“Tidak!”
Dengan lantang Mas Raka menolak menceraikannya, hal itu membuat hatiku semakin sakit.
“Baiklah Mas, tapi jangan harap rumah tangga kini bisa tenang,” sahut ku lirih.
“Semua tergantung kamu, jika kamu mau mengerti rumah tangga kita akan baik-baik saja,” ujarnya.
Aku menggeleng heran, bagaimana bisa semua akan baik-baik saja sementara dia membawa pemicu pertengkaran dalam rumah tangga kami?
Aku yang benar-benar lelah hati dan pikiran membaringkan tubuhku, mengabaikannya yang masih terlihat ingin bicara dengan ku.
“Aku ngantuk.” Dua kata untuk mengakhiri perbincangan kami.
Walaupun sebenarnya aku tidak mengantuk, aku tetap memejamkan mata tanpa ingin membukanya.
Pagi hari telah datang, baru saja aku membuka mata ku rasakan sakit kembali menghujam hatiku. Apa memang seperti ini rasanya dikhianati orang yang kita cintai? Hingga baru bangun saja rasa sakitnya langsung terasa?
Netraku menatap dia yang masih terpejam, tanpa terasa air mataku mengalir, dia membuat aku terperangkap di antara benci dan cinta.
Aku menghapus air mataku lalu bangkit menuju kamar mandi, usai mandi aku keluar kamar.
Di meja makan aku duduk sambil makan roti, sehari kemarin aku tidak mengisi perutku sama sekali sehingga pagi ini aku merasa lapar.
Saat asik makan, terdengar bel berbunyi. “Siapa yang datang?” gumamku lalu berjalan membuka pintu.
“Mama, Papa!” Sungguh aku terkejut dengan kedatangan mereka.
Mama Mas Raka langsung memelukku sementara papanya mengusap rambutku dengan lembut.
“Raka mana? Mama dan Papa baru mendengar kabar jika dia habis kecelakaan.” Terlihat kekhawatiran di wajah Mama Mas Raka.
“Mas Raka masih tidur Ma,” jawabku dengan tersenyum.
Lalu ku ajak mereka masuk dan mengobrol di ruang tamu.
Wanita paruh baya itu meletakkan rantang yang dibawa di atas meja, “ini Mama buatkan bubur untuk Raka, dan beberapa makanan yang lain.”
“Terima kasih Ma, Mama repot sekali,” ujarku dengan menatap Mama mertuaku.
Wanita itu menatapku lekat kemudian mendekat, “Amel kamu pucat sekali.” Rasa khawatir yang semula untuk Mas Raka kini beralih untukku.
“Tidak apa-apa Ma, mungkin kelelahan.” Aku berbohong karena tidak mungkin aku bilang yang sebenarnya.
Mama Mas Raka kembali memelukku, “Pasti mengurus Raka sendiri membuat kamu begini.”
Mertuaku sungguh menyayangiku tapi entah mengapa anaknya begitu tega padaku.
Aku menggeleng, kuminta wanita paruh baya itu agar tidak khawatir padaku dan mengatakan mengurus suami adalah kewajiban seorang istri.
Karena ingin mengetahui keadaan Mas Raka, mama dan Papa meminta aku untuk membawa mereka ke kamar.
Anggukan kecil kutunjukkan, setibanya di kamar ternyata Mas Raka sudah bangun, dia terlihat tengah melakukan Video call.
Waktu melihat kedatangan kami dia buru-buru meletakkan ponselnya.
“Mama! Papa!” Dia begitu terkejut.
Mama dan Papanya segera mendekat, mereka bertanya keadaannya namun setelahnya Mama terlihat marah karena Mas Raka tidak hati-hati dalam berkendara.
“Untung lukanya tidak parah.” Kata Mama. “Lihatlah kasian istri kamu.” Sambung Papa.
Seolah tak terjadi apa-apa aku turut berbincang, tak hanya itu aku juga mengambilkan Mas Raka bubur yang dibawa mamanya tadi.
“Tolong suapin sekalian Mel, tanganku masih sakit.” Pintanya.
