"Aku adalah apa?" Hatiku mulai was-was.
Kutatap mereka bergantian dengan tatapan yang sudah berubah. Tatapan garang ku berubah menjadi tatapan sendu. Mas Raka masih bergeming, tersirat ekspresi kebingungan di wajahnya, sementara Renata masih menatapku dengan ekspresi sama. Kini Renata menatap Mas Raka, entah apa yang mereka pikirkan hingga kulihat sebuah gelengan kecil Mas Raka tunjukkan. "Apa? Apa yang kalian sembunyikan dariku?" Kembali aku bersuara mengejar kalimatnya yang menggantung. Tapi Mas Raka tetap saja bungkam begitu pula dengan Renata. Apa yang ingin dia katakan sebenarnya? kenapa tiba-tiba dia terbungkam? Sesaat kemudian suara Renata mencuat melengkapi kalimatnya yang belum usai. "Karena aku juga istrinya." Deg! Jantungku seakan berhenti berdetak, dalam waktu sekejap aku mematung, tak hanya itu ribuan pisau serasa menghujam hatiku secara bersamaaan, ucapannya benar-benar membuat aku terkejut dan sakit. Segera kutunjukkan gelengan kepala, sebagai bentuk protes akan ucapannya, "Tidak mungkin." Kataku dengan lantang menolak untuk percaya. "Tapi kenyataannya memang begitu Amel." Wanita tak berhati itu meyakinkan aku jika apa yang dia katakan adalah sebuah kebenaran. “Sudah jangan berbicara lagi.” Suara lemah Mas Raka terdengar. Terlihat Mas Raka melarang Renata untuk berbicara namun wanita itu menggeleng. “Dia harus tahu Mas.” Kualihkan tatapan ke arah Mas Raka, mencoba mencari pembelaan darinya. "Apa yang dia katakan tidak benar kan Mas? dia bukan istri kamu kan?" Aku menekankan kalimatku. Aku berharap apa yang dia katakan adalah sebuah kebohongan agar bisa disini bersama Mas Raka tapi nyatanya tak ada jawaban yang aku dapat, semua nampak membisu. Namun, hal yang kuharapkan sebagai lelucon ternyata benar adanya. "Iya, dia memang istriku." Akhirnya dia mengakui jika Renata adalah istrinya. Tubuhku terhuyung ke belakang, kenyataan ini sungguh menyakitkan hingga tubuhku rasanya tak memiliki kekuatan. Kakiku yang semula kuat kini terasa lemas bahkan untuk menopang tubuhku yang hanya setengah kwintal pun tak mampu. Dengan berpegangan nakas aku menatap Mas Raka. "Tidak mungkin Mas." Aku mencoba menyangkal ucapannya. Perlahan air mataku merembes keluar, dadaku mulai sesak. Sungguh sakit rasanya mendengar itu. Kenapa Mas Raka tega mencurangiku? kenapa dia tega menikah dengan wanita lain? sementara ada aku disisinya? "Tega kamu Mas." Aku menangis di hadapan dua manusia tak berhati ini. Saking sakitnya aku sampai terisak, sementara mereka hanya menatapku dari tempat mereka. “Amel sudah diamlah.” Mas Raka mencoba menenangkan aku tapi ucapannya tak akan berpengaruh, kebohongan serta curangnya begitu menyakitkan. Tak ingin kerapuhan ku disaksikan mereka, aku memutuskan keluar begitu saja, meninggalkan mereka yang telah menyakitiku. Sepanjang jalan aku terus saja menangis, impian indah hidup menua bersama hanya tinggal angan. Entah apa tujuannya menikah denganku hingga di usia pernikahan yang baru satu tahun dia sudah memiliki istri lain. Kini yang tersisa hanyalah rasa sakit yang tak berkesudahan. Berpisah? tentu tidak. Bertahan? juga tidak mungkin. Aku diantara keduanya, terombang ambing. Setibanya di rumah, aku meluapkan rasa sakitku dengan berteriak, aku mengamuk di kamar, Mas Raka tak kusangka kamu sejauh itu dengan Renata. Kutatap foto pernikahan kami, kenangan setahun yang lalu mengembara di kepalaku. Waktu itu aku