"Aku adalah apa?" Hatiku mulai was-was.
Kutatap mereka bergantian dengan tatapan yang sudah berubah. Tatapan garang ku berubah menjadi tatapan sendu.
Mas Raka masih bergeming, tersirat ekspresi kebingungan di wajahnya, sementara Renata masih menatapku dengan ekspresi sama.
Kini Renata menatap Mas Raka, entah apa yang mereka pikirkan hingga kulihat sebuah gelengan kecil Mas Raka tunjukkan.
"Apa? Apa yang kalian sembunyikan dariku?" Kembali aku bersuara mengejar kalimatnya yang menggantung. Tapi Mas Raka tetap saja bungkam begitu pula dengan Renata.
Apa yang ingin dia katakan sebenarnya? kenapa tiba-tiba dia terbungkam?
Sesaat kemudian suara Renata mencuat melengkapi kalimatnya yang belum usai.
"Karena aku juga istrinya."
Deg!
Jantungku seakan berhenti berdetak, dalam waktu sekejap aku mematung, tak hanya itu ribuan pisau serasa menghujam hatiku secara bersamaaan, ucapannya benar-benar membuat aku terkejut dan sakit.
Segera kutunjukkan gelengan kepala, sebagai bentuk protes akan ucapannya, "Tidak mungkin." Kataku dengan lantang menolak untuk percaya.
"Tapi kenyataannya memang begitu Amel." Wanita tak berhati itu meyakinkan aku jika apa yang dia katakan adalah sebuah kebenaran.
“Sudah jangan berbicara lagi.” Suara lemah Mas Raka terdengar.
Terlihat Mas Raka melarang Renata untuk berbicara namun wanita itu menggeleng. “Dia harus tahu Mas.”
Kualihkan tatapan ke arah Mas Raka, mencoba mencari pembelaan darinya.
"Apa yang dia katakan tidak benar kan Mas? dia bukan istri kamu kan?" Aku menekankan kalimatku.
Aku berharap apa yang dia katakan adalah sebuah kebohongan agar bisa disini bersama Mas Raka tapi nyatanya tak ada jawaban yang aku dapat, semua nampak membisu.
Namun, hal yang kuharapkan sebagai lelucon ternyata benar adanya.
"Iya, dia memang istriku." Akhirnya dia mengakui jika Renata adalah istrinya.
Tubuhku terhuyung ke belakang, kenyataan ini sungguh menyakitkan hingga tubuhku rasanya tak memiliki kekuatan.
Kakiku yang semula kuat kini terasa lemas bahkan untuk menopang tubuhku yang hanya setengah kwintal pun tak mampu.
Dengan berpegangan nakas aku menatap Mas Raka.
"Tidak mungkin Mas." Aku mencoba menyangkal ucapannya.
Perlahan air mataku merembes keluar, dadaku mulai sesak. Sungguh sakit rasanya mendengar itu.
Kenapa Mas Raka tega mencurangiku? kenapa dia tega menikah dengan wanita lain? sementara ada aku disisinya?
"Tega kamu Mas." Aku menangis di hadapan dua manusia tak berhati ini.
Saking sakitnya aku sampai terisak, sementara mereka hanya menatapku dari tempat mereka.
“Amel sudah diamlah.” Mas Raka mencoba menenangkan aku tapi ucapannya tak akan berpengaruh, kebohongan serta curangnya begitu menyakitkan.
Tak ingin kerapuhan ku disaksikan mereka, aku memutuskan keluar begitu saja, meninggalkan mereka yang telah menyakitiku.
Sepanjang jalan aku terus saja menangis, impian indah hidup menua bersama hanya tinggal angan.
Entah apa tujuannya menikah denganku hingga di usia pernikahan yang baru satu tahun dia sudah memiliki istri lain.
Kini yang tersisa hanyalah rasa sakit yang tak berkesudahan.
Berpisah? tentu tidak. Bertahan? juga tidak mungkin. Aku diantara keduanya, terombang ambing.
Setibanya di rumah, aku meluapkan rasa sakitku dengan berteriak, aku mengamuk di kamar, Mas Raka tak kusangka kamu sejauh itu dengan Renata.
Kutatap foto pernikahan kami, kenangan setahun yang lalu mengembara di kepalaku.
Waktu itu aku memutuskan untuk membersamainya, mencoba mencintainya dengan setulus hatiku. Namun apa yang aku dapat kini? Hanya sebuah pengkhianatan.
“Selama setahun menikah hanya foto ini hal indah yang kamu beri mas, selebihnya adalah luka.” Aku menggumam lalu membuang bingkai foto itu ke tempat sampah.
Hingga pagi, aku masih menangis. Meski air mataku sudah habis tapi rasa sakit ini masih terasa.