Aku menatapnya dengan merapatkan gigi lalu menghela nafas, “Baik Mas.” Karena ada mertuaku saja aku mau begini.
Melihat kami, Mama dan Papa bahagia. Mereka senang karena rumah tangga kami sangat baik bahkan Mas Raka nampak manja padaku.
Sungguh aku tak habis pikir dengan Mas Raka, bagaimana bisa mengkhianati kepercayaan kedua orang tuanya.
Setelah buburnya habis, dia memintaku untuk mengambil obat.
Dari kamar kami pindah ke ruang keluarga, disana kami kembali berbincang hingga sudah waktunya mertuaku pulang.
Semua kembali seperti semula, sikap baik tadi hanya pura-pura semata.
“Amel bantu aku kembali ke kamar.” pintanya.
Kutatap dia dengan tatapan kesal, masih memerlukan aku untuk merawatnya tapi mengapa tega menyakiti aku.
Meski kesal dan terpaksa, aku tak memiliki pilihan lain selain membantunya naik ke atas.
“Istirahatlah Mas.” Kataku.
Baru sebentar saja Mas Raka sudah tertidur mungkin pengaruh obat yang dia minum tadi.
Saat beres-beres terdengar ponsel Mas Raka berbunyi, awalnya aku mengabaikan panggilan yang masuk itu namun lama-lama aku kesal pasalnya ponsel itu terus saja berbunyi.
“Siapa sih.” Aku berjalan menuju nakas tempat ponsel itu berada.
Melihat nama yang muncul di layar, hatiku meremang, rasa sakit yang teralihkan karena kedatangan orang tua Mas Raka kini mencuat kembali.
Istriku memanggil, sungguh dia menganggap Renata adalah istrinya sedangkan aku, mungkin aku hanya istri bayangan, yang kehadiranku tak berarti untuknya.
Tanganku tergerak untuk menolak panggilan dari Renata, namun bukannya menyudahi panggilannya wanita ini justru menelpon Mas Raka lagi dan lagi.
“Apa sih maunya!”
Tak ingin terganggu dengan panggilan Renata aku pun meletakkan ponsel Mas Raka di dalam laci.
Senyuman tersungging di bibir ku, biarlah wanita itu menelpon hingga lelah.
Setelah dua jam tidur, Mas Raka bangun. Terlihat dia kebingungan mencari sesuatu.
“Amel kamu tahu dimana ponselku?” Tanyanya.
“Di dalam laci.” Jawabku ketus.
Buru-buru dia membuka laci lalu mengambil ponselnya. Kulihat raut wajahnya berubah, seperti ada kekhawatiran.
“Amel kamu menolak panggilan dari Renata?” Dia menatapku dengan tatapan tajamnya.
Melihat sikapnya hatiku sangat sakit tapi aku tak mau rapuh di hadapannya.
“Tidak, aku hanya menolak panggilan dari istriku.” Aku berdecih, puas melihat reaksinya yang mati kutu. “Renata kamu namai istriku sementara aku cukup nama saja.” Lagi-lagi aku menyindir Mas Raka.
Dari tempatnya dia menatapku tajam, "Kenapa sih kamu suka sekali mempermasalahkan hal-hal kecil! hanya nama kontak saja kenapa jadi masalah!"
Suaranya masih tinggi meski tatapannya sudah tak mengarah padaku. "Baiklah, kalau begitu samakan nama kontak kami!"
