Dia menepis tanganku, lalu membuang wajahnya.
Melihat hal itu, aku semakin mengejarnya. "Jalang mana yang melakukannya, Mas? Katakan padaku!" "Bukan siapa-siapa!" ujarnya singkat tanpa mau menatapku. Aku tahu dia berbohong, karena tidak mungkin tanda itu tiba-tiba ada apabila tidak ada yang membuatnya. "Jujurlah Mas, biar jelas semua!" pintaku dengan suara lirih. "Pulanglah Amel, aku mau kerja." Dia melangkahkan kaki menuju meja kerjanya, kemudian membuka laptop. Sementara itu aku masih mematung menatapnya, menggumamkan kalimat lirih, “Entah terbuat dari apa hatimu, Mas.” Sekarang, aku yakin jika perkataan Ira benar. Mas Raka selingkuh. Akan tetapi, bukannya meminta maaf, pria itu justru bersikap seolah tak melakukan dosa. Menyerah dengan kediamannya, aku memutuskan pergi dari ruangannya. Semenjak meninggalkan ruangan Direktur Keuangan itu, air mataku tak berhenti menetes. Apakah mungkin aku akhiri saja pernikahan ini? Tapi, bagaimana dengan kedua orang tuaku? yang pasti mereka akan kecewa mengingat Mas Raka adalah menantu kesayangan mereka. Dilema menghantui pikiranku, sungguh aku tak tau apa yang harus aku lakukan. Setibanya di rumah, aku merebahkan diri di atas tempat tidur. Kulihat kembali media sosial wanita itu. Mataku terbelalak melihat dia beberapa menit yang lalu memposting video kebersamaannya dengan pria yang amat sangat aku kenal. Kunikmati setiap menit video kebersamaan mereka, bahkan bibirku bergetar menahan rasa sakitnya. Peluk dan cium dia lakukan kepada wanita itu, semetara aku? “Kenapa kamu bisa sehangat itu padanya, tapi sedingin itu padaku, Mas?” Rasa cemburu memasuki relung hatiku. Kuhentikan tangisku usai membandingkan bagaimana Mas Raka memperlakukan kami. Kuputuskan untuk bertanya langsung padanya nanti malam. Namun, hingga malam sudah datang, lelaki itu tak kunjung pulang. Kuambil ponsel dan menghubunginya, tapi panggilanku ditolak. Tak kehabisan akal, aku memutuskan untuk mengirim pesan singkat, tapi hanya centang satu. Malam itu, aku kembali tidur sendirian di ranjang dingin. Mungkin orang lain menganggapku wanita bodoh, sebab di malam itu, aku masih berharap Mas Raka pulang lalu memelukku dengan mesra sembari menggumamkan rasa bersalah. Sayang, hingga kumembuka mata, kondisi kamar kami tak berubah. Meja tempatnya menaruh tas masih kosong. Sisi tempat tidur masih rapi, keranjang baju kotor juga masih kosong. "Dia benar-benar tidak pulang," ujarku diikuti tawa kefrustrasian. Hari itu, aku berusaha berdamai dengan diriku. Aku tak ingin menangisi dia yang lebih memilih berbagi kehangatan dengan wanita lain. Alih-alih mengurung diri di rumah, aku memutuskan untuk bersosialisasi dengan teman-temanku. Tepat pukul delapan malam, aku baru pulang. Sesampainya di rumah, mobil Mas Raka sudah mengisi garasi. Sontak, bibirku melengkungkan senyum tipis yang tentu penuh sandiwara itu. Bibirku mungkin bisa melengkung, tetapi perasaan sakit itu masih bercokol di hati. "Jangan menangis Amel." Aku menyemangati diriku sendiri sebelum memasuki rumah. Kulangkahkan kaki masuk ke kamar yang berada di lantai dua. Saat aku masuk, kulihat Mas Raka duduk bersandar di sandaran tempat tidur. Tanpa kata, aku meletakkan belanjaanku, lalu duduk di sofa dan memainkan ponsel. Aku tahu kedua mata Mas Raka melirikku, tapi aku mengabaikannya