Drrrrrtttt.
Sebuah pesan singkat aku terima sore harinya. Ternyata, pesan itu dari Raka. Dalam pesannya dia bilang kalau malam ini dirinya tidak akan pulang, karena ada lembur. Aku berdecak. Dengan kesal, kubalas pesannya secara kilat. “Kemarin juga kamu lembur, Mas. Tidak bisa gantian sama yang lain?” tulisku pada layar, kemudian segera menekan tombol kirim. Tak lama, balasan darinya masuk. Lagi, bukan permintaan maaf yang kudapatkan. Dia hanya mengirimkan dua kata yang ditutup dengan tanda seru, "Jangan bawel!" Aku mengembuskan napas panjang. Entahlah, rasanya aku sudah menyerah dengan semua ini. Aku merasa jika semua yang aku lakukan percuma. Marah salah, diam sakit. Akhirnya, daripada berada di rumah dan terus memikirkan suamiku itu, aku pun memutuskan untuk keluar. Aku pergi ke sebuah kafe dengan temanku, Ira. Niatnya, aku hanya sekedar makan saja. Namun siapa sangka aku justru terbawa suasana. Aku mulai menceritakan kisah hidupku yang pilu pada temanku dan dia sangat terkejut mendengar ceritaku. "OMG, Amel! Aku kira hidupmu baik-baik saja, tapi ternyata?" Suara melengking Ira bak terompet yang menyakiti telingaku. Kututup telingaku lalu menunjukkan ekspresi kesal, "Suara kamu kenceng banget!" "Aku syok Mel." Dia menatapku sedih. Raut wajah kesalnya berubah menjadi nanar. Entahlah, keputusan menceritakan pada Ira ini apakah salah atau tidak. Sebab, bagaimanapun juga... yang kuceritakan ini adalah aib dalam rumah tanggaku. Tangan Ira mengusap pundakku, terlihat dia begitu iba dengan apa yang aku alami. "Kamu harus melawan Mel, jangan mau diperlukan seperti itu!" Dia menyemangati aku seolah tak ingin aku terluka. Anggukan pelan aku tunjukkan, lalu aku tersenyum menatapnya. Kukira, setelah ini dia akan menjatuhkan pelukannya padaku, tapi ternyata malah mengeluarkan kalimat ejekan. "Tapi aku juga syok punya teman begonya kelewatan! Kenapa sih, kamu yang pintar bisa sebego ini, Mel?!” "Aku juga nggak tau, Ra. Aku harus gimana lagi?" kataku dengan lemah, sambil menatapnya. Kami berdua sesaat terdiam, hingga kemudian kalimat Ira selanjutnya membuat pikiranku jadi bertanya-tanya. "Suami kamu tuh, fix selingkuh, Mel! Coba deh, cari tahu!" Perkataan Ira sontak menari di kepalaku, bahkan ketika aku sudah berada di rumah. “Apa mungkin Mas Raka memiliki wanita lain?” pikirku. "Apa aku cari tahu saja?" Hati dan logikaku mulai berperang. Jiwa detektif yang tak pernah muncul kini mencuat, memaksa aku untuk mencari tahu. Akhirnya, aku putuskan untuk membuka media sosial meski Mas Raka telah mewanti-wanti aku untuk tidak menggunakannya. Kini, kuputuskan untuk mendownload semua jenis media sosial itu. Masa bodoh dengan perkataan Mas Raka tempo itu yang mengatakan jika media sosial hanya akan merusak rumah tangga. Setelah berhasil masuk, kutulis nama Raka Sanjaya di kolom pencarian. Sederet orang yang bernama Raka Sanjaya bermunculan, dan satu foto profil membuat aku tersenyum. Kubuka profilnya. Untung dia tidak mengunci profilnya, sehingga aku bisa membuka untuk mencari informasi. Hanya terlihat beberapa foto terunggah di sana. Foto dia dengan atasannya, juga dengan beberapa temannya. Semua normal, kulihat tidak ada yang aneh. "Syukurlah, apa yang aku pikirkan tidak terjadi." Aku bernafas lega, setidaknya dia tidak macam-macam di media sosial. Namun, sejenak aku berpikir, jika dia masih menggunakan media sosial, kenapa dia begitu melarangku? Dia bahkan memintaku untuk menonaktifkan media sosialku? Saat