"Sudahlah jangan seperti anak kecil." Katanya lalu dia pergi ke kamar mandi.Jujur aku lelah seperti ini, kemarahanku baginya hanya sikap berlebihan. Padahal aku juga ingin diperlakukan layaknya seorang istri.Tak ingin terus berdebat kusir dengan pria keras itu, aku memutuskan tidur. Lebih baik aku memejamkan mata daripada terus menambah luka. Tak terasa seminggu telah berlalu, kini kondisi Mas Raka sudah jauh lebih baik. “Aku hari ini masuk kerja, siapkan semua keperluanku.” Dari tempat tidur dia memerintahkan aku untuk menyiapkan segala sesuatunya. Aku tak merespon ucapannya, tapi meskipun begitu ketika dia mandi aku tetap menyiapkan keperluannya. Semua aku letakkan di atas tempat tidur, lalu aku keluar kamar. Aku pergi ke dapur untuk beres-beres dan sesaat kemudian terdengar suara langkah kaki mendekat. "Hanya ada roti?” Tanyanya ketika aku tengah mencuci piring. "Iya.” Aku menjawab pertanyaannya tanpa menoleh. "Sesuai sama yang kamu lihat di meja, Mas.""Kenapa kamu
"Seperti yang aku bilang Amel, pikirkan orang tuamu. Terlebih biaya rutin pengobatan ayah." Kembali jawaban itu yang kudapat, tak hanya menyiutkan nyalimu, jawaban itu juga memudarkan keinginanku untuk berpisah. Apa memang aku harus seperti nasibku? istri sah dan istri simpanan tinggal dalam satu atap? Kemudian, aku menatapnya dengan tatapan benci, kenapa dia selalu melukaiku? Pernikahannya saja aku menolak untuk menerima tapi kini, dia malah mendatangkan Renata kesini, apa dia ingin membuat neraka di dalam surgaku? Tak ada pilihan lain, aku pun menuruti keinginannya, mengijinkan maduku untuk tinggal bersama. Tak hanya itu aku juga turun ke bawah untuk menyambutnya. Sungguh ironi bukan? "Malam Amel." Sapaan lembut aku terima, bahkan wanita itu menjabat tanganku dan menunjukkan sederet giginya yang putih. Melihatnya aku hanya bisa menahan segala amarahku dan rasa kesalku. Namun sesaat kemudian kutatap dia sendu. Entah apa yang dipikiran oleh Mas Raka saat ini, entah a
Malam itu Mas Raka pulang dengan wajah sumringah, berbeda sekali dengan biasanya yang selalu muram. Apa karena ada Renata? Aku hanya bisa tersenyum ketir tanpa bisa protes akan sikapnya. "Amel gajiku sudah aku transfer di rekening kamu." Ujar pria dingin itu. "Kamu besok bisa membawa ayah kamu ke rumah sakit untuk kontrol." Sambungnya. Aku menatapnya, lalu anggukan kecil aku tunjukkan, meski jahat tapi dia masih memiliki perhatian untuk orang tuaku. "Iya." Kukembalikan pandanganku ke arah TV, ada rasa bersalah karena tak mampu berucap terima kasih padanya.Tapi memang semua berbeda sekarang, dulu aku selalu menyambutnya ketika gajian, makanan enak dan banyak selalu kusajikan sebagai bentuk rasa terima kasih. Diriku kini seperti raga tak bernyawa yang malas berinteraksi dengannya. Ternyata kediaman kumengundang keingintahuannya, bahkan kata-kata sedikit lembut dia ucapkan. "Kenapa? Kamu kelihatan lemas, apa kamu sakit?" Lagi-lagi gelengan yang aku tunjukkan. Pernikaha
Aku lama menunggunya, tapi tak ada panggilan masuk di ponselku, apa saja yang mereka beli sehingga lama sekali? Rasa lelah mulai menghampiriku lalu aku putuskan untuk menghubungi Mas Raka lebih dulu. Panggilanku masuk tapi tidak diterima lalu aku pergi ke supermarket tadi untuk mengecek, tapi tidak kutemui Mas Raka dan Renata. Apa mereka meninggalkan aku? Saat bersamaan, panggilan masuk kuterima."Kamu ke mana saja? Karena kamu lama sekali, jadi aku dan Renata pulang duluan. Kasihan Renata sudah lelah."Aku menahan senyum sinis. Jadi, dia menghukumku seperti ini? Apa susahnya dia coba telepon istrinya ini, tanya di mana, kasih tahu kalau dia sudah mau pulang?!Sudahlah, memang dasarnya mereka saja yang mau berduaan.Tak ingin terpancing amarah, aku mematikan sambungan telepon. "Kamu pikir aku takut pulang sendiri." Aku mengomel di hadapan layar ponselku. Dengan taksi online, aku pulang. Setibanya di rumah aku langsung masuk ke dalam. Kudengar canda tawa di dapur menggema.