karena hatiku sudah lelah dengan sikapnya. "Kamu dari mana?" Akhirnya dia dulu yang bertanya. "Mall." Aku meniru gayanya yang selalu menjawab pertanyaanku dengan singkat. "Kenapa baru pulang? Kenapa tidak menyiapkan makanan?" Dia bertanya lagi. Aku menatapnya, "Bukankah ada dia, Mas? Kenapa tidak meminta dia yang menyiapkan makanan?" Ingatan video-video serta foto mereka mencuat—bagaimana dia menyanjung serta memperlakukan wanita itu dengan hangat membuat tubuh ini bergetar, memaksa emosiku merangkak naik. "Dia siapa? Apa maksud kamu?" sahutnya masih tak merasa berdosa. Suara tawa keluar dari mulutku, sungguh pria di depanku ini, selain dingin, dia juga pandai mengelak. "Mas, jangan kira aku bodoh!” sungutku sambil menatapnya tajam. “Tanda di leher kamu itu sudah bukti nyata kalau kamu tidur dengan wanita lain, tapi kamu masih menyangkal?" teriakku mulai dikendalikan emosi. Tak habis pikir aku dengannya, dia ini pura-pura bego, apa gimana? Tak berapa lama, kudengar suara napasnya yang panjang. "Aku tidak sengaja tidur dengan wanita, semua ini ulah klien aku." Tanganku meremas ujung baju, hatiku perih mendengarnya. Dia tetap bersikeras menyembunyikan jalangnya. "Tidak sengaja tidur dengan wanita?" Tawaku mencuat semakin keras. "Gimana konsepnya itu?" Gelengan kepala aku tunjukkan. Mas Raka benar-benar menganggapku istri bodoh yang mudah dikelabui. Lelaki itu terlihat tak bergerak, sementara matanya tak pernah diam. Aku tahu, dia sedang mencari alasan. Geregetan, aku bangkit lalu duduk di sampingnya, di sisi ranjang dingin kami. Dengan tatapan tajam, aku berkata, "Apa wanita yang tak sengaja kamu tiduri bernama Renata?"Kulihat, raut wajah Mas Raka berubah. Dia yang semula menolak menatapku, kini melemparkan tatapan yang sama tajamnya.Dia terlihat sangat marah. "Siapa Renata?" katanya masih mengelak.Aku mengerutkan alis, "Kamu tak tahu siapa Renata, Mas?" Segera kuambil ponselku, lalu kutunjukkan foto-foto serta video mesranya bersama Renata. "Yakin kamu tidak mengenalnya?"Meski bibirku tegas akan kalimatku tapi mataku tidak bisa aku berbohong. Air mata yang menggambarkan betapa lemahnya aku, mulai menggenang."Kamu terlihat sangat menyayanginya, sedangkan denganku... kamu begitu dingin." "Kamu cari penyakit sendiri Amel,” ujarnya tak mau lagi melihat layar ponsel. “Sudah aku bilang jangan menggunakan sosial media, tapi kamu membangkang!" Tanpa rasa bersalah, dia justru memarahi aku. Aku melongo menatapnya, manusia seperti apa dia? Dia yang ketahuan berbuat salah, tetapi justru dia yang menyalahkan aku?"Nggak waras kamu Mas!" kataku kesal.Aku berusaha berdiri, tetapi Mas Raka berhasil mencengk
"Aku adalah apa?" Hatiku mulai was-was. Kutatap mereka bergantian dengan tatapan yang sudah berubah. Tatapan garang ku berubah menjadi tatapan sendu. Mas Raka masih bergeming, tersirat ekspresi kebingungan di wajahnya, sementara Renata masih menatapku dengan ekspresi sama. Kini Renata menatap Mas Raka, entah apa yang mereka pikirkan hingga kulihat sebuah gelengan kecil Mas Raka tunjukkan. "Apa? Apa yang kalian sembunyikan dariku?" Kembali aku bersuara mengejar kalimatnya yang menggantung. Tapi Mas Raka tetap saja bungkam begitu pula dengan Renata. Apa yang ingin dia katakan sebenarnya? kenapa tiba-tiba dia terbungkam? Sesaat kemudian suara Renata mencuat melengkapi kalimatnya yang belum usai. "Karena aku juga istrinya." Deg! Jantungku seakan berhenti berdetak, dalam waktu sekejap aku mematung, tak hanya itu ribuan pisau serasa menghujam hatiku secara bersamaaan, ucapannya benar-benar membuat aku terkejut dan sakit. Segera kutunjukkan gelengan kepala, sebagai bentuk pro