aku ingin menutup penyelidikan di akun itu, ada suatu hal yang janggal terlihat. Dia memiliki cukup banyak pengikut, tapi hanya satu akun saja yang dia ikuti. Tiba-tiba darahku berdesir. Penasaran mulai datang menghampiri. Kubuka dan kulihat satu-satunya profil yang Mas Raka ikuti. Hampir saja aku dibuat pingsan. “Siapa dia?” tanyaku dengan air mata yang sudah tidak bisa kutahan. “Kenapa di profilnya begitu banyak foto dan video bersama Mas Raka?” Kupikir, setelah aku tahu kebenarannya, aku bisa menentukan tindakanku selanjutnya. Nyatanya, setelah kutemukan kebenaran, hal itu justru membuat aku semakin sakit. Ternyata benar, memilih tidak tahu terkadang jauh lebih menenangkan, daripada kita mengetahui kebenarannya. "Tega kamu, Mas!" ujarku, terus menangis hingga tanpa sadar jatuh tertidur. Pagi harinya, kepalaku terasa sangat pusing. Namun, karena ada satu hal yang harus aku lakukan, aku memaksakan diri. Kantor Mas Raka jadi tempat tujuanku pagi ini. Sengaja aku bertandang, tanpa bilang-bilang. Aku ingin melihat suamiku yang katanya menginap di kantor karena lembur semalam. Saat aku membuka pintu ruangannya, kulihat ruangan itu kosong tanpa penghuni. Aku memilih menunggu di dalam, karena aku yakin sebentar lagi dia akan datang. Dan benar saja, tak lama dia datang dengan wajah bahagianya. Melihat dia yang lebih fresh dan sumringah seperti ini malah membuat hatiku sakit. Sungguh kontras sekali apabila dia berangkat dari rumah kami. "Kamu kelihatan segar ya Mas?" sindirku. Wajah sumringahnya itu langsung berubah begitu dia melihat kehadiranku di ruangan ini. "Ada urusan apa kamu ke sini?” Suara dingin yang terdengar kali ini tidak membuat aku menggigil. Tatapan tajamnya juga tidak membuat aku ketakutan. "Kamu berbohong Mas! Katanya lembur, tapi nyatanya...." Kata-kataku tertahan saat kulihat sebuah tanda merah di lehernya. Sejurus kemudian rasa sakit yang lebih dalam menyeruak di dadaku. "Kamu memiliki wanita lain kan, Mas?!" Aku yakin, tanda itu adalah tanda cinta. Aku juga sangat yakin, dia baru saja menghabiskan malam bergairah, sementara aku merana di rumah. Wajahnya berubah semakin merah. Dia mencengkeram lenganku kuat-kuat. "Jangan halu! Atas dasar apa kamu menuduhku memiliki wanita lain, Amel?" Rasa sakit karena cengkeramannya tak kurasa, karena rasa sakit di hatiku jauh lebih besar. Tatapan kami bertemu lalu dengan berani aku menunjuk tanda di lehernya. "Ini apa? Vampir mana yang menggigit kamu sampai begini?"Dia menepis tanganku, lalu membuang wajahnya. Melihat hal itu, aku semakin mengejarnya. "Jalang mana yang melakukannya, Mas? Katakan padaku!" "Bukan siapa-siapa!" ujarnya singkat tanpa mau menatapku. Aku tahu dia berbohong, karena tidak mungkin tanda itu tiba-tiba ada apabila tidak ada yang membuatnya. "Jujurlah Mas, biar jelas semua!" pintaku dengan suara lirih. "Pulanglah Amel, aku mau kerja." Dia melangkahkan kaki menuju meja kerjanya, kemudian membuka laptop. Sementara itu aku masih mematung menatapnya, menggumamkan kalimat lirih, “Entah terbuat dari apa hatimu, Mas.” Sekarang, aku yakin jika perkataan Ira benar. Mas Raka selingkuh. Akan tetapi, bukannya meminta maaf, pria itu justru bersikap seolah tak melakukan dosa. Menyerah dengan kediamannya, aku memutuskan pergi dari ruangannya. Semenjak meninggalkan ruangan Direktur Keuangan itu, air mataku tak berhenti menetes. Apakah mungkin aku akhiri saja pernikahan ini? Tapi, bagaimana dengan kedua orang tuaku
