Hanya dengan kemeja putih yang membentuk badan atletisnya, Pak Abi berdiri di samping tempat tidur. ‘’Kemarilah, Selin,’’ panggilnya lagi. Tanpa mengeluarkan sepatah kata, aku memundurkan langkah. Pikiranku berkelana kemana-mana. Tadi Pak Ari masuk kemari. Dan sekarang ada Pak Abi. Itu artinya… Apakah… apakah aku akan ditiduri oleh dua orang sekaligus? Jantungku berpacu cepat mencerna pemikiran tersebut. Jika memang demikian, ketika matipun aku akan jadi setan gentayangan dan menghantui Mas Ega. Demi Tuhan aku tidak akan membiarkannya hidup tenang. ‘’Selin, tidak ada Ari di sini. Dia sudah saya suruh pergi lewat pintu itu.’’ Pak Abi menunjuk connecting door di tembok. Menjelaskan seperti bisa membaca pikiranku. ‘’Kamu pasti bingung. Makanya, kemari. Biar saya jelaskan padamu,’’ sambungnya bersama seulas senyum ramah. Firasatku tidak pernah salah. Entah mengapa aku merasa Pak Abi adalah orang baik dan tidak akan berbuat jahat padaku. Padahal beberapa jam lalu, beliau tela
Perlahan Pak Ega membantuku berdiri, tapi dengan cepat ku dorong kembali. Dalam keadaan sadar ataupun tidak, aku tak mau disentuh oleh laki-laki manapun. Termasuk Mas Ega. Sekalipun kami masih berstatus suami istri.‘’Saya bukan barang yang bisa diperjual belikan!’’ sentakku.‘’Saya tahu, Selin. Tapi saya yakin kamu pasti tidak tahu, kalau Ega telah melelang kamu.’’‘’Lelang?’’ lirihku dengan perasaan hancur, ‘’Tolong ulangi lagi?’’ Masih berharap jika pendengaranku tidak bekerja seperti seharusnya.‘’Ya, Ega menawarkanmu pada banyak klien di tempat ini. Karena dia tahu, banyak orang-orang beruang yang s
Berbelok ke kiri. Lalu mengambil koridor di sebelah kanan.Aku sampai di jantung pesta.Keramaian yang masih sama. Orang yang kian bertambah banyak.Ku tutupi wajah dengan kedua tangan, sebab melihat orang-orang memperhatikan. Tanpa menoleh kemanapun lagi, aku berhasil keluar.Villa di tengah bukit berpohon rindang, ku lalui dengan berjalan kaki. Menghindari jalan utama, menyusuri aspal yang diapit pepohonan lewat hutan.Rasanya begitu lelah. Sangat. Sekalipun turunan, namun jarak yang ku tempuh sangatlah jauh. Matahari berada di atas kepala ketika aku menghirup kebebasan sementara. Namun kini matahari terasa berada di telapak kaki, mengin
‘’Sel, kamu tidak apa-apa?’’ Mbak Ros berada di depan mukaku ketika baru saja aku membuka mata.Jadi, bukan hanya dari minuman melainkan juga dari aroma terapi?Sebegitu bersiapnya, kah, Mas Ega? Sampai membutuhkan dua senjata untuk menaklukkanku?Aku jadi teringat jar aroma terapi rasa kopi yang ada di rumah. ‘’Mbak, aku butuh bantuanmu.’’ Dengan kondisiku sekarang, aku tidak bisa melakukannya sendiri.‘’Pasti, Sel. Pasti akan mbak bantu. Apa yang kamu perlukan?’’‘’Aku ingin memenjarakan Ega, Mbak. Tapi aku perlu bukti kuat untuk membuatnya mendekam di penjara.’’Wajah Mbak Ros berubah ragu. Tapi tak memudarkan keinginanku yang telah ditipu mentah-mentah ini.Ega harus mendapatkan ganjaran atas perbuatannya. Atas tindak kriminal yang membuatku dirugikan. Aku memang wanita kampung tapi soal harga diri tidak akan ku biarkan diinjak seenaknya.‘’Mbak takut, Sel. Beneran, deh.’’‘’Sebenarnya apa yang sudah dilakukan Ega pada mbak? Apa dia sudah melakukan kekerasan?’’Dari awal aku sang