Seketika raut wajahnya berubah, "Jika yang kamu maksud adalah nafkah batin. Aku ingatkan, jangan pernah berharap hal itu padaku!""Sebenarnya di hatimu ada tempat untuk diriku nggak sih Mas?" Aku terus menatapnya dengan nanar. Menanti jawaban yang akan dia bari padaku walaupun sebenarnya aku sudah tahu jawabannya. Seraut wajah bingung kulihat, lama pria itu bergeming. Entah apa yang dia pikirkan, lalu suaranya kembali mencuat. "Tidak penting ada atau tidak, yang terpenting kebutuhanmu semua kucukupi." Usai berucap demikian dia keluar kamar meninggalkan aku dalam rasa sakit. Sepanjang malam, ucapannya terngiang di kepalaku, jika aku tidak pernah ada di hatinya, untuk apa dia mau berumah tangga denganku? apa tujuannya? lantas di usia pernikahan yang baru seumur jagung kenapa dia menikah lagi? Segudang pertanyaan menari di kepalaku, rasanya sungguh pusing memikirkan jawaban yang tak kunjung kutemukan. Keesokannya di pagi hari, ketika aku bangun ku rasakan perutku sangat
Dengan gamblang kulihat pria yang menikahiku setahun yang lalu itu tak berbusana. Aku selalu ingin melihat tubuhnya tapi tidak dengan cara seperti ini. Sungguh kini aku justru jijik melihatnya. "Kenapa tidak melakukannya di kamar?" Aku bersuara keras menatap mereka tajam-tajam. "Kamu lagian ngapain tidak ketuk pintu dulu kalau sudah pulang!" Sungguh Mas Raka pintar sekali menjawab, malah menyalahkan aku dengan alasan tak mengetuk pintu. Malas mendebatnya aku pun membalilkan badan dan segera pergi ke kamar. Pikiranku yang sudah penuh dengan penyakit ayah kini ditambah lagi pemandangan menjijikkan mereka. Kesal dan marah bercampur jadi satu. Mataku yang masih suci ini harus ternoda akibat adegan liar mereka. Layaknya berhubungan badan dilakukan di dalam kamar, mengingat ada penghuni lain di rumah tapi agaknya mereka mengabaikan keberadaanku. Segitu tak pentingnya diriku di mata mereka? "Hari ini mengapa begitu banyak yang terjadi." Sambil kuusap rambutku dengan kas
Sambil menangis ku punguti bajuku satu persatu, Rasanya benar-benar sakit. Dengan menahan sakit di bagian sensitifku aku pergi ke kamar mandi. Kuguyur tubuhku dengan air, kugosok bagian tubuh yang terjamah olehnya dengan sabun. Berharap aroma percintaan tadi menghilang namun sayang ingatan di kepala sampai kapanpun tak akan pernah menghilang. "Raka!!! kamu sungguh biadab." Di bawah guyuran air yang mengalir, aku menangis histeris, kenapa dia sangat kejam padaku. Aku ini adalah pasangannya bukan musuh yang tak sepatutnya dibenci. Serangkaian penyesalan kini berdatangan menghampiriku, aku menyesal telah menerima perjodohan setahun lalu, aku menyesal membuat hidupku dan hidupnya terikat. Aku menyesal, sungguh aku menyesal telah mencintainya. Cinta yang kurawat selama setahun kini musnah sudah, hanya menyisakan luka dan rasa benci yang teramat sangat. Puas menangis, aku segera membersihkan diri lalu keluar. Kutatap ranjang dinginku yang kini sudah ternoda dengan perbuata