“Semua tergantung kamu Amel! jika kamu mau mengerti rumah tangga kita akan baik-baik saja!" ujarnya keras. Aku menggeleng heran, bagaimana bisa semua akan baik-baik saja sementara dia membawa pemicu pertengkaran dalam rumah tangga kami? Aku yang benar-benar lelah hati dan pikiran membaringkan tubuhku, mengabaikannya yang masih terlihat ingin bicara dengan ku. “Aku ngantuk.” Dua kata untuk mengakhiri perbincangan kami. "Kita belum selesai bicara Amel!" Kutahu dia marah ketika aku mengakhiri pembicaraan kami. Sebenarnya aku tidak mengantuk, hanya saja aku lelah berdebat dengannya. Pagi hari telah datang, aku memutar netraku hingga kulihat wajah Mas Raka. Melihat wajah tampannya, ku tak percaya dia bisa melukaiku begitu dalam. Ku rasakan sakit kembali menghujam hatiku. Apa memang seperti ini rasanya dikhianati orang yang kita cintai? Hingga baru bangun saja rasa sakitnya langsung terasa? Netraku terus menatap dia yang masih terpejam, tanpa terasa air mataku mengalir
Raut wajahku berubah sendu, seharusnya aku lah yang marah karena dia menamai kontak Renata dengan nama Istriku, sementara aku? hanya nama saja. "Ponsel kamu terus berdering, telingaku sakit mendengarnya!" Kataku dengan menatapnya. "Lain kali jangan lagi menolak panggilan yang masuk!" Ujarnya memperingatkan aku. "Menolak panggilan yang masuk atau hanya panggilan dari istriku saja." Aku semakin berani, kusindir dia. Agaknya sindiran ku membuat emosinya merangkak naik lagi. Dari tempatnya dia menatapku tajam, “Sudahlah Amel jangan mulai lagi." Aku hanya mengangguk, meski hatiku sakit tapi aku tak ingin mendebatnya lebih jauh, biarlah dia menyakitiku sesuka hatinya, toh lambat laun aku juga akan mati rasa. Tak terasa seminggu telah berlalu, kini Mas Raka sudah jauh lebih sehat. “Aku hari ini masuk kerja, siapkan semua keperluanku.” Dari tempat tidur dia memerintahkan aku untuk menyiapkan segala sesuatunya. Aku tak merespon ucapannya, tapi meskipun begitu ketika dia mandi
Aku menatapnya dengan tatapan benci, kenapa dia memaksakan kehendaknya seperti ini. Pernikahannya saja aku menolak untuk menerima tapi kini, dia malah mendatangkan Renata kesini, apa dia ingin membuat neraka di dalam surgaku? Tak ada pilihan lain, aku pun menuruti keinginannya. Aku turun ke bawah untuk menemui jalangnya. "Malam Amel." Sapaan lembut aku terima, bahkan wanita itu menjabat tanganku dan menunjukkan sederet giginya yang putih. Melihatnya aku hanya bisa menahan segala amarahku dan rasa kesalku. Namun sesaat kemudian kutatap dia sendu. Entah apa yang dipikiran oleh Mas Raka saat ini, entah apa yang menginspirasinya, sehingga dia membawa Renata pulang dan menyandingkannya denganku. "Kalian berbincang dulu." Ujarnya lalu dia masuk ke dalam. "Selamat Renata kamu berhasil menghidupkan ceritamu dan mematikan ceritaku. Kamu berhasil mengobrak abrik istanaku bersama Mas Raka." Kutatap dingin wanita itu, sungguh tak sudi aku hidup bersamanya. "Aku tidak mematikan ceri
