Dia menepis tanganku, lalu membuang wajahnya.
Melihat hal itu, aku semakin mengejarnya. "Jalang mana yang melakukannya, Mas? Katakan padaku!" "Bukan siapa-siapa!" ujarnya singkat tanpa mau menatapku. Aku tahu dia berbohong, karena tidak mungkin tanda itu tiba-tiba ada apabila tidak ada yang membuatnya. "Jujurlah Mas, biar jelas semua!" pintaku dengan suara lirih. "Pulanglah Amel, aku mau kerja." Dia melangkahkan kaki menuju meja kerjanya, kemudian membuka laptop. Sementara itu aku masih mematung menatapnya, menggumamkan kalimat lirih, “Entah terbuat dari apa hatimu, Mas.” Sekarang, aku yakin jika perkataan Ira benar. Mas Raka selingkuh. Akan tetapi, bukannya meminta maaf, pria itu justru bersikap seolah tak melakukan dosa. Menyerah dengan kediamannya, aku memutuskan pergi dari ruangannya. Semenjak meninggalkan ruangan Direktur Keuangan itu, air mataku tak berhenti menetes. Apakah mungkin aku akhiri saja pernikahan ini? Tapi, bagaimana dengan kedua orang tuaku? yang pasti mereka akan kecewa mengingat Mas Raka adalah menantu kesayangan mereka. Dilema menghantui pikiranku, sungguh aku tak tau apa yang harus aku lakukan. Setibanya di rumah, aku merebahkan diri di atas tempat tidur. Kulihat kembali media sosial wanita itu. Mataku terbelalak melihat dia beberapa menit yang lalu memposting video kebersamaannya dengan pria yang amat sangat aku kenal. Kunikmati setiap menit video kebersamaan mereka, bahkan bibirku bergetar menahan rasa sakitnya. Peluk dan cium dia lakukan kepada wanita itu, semetara aku? “Kenapa kamu bisa sehangat itu padanya, tapi sedingin itu padaku, Mas?” Rasa cemburu memasuki relung hatiku. Kuhentikan tangisku usai membandingkan bagaimana Mas Raka memperlakukan kami. Kuputuskan untuk bertanya langsung padanya nanti malam. Namun, hingga malam sudah datang, lelaki itu tak kunjung pulang. Kuambil ponsel dan menghubunginya, tapi panggilanku ditolak. Tak kehabisan akal, aku memutuskan untuk mengirim pesan singkat, tapi hanya centang satu. Malam itu, aku kembali tidur sendirian di ranjang dingin. Mungkin orang lain menganggapku wanita bodoh, sebab di malam itu, aku masih berharap Mas Raka pulang lalu memelukku dengan mesra sembari menggumamkan rasa bersalah. Sayang, hingga kumembuka mata, kondisi kamar kami tak berubah. Meja tempatnya menaruh tas masih kosong. Sisi tempat tidur masih rapi, keranjang baju kotor juga masih kosong. "Dia benar-benar tidak pulang," ujarku diikuti tawa kefrustrasian. Hari itu, aku berusaha berdamai dengan diriku. Aku tak ingin menangisi dia yang lebih memilih berbagi kehangatan dengan wanita lain. Alih-alih mengurung diri di rumah, aku memutuskan untuk bersosialisasi dengan teman-temanku. Tepat pukul delapan malam, aku baru pulang. Sesampainya di rumah, mobil Mas Raka sudah mengisi garasi. Sontak, bibirku melengkungkan senyum tipis yang tentu penuh sandiwara itu. Bibirku mungkin bisa melengkung, tetapi perasaan sakit itu masih bercokol di hati. "Jangan menangis Amel." Aku menyemangati diriku sendiri sebelum memasuki rumah. Kulangkahkan kaki masuk ke kamar yang berada di lantai dua. Saat aku masuk, kulihat Mas Raka duduk bersandar di sandaran tempat tidur. Tanpa kata, aku meletakkan belanjaanku, lalu duduk di sofa dan memainkan ponsel. Aku tahu kedua mata Mas Raka melirikku, tapi aku mengabaikannya karena hatiku sudah lelah dengan sikapnya. "Kamu dari mana?" Akhirnya dia dulu yang bertanya. "Mall." Aku meniru gayanya yang selalu menjawab pertanyaanku dengan singkat. "Kenapa baru pulang? Kenapa tidak menyiapkan makanan?" Dia bertanya lagi. Aku menatapnya, "Bukankah ada dia, Mas? Kenapa tidak meminta dia yang menyiapkan makanan?" Ingatan video-video serta foto mereka mencuat—bagaimana dia menyanjung serta memperlakukan wanita itu dengan hangat membuat tubuh ini bergetar, memaksa emosiku merangkak naik. "Dia siapa? Apa maksud kamu?" sahutnya masih tak merasa berdosa. Suara tawa keluar dari mulutku, sungguh pria di depanku ini, selain dingin, dia