Buru-buru kuusap air mataku dengan tangan, lalu tersenyum padanya. Rasanya sungguh malu lama tak bertemu dan sekalinya bertemu aku malah dalam keadaan seperti ini. Pria itu juga menatapku sambil berekspresi heran. "Kamu menangis?" Aku menggeleng pelan, "Tidak, mataku kelilipan." Jawabku berbohong sambil pura-pura mengucek mata. Dia hanya tersenyum tipis, entah Mas Daffa percaya atau tidak namun yang jelas aku tidak bisa mengaku akan apa yang terjadi padanya. Mas Daffa adalah seniorku dulu di kampus, dia selalu perhatian padaku bahkan beberapa kali mengungkap perasaannya tapi karena dulu aku dilarang pacaran oleh ayah akhirnya aku selalu menolak cintanya. Meskipun aku selalu menolak cintanya tapi tak membuatnya menyerah, aku sampai heran melihat sikapnya, bagaimana bisa dia begitu gigih. Kami tak lagi bertemu setelah dia lulus kuliah, karena dia harus melanjutkan kuliah S2 diluar negeri. Namun siapa sangka malam ini kami dipertemukan kembali. "Kamu ngapain disini Ma
Keesokan harinya tubuhku rasanya pegal semua, keganasan Mas Raka semalam benar-benar membuatku sampai memohon ampun. "Kamu kenapa sayang?" tanyanya sambil menatapku. Aku memberengut kesal, "Kenapa-kenapa ini karena keganasan kamu semalam Mas." Bibir refleks maju ke depan. Dia tertawa kemudian memelukku, "Sekali lagi boleh?" Mataku melongo menatapnya, tubuhku sudah remuk begini dia meminta sekali lagi? "Mas kita lanjut nanti ya, aku harus memasak." Buru-buru aku bangkit dan pergi ke kamar mandi. Setelah membersihkan diri aku menyiapkan keperluannya. "Mas dasi warna abu-abunya kok ga ada ya." Aku berkali-kali mencari dasi warna abu namun tak ketemu. Mas Raka tertawa dan hal itu membuat aku kesal. "Bantu cari dong Mas kamu kenapa malah tertawa." Ujarku sambil memberengut. Dia berjalan ke arahku kemudian mengambil dasi yang ternyata ada di leherku. "Ini apa Sayang." Bisiknya. Aku yang malu hanya tertawa. "Maaf Mas." Bukannya segera memakai bajunya, Mas Raka malah men
Mas Raka menjelaskan semua, Kakak Renata sengaja menyebarkan rumor buruk tentang hotel keluarga kami ya tujuannya untuk menghancurkan Mas Raka kembali. Tanganku sontak mengepal, orang ini benar-benar gila. Apa belum puas dia sudah membuat dua direktur resign tanpa mendapatkan apa-apa. "Dia benar-benar!" batinku. Aku harus melawan rasa takutku, ya aku harus menemui Kakak Renata, meskipun dia seorang mafia tapi negara ini adalah negara hukum jadi tak mungkin melakukan hal buruk padaku. Keesokan harinya setelah Mas Raka berangkat ke hotel, aku datang ke kantornya dahulu untuk menemui Kakak Renata. "Semoga saja pria busuk itu disini." Gumamku. Aku meminta supir dan security rumahku menunggu di mobil. Diam-diam aku naik ke atas ke ruangan CEO. Benar saja saat aku mengetuk pintu ada sahutan dari dalam. Saat aku berdiri di hadapannya dia memelototkan mata. "Kamu! beraninya staf biasa masuk ke ruanganku!" Makinya dengan menatapku tajam. "Aku bukan staff disini." Ujarku. Sebenarnya
Mulutku terbuka lebar-lebar, aku sungguh tak menyangka jika bertemu dengan kakak Renata di lift. Dari wajahnya memang pria ini terlihat garang, dia juga sangat dingin lebih dingin dari sikap Mas Raka dulu, pantas sekali dia menjadi seorang mafia kelas kakap di negara ini."OMG dia kakak Renata.":batinku dengan terus menatapnya. Pria itu juga menatapku kemudian berkomentar pedas, "Kenapa kamu terus menatapku! suka?" Suara dinginnya membuat aku segera melemparkan tatapan. Lawak juga