“Mas, malam ini adalah malam Jumat. Apa kamu tidak menginginkannya?" tanyaku sambil menatap suamiku, Mas Raka yang berada di samping. "Aku hanya ingin tidur Mel," katanya diiringi tatapan tajam ke arahku. Selalu itu jawaban yang Mas Raka berikan ketika aku meminta nafkah batin darinya. Sekali lagi hatiku tertampar atas penolakannya. Aku membalikkan tubuh dan seperti biasa, menangis dalam diam dengan air mata yang mengalir dengan deras. Sebagai wanita normal, tentu aku menginginkan belaian dari suami yang kunikahi setahun lalu, tapi dia? Selalu acuh tak acuh, mengabaikan hasratku yang terus meronta untuk dipenuhi. Kelakuannya sungguh kontras dengan cerita teman-temanku yang mengatakan apabila pria matang gencar-gencarnya bercinta. Aku hanya bisa bertanya-tanya, apakah suamiku normal? Apa dia tidak memerlukan sebuah pelepasan? Apa dia tidak mencintaiku? Ataukah dia memiliki wanita lain? Seabrek asumsi negatif berputar di kepalaku, sehingga membuat dadaku semakin sesak. Lelah memi
Drrrrrtttt.Sebuah pesan singkat aku terima sore harinya.Ternyata, pesan itu dari Raka. Dalam pesannya dia bilang kalau malam ini dirinya tidak akan pulang, karena ada lembur. Aku berdecak. Dengan kesal, kubalas pesannya secara kilat.“Kemarin juga kamu lembur, Mas. Tidak bisa gantian sama yang lain?” tulisku pada layar, kemudian segera menekan tombol kirim.Tak lama, balasan darinya masuk.Lagi, bukan permintaan maaf yang kudapatkan. Dia hanya mengirimkan dua kata yang ditutup dengan tanda seru, "Jangan bawel!" Aku mengembuskan napas panjang. Entahlah, rasanya aku sudah menyerah dengan semua ini. Aku merasa jika semua yang aku lakukan percuma. Marah salah, diam sakit.Akhirnya, daripada berada di rumah dan terus memikirkan suamiku itu, aku pun memutuskan untuk keluar.Aku pergi ke sebuah kafe dengan temanku, Ira. Niatnya, aku hanya sekedar makan saja. Namun siapa sangka aku justru terbawa suasana. Aku mulai menceritakan kisah hidupku yang pilu pada temanku dan dia sangat terkejut
Aku menatapnya dengan tatapan benci, kenapa dia memaksakan kehendaknya seperti ini. Pernikahannya saja aku menolak untuk menerima tapi kini, dia malah mendatangkan Renata kesini, apa dia ingin membuat neraka di dalam surgaku? Tak ada pilihan lain, aku pun menuruti keinginannya. Aku turun ke bawah untuk menemui jalangnya. "Malam Amel." Sapaan lembut aku terima, bahkan wanita itu menjabat tanganku dan menunjukkan sederet giginya yang putih. Melihatnya aku hanya bisa menahan segala amarahku dan rasa kesalku. Namun sesaat kemudian kutatap dia sendu. Entah apa yang dipikiran oleh Mas Raka saat ini, entah apa yang menginspirasinya, sehingga dia membawa Renata pulang dan menyandingkannya denganku. "Kalian berbincang dulu." Ujarnya lalu dia masuk ke dalam. "Selamat Renata kamu berhasil menghidupkan ceritamu dan mematikan ceritaku. Kamu berhasil mengobrak abrik istanaku bersama Mas Raka." Kutatap dingin wanita itu, sungguh tak sudi aku hidup bersamanya. "Aku tidak mematikan ceri