juga pandai mengelak. "Mas, jangan kira aku bodoh!” sungutku sambil menatapnya tajam. “Tanda di leher kamu itu sudah bukti nyata kalau kamu tidur dengan wanita lain, tapi kamu masih menyangkal?" teriakku mulai dikendalikan emosi. Tak habis pikir aku dengannya, dia ini pura-pura bego, apa gimana? Tak berapa lama, kudengar suara napasnya yang panjang. "Aku tidak sengaja tidur dengan wanita, semua ini ulah klien aku." Tanganku meremas ujung baju, hatiku perih mendengarnya. Dia tetap bersikeras menyembunyikan jalangnya. "Tidak sengaja tidur dengan wanita?" Tawaku mencuat semakin keras. "Gimana konsepnya itu?" Gelengan kepala aku tunjukkan. Mas Raka benar-benar menganggapku istri bodoh yang mudah dikelabui. Lelaki itu terlihat tak bergerak, sementara matanya tak pernah diam. Aku tahu, dia sedang mencari alasan. Geregetan, aku bangkit lalu duduk di sampingnya, di sisi ranjang dingin kami. Dengan tatapan tajam, aku berkata, "Apa wanita yang tak sengaja kamu tiduri bernama Renata?"Kulihat, raut wajah Mas Raka berubah. Dia yang semula menolak menatapku, kini melemparkan tatapan yang sama tajamnya.Dia terlihat sangat marah. "Siapa Renata?" katanya masih mengelak.Aku mengerutkan alis, "Kamu tak tahu siapa Renata, Mas?" Segera kuambil ponselku, lalu kutunjukkan foto-foto serta video mesranya bersama Renata. "Yakin kamu tidak mengenalnya?"Meski bibirku tegas akan kalimatku tapi mataku tidak bisa aku berbohong. Air mata yang menggambarkan betapa lemahnya aku, mulai menggenang."Kamu terlihat sangat menyayanginya, sedangkan denganku... kamu begitu dingin." "Kamu cari penyakit sendiri Amel,” ujarnya tak mau lagi melihat layar ponsel. “Sudah aku bilang jangan menggunakan sosial media, tapi kamu membangkang!" Tanpa rasa bersalah, dia justru memarahi aku. Aku melongo menatapnya, manusia seperti apa dia? Dia yang ketahuan berbuat salah, tetapi justru dia yang menyalahkan aku?"Nggak waras kamu Mas!" kataku kesal.Aku berusaha berdiri, tetapi Mas Raka berhasil mencengk
"Aku adalah apa?" Hatiku mulai was-was. Kutatap mereka bergantian dengan tatapan yang sudah berubah. Tatapan garang ku berubah menjadi tatapan sendu. Mas Raka masih bergeming, tersirat ekspresi kebingungan di wajahnya, sementara Renata masih menatapku dengan ekspresi sama.Kini Renata menatap Mas Raka, entah apa yang mereka pikirkan hingga kulihat sebuah gelengan kecil Mas Raka tunjukkan. "Apa? Apa yang kalian sembunyikan dariku?" Kembali aku bersuara mengejar kalimatnya yang menggantung. Tapi Mas Raka tetap saja bungkam begitu pula dengan Renata. Apa yang ingin dia katakan sebenarnya? kenapa tiba-tiba dia terbungkam?Sesaat kemudian suara Renata mencuat melengkapi kalimatnya yang belum usai. "Karena aku juga istrinya."Deg!Jantungku seakan berhenti berdetak, dalam waktu sekejap aku mematung, tak hanya itu ribuan pisau serasa menghujam hatiku secara bersamaaan, ucapannya benar-benar membuat aku terkejut dan sakit. Segera kutunjukkan gelengan kepala, sebagai bentuk protes akan u
“Tidak!” Dengan lantang Mas Raka menolak menceraikannya, hal itu membuat hatiku semakin sakit. “Baiklah Mas, tapi jangan harap rumah tangga kini bisa tenang,” sahut ku lirih. “Semua tergantung kamu, jika kamu mau mengerti rumah tangga kita akan baik-baik saja,” ujarnya. Aku menggeleng heran, bagaimana bisa semua akan baik-baik saja sementara dia membawa pemicu pertengkaran dalam rumah tangga kami? Aku yang benar-benar lelah hati dan pikiran membaringkan tubuhku, mengabaikannya yang masih terlihat ingin bicara dengan ku. “Aku ngantuk.” Dua kata untuk mengakhiri perbincangan kami. Walaupun sebenarnya aku tidak mengantuk, aku tetap memejamkan mata tanpa ingin membukanya.Pagi hari telah datang, baru saja aku membuka mata ku rasakan sakit kembali menghujam hatiku. Apa memang seperti ini rasanya dikhianati orang yang kita cintai? Hingga baru bangun saja rasa sakitnya langsung terasa? Netraku menatap dia yang masih terpejam, tanpa terasa air mataku mengalir, dia membuat aku terperan