nih orang, bisa-bisa berkata seperti itu! mana mungkin aku suka, wajahnya saja menyeramkan. Aku mendengus kesal meskipun di dunia ini lelaki tinggal dia seorang, aku tak mungkin suka. "Maaf tapi kamu bukan tipeku." Ujarku ketus. Kebetulan live telah tebuka dia melangkahkan kaki keluar.Saat dia keluar aku menghela nafas dalam-dalam. "Syukurlah." Sambil mengelus dada. Setibanya di ruangan mas Raka aku segera memberikan berkas yang dia minta."Terima kasih sayang maaf aku merepotkanmu," katanya lalu men
"Posesif sekali kamu Raka, tenang saja aku tidak akan mengambil amal darimu." Ujar Mas Daffa dengan tertawa.Aku juga tertawa, "Dia sekarang bucin akut Mas." Aku turut menimpali ucapan Mas Daffa. Kami bertiga tertawa bersama, syukurlah Mas Daffa dan Mas Raka kini tidak bermusuhan lagi. Setelah mengobrol random Mas Daffa pamit pulang sedangkan kami selepas kepulangannya kembali ke kamar. Di dalam kamar kami mengobrol kembali hingga akhirnya kami memutuskan untuk istirahat mengingat malam sudah sangat larut. Keesokan paginya aku melakukan aktivitasku seperti biasa, mask, bersih-bersih dan menyiapkan keperluan Mas Raka. Mas Raka pagi ini berangkat lebih awal karena dia harus bertemu Mas Daffa kembali untuk membahas Kakak Renata. "Dibahas lagi Mas, bukankah semalam sudah selesai." Kataku sambil menyiapkan bekal makannya. "Aku mendapatkan kabar buruk sayang." Jawab Mas Raka sambil menunjukkan ponselnya. "Perusahaan terancam bangkrut." Mataku rasanya mau keluar membaca berita itu.
Mas Raka menggeleng, agaknya mas Raka juga bingung dengan hal ini. "Entahlah Sayang, aku akan menyelidikinya." Ujar Mas Raka. Aku mengangguk paham. Sepanjang jalan, aku masih mengingat kejadian tadi. Kini aku tidak berani kemana-mana sendiri, Renata sungguh meresahkan. "Mas tapi bagaimana bisa Mas Daffa datang menyelamatkan kita?" Aku yang baru menyadari hal itu segera bertanya pada Mas Raka. "Tadi aku keluar sama atasanku, ternyata kami bertemu dengan Daffa untuk membahas kerja sama waktu itu." Jelas Mas Raka. "Oh gitu jadi tadi pas kamu telpon, ada Mas Daffa? dan Mas Daffa tahu?" Kembali aku bertanya. Mas Daffa yang berada di belakang mobil kami melaju mendahului karena memang arah rumah kami berlawanan. Setibanya di rumah Mas Raka melakukan banyak panggilan, dia berusaha keras untuk menyelidiki Renata. "Mas makan dulu." Aku sengaja membawa makanan ke ruang kerjanya karna kutahu suamiku kini malas makan. "Nanti dulu Sayang," katanya tanpa melihatku. "Aku lapar
Aku segera berteriak agar Mas Raka tidak masuk, "Jangan Mas!" Namun Renata segera memutuskan sambungan telponnya. Dia kemudian menatapku, "Kamu pikir paling pintar Amel!" Ujarnya lalu berjalan mendekat ke arahku. Wanita itu mencengkeram daguku. "Aku sengaja membiarkan kamu memberikan info padanya biar dia kesini!" Lalu dengan keras dia membuang wajahku. "Dasar wanita jahat!" Teriakku. Tak selang kemudian, seseorang datang melapor. Renata tertawa kemudian memberi perintahnya. "Bawa dia masuk." katanya. Kutahu pasti Mas Raka yang datang. Dan benar saja Mas Raka masuk dengan dikawal dua orang. Melihat Mas Raka Renata nampak marah, wanita ini terlihat begitu menyimpan dendam pada mantan suaminya. "Hai Raka!" Dia berjalan menatap Mas Raka. "Lepaskan Amel Renata! urusanmu denganku bukan dengannya!" Ujar Mas Raka dengan lantang. Renata tertawa sinis, "Jelas ada Raka, dialah yang membuat kamu menceraikan aku, dia juga yang membuat aku menderita!" Teriaknya. "Kenapa