Kulihat, raut wajah Mas Raka berubah. Dia yang semula menolak menatapku, kini melemparkan tatapan yang sama tajamnya.Dia terlihat sangat marah. "Siapa Renata?" katanya masih mengelak.Aku mengerutkan alis, "Kamu tak tahu siapa Renata, Mas?" Segera kuambil ponselku, lalu kutunjukkan foto-foto serta video mesranya bersama Renata. "Yakin kamu tidak mengenalnya?"Meski bibirku tegas akan kalimatku tapi mataku tidak bisa aku berbohong. Air mata yang menggambarkan betapa lemahnya aku, mulai menggenang."Kamu terlihat sangat menyayanginya, sedangkan denganku... kamu begitu dingin." "Kamu cari penyakit sendiri Amel,” ujarnya tak mau lagi melihat layar ponsel. “Sudah aku bilang jangan menggunakan sosial media, tapi kamu membangkang!" Tanpa rasa bersalah, dia justru memarahi aku. Aku melongo menatapnya, manusia seperti apa dia? Dia yang ketahuan berbuat salah, tetapi justru dia yang menyalahkan aku?"Nggak waras kamu Mas!" kataku kesal.Aku berusaha berdiri, tetapi Mas Raka berhasil mencengk
"Aku adalah apa?" Hatiku mulai was-was. Kutatap mereka bergantian dengan tatapan yang sudah berubah. Tatapan garang ku berubah menjadi tatapan sendu. Mas Raka masih bergeming, tersirat ekspresi kebingungan di wajahnya, sementara Renata masih menatapku dengan ekspresi sama.Kini Renata menatap Mas Raka, entah apa yang mereka pikirkan hingga kulihat sebuah gelengan kecil Mas Raka tunjukkan. "Apa? Apa yang kalian sembunyikan dariku?" Kembali aku bersuara mengejar kalimatnya yang menggantung. Tapi Mas Raka tetap saja bungkam begitu pula dengan Renata. Apa yang ingin dia katakan sebenarnya? kenapa tiba-tiba dia terbungkam?Sesaat kemudian suara Renata mencuat melengkapi kalimatnya yang belum usai. "Karena aku juga istrinya."Deg!Jantungku seakan berhenti berdetak, dalam waktu sekejap aku mematung, tak hanya itu ribuan pisau serasa menghujam hatiku secara bersamaaan, ucapannya benar-benar membuat aku terkejut dan sakit. Segera kutunjukkan gelengan kepala, sebagai bentuk protes akan u
“Tidak!” Dengan lantang Mas Raka menolak menceraikannya, hal itu membuat hatiku semakin sakit. “Baiklah Mas, tapi jangan harap rumah tangga kini bisa tenang,” sahut ku lirih. “Semua tergantung kamu, jika kamu mau mengerti rumah tangga kita akan baik-baik saja,” ujarnya. Aku menggeleng heran, bagaimana bisa semua akan baik-baik saja sementara dia membawa pemicu pertengkaran dalam rumah tangga kami? Aku yang benar-benar lelah hati dan pikiran membaringkan tubuhku, mengabaikannya yang masih terlihat ingin bicara dengan ku. “Aku ngantuk.” Dua kata untuk mengakhiri perbincangan kami. Walaupun sebenarnya aku tidak mengantuk, aku tetap memejamkan mata tanpa ingin membukanya.Pagi hari telah datang, baru saja aku membuka mata ku rasakan sakit kembali menghujam hatiku. Apa memang seperti ini rasanya dikhianati orang yang kita cintai? Hingga baru bangun saja rasa sakitnya langsung terasa? Netraku menatap dia yang masih terpejam, tanpa terasa air mataku mengalir, dia membuat aku terperan