"Sudahlah jangan seperti anak kecil." Katanya lalu dia pergi ke kamar mandi.Jujur aku lelah seperti ini, kemarahanku baginya hanya sikap berlebihan. Padahal aku juga ingin diperlakukan layaknya seorang istri.Tak ingin terus berdebat kusir dengan pria keras itu, aku memutuskan tidur. Lebih baik aku memejamkan mata daripada terus menambah luka. Tak terasa seminggu telah berlalu, kini kondisi Mas Raka sudah jauh lebih baik. “Aku hari ini masuk kerja, siapkan semua keperluanku.” Dari tempat tidur dia memerintahkan aku untuk menyiapkan segala sesuatunya. Aku tak merespon ucapannya, tapi meskipun begitu ketika dia mandi aku tetap menyiapkan keperluannya. Semua aku letakkan di atas tempat tidur, lalu aku keluar kamar. Aku pergi ke dapur untuk beres-beres dan sesaat kemudian terdengar suara langkah kaki mendekat. "Hanya ada roti?” Tanyanya ketika aku tengah mencuci piring. "Iya.” Aku menjawab pertanyaannya tanpa menoleh. "Sesuai sama yang kamu lihat di meja, Mas.""Kenapa kamu
"Seperti yang aku bilang Amel, pikirkan orang tuamu. Terlebih biaya rutin pengobatan ayah." Kembali jawaban itu yang kudapat, tak hanya menyiutkan nyalimu, jawaban itu juga memudarkan keinginanku untuk berpisah. Apa memang aku harus seperti nasibku? istri sah dan istri simpanan tinggal dalam satu atap? Kemudian, aku menatapnya dengan tatapan benci, kenapa dia selalu melukaiku? Pernikahannya saja aku menolak untuk menerima tapi kini, dia malah mendatangkan Renata kesini, apa dia ingin membuat neraka di dalam surgaku? Tak ada pilihan lain, aku pun menuruti keinginannya, mengijinkan maduku untuk tinggal bersama. Tak hanya itu aku juga turun ke bawah untuk menyambutnya. Sungguh ironi bukan? "Malam Amel." Sapaan lembut aku terima, bahkan wanita itu menjabat tanganku dan menunjukkan sederet giginya yang putih. Melihatnya aku hanya bisa menahan segala amarahku dan rasa kesalku. Namun sesaat kemudian kutatap dia sendu. Entah apa yang dipikiran oleh Mas Raka saat ini, entah a
Malam itu Mas Raka pulang dengan wajah sumringah, berbeda sekali dengan biasanya yang selalu muram. Apa karena ada Renata? Aku hanya bisa tersenyum ketir tanpa bisa protes akan sikapnya. "Amel gajiku sudah aku transfer di rekening kamu." Ujar pria dingin itu. "Kamu besok bisa membawa ayah kamu ke rumah sakit untuk kontrol." Sambungnya. Aku menatapnya, lalu anggukan kecil aku tunjukkan, meski jahat tapi dia masih memiliki perhatian untuk orang tuaku. "Iya." Kukembalikan pandanganku ke arah TV, ada rasa bersalah karena tak mampu berucap terima kasih padanya.Tapi memang semua berbeda sekarang, dulu aku selalu menyambutnya ketika gajian, makanan enak dan banyak selalu kusajikan sebagai bentuk rasa terima kasih. Diriku kini seperti raga tak bernyawa yang malas berinteraksi dengannya. Ternyata kediaman kumengundang keingintahuannya, bahkan kata-kata sedikit lembut dia ucapkan. "Kenapa? Kamu kelihatan lemas, apa kamu sakit?" Lagi-lagi gelengan yang aku tunjukkan. Pernikaha
Aku lama menunggunya, tapi tak ada panggilan masuk di ponselku, apa saja yang mereka beli sehingga lama sekali? Rasa lelah mulai menghampiriku lalu aku putuskan untuk menghubungi Mas Raka lebih dulu. Panggilanku masuk tapi tidak diterima lalu aku pergi ke supermarket tadi untuk mengecek, tapi tidak kutemui Mas Raka dan Renata. Apa mereka meninggalkan aku? Saat bersamaan, panggilan masuk kuterima."Kamu ke mana saja? Karena kamu lama sekali, jadi aku dan Renata pulang duluan. Kasihan Renata sudah lelah."Aku menahan senyum sinis. Jadi, dia menghukumku seperti ini? Apa susahnya dia coba telepon istrinya ini, tanya di mana, kasih tahu kalau dia sudah mau pulang?!Sudahlah, memang dasarnya mereka saja yang mau berduaan.Tak ingin terpancing amarah, aku mematikan sambungan telepon. "Kamu pikir aku takut pulang sendiri." Aku mengomel di hadapan layar ponselku. Dengan taksi online, aku pulang. Setibanya di rumah aku langsung masuk ke dalam. Kudengar canda tawa di dapur menggema.