Di pagi hari biasanya aku masih bisa memasak dan bersih-bersih tapi kini aku tak mampu melakukannya. Tubuhku seolah tak bertulang yang untuk berdiri saja rasanya tak sanggup.
Aku hanya diam dan mengabaikan segalanya termasuk ponselku yang berdering berkali-kali.
Hingga puncaknya Mas Raka pulang di malam itu, dengan langkah lemahnya dia berjalan menuju tempat tidur.
“Kenapa tidak menerima panggilanku?” Dia menatapku yang berada di sampingnya.
“Aku tidak tahu,” jawabku tanpa menatapnya.
“Apa sih maksud kamu Amel, aku di rumah sakit tapi kamu tak peduli sama sekali!”
Kalimatnya membuat aku tertawa penuh frustasi, apa dia amnesia jika semalam dia telah membuat hancur duniaku, wanita mana yang masih peduli jika dihancurkan seperti itu?
“Bagaimana aku bisa peduli padamu Mas sedangkan kamu telah menghancurkan rumah tangga kita.” Kalimat lantang aku ucapkan, mengabaikan jika dia masih sakit.
“Aku tahu aku salah Amel, tapi semua sudah terjadi dan aku harap kamu mau mengerti.”
Sungguh pikiranku tak bisa menerima dengan apa yang dia pikirkan, bagaimana bisa dia bicara seperti itu? Apa baginya sebuah pengkhianatan dianggap hal yang bisa dimaklumi?
“Mulutmu ringan sekali Mas, hatiku kesakitan akan sikapmu sedangkan kamu meminta aku untuk mengerti? Nggak waras kamu Mas!” Nada bicaraku perlahan meninggi sejurus dengan kekesalanku padanya.
“Please Amel. Kita jalani hidup seperti biasanya. Berumah tangga dengan baik dan tanpa pertengkaran.” Pintanya.
“Baik tapi ceraikan dia!”
“Tidak!” Dengan lantang Mas Raka menolak menceraikannya, hal itu membuat hatiku semakin sakit. “Baiklah Mas, tapi jangan harap rumah tangga kini bisa tenang,” sahut ku lirih. “Semua tergantung kamu, jika kamu mau mengerti rumah tangga kita akan baik-baik saja,” ujarnya. Aku menggeleng heran, bagaimana bisa semua akan baik-baik saja sementara dia membawa pemicu pertengkaran dalam rumah tangga kami? Aku yang benar-benar lelah hati dan pikiran membaringkan tubuhku, mengabaikannya yang masih terlihat ingin bicara dengan ku. “Aku ngantuk.” Dua kata untuk mengakhiri perbincangan kami. Walaupun sebenarnya aku tidak mengantuk, aku tetap memejamkan mata tanpa ingin membukanya.Pagi hari telah datang, baru saja aku membuka mata ku rasakan sakit kembali menghujam hatiku. Apa memang seperti ini rasanya dikhianati orang yang kita cintai? Hingga baru bangun saja rasa sakitnya langsung terasa? Netraku menatap dia yang masih terpejam, tanpa terasa air mataku mengalir, dia membuat aku terperan
"Sudahlah jangan seperti anak kecil." Katanya lalu dia pergi ke kamar mandi.Jujur aku lelah seperti ini, kemarahanku baginya hanya sikap berlebihan. Padahal aku juga ingin diperlakukan layaknya seorang istri.Tak ingin terus berdebat kusir dengan pria keras itu, aku memutuskan tidur. Lebih baik aku memejamkan mata daripada terus menambah luka. Tak terasa seminggu telah berlalu, kini kondisi Mas Raka sudah jauh lebih baik. “Aku hari ini masuk kerja, siapkan semua keperluanku.” Dari tempat tidur dia memerintahkan aku untuk menyiapkan segala sesuatunya. Aku tak merespon ucapannya, tapi meskipun begitu ketika dia mandi aku tetap menyiapkan keperluannya. Semua aku letakkan di atas tempat tidur, lalu aku keluar kamar. Aku pergi ke dapur untuk beres-beres dan sesaat kemudian terdengar suara langkah kaki mendekat. "Hanya ada roti?” Tanyanya ketika aku tengah mencuci piring. "Iya.” Aku menjawab pertanyaannya tanpa menoleh. "Sesuai sama yang kamu lihat di meja, Mas.""Kenapa kamu