"Sudahlah jangan seperti anak kecil." Katanya lalu dia pergi ke kamar mandi.Jujur aku lelah seperti ini, kemarahanku baginya hanya sikap berlebihan. Padahal aku juga ingin diperlakukan layaknya seorang istri.Tak ingin terus berdebat kusir dengan pria keras itu, aku memutuskan tidur. Lebih baik aku memejamkan mata daripada terus menambah luka. Tak terasa seminggu telah berlalu, kini kondisi Mas Raka sudah jauh lebih baik. “Aku hari ini masuk kerja, siapkan semua keperluanku.” Dari tempat tidur dia memerintahkan aku untuk menyiapkan segala sesuatunya. Aku tak merespon ucapannya, tapi meskipun begitu ketika dia mandi aku tetap menyiapkan keperluannya. Semua aku letakkan di atas tempat tidur, lalu aku keluar kamar. Aku pergi ke dapur untuk beres-beres dan sesaat kemudian terdengar suara langkah kaki mendekat. "Hanya ada roti?” Tanyanya ketika aku tengah mencuci piring. "Iya.” Aku menjawab pertanyaannya tanpa menoleh. "Sesuai sama yang kamu lihat di meja, Mas.""Kenapa kamu
"Seperti yang aku bilang Amel, pikirkan orang tuamu. Terlebih biaya rutin pengobatan ayah." Kembali jawaban itu yang kudapat, tak hanya menyiutkan nyalimu, jawaban itu juga memudarkan keinginanku untuk berpisah. Apa memang aku harus seperti nasibku? istri sah dan istri simpanan tinggal dalam satu atap? Kemudian, aku menatapnya dengan tatapan benci, kenapa dia selalu melukaiku? Pernikahannya saja aku menolak untuk menerima tapi kini, dia malah mendatangkan Renata kesini, apa dia ingin membuat neraka di dalam surgaku? Tak ada pilihan lain, aku pun menuruti keinginannya, mengijinkan maduku untuk tinggal bersama. Tak hanya itu aku juga turun ke bawah untuk menyambutnya. Sungguh ironi bukan? "Malam Amel." Sapaan lembut aku terima, bahkan wanita itu menjabat tanganku dan menunjukkan sederet giginya yang putih. Melihatnya aku hanya bisa menahan segala amarahku dan rasa kesalku. Namun sesaat kemudian kutatap dia sendu. Entah apa yang dipikiran oleh Mas Raka saat ini, entah a
Malam itu Mas Raka pulang dengan wajah sumringah, berbeda sekali dengan biasanya yang selalu muram. Apa karena ada Renata? Aku hanya bisa tersenyum ketir tanpa bisa protes akan sikapnya. "Amel gajiku sudah aku transfer di rekening kamu." Ujar pria dingin itu. "Kamu besok bisa membawa ayah kamu ke rumah sakit untuk kontrol." Sambungnya. Aku menatapnya, lalu anggukan kecil aku tunjukkan, meski jahat tapi dia masih memiliki perhatian untuk orang tuaku. "Iya." Kukembalikan pandanganku ke arah TV, ada rasa bersalah karena tak mampu berucap terima kasih padanya.Tapi memang semua berbeda sekarang, dulu aku selalu menyambutnya ketika gajian, makanan enak dan banyak selalu kusajikan sebagai bentuk rasa terima kasih. Diriku kini seperti raga tak bernyawa yang malas berinteraksi dengannya. Ternyata kediaman kumengundang keingintahuannya, bahkan kata-kata sedikit lembut dia ucapkan. "Kenapa? Kamu kelihatan lemas, apa kamu sakit?" Lagi-lagi gelengan yang aku tunjukkan. Pernikaha
Aku lama menunggunya, tapi tak ada panggilan masuk di ponselku, apa saja yang mereka beli sehingga lama sekali? Rasa lelah mulai menghampiriku lalu aku putuskan untuk menghubungi Mas Raka lebih dulu. Panggilanku masuk tapi tidak diterima lalu aku pergi ke supermarket tadi untuk mengecek, tapi tidak kutemui Mas Raka dan Renata. Apa mereka meninggalkan aku? Saat bersamaan, panggilan masuk kuterima."Kamu ke mana saja? Karena kamu lama sekali, jadi aku dan Renata pulang duluan. Kasihan Renata sudah lelah."Aku menahan senyum sinis. Jadi, dia menghukumku seperti ini? Apa susahnya dia coba telepon istrinya ini, tanya di mana, kasih tahu kalau dia sudah mau pulang?!Sudahlah, memang dasarnya mereka saja yang mau berduaan.Tak ingin terpancing amarah, aku mematikan sambungan telepon. "Kamu pikir aku takut pulang sendiri." Aku mengomel di hadapan layar ponselku. Dengan taksi online, aku pulang. Setibanya di rumah aku langsung masuk ke dalam. Kudengar canda tawa di dapur menggema.
Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba, hari ini aku dan seluruh keluarga besarku dan Mas Raka pergi ke rumah sakit. Sengaja kami memilih hari ini karena hari ini bertepatan dengan ulang tahun Mas Raka jadi anakku nanti memiliki hari ulang tahun sama dengan papanya. "Mas aku takut." Aku terus memegangi tangan mas Raka. Ingatan waktu itu, membuat nyaliku menciut. Memang operasi sesar tidak menakutkan tapi setelahnya aku harus kesakitan. "Jangan takut sayang, ada aku." Mas Raka terus mengecup keningku. "Habis operasi sakit sekali Mas." Aku mengubah raut wajahku takut merasakannya lagi. Mas Raka tersenyum, dia bilang kalau nanti sakitnya terbayarkan dengan hadirnya anak kami. Aku tersenyum mendengar ucapannya. Bayangan bayi menangis menari di kepalaku, tanpa kusadari bibirku terus saja menyunggingkan senyuman. Beberapa waktu kemudian, Dokter datang untuk melakukan pemeriksaan, selain operasi aku juga meminta dokter untuk sekalian memasang kb, rencananya aku akan menunda kehamilan
Kulihat kedua pria itu nampak canggung, berbeda sebelum tahu kalau ada mata kami yang melihat mereka. Tak selang lama, orang-orang itu pergi termasuk para wanita yang duduk di samping Mas Raka dan Daniel. Selepas kepergian mereka, Mas Raka dan Daniel berjalan mendekat. "Sayang ngapain kesini?" Mas Raka menarik kursi sampingku. Pertanyaan yang sama juga Daniel tujukan kepada Renata. "Makan tapi ga nafsu karena lihat suami orang mau saja digoda wanita." Aku menyindir mereka berdua. "Sayang beneran kami nggak ngapa-ngapain, wanita-wanita itu memang sengaja dibawa oleh klien dan memang seperti itu kelakuan klien kalau ketemu." Dia berusaha menjelaskan. Daniel juga mencoba membujuk Renata tapi respon Renata sama sepertiku. "Tadi bukannya bilang kalau nanti datang nggak bawa istri mau ditemani?" Cuitan Renata membuat Mas Raka dan Daniel saling tatap. Mereka mengusap rambut mereka karena frustasi. "Sayang bukan begitu maksudnya, itu kami menolak secara halus supaya tida
"Kamu tuh bisa aja." Mas Raka mencubit hidungku. Padahal baru pagi tadi berpisah, tapi rasanya seperti lama sekali. Kamar hotel jadi saksi bisu kerinduan kami, aku dan Mas Raka membayar rindu yang sudah kami tahan. Setelah melepas rindu kami bergegas membersihkan diri. Mas Raka yang masih ada kerjaan bersiap kembali untuk menemui Daniel. "Nggak usah buru-buru Mas, Daniel dan Renata pasti juga bergulat." Kataku sambil meletakkan berkas yang dia bawa. Terlihat Mas Raka mengerutkan alis, "Kamu kesini bersama Renata?" tanyanya. "Siapa lagi yang mengajakku jika bukan Renata." Jawabku dengan terkekeh. Mas Raka menggelengkan kepala, "Kalian ini." Ujarnya. Karena Daniel mungkin juga lagi sibuk kami memutuskan untuk mengobrol santai sambil bersua hingga ponsel mas Raka berdering. "Baik, aku akan segera keluar." Kata Mas Raka dalam sambungan telponnya. Usai memutuskan sambungan telponnya, Mas Raka bangkit dan mulai bersiap. "Sayang aku harus berangkat lagi."