Seketika raut wajahnya berubah, "Jika yang kamu maksud adalah nafkah batin. Aku ingatkan, jangan pernah berharap hal itu padaku!""Sebenarnya di hatimu ada tempat untuk diriku nggak sih Mas?" Aku terus menatapnya dengan nanar. Menanti jawaban yang akan dia bari padaku walaupun sebenarnya aku sudah tahu jawabannya. Seraut wajah bingung kulihat, lama pria itu bergeming. Entah apa yang dia pikirkan, lalu suaranya kembali mencuat. "Tidak penting ada atau tidak, yang terpenting kebutuhanmu semua kucukupi." Usai berucap demikian dia keluar kamar meninggalkan aku dalam rasa sakit. Sepanjang malam, ucapannya terngiang di kepalaku, jika aku tidak pernah ada di hatinya, untuk apa dia mau berumah tangga denganku? apa tujuannya? lantas di usia pernikahan yang baru seumur jagung kenapa dia menikah lagi? Segudang pertanyaan menari di kepalaku, rasanya sungguh pusing memikirkan jawaban yang tak kunjung kutemukan. Keesokannya di pagi hari, ketika aku bangun ku rasakan perutku sangat
Renata mengamuk? apa ini karena talak dari Mas Raka waktu itu? Aku mengangguk tanpa protes seperti biasanya. Sesampainya di rumah Renata, terlihat beberapa security di depan. "Ada apa Pak?" tanya Mas Raka. "Mohon maaf, istri Pak Raka terus berteriak dan mengamuk." Jawab security. Menurut kesaksian, Renata terus berteriak sudah semingguan yang lalu, para tetangga mengira mungkin karena pertengkaran dalam rumah tangga namun tadi setelah ada yang mencoba mengecek Renata justru mengamuk. Aku merinding mendengar ucapan mereka, ada rasa takut di hatiku. Lalu aku dan Mas Raka masuk ke dalam. Sungguh aku tak sampai hati melihatnya yang diikat dengan mulut yang dilakban. Ada apa dengannya? Aku dan Mas Raka mendekati Renata, wanita itu berontak seolah ingin mengucapkan sesuatu pada kami. "Renata tenanglah!" Pinta Mas Raka dengan tatapan sendunya. Renata menangis saat Mas Raka mengelus rambutnya. Aku pun ikut menangis, Mas Raka..... Lihatlah kelakuanmu yang telah membuatnya
Lupakan yang sudah-sudah? tentu tidak. Luka ini tidak bisa hilang begitu saja. Aku sungguh ingin pergi dari Mas Raka, tapi entah mengapa ada saja yang menarikku untuk dekat dengannya kembali. Orang tuaku, anak ini dan kini orang tuanya, kenapa mereka seolah ingin aku terus berada di sisi Mas Raka? Tuhan, apa kesakitanku ini adalah hal yang lumrah dirasakan seorang wanita sehingga untuk lepas dari sakit rasanya begitu sulit?Apakah benar tali takdir yang sudah terikat akan sulit dilepas? Pada akhirnya aku mengalah, mengikuti kemauan mama mertua untuk pulang bersama mereka. Di dalam mobil, aku terus diam. Pikiranku kacau tak menentu, dadaku rasanya sesak tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Sementara itu Mas Raka dia mencoba berbicara padaku. "Amel aku mohon jangan seperti ini." Dia mengiba sambil fokus menyetir. "Lalu bagaimana maumu?" tanyaku tanpa menatapnya."Bicaralah jangan diam saja." Dia meminta aku untuk bicara tapi apa yang akan aku bicarakan dengannya? Anggukan aku tu