"Seperti yang aku bilang Amel, pikirkan orang tuamu. Terlebih biaya rutin pengobatan ayah." Kembali jawaban itu yang kudapat, tak hanya menyiutkan nyalimu, jawaban itu juga memudarkan keinginanku untuk berpisah. Apa memang aku harus seperti nasibku? istri sah dan istri simpanan tinggal dalam satu atap? Kemudian, aku menatapnya dengan tatapan benci, kenapa dia selalu melukaiku? Pernikahannya saja aku menolak untuk menerima tapi kini, dia malah mendatangkan Renata kesini, apa dia ingin membuat neraka di dalam surgaku? Tak ada pilihan lain, aku pun menuruti keinginannya, mengijinkan maduku untuk tinggal bersama. Tak hanya itu aku juga turun ke bawah untuk menyambutnya. Sungguh ironi bukan? "Malam Amel." Sapaan lembut aku terima, bahkan wanita itu menjabat tanganku dan menunjukkan sederet giginya yang putih. Melihatnya aku hanya bisa menahan segala amarahku dan rasa kesalku. Namun sesaat kemudian kutatap dia sendu. Entah apa yang dipikiran oleh Mas Raka saat ini, entah a
Malam itu Mas Raka pulang dengan wajah sumringah, berbeda sekali dengan biasanya yang selalu muram. Apa karena ada Renata? Aku hanya bisa tersenyum ketir tanpa bisa protes akan sikapnya. "Amel gajiku sudah aku transfer di rekening kamu." Ujar pria dingin itu. "Kamu besok bisa membawa ayah kamu ke rumah sakit untuk kontrol." Sambungnya. Aku menatapnya, lalu anggukan kecil aku tunjukkan, meski jahat tapi dia masih memiliki perhatian untuk orang tuaku. "Iya." Kukembalikan pandanganku ke arah TV, ada rasa bersalah karena tak mampu berucap terima kasih padanya.Tapi memang semua berbeda sekarang, dulu aku selalu menyambutnya ketika gajian, makanan enak dan banyak selalu kusajikan sebagai bentuk rasa terima kasih. Diriku kini seperti raga tak bernyawa yang malas berinteraksi dengannya. Ternyata kediaman kumengundang keingintahuannya, bahkan kata-kata sedikit lembut dia ucapkan. "Kenapa? Kamu kelihatan lemas, apa kamu sakit?" Lagi-lagi gelengan yang aku tunjukkan. Pernikaha
Aku lama menunggunya, tapi tak ada panggilan masuk di ponselku, apa saja yang mereka beli sehingga lama sekali? Rasa lelah mulai menghampiriku lalu aku putuskan untuk menghubungi Mas Raka lebih dulu. Panggilanku masuk tapi tidak diterima lalu aku pergi ke supermarket tadi untuk mengecek, tapi tidak kutemui Mas Raka dan Renata. Apa mereka meninggalkan aku? Saat bersamaan, panggilan masuk kuterima."Kamu ke mana saja? Karena kamu lama sekali, jadi aku dan Renata pulang duluan. Kasihan Renata sudah lelah."Aku menahan senyum sinis. Jadi, dia menghukumku seperti ini? Apa susahnya dia coba telepon istrinya ini, tanya di mana, kasih tahu kalau dia sudah mau pulang?!Sudahlah, memang dasarnya mereka saja yang mau berduaan.Tak ingin terpancing amarah, aku mematikan sambungan telepon. "Kamu pikir aku takut pulang sendiri." Aku mengomel di hadapan layar ponselku. Dengan taksi online, aku pulang. Setibanya di rumah aku langsung masuk ke dalam. Kudengar canda tawa di dapur menggema.
Seketika raut wajahnya berubah, "Jika yang kamu maksud adalah nafkah batin. Aku ingatkan, jangan pernah berharap hal itu padaku!""Sebenarnya di hatimu ada tempat untuk diriku nggak sih Mas?" Aku terus menatapnya dengan nanar. Menanti jawaban yang akan dia bari padaku walaupun sebenarnya aku sudah tahu jawabannya. Seraut wajah bingung kulihat, lama pria itu bergeming. Entah apa yang dia pikirkan, lalu suaranya kembali mencuat. "Tidak penting ada atau tidak, yang terpenting kebutuhanmu semua kucukupi." Usai berucap demikian dia keluar kamar meninggalkan aku dalam rasa sakit. Sepanjang malam, ucapannya terngiang di kepalaku, jika aku tidak pernah ada di hatinya, untuk apa dia mau berumah tangga denganku? apa tujuannya? lantas di usia pernikahan yang baru seumur jagung kenapa dia menikah lagi? Segudang pertanyaan menari di kepalaku, rasanya sungguh pusing memikirkan jawaban yang tak kunjung kutemukan. Keesokannya di pagi hari, ketika aku bangun ku rasakan perutku sangat