Raut wajahku berubah sendu, seharusnya aku lah yang marah karena dia menamai kontak Renata dengan nama Istriku, sementara aku? hanya nama saja. "Ponsel kamu terus berdering, telingaku sakit mendengarnya!" Kataku dengan menatapnya. "Lain kali jangan lagi menolak panggilan yang masuk!" Ujarnya memperingatkan aku. "Menolak panggilan yang masuk atau hanya panggilan dari istriku saja." Aku semakin berani, kusindir dia. Agaknya sindiran ku membuat emosinya merangkak naik lagi. Dari tempatnya dia menatapku tajam, “Sudahlah Amel jangan mulai lagi." Aku hanya mengangguk, meski hatiku sakit tapi aku tak ingin mendebatnya lebih jauh, biarlah dia menyakitiku sesuka hatinya, toh lambat laun aku juga akan mati rasa. Tak terasa seminggu telah berlalu, kini Mas Raka sudah jauh lebih sehat. “Aku hari ini masuk kerja, siapkan semua keperluanku.” Dari tempat tidur dia memerintahkan aku untuk menyiapkan segala sesuatunya. Aku tak merespon ucapannya, tapi meskipun begitu ketika dia mandi
“Semua tergantung kamu Amel! jika kamu mau mengerti rumah tangga kita akan baik-baik saja!" ujarnya keras. Aku menggeleng heran, bagaimana bisa semua akan baik-baik saja sementara dia membawa pemicu pertengkaran dalam rumah tangga kami? Aku yang benar-benar lelah hati dan pikiran membaringkan tubuhku, mengabaikannya yang masih terlihat ingin bicara dengan ku. “Aku ngantuk.” Dua kata untuk mengakhiri perbincangan kami. "Kita belum selesai bicara Amel!" Kutahu dia marah ketika aku mengakhiri pembicaraan kami. Sebenarnya aku tidak mengantuk, hanya saja aku lelah berdebat dengannya. Pagi hari telah datang, aku memutar netraku hingga kulihat wajah Mas Raka. Melihat wajah tampannya, ku tak percaya dia bisa melukaiku begitu dalam. Ku rasakan sakit kembali menghujam hatiku. Apa memang seperti ini rasanya dikhianati orang yang kita cintai? Hingga baru bangun saja rasa sakitnya langsung terasa? Netraku terus menatap dia yang masih terpejam, tanpa terasa air mataku mengalir
"Aku adalah apa?" Hatiku mulai was-was. Kutatap mereka bergantian dengan tatapan yang sudah berubah. Tatapan garang ku berubah menjadi tatapan sendu. Mas Raka masih bergeming, tersirat ekspresi kebingungan di wajahnya, sementara Renata masih menatapku dengan ekspresi sama. Kini Renata menatap Mas Raka, entah apa yang mereka pikirkan hingga kulihat sebuah gelengan kecil Mas Raka tunjukkan. "Apa? Apa yang kalian sembunyikan dariku?" Kembali aku bersuara mengejar kalimatnya yang menggantung. Tapi Mas Raka tetap saja bungkam begitu pula dengan Renata. Apa yang ingin dia katakan sebenarnya? kenapa tiba-tiba dia terbungkam? Sesaat kemudian suara Renata mencuat melengkapi kalimatnya yang belum usai. "Karena aku juga istrinya." Deg! Jantungku seakan berhenti berdetak, dalam waktu sekejap aku mematung, tak hanya itu ribuan pisau serasa menghujam hatiku secara bersamaaan, ucapannya benar-benar membuat aku terkejut dan sakit. Segera kutunjukkan gelengan kepala, sebagai bentuk pro
Kulihat, raut wajah Mas Raka berubah. Dia yang semula menolak menatapku, kini melemparkan tatapan yang sama tajamnya.Dia terlihat sangat marah. "Siapa Renata?" katanya masih mengelak.Aku mengerutkan alis, "Kamu tak tahu siapa Renata, Mas?" Segera kuambil ponselku, lalu kutunjukkan foto-foto serta video mesranya bersama Renata. "Yakin kamu tidak mengenalnya?"Meski bibirku tegas akan kalimatku tapi mataku tidak bisa aku berbohong. Air mata yang menggambarkan betapa lemahnya aku, mulai menggenang."Kamu terlihat sangat menyayanginya, sedangkan denganku... kamu begitu dingin." "Kamu cari penyakit sendiri Amel,” ujarnya tak mau lagi melihat layar ponsel. “Sudah aku bilang jangan menggunakan sosial media, tapi kamu membangkang!" Tanpa rasa bersalah, dia justru memarahi aku. Aku melongo menatapnya, manusia seperti apa dia? Dia yang ketahuan berbuat salah, tetapi justru dia yang menyalahkan aku?"Nggak waras kamu Mas!" kataku kesal.Aku berusaha berdiri, tetapi Mas Raka berhasil mencengk