memutuskan untuk membersamainya, mencoba mencintainya dengan setulus hatiku. Namun apa yang aku dapat kini? Hanya sebuah pengkhianatan. “Selama setahun menikah hanya foto ini hal indah yang kamu beri mas, selebihnya adalah luka.” Aku menggumam lalu membuang bingkai foto itu ke tempat sampah. Hingga pagi, aku masih menangis. Meski air mataku sudah habis tapi rasa sakit ini masih terasa. Di pagi hari biasanya aku masih bisa memasak dan bersih-bersih tapi kini aku tak mampu melakukannya. Tubuhku seolah tak bertulang yang untuk berdiri saja rasanya tak sanggup. Aku hanya diam dan mengabaikan segalanya termasuk ponselku yang berdering berkali-kali. Hingga puncaknya Mas Raka pulang di malam itu, dengan langkah lemahnya dia berjalan menuju tempat tidur. “Kenapa tidak menerima panggilanku?” Dia menatapku yang berada di sampingnya. “Aku tidak tahu,” jawabku tanpa menatapnya. “Apa sih maksud kamu Amel, aku di rumah sakit tapi kamu tak peduli sama sekali!” Kalimatnya membuat aku tertawa penuh frustasi, apa dia amnesia jika semalam dia telah membuat hancur duniaku, wanita mana yang masih peduli jika dihancurkan seperti itu? “Bagaimana aku bisa peduli padamu Mas sedangkan kamu telah menghancurkan rumah tangga kita.” Kalimat lantang aku ucapkan, mengabaikan jika dia masih sakit. “Aku tahu aku salah Amel, tapi semua sudah terjadi dan aku harap kamu mau mengerti.” Sungguh pikiranku tak bisa menerima dengan apa yang dia pikirkan, bagaimana bisa dia bicara seperti itu? Apa baginya sebuah pengkhianatan dianggap hal yang bisa dimaklumi? “Mulutmu ringan sekali Mas, hatiku kesakitan akan sikapmu sedangkan kamu meminta aku untuk mengerti? Nggak waras kamu Mas!” Nada bicaraku perlahan meninggi sejurus dengan kekesalanku padanya. “Please Amel. Kita jalani hidup seperti biasanya. Berumah tangga dengan baik dan tanpa pertengkaran.” Pintanya. “Baik tapi ceraikan dia!” Masih dengan nada tinggi. "Tidak!" Dengan lantang dan keras Mas Raka menolak untuk menceraikannya, hal itu membuatku semakin sakit. Aku mengangguk dengan tersenyum ketir, jika memang ini yang dia inginkan aku bisa apa. "Baiklah Mas, tapi jangan harap rumah tangga kita bisa tenang!"“Semua tergantung kamu Amel! jika kamu mau mengerti rumah tangga kita akan baik-baik saja!" ujarnya keras. Aku menggeleng heran, bagaimana bisa semua akan baik-baik saja sementara dia membawa pemicu pertengkaran dalam rumah tangga kami? Aku yang benar-benar lelah hati dan pikiran membaringkan tubuhku, mengabaikannya yang masih terlihat ingin bicara dengan ku. “Aku ngantuk.” Dua kata untuk mengakhiri perbincangan kami. "Kita belum selesai bicara Amel!" Kutahu dia marah ketika aku mengakhiri pembicaraan kami. Sebenarnya aku tidak mengantuk, hanya saja aku lelah berdebat dengannya. Pagi hari telah datang, aku memutar netraku hingga kulihat wajah Mas Raka. Melihat wajah tampannya, ku tak percaya dia bisa melukaiku begitu dalam. Ku rasakan sakit kembali menghujam hatiku. Apa memang seperti ini rasanya dikhianati orang yang kita cintai? Hingga baru bangun saja rasa sakitnya langsung terasa? Netraku terus menatap dia yang masih terpejam, tanpa terasa air mataku mengalir