Keesokannya Renata kembali datang ke rumah untuk membahas kepergian kita keluar negeri. "Bisa-bisanya kak Daniel melarang kita ikut!" Renata terlihat kesal. "Kalau nggak boleh ya sudah lah Renata kita di rumah saja." Kataku sambil tersenyum menenangkannya. "Gak bisa Amel, takutnya mereka disana main wanita." Ujar Renata. Mendengar ucapan Renata aku sontak tertawa, ternyata dia cukup posesif terhadap suaminya. "Mana mungkin ada wanita Renata." Ku coba untuk meredam rasa posesifnya. Renata menatapku dengan ekspresi heran, "Kamu nggak tau sih Amel, perjamuan bisnis diluar negeri tuh suguhannya wanita seksi, kalau suami kita khilaf gimana?" Jujur aku nggak kepikiran kesana, tapi setelah mendengar ucapan Renata entah mengapa aku sedikit was-was. "Lalu gimana?" tanyaku. "Kita susul mereka." Bibir Renata merekah, dia terlihat bangga dengan idenya barusan. "Baiklah kalau begitu, mari kita susul mereka nanti." Aku pun ikut tertawa. ####Hari ini adalah hari dimana Mas Raka
Semenjak acara empat bulanan, Renata sering datang ke rumah apalagi setelah Mas Raka yang menghandle urusan proyek Papa dengan Daniel. "Sayang Daniel akan menitipkan Renata kesini lagi." Kata Mas Raka sambil merapikan jasnya. "Iya Mas gak papa, jadi aku gak kesepian." Sahutku dengan tersenyum. Mas Raka menatapku dengan senyuman yang sulit kuartikan. "Maaf Sayang jika kehadiran Renata mungkin membuat kamu tidak nyaman." Katanya sendu. Jujur mendengar kata-katanya membuat aku tertawa, kehadiran Renata benar-benar membuat aku tidak kesepian lagipula wanita itu bukanlah Renata maduku dulu. "Mas kamu ngomong apa sih, aku tuh senang ada Renata disini." Ucapku dengan mencubit pipinya. "Takutnya kamu teringat kembali dengan masa lalu itu sayang." Entah mengapa aku semakin tertawa, mas Raka sungguh menggemaskan. Bagiku masa lalu biarlah menjadi masa lalu karena bagaimanapun juga yang terpenting saat ini adalah masa depan. Setiap orang pernah berbuat salah tapi ketika
"Daniel adalah kakak angkat Renata Ma, ceritanya dulu Daniel mencintai Renata sehingga dia diusir." Aku dan Mama malah menghibah di dapur membicarakan Renata dan Daniel. "Ada ya yang seperti itu." Mama nampak heran dengan apa yang aku katakan. Di dunia ini banyak yang terjadi, termasuk hal diluar nalar seperti ini tapi selama masih dalam syariat tentu tidak dipermasalahkan. "Kalau seperti ini Mama gak boleh benci sama dia atau Papa akan marah." Bisik Mama sambil menatapku. Kutahu Mama sedang meminta ijin padaku, mungkin mama masih beranggapan aku masih menyimpan dendam pada Renata. "Asal mama tahu aku yang menjadi mak jomblang mereka, aku juga yang memilih cincin pernikahan mereka." Bisikku. Ekspresi Mama seketika berubah, beliau meletakkan kembali yang dibawanya. "Apa! bagaimana bisa Amel?" "Ceritanya panjang Ma, kalau Amel ceritakan sekarang bisa-bisa nanti malam baru kelar." Suara tawaku mengundang tawa mama. Sungguh aku dah Mama mas Raka tidak seperti menantu dan m