Dia menepis tanganku, lalu membuang wajahnya. Melihat hal itu, aku semakin mengejarnya. "Jalang mana yang melakukannya, Mas? Katakan padaku!" "Bukan siapa-siapa!" ujarnya singkat tanpa mau menatapku. Aku tahu dia berbohong, karena tidak mungkin tanda itu tiba-tiba ada apabila tidak ada yang membuatnya. "Jujurlah Mas, biar jelas semua!" pintaku dengan suara lirih. "Pulanglah Amel, aku mau kerja." Dia melangkahkan kaki menuju meja kerjanya, kemudian membuka laptop. Sementara itu aku masih mematung menatapnya, menggumamkan kalimat lirih, “Entah terbuat dari apa hatimu, Mas.” Sekarang, aku yakin jika perkataan Ira benar. Mas Raka selingkuh. Akan tetapi, bukannya meminta maaf, pria itu justru bersikap seolah tak melakukan dosa. Menyerah dengan kediamannya, aku memutuskan pergi dari ruangannya. Semenjak meninggalkan ruangan Direktur Keuangan itu, air mataku tak berhenti menetes. Apakah mungkin aku akhiri saja pernikahan ini? Tapi, bagaimana dengan kedua orang tuaku
Drrrrrtttt.Sebuah pesan singkat aku terima sore harinya.Ternyata, pesan itu dari Raka. Dalam pesannya dia bilang kalau malam ini dirinya tidak akan pulang, karena ada lembur. Aku berdecak. Dengan kesal, kubalas pesannya secara kilat.“Kemarin juga kamu lembur, Mas. Tidak bisa gantian sama yang lain?” tulisku pada layar, kemudian segera menekan tombol kirim.Tak lama, balasan darinya masuk.Lagi, bukan permintaan maaf yang kudapatkan. Dia hanya mengirimkan dua kata yang ditutup dengan tanda seru, "Jangan bawel!" Aku mengembuskan napas panjang. Entahlah, rasanya aku sudah menyerah dengan semua ini. Aku merasa jika semua yang aku lakukan percuma. Marah salah, diam sakit.Akhirnya, daripada berada di rumah dan terus memikirkan suamiku itu, aku pun memutuskan untuk keluar.Aku pergi ke sebuah kafe dengan temanku, Ira. Niatnya, aku hanya sekedar makan saja. Namun siapa sangka aku justru terbawa suasana. Aku mulai menceritakan kisah hidupku yang pilu pada temanku dan dia sangat terkejut
“Mas, malam ini adalah malam Jumat. Apa kamu tidak menginginkannya?" tanyaku sambil menatap suamiku, Mas Raka yang berada di samping. "Aku hanya ingin tidur Mel," katanya diiringi tatapan tajam ke arahku. Selalu itu jawaban yang Mas Raka berikan ketika aku meminta nafkah batin darinya. Sekali lagi hatiku tertampar atas penolakannya. Aku membalikkan tubuh dan seperti biasa, menangis dalam diam dengan air mata yang mengalir dengan deras. Sebagai wanita normal, tentu aku menginginkan belaian dari suami yang kunikahi setahun lalu, tapi dia? Selalu acuh tak acuh, mengabaikan hasratku yang terus meronta untuk dipenuhi. Kelakuannya sungguh kontras dengan cerita teman-temanku yang mengatakan apabila pria matang gencar-gencarnya bercinta. Aku hanya bisa bertanya-tanya, apakah suamiku normal? Apa dia tidak memerlukan sebuah pelepasan? Apa dia tidak mencintaiku? Ataukah dia memiliki wanita lain? Seabrek asumsi negatif berputar di kepalaku, sehingga membuat dadaku semakin sesak. Lelah memi