Raut wajahku berubah sendu, seharusnya aku lah yang marah karena dia menamai kontak Renata dengan nama Istriku, sementara aku? hanya nama saja. "Ponsel kamu terus berdering, telingaku sakit mendengarnya!" Kataku dengan menatapnya. "Lain kali jangan lagi menolak panggilan yang masuk!" Ujarnya memperingatkan aku. "Menolak panggilan yang masuk atau hanya panggilan dari istriku saja." Aku semakin berani, kusindir dia. Agaknya sindiran ku membuat emosinya merangkak naik lagi. Dari tempatnya dia menatapku tajam, “Sudahlah Amel jangan mulai lagi." Aku hanya mengangguk, meski hatiku sakit tapi aku tak ingin mendebatnya lebih jauh, biarlah dia menyakitiku sesuka hatinya, toh lambat laun aku juga akan mati rasa. Tak terasa seminggu telah berlalu, kini Mas Raka sudah jauh lebih sehat. “Aku hari ini masuk kerja, siapkan semua keperluanku.” Dari tempat tidur dia memerintahkan aku untuk menyiapkan segala sesuatunya. Aku tak merespon ucapannya, tapi meskipun begitu ketika dia mandi
Aku menatapnya dengan tatapan benci, kenapa dia memaksakan kehendaknya seperti ini. Pernikahannya saja aku menolak untuk menerima tapi kini, dia malah mendatangkan Renata kesini, apa dia ingin membuat neraka di dalam surgaku? Tak ada pilihan lain, aku pun menuruti keinginannya. Aku turun ke bawah untuk menemui jalangnya. "Malam Amel." Sapaan lembut aku terima, bahkan wanita itu menjabat tanganku dan menunjukkan sederet giginya yang putih. Melihatnya aku hanya bisa menahan segala amarahku dan rasa kesalku. Namun sesaat kemudian kutatap dia sendu. Entah apa yang dipikiran oleh Mas Raka saat ini, entah apa yang menginspirasinya, sehingga dia membawa Renata pulang dan menyandingkannya denganku. "Kalian berbincang dulu." Ujarnya lalu dia masuk ke dalam. "Selamat Renata kamu berhasil menghidupkan ceritamu dan mematikan ceritaku. Kamu berhasil mengobrak abrik istanaku bersama Mas Raka." Kutatap dingin wanita itu, sungguh tak sudi aku hidup bersamanya. "Aku tidak mematikan ceri
“Mas, malam ini adalah malam Jumat. Apa kamu tidak menginginkannya?" tanyaku sambil menatap suamiku, Mas Raka yang berada di samping. "Aku hanya ingin tidur Mel," katanya diiringi tatapan tajam ke arahku. Selalu itu jawaban yang Mas Raka berikan ketika aku meminta nafkah batin darinya. Sekali lagi hatiku tertampar atas penolakannya. Aku membalikkan tubuh dan seperti biasa, menangis dalam diam dengan air mata yang mengalir dengan deras. Sebagai wanita normal, tentu aku menginginkan belaian dari suami yang kunikahi setahun lalu, tapi dia? Selalu acuh tak acuh, mengabaikan hasratku yang terus meronta untuk dipenuhi. Kelakuannya sungguh kontras dengan cerita teman-temanku yang mengatakan apabila pria matang gencar-gencarnya bercinta. Aku hanya bisa bertanya-tanya, apakah suamiku normal? Apa dia tidak memerlukan sebuah pelepasan? Apa dia tidak mencintaiku? Ataukah dia memiliki wanita lain? Seabrek asumsi negatif berputar di kepalaku, sehingga membuat dadaku semakin sesak. Lelah memi
Drrrrrtttt.Sebuah pesan singkat aku terima sore harinya.Ternyata, pesan itu dari Raka. Dalam pesannya dia bilang kalau malam ini dirinya tidak akan pulang, karena ada lembur. Aku berdecak. Dengan kesal, kubalas pesannya secara kilat.“Kemarin juga kamu lembur, Mas. Tidak bisa gantian sama yang lain?” tulisku pada layar, kemudian segera menekan tombol kirim.Tak lama, balasan darinya masuk.Lagi, bukan permintaan maaf yang kudapatkan. Dia hanya mengirimkan dua kata yang ditutup dengan tanda seru, "Jangan bawel!" Aku mengembuskan napas panjang. Entahlah, rasanya aku sudah menyerah dengan semua ini. Aku merasa jika semua yang aku lakukan percuma. Marah salah, diam sakit.Akhirnya, daripada berada di rumah dan terus memikirkan suamiku itu, aku pun memutuskan untuk keluar.Aku pergi ke sebuah kafe dengan temanku, Ira. Niatnya, aku hanya sekedar makan saja. Namun siapa sangka aku justru terbawa suasana. Aku mulai menceritakan kisah hidupku yang pilu pada temanku dan dia sangat terkejut
