membusung tinggi. Abi pun tersenyum nakal tetapi aku yang merasa ngeri. Bukan karena senyumannya, tetapi karena Abi terlihat seperti kerasukan setan hingga wajahnya berubah mengerikan.Kebetulan aku tidak suka tidur menggunakan bra, sehingga ketika Abi menciumi belahanku, titik pusat gunung kembar mengintip jelas. Jangan tanyakan perasaanku saat ini, karena benar-benar campur aduk. Entah aku harus bersyukur atau tidak di rumah hanya kami berdua, karena baru saja kami menyantap nasi goreng, semua langsung berubah malah aku yang disantap Abi.Seandainya ada seorang saja selain kami, mungkin akan sangat malu karena suamiku begitu bernafsu sampai tak mengenal tempat untuk menjamah istrinya.‘’Mas… nghhh…’’ Ini bukan yang pert
Perlahan namun pasti, Abi berbaring di sebelahku, namun… memunggungiku. Apakah aku sudah kelewatan?Rasanya sangat gelisah berpikir berlebihan, menduga benar tidaknya. Inikah yang namanya tersiksa? Tadi aku membuatnya begitu sekarang malah aku yang kena batunya.‘’Abi.’’ Memanggilnya dengan suara lirih. Sangat berharap Abi akan berbalik.Namun jangankan memutar badan, malahan tidak ada jawaban sama sekali. ‘’Bi.’’ Kali ini ku gerakkan lengan kekarnya. Juga beringsut mendekat. Hingga bisa melihat wajahnya dari samping. Dan ternyata…‘’Sudah tidur?’’ Aku benar-benar tak habis pikir.Matanya memejam dan napasnya juga sudah teratur. Aku menepuk jidat sangat tidak menduganya. Astaga, kalau begini, malah diriku yang tidak bisa tidur karena menahan penyesalan.Akhirnya aku pun mencoba beristirahat walau butuh agak lama. Iseng memandangi kamar baru yang menjadi tempat tinggalku kini. Terasa asing memang, namun semua butuh waktu beradaptasi. Tidak ada yang instan.Terkecuali kebencian pada Eg
Di saat aku mengangguk, Abi tersenyum lebar lalu tanganya menelusup ke dalam tengkuk. Memulai keintiman dengan ciuman. Mematik nafsu lewat belaian halus pada bahu.Bulu kudukku meremang. Aku tak pandai melakukan ini.Ku tundukkan kepala, menghindari pagutan yang sejak tadi tidak ku balas. Namun untuk yang kesekian kali, Abi mengangkat dagu membelai wajah ini mengikuti bentuk rahang khas seorang wanita. Lalu memberikan ciuman lembut yang baru ku rasakan nikmatnya.‘’Tatap aku, Sel. Aku berjanji tidak akan pernah memperlakukanmu dengan buruk. Akan aku buat kamu bahagia.’’Sejenak aku menatap mata Abi begitu dalam. Dia terlihat sungguh-sungguh. Aku ingin percaya namun tangannya yang ingin menurunkan utas tali baju tidurku, menyadarkan jika semua ucapan hanyalah bualan. Menggunakan berbagai cara demi mendapat yang diinginkan.‘’Abi… aku…’’Mata Abi membulat liar, saat bongkahan besarku berhasil dibuka. Namun aku menutupinya dengan satu tangan. Sedangkan tangan yang satunya,‘’Abi!’’ Kud