Mas Raka melemparkan tatapan sendu ke mamanya, dia seperti kebingungan. Lalu dia menatap Renata yang juga menangis menatapnya. "Jangan Mas, kita sudah menikah. Aku lah yang kamu cintai bukan Amel!" pinta Renata. "Kamu sudah janji sama mendiang orang tuaku untuk selalu menjagaku." Dia menambahkan lagi. Melihatnya seperti ini aku tak tega meski dia sering menyakiti aku tapi tetap saja hati ini tak tega. Mungkin inilah harga yang harus Renata terima. Dulu sudah jelas kedua orang tua Mas Raka menolaknya namun dia tetap saja mau mendampingi Mas Raka walaupun dia hanya dijadikan istri simpanan. "Raka kalau kamu nekat bersamanya maka jangan anggap kami orang tua kamu lagi!" Ancam sang Papa. Beginilah kalau orang menyembunyikan bangkai, dan ketika kebusukannya terungkap bukan hanya dia yang tersakiti, orang di sekitarnya pun turut ikut merasakan imbasnya. "Pa, Ma jangan begitu. Biarlah mereka bahagia, Amel sudah ikhlas akan takdir Amel. Semua akan sama meski Amel nantinya buka
Mataku membola, ada apa? Sungguh hatiku menjadi tak karuan. "Baik Ma, Amel akan kesana." Aku pun memutuskan untuk kesana. "Ada apa Mel?" tanya Mas Daffa yang menunjukkan ekspresi khawatir. "Entah Mas Mertuaku menangis beliau meminta aku untuk pulang." Jawabku dengan menatapnya Mas Daffa terlihat menghela nafas, "Ada saja mereka," ujarnya kesal. Aku mengangguk, "Iya Mas." Aku meminta Mas Daffa untuk menepikan mobilnya, karena aku harus segera pergi ke rumah Mas Raka. "Aku akan mengantarmu Mel." Mas Daffa ternyata yang akan mengantarku ke rumah Mas Raka. Sungguh aku tak enak diantar olehnya tapi dia sendiri yang memaksaku agar mau diantar. "Kamu hati-hati ya Mel, hubungi aku jika ada apa-apa." Pesan Mas Daffa. Tak selang lama kami telah tiba di rumah Mas Raka, terlihat mobil Mertuaku dan mobil Mas Raka berjejer di carport. "Aku turun ya Mas, Terima kasih udah mau ngantar aku." Kutatap wajah Mas Daffa dengan senyuman. Setelah mengucapkan terima kasih
Mata Mas Raka membola, dia terlihat sangat syok mendengar penuturan ibu. "Maafkan Raka Bu." Ucapnya sambil menatap ibu nanar. "Sudah lama ibu menahan ini, hati ibu sakit melihat anak ibu diperlakukan buruk oleh kamu!" Maki ibu. Air mata ibuku mengalir, ibu mana yang rela melihat anaknya disakiti. "Tau begini dulu ibu tidak akan menerima lamaran kedua orang tua kamu!" Ibu meluapkan unek-uneknya, aku tak menyangka ibu akan emosi begini padahal selama ini ibu sangat tenang. Melihat ibu yang terisak aku pun turut menangis. "Sudah Bu, Amel mohon ibu jangan menangis. Ayah nanti bangun." Aku memohon pada ibuku untuk mengakhiri tangisannya, aku tidak mau masalahku menjadi beban untuk orang tuaku. Kini tatapanku tertuju pada Mas Raka, kuminta dia untuk pulang daripada kehadirannya disini membuat masalah. "Pulanglah!" kataku dengan menatapnya tajam. "Baik, maafkan aku Amel, ibu." Mas Raka lalu melangkahkan kaki pergi. Hari sudah malam, kuminta ibuku untuk istirahat, aku juga me
Senyuman ketir kutunjukkan, lalu aku bertanya seolah tak tahu apa maksud dari kata takut. "Takut kenapa Mas?" "Takut tak bisa memilikimu," jawabnya. Ku lempar tatapan nanar ke depan. Mas Daffa kamu sangat tampan, baik, jabatan tinggi pasti banyak wanita diluar sana yang mengejarmu, please jangan pertaruhkan masa depanmu hanya untuk aku yang bahkan statusku adalah istri orang. Saat aku perang dengan pikiranku, tangan Mas Daffa menyusup masuk dan memelukku dari belakang. Aku yang begitu syok mematung tanpa bisa menolak maupun menerima pelukannya. "Ijinkan aku menjadi penjagamu Amel." Bisiknya. Pelukannya semakin erat, Direktur utama itu bak ular piton yang hendak meremukkan mangsa. 'Mas jangan lakukan ini' Hatiku menjerit, memohon padanya agar melepaskan pelukannya namun tubuhku masih terkunci. Akhirnya dia melepaskan pelukannya juga, dan saat itu pula tubuhku kembali normal. Jam istirahat telah habis, aku dan Mas Daffa berjalan turun. Kami berpisah di lift lebih tepat