Dia menepis tanganku, lalu membuang wajahnya. Melihat hal itu, aku semakin mengejarnya. "Jalang mana yang melakukannya, Mas? Katakan padaku!" "Bukan siapa-siapa!" ujarnya singkat tanpa mau menatapku. Aku tahu dia berbohong, karena tidak mungkin tanda itu tiba-tiba ada apabila tidak ada yang membuatnya. "Jujurlah Mas, biar jelas semua!" pintaku dengan suara lirih. "Pulanglah Amel, aku mau kerja." Dia melangkahkan kaki menuju meja kerjanya, kemudian membuka laptop. Sementara itu aku masih mematung menatapnya, menggumamkan kalimat lirih, “Entah terbuat dari apa hatimu, Mas.” Sekarang, aku yakin jika perkataan Ira benar. Mas Raka selingkuh. Akan tetapi, bukannya meminta maaf, pria itu justru bersikap seolah tak melakukan dosa. Menyerah dengan kediamannya, aku memutuskan pergi dari ruangannya. Semenjak meninggalkan ruangan Direktur Keuangan itu, air mataku tak berhenti menetes. Apakah mungkin aku akhiri saja pernikahan ini? Tapi, bagaimana dengan kedua orang tuaku
Kulihat, raut wajah Mas Raka berubah. Dia yang semula menolak menatapku, kini melemparkan tatapan yang sama tajamnya.Dia terlihat sangat marah. "Siapa Renata?" katanya masih mengelak.Aku mengerutkan alis, "Kamu tak tahu siapa Renata, Mas?" Segera kuambil ponselku, lalu kutunjukkan foto-foto serta video mesranya bersama Renata. "Yakin kamu tidak mengenalnya?"Meski bibirku tegas akan kalimatku tapi mataku tidak bisa aku berbohong. Air mata yang menggambarkan betapa lemahnya aku, mulai menggenang."Kamu terlihat sangat menyayanginya, sedangkan denganku... kamu begitu dingin." "Kamu cari penyakit sendiri Amel,” ujarnya tak mau lagi melihat layar ponsel. “Sudah aku bilang jangan menggunakan sosial media, tapi kamu membangkang!" Tanpa rasa bersalah, dia justru memarahi aku. Aku melongo menatapnya, manusia seperti apa dia? Dia yang ketahuan berbuat salah, tetapi justru dia yang menyalahkan aku?"Nggak waras kamu Mas!" kataku kesal.Aku berusaha berdiri, tetapi Mas Raka berhasil mencengk
Aku menatapnya dengan tatapan benci, kenapa dia memaksakan kehendaknya seperti ini. Pernikahannya saja aku menolak untuk menerima tapi kini, dia malah mendatangkan Renata kesini, apa dia ingin membuat neraka di dalam surgaku? Tak ada pilihan lain, aku pun menuruti keinginannya. Aku turun ke bawah untuk menemui jalangnya. "Malam Amel." Sapaan lembut aku terima, bahkan wanita itu menjabat tanganku dan menunjukkan sederet giginya yang putih. Melihatnya aku hanya bisa menahan segala amarahku dan rasa kesalku. Namun sesaat kemudian kutatap dia sendu. Entah apa yang dipikiran oleh Mas Raka saat ini, entah apa yang menginspirasinya, sehingga dia membawa Renata pulang dan menyandingkannya denganku. "Kalian berbincang dulu." Ujarnya lalu dia masuk ke dalam. "Selamat Renata kamu berhasil menghidupkan ceritamu dan mematikan ceritaku. Kamu berhasil mengobrak abrik istanaku bersama Mas Raka." Kutatap dingin wanita itu, sungguh tak sudi aku hidup bersamanya. "Aku tidak mematikan ceri