‘’Benar kamu tidak mau dengar dulu? Mungkin kamu mau memikirkannya barang sehari atau dua hari?’’Apalagi yang bisa diminta beliau selain kehangatan. Aku sudah terlanjur kotor, dan bapak telah banyak berkorban. Jika bapak saja bisa mengorbankan kebahagiaannya demi aku, kenapa aku tidak bisa melakukannya juga?‘’Ya, Pak. Apapun syaratnya. Saya akan penuhi. Semuanya, yang bapak minta. Sekali lagi terimakasih atas bantuannya, Pak.’’‘’Jangan terlalu banyak mengatakan terimakasih. Lagi pula ini tidak gratis, Sel.’’ Aku mengangguk cepat. Membayangkan jika setelah ini nyawa bapak bisa tertolong. Foto yang dikirim Handi membuat tubuhku sangat lemas. Bapak berada di koridor rumah sakit tanpa penanganan.Mata tua bapak menutup, mulutnya sedikit terbuka yang kian membuatku kian larut dalam kesedihan.‘’Kamu benar-benar tidak mau tahu syaratnya, Sel? Setidaknya bicarakan dulu dengan Ega.’’ Pak Abi ingin memastikan apakah aku tidak keberatan dengan persyaratannya.‘’Mas Ega? Saya tidak mau beru
Mobil berhenti di rumah besar tingkat dua berbalkon. Rumah yang sangat indah, apakah mungkin ini milik Pak Abi?Aku sampai melongo memandangi kemegahannya. Berbeda dengan rumahku di kampung. Terbuat dari bilik juga banyak lubang di setiap sisinya. Tikus juga sering masuk dari dapur belakang.‘’Ayo, turun!’’Aku mengangguk tanpa banyak protes. Mengekor di belakang Pak Abi bagai anak kucing takut kehilangan induknya.Aku sadar aku bukan siapa-siapa, hanya wanita yang beliau beli dari suamiku yang gila. Baju milikku pun hanya yang menempel di badan saja. ‘’Ini kamar kita. Jangan sampai salah, Sel.’’Aku mengangguk. Mungkin Pak Abi khawatir aku tersesat karena banyaknya ruangan di rumah ini.‘’Lemarinya ada di sana. Kamu mandi, lalu dandan yang cantik.’’ Pak Abi menunjuk salah satu sudut ruangan.Baju-baju indah tertata rapi di balik lemari berkaca. Sepatu, tas, semuanya. Entah mengapa aku merasa tidak pantas. Mungkin karena, tahu jika semua itu telah memiliki tuannya sebelumnya.‘’Pak,
Di saat aku mengangguk, Abi tersenyum lebar lalu tanganya menelusup ke dalam tengkuk. Memulai keintiman dengan ciuman. Mematik nafsu lewat belaian halus pada bahu.Bulu kudukku meremang. Aku tak pandai melakukan ini.Ku tundukkan kepala, menghindari pagutan yang sejak tadi tidak ku balas. Namun untuk yang kesekian kali, Abi mengangkat dagu membelai wajah ini mengikuti bentuk rahang khas seorang wanita. Lalu memberikan ciuman lembut yang baru ku rasakan nikmatnya.‘’Tatap aku, Sel. Aku berjanji tidak akan pernah memperlakukanmu dengan buruk. Akan aku buat kamu bahagia.’’Sejenak aku menatap mata Abi begitu dalam. Dia terlihat sungguh-sungguh. Aku ingin percaya namun tangannya yang ingin menurunkan utas tali baju tidurku, menyadarkan jika semua ucapan hanyalah bualan. Menggunakan berbagai cara demi mendapat yang diinginkan.‘’Abi… aku…’’Mata Abi membulat liar, saat bongkahan besarku berhasil dibuka. Namun aku menutupinya dengan satu tangan. Sedangkan tangan yang satunya,‘’Abi!’’ Kud
Perlahan namun pasti, Abi berbaring di sebelahku, namun… memunggungiku. Apakah aku sudah kelewatan?Rasanya sangat gelisah berpikir berlebihan, menduga benar tidaknya. Inikah yang namanya tersiksa? Tadi aku membuatnya begitu sekarang malah aku yang kena batunya.‘’Abi.’’ Memanggilnya dengan suara lirih. Sangat berharap Abi akan berbalik.Namun jangankan memutar badan, malahan tidak ada jawaban sama sekali. ‘’Bi.’’ Kali ini ku gerakkan lengan kekarnya. Juga beringsut mendekat. Hingga bisa melihat wajahnya dari samping. Dan ternyata…‘’Sudah tidur?’’ Aku benar-benar tak habis pikir.Matanya memejam dan napasnya juga sudah teratur. Aku menepuk jidat sangat tidak menduganya. Astaga, kalau begini, malah diriku yang tidak bisa tidur karena menahan penyesalan.Akhirnya aku pun mencoba beristirahat walau butuh agak lama. Iseng memandangi kamar baru yang menjadi tempat tinggalku kini. Terasa asing memang, namun semua butuh waktu beradaptasi. Tidak ada yang instan.Terkecuali kebencian pada Eg