Aaaa Aku yang takut sontak memeluk Mas Raka sementara Mas Raka tertawa. "Jangan takut ada aku." Bisiknya. "TV nya kenapa mati Mas?" Aku sedikit heran. Apakah ada pemadaman listrik? atau ada hal lain yang menyebabkan listri mati? Mas Raka melepas pelukanku lalu dia mengambil senter untuk memeriksa keadaan. Dengan bantuan senter ponsel Mas Raka membuka pintu balkon dan memang diluar semua nampak gelap, itu artinya memang ada pemadaman listrik. "Sayang memang mati lampu." Kata Mas Raka. "Ada lilin nggak Mas?" tanyaku sambil mengipas tubuhku karena sedikit gerah. "Ngapain pakai Lilin habis ini pasti nyala lampunya." Sahut Mas Raka. Ternyata benar beberapa saat kemudian lampu memang menyala tapi dari arah balkon keadaan diluar masih gelap. "Mas kenapa ada yang masih gelap dan ada yang sudah menyala?" Sambil mengerutkan alis. Sungguh aku bingung sendiri, apa memang seperti ini kompleks perumahan orang elit? Ketika mati lampu ada yang nyala dan ada yang tidak?
"Kamu siapa?" Mama Mas Daffa terlihat menatap Mas Raka dengan tatapan menyelidik terlihat pula tatapan sinis. "Saya suami Amel." Dengan tegas Mas Raka berucap. Raut wajah Mama Mas Daffa seketika berubah, "Syukurlah kalau kamu sudah punya suami Amel jadi tidak mengganggu Daffa." Wanita paruh baya itu berbicara sinis. Aku hanya tersenyum melihat ekspresinya, mungkin dia pikir aku akan mengganggu anaknya. Dari bangsal, Mas Daffa terdengar merintih. Dia nampak memegangi kepalanya. Melihatnya aku pun panik. "Mas kamu kenapa?" kulepas genggaman tangan Mas Raka. "Kepalaku pusing Amel." Ujarnya lirih. Mas Raka memencet bel sementara mamanya terus diam dengan ekspresi panik. Beberapa saat kemudian Dokter datang dan langsung memeriksa keadaan Mas Daffa. "Saya akan menyuntikkan obat pereda nyeri, benturan di kepala pasien yang menyebabkan rasa pusing." Seusia menyuntikkan obatnya, Dokter pamit kembali. Sebelum keluar beliau berpesan kalau keadaan Mas Daffa mas
"Mas aku kok pengen mangga ya." Bangun tidur entah mengapa bayangan mangga menari di kepalaku. Mas Raka mencubit hidungku, "Nanti setelah pulang kerja aku belikan di supermarket ya." Ujar Mas Raka sambil tersenyum. "Gak mau, aku pengennya mangga yang nggak mentah dan juga nggak matang, kalau di supermarket mangganya matang semua Mas." Kutatap Mas Raka dengan bibir maju. Mas Raka juga menatapku, raut wajahnya nampak berpikir. "Sayang cari dimana?" Aku menggeleng, aku tahu keinginanku agak keterlaluan, tapi gimana lagi ngidam seperti ini bukan inginku. Aku bukan istri yang mengada-ngada minta inu dan itu mengatasnamakan ngidam. Di bawah Mas Raka mencari info lewat pelayan, barangkali ada yang memiliki pohon mangga di rumah. Salah satu dari mereka ada yang memiliki pohon mangga tapi kampung mereka jauh diluar kota. Dari belakang suara Mama terdengar, "Apa yang kamu cari Raka?" Tanya Mama. Tanganku menyenggol tangan Mas Raka, aku mengkode Mas Raka agar diam. "Gak papa."