Raut wajahku berubah sendu, seharusnya aku lah yang marah karena dia menamai kontak Renata dengan nama Istriku, sementara aku? hanya nama saja. "Ponsel kamu terus berdering, telingaku sakit mendengarnya!" Kataku dengan menatapnya. "Lain kali jangan lagi menolak panggilan yang masuk!" Ujarnya memperingatkan aku. "Menolak panggilan yang masuk atau hanya panggilan dari istriku saja." Aku semakin berani, kusindir dia. Agaknya sindiran ku membuat emosinya merangkak naik lagi. Dari tempatnya dia menatapku tajam, “Sudahlah Amel jangan mulai lagi." Aku hanya mengangguk, meski hatiku sakit tapi aku tak ingin mendebatnya lebih jauh, biarlah dia menyakitiku sesuka hatinya, toh lambat laun aku juga akan mati rasa. Tak terasa seminggu telah berlalu, kini Mas Raka sudah jauh lebih sehat. “Aku hari ini masuk kerja, siapkan semua keperluanku.” Dari tempat tidur dia memerintahkan aku untuk menyiapkan segala sesuatunya. Aku tak merespon ucapannya, tapi meskipun begitu ketika dia mandi
“Semua tergantung kamu Amel! jika kamu mau mengerti rumah tangga kita akan baik-baik saja!" ujarnya keras. Aku menggeleng heran, bagaimana bisa semua akan baik-baik saja sementara dia membawa pemicu pertengkaran dalam rumah tangga kami? Aku yang benar-benar lelah hati dan pikiran membaringkan tubuhku, mengabaikannya yang masih terlihat ingin bicara dengan ku. “Aku ngantuk.” Dua kata untuk mengakhiri perbincangan kami. "Kita belum selesai bicara Amel!" Kutahu dia marah ketika aku mengakhiri pembicaraan kami. Sebenarnya aku tidak mengantuk, hanya saja aku lelah berdebat dengannya. Pagi hari telah datang, aku memutar netraku hingga kulihat wajah Mas Raka. Melihat wajah tampannya, ku tak percaya dia bisa melukaiku begitu dalam. Ku rasakan sakit kembali menghujam hatiku. Apa memang seperti ini rasanya dikhianati orang yang kita cintai? Hingga baru bangun saja rasa sakitnya langsung terasa? Netraku terus menatap dia yang masih terpejam, tanpa terasa air mataku mengalir
"Aku adalah apa?" Hatiku mulai was-was. Kutatap mereka bergantian dengan tatapan yang sudah berubah. Tatapan garang ku berubah menjadi tatapan sendu. Mas Raka masih bergeming, tersirat ekspresi kebingungan di wajahnya, sementara Renata masih menatapku dengan ekspresi sama. Kini Renata menatap Mas Raka, entah apa yang mereka pikirkan hingga kulihat sebuah gelengan kecil Mas Raka tunjukkan. "Apa? Apa yang kalian sembunyikan dariku?" Kembali aku bersuara mengejar kalimatnya yang menggantung. Tapi Mas Raka tetap saja bungkam begitu pula dengan Renata. Apa yang ingin dia katakan sebenarnya? kenapa tiba-tiba dia terbungkam? Sesaat kemudian suara Renata mencuat melengkapi kalimatnya yang belum usai. "Karena aku juga istrinya." Deg! Jantungku seakan berhenti berdetak, dalam waktu sekejap aku mematung, tak hanya itu ribuan pisau serasa menghujam hatiku secara bersamaaan, ucapannya benar-benar membuat aku terkejut dan sakit. Segera kutunjukkan gelengan kepala, sebagai bentuk pro
Kulihat, raut wajah Mas Raka berubah. Dia yang semula menolak menatapku, kini melemparkan tatapan yang sama tajamnya.Dia terlihat sangat marah. "Siapa Renata?" katanya masih mengelak.Aku mengerutkan alis, "Kamu tak tahu siapa Renata, Mas?" Segera kuambil ponselku, lalu kutunjukkan foto-foto serta video mesranya bersama Renata. "Yakin kamu tidak mengenalnya?"Meski bibirku tegas akan kalimatku tapi mataku tidak bisa aku berbohong. Air mata yang menggambarkan betapa lemahnya aku, mulai menggenang."Kamu terlihat sangat menyayanginya, sedangkan denganku... kamu begitu dingin." "Kamu cari penyakit sendiri Amel,” ujarnya tak mau lagi melihat layar ponsel. “Sudah aku bilang jangan menggunakan sosial media, tapi kamu membangkang!" Tanpa rasa bersalah, dia justru memarahi aku. Aku melongo menatapnya, manusia seperti apa dia? Dia yang ketahuan berbuat salah, tetapi justru dia yang menyalahkan aku?"Nggak waras kamu Mas!" kataku kesal.Aku berusaha berdiri, tetapi Mas Raka berhasil mencengk