Mas Raka langsung mendekat, "Ada apa Sayang?" tanya Mas Raka panik. "Lihatlah Mas." Aku tunjukkan foto yang dikirim nomor asing itu. Mas Raka mengepalkan tangannya, "Apa maksudnya." Ujarnya marah. Pria itu menelpon nomor asing tersebut. "Nomornya tidak aktif sayang." Aku duduk dan terdiam, memikirkan foto itu. "Kira-kira apa maksudnya si pengirim itu ya Mas, kenapa foto kucing berlumuran darah dia kirim ke aku?" Ku pandang Mas Raka. "Entahlah Sayang, sudah jangan kamu pikirkan." Mas Raka membujuk aku. Aku mengangguk, kemudian Mas Raka meminta aku untuk istirahat. "Kamu istirahat dulu, aku harus kembali bekerja." Ujar Mas Raka lalu mengecupku. Pikiranku benar-benar kacau, pesan ini jelas bukan pesan iseng melainkan sebuah ancaman, apa si pengirim pesan ingin membunuh aku seperti kucing itu? 'Apa ini perbuatan Renata?' Aku membatin dan menerka jika itu adalah Renata. Lelah memikirkan foto yang dikirim tadi, aku memutuskan untuk tidur. Entah berapa lam
Aku benar-benar tak tahu dimanapun aku berada rasanya selalu ada yang mengawasi, apa itu benar Renata atau hanya pikiranku saja? Sudah sebulan ini aku terus terganggu dengan hal itu, hingga aku stres sendiri. "Sudah Sayang jangan memikirkan hal itu," bujuk Mas Raka. "Tapi aku merasa ada yang mengawasi Mas." Dalam pelukan Mas Raka aku menangis, mengeluhkan apa yang aku rasakan. Pria itu dengan lembut mengelus rambutku, kutau dia juga sangat mencemaskanku. Dia dan Mas Daffa telah melakukan hal terbaik untukku tapi tetap saja akun merasa tak tenang. Hingga suatu siang saat Mas Raka ada meeting di luar kota, dia tidak bisa datang ke kantor untuk makan siang, sementara Mas Daffa juga sama. Aku yang lapar terdiam di lobi, antara keluar atau memesan makanan saja. Ketika ragu salah satu temanku mengajak aku makan di depot sebelah. "Amel ayo." Ajaknya. Akhirnya aku ikut dengannya, pikirku mungkin selama ini aku hanya terlalu banyak pikiran saja sehingga merasa jika a
Aku meyakinkan mas Raka jika aku akan aman meskipun aku bekerja. Karena tidak mungkin Renata datang menemuiku di kantor. "Kamu tenang saja Mas, nggak usah berpikir yanga berlebihan." aku pun mencoba menenangkannya. "Tapi aku takut sayang bila dia mencelakaimu." Mas Raka menatapku nanar. "Kita berdoa saja semoga Renata tidak dendam sama kita." Aku mencoba mengurai ketakutan mas Raka, ketakutanku dan ketakutan Mas Raka berbeda, dia takut Renata mencelakaiku sementara aku takut mereka rujuk kembali. "Sebenarnya yang aku takutkan adalah kamu kembali lagi padanya Mas." Mas Raka memelukku dan meyakinkan aku jika hal itu tidak akan terjadi, "Hatiku telah kamu genggam sayang jadi mana mungkin aku rujuk sama Renata kembali?"Aku mengangguk kemudian melepas pelukannya. Tak ingin terus membahas masalah ini aku mengajak Mas Raka makan. "Keburu masakanku dingin," kataku sambil menarik tangannya. Di meja makan kita sekarang aku melayani suamiku dengan meletakkan makanan di piringnya setela