Aku membisu, seandainya kata-kata itu terucap beberapa bulan yang lalu mungkin akan aku pikirkan lagi niatan untuk berpisah namun sayang kata indah ini dia ucapkan ketika niatku sudah bulat. Meskipun aku adalah rumah baginya tapi dia bukanlah nahkoda di kapalku, aku bisa mendayung perahuku sendiri tanpa harus melibatkannya. "Terkadang tempat singgah juga lebih nyaman daripada rumah Mas." Ucapku lirih. "Tidak Amel." Sanggahnya. "Buktinya kamu dulu begitu mengagungkan tempat singgahmu itu!" Seusia kalimat itu kuucap, kami berdua saling diam. Tatapanku ke depan menatap sederet mobil yang sedari tadi tetap di tempatnya. Entah sampai kapan macet ini akan terurai sehingga aku lebih cepat lepas dari pria ini. Hingga satu jam berlalu namun mobil di depan tidak bergerak sedikit pun. Apa sebenarnya yang menyebabkan macet panjang ini? Aku mulai bertanya-tanya. Diriku yang lelah memutuskan untuk memejamkan mata, lebih baik aku tidur daripada diajak Mas Raka ngobrol yang tidak-t
Penolakan tegas terdengar dari mulut Renata, jelas dia tidak mau pulang naik taksi. "Aku nggak mau Mas!" Aku tersenyum sinis, "Tuh istri kamu tidak mau." Aku dan Ira bersiap berjalan tapi tangan Mas Raka menarik tanganku. "Tunggu Amel." Mas Raka meminta aku untuk menunggunya, lalu dia memberi Renata uang. "Jangan protes mengertilah Amel sedang hamil!" Katanya. Renata menerima uang itu dengan mata berkata, kutahu dia saat ini pasti kecewa dengan keputusan suami tercintanya ini. Sementara aku harus menerima konsekuensi atas ucapanku, seandainya aku tadi tidak menggertaknya mungkin saat ini aku pulang bersama Ira. Di mobil kami sekarang, kutatap kesal pria yang masih berstatus suamiku ini. "Mel bagaimana anak kita? apa dia terus menendang?" Dia membuka pembicaraan. "Iya." Kujawab singkat pertanyaannya. "Tidak bisakah kita tinggal bersama lagi Mel?" Pertanyaannya mengundang emosiku, segera ku lempar tatapan tajam ku padanya. "Aku sudah sangat senang bis
Sungguh kenapa jadi begini? kenapa mereka seperti anak ABG? apa mereka tidak sadar jika mereka ini adalah petinggi perusahaan besar? Usai makan aku kembali ke kantor tanpa memperdulikan mereka lalu aku mulai bekerja kembali. Sepulang dari kantor aku langsung pulang, aku tak menghiraukan pesan masuk yang memberi tawaran pulang bersama ataupun tawaran jemputan. Di rumah aku mengurung diri di kamar, sikap Mas Raka dan Mas Daffa mengusik pikiranku. Ibu sesekali datang ke kamar untuk mengecek keadaanku. "Amel baik-baik saja Bu." kataku sambil tersenyum manis. Ibu mengangguk lalu keluar dari kamarku. Tak selang lama sebuah sebuah pesan singkat aku terima. "Ira." Gumamku. Ternyata Ira datang ke rumahku, dia bilang jika sudah kangen karena lama tak bertemu. Dia juga meminta maaf karena tidak datang di acara empat bulananku kemarin. Tentu tak masalah bagiku jika Ira tak datang lagipula tidak ada yang spesial di acara itu. "Kamu kenapa Mel aku perhatikan seperti sedang mikir."