Dia menepis tanganku, lalu membuang wajahnya. Melihat hal itu, aku semakin mengejarnya. "Jalang mana yang melakukannya, Mas? Katakan padaku!" "Bukan siapa-siapa!" ujarnya singkat tanpa mau menatapku. Aku tahu dia berbohong, karena tidak mungkin tanda itu tiba-tiba ada apabila tidak ada yang membuatnya. "Jujurlah Mas, biar jelas semua!" pintaku dengan suara lirih. "Pulanglah Amel, aku mau kerja." Dia melangkahkan kaki menuju meja kerjanya, kemudian membuka laptop. Sementara itu aku masih mematung menatapnya, menggumamkan kalimat lirih, “Entah terbuat dari apa hatimu, Mas.” Sekarang, aku yakin jika perkataan Ira benar. Mas Raka selingkuh. Akan tetapi, bukannya meminta maaf, pria itu justru bersikap seolah tak melakukan dosa. Menyerah dengan kediamannya, aku memutuskan pergi dari ruangannya. Semenjak meninggalkan ruangan Direktur Keuangan itu, air mataku tak berhenti menetes. Apakah mungkin aku akhiri saja pernikahan ini? Tapi, bagaimana dengan kedua orang tuaku
Drrrrrtttt.Sebuah pesan singkat aku terima sore harinya.Ternyata, pesan itu dari Raka. Dalam pesannya dia bilang kalau malam ini dirinya tidak akan pulang, karena ada lembur. Aku berdecak. Dengan kesal, kubalas pesannya secara kilat.“Kemarin juga kamu lembur, Mas. Tidak bisa gantian sama yang lain?” tulisku pada layar, kemudian segera menekan tombol kirim.Tak lama, balasan darinya masuk.Lagi, bukan permintaan maaf yang kudapatkan. Dia hanya mengirimkan dua kata yang ditutup dengan tanda seru, "Jangan bawel!" Aku mengembuskan napas panjang. Entahlah, rasanya aku sudah menyerah dengan semua ini. Aku merasa jika semua yang aku lakukan percuma. Marah salah, diam sakit.Akhirnya, daripada berada di rumah dan terus memikirkan suamiku itu, aku pun memutuskan untuk keluar.Aku pergi ke sebuah kafe dengan temanku, Ira. Niatnya, aku hanya sekedar makan saja. Namun siapa sangka aku justru terbawa suasana. Aku mulai menceritakan kisah hidupku yang pilu pada temanku dan dia sangat terkejut
“Mas, malam ini adalah malam Jumat. Apa kamu tidak menginginkannya?" tanyaku sambil menatap suamiku, Mas Raka yang berada di samping. "Aku hanya ingin tidur Mel," katanya diiringi tatapan tajam ke arahku. Selalu itu jawaban yang Mas Raka berikan ketika aku meminta nafkah batin darinya. Sekali lagi hatiku tertampar atas penolakannya. Aku membalikkan tubuh dan seperti biasa, menangis dalam diam dengan air mata yang mengalir dengan deras. Sebagai wanita normal, tentu aku menginginkan belaian dari suami yang kunikahi setahun lalu, tapi dia? Selalu acuh tak acuh, mengabaikan hasratku yang terus meronta untuk dipenuhi. Kelakuannya sungguh kontras dengan cerita teman-temanku yang mengatakan apabila pria matang gencar-gencarnya bercinta. Aku hanya bisa bertanya-tanya, apakah suamiku normal? Apa dia tidak memerlukan sebuah pelepasan? Apa dia tidak mencintaiku? Ataukah dia memiliki wanita lain? Seabrek asumsi negatif berputar di kepalaku, sehingga membuat dadaku semakin sesak. Lelah memi