Dengan gamblang kulihat pria yang menikahiku setahun yang lalu itu tak berbusana. Aku selalu ingin melihat tubuhnya tapi tidak dengan cara seperti ini. Sungguh kini aku justru jijik melihatnya. "Kenapa tidak melakukannya di kamar?" Aku bersuara keras menatap mereka tajam-tajam. "Kamu lagian ngapain tidak ketuk pintu dulu kalau sudah pulang!" Sungguh Mas Raka pintar sekali menjawab, malah menyalahkan aku dengan alasan tak mengetuk pintu. Malas mendebatnya aku pun membalilkan badan dan segera pergi ke kamar. Pikiranku yang sudah penuh dengan penyakit ayah kini ditambah lagi pemandangan menjijikkan mereka. Kesal dan marah bercampur jadi satu. Mataku yang masih suci ini harus ternoda akibat adegan liar mereka. Layaknya berhubungan badan dilakukan di dalam kamar, mengingat ada penghuni lain di rumah tapi agaknya mereka mengabaikan keberadaanku. Segitu tak pentingnya diriku di mata mereka? "Hari ini mengapa begitu banyak yang terjadi." Sambil kuusap rambutku dengan kas
Sambil menangis ku punguti bajuku satu persatu, Rasanya benar-benar sakit. Dengan menahan sakit di bagian sensitifku aku pergi ke kamar mandi. Kuguyur tubuhku dengan air, kugosok bagian tubuh yang terjamah olehnya dengan sabun. Berharap aroma percintaan tadi menghilang namun sayang ingatan di kepala sampai kapanpun tak akan pernah menghilang. "Raka!!! kamu sungguh biadab." Di bawah guyuran air yang mengalir, aku menangis histeris, kenapa dia sangat kejam padaku. Aku ini adalah pasangannya bukan musuh yang tak sepatutnya dibenci. Serangkaian penyesalan kini berdatangan menghampiriku, aku menyesal telah menerima perjodohan setahun lalu, aku menyesal membuat hidupku dan hidupnya terikat. Aku menyesal, sungguh aku menyesal telah mencintainya. Cinta yang kurawat selama setahun kini musnah sudah, hanya menyisakan luka dan rasa benci yang teramat sangat. Puas menangis, aku segera membersihkan diri lalu keluar. Kutatap ranjang dinginku yang kini sudah ternoda dengan perbuata
Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba, hari ini aku dan seluruh keluarga besarku dan Mas Raka pergi ke rumah sakit. Sengaja kami memilih hari ini karena hari ini bertepatan dengan ulang tahun Mas Raka jadi anakku nanti memiliki hari ulang tahun sama dengan papanya. "Mas aku takut." Aku terus memegangi tangan mas Raka. Ingatan waktu itu, membuat nyaliku menciut. Memang operasi sesar tidak menakutkan tapi setelahnya aku harus kesakitan. "Jangan takut sayang, ada aku." Mas Raka terus mengecup keningku. "Habis operasi sakit sekali Mas." Aku mengubah raut wajahku takut merasakannya lagi. Mas Raka tersenyum, dia bilang kalau nanti sakitnya terbayarkan dengan hadirnya anak kami. Aku tersenyum mendengar ucapannya. Bayangan bayi menangis menari di kepalaku, tanpa kusadari bibirku terus saja menyunggingkan senyuman. Beberapa waktu kemudian, Dokter datang untuk melakukan pemeriksaan, selain operasi aku juga meminta dokter untuk sekalian memasang kb, rencananya aku akan menunda kehamilan
Kulihat kedua pria itu nampak canggung, berbeda sebelum tahu kalau ada mata kami yang melihat mereka. Tak selang lama, orang-orang itu pergi termasuk para wanita yang duduk di samping Mas Raka dan Daniel. Selepas kepergian mereka, Mas Raka dan Daniel berjalan mendekat. "Sayang ngapain kesini?" Mas Raka menarik kursi sampingku. Pertanyaan yang sama juga Daniel tujukan kepada Renata. "Makan tapi ga nafsu karena lihat suami orang mau saja digoda wanita." Aku menyindir mereka berdua. "Sayang beneran kami nggak ngapa-ngapain, wanita-wanita itu memang sengaja dibawa oleh klien dan memang seperti itu kelakuan klien kalau ketemu." Dia berusaha menjelaskan. Daniel juga mencoba membujuk Renata tapi respon Renata sama sepertiku. "Tadi bukannya bilang kalau nanti datang nggak bawa istri mau ditemani?" Cuitan Renata membuat Mas Raka dan Daniel saling tatap. Mereka mengusap rambut mereka karena frustasi. "Sayang bukan begitu maksudnya, itu kami menolak secara halus supaya tida
"Kamu tuh bisa aja." Mas Raka mencubit hidungku. Padahal baru pagi tadi berpisah, tapi rasanya seperti lama sekali. Kamar hotel jadi saksi bisu kerinduan kami, aku dan Mas Raka membayar rindu yang sudah kami tahan. Setelah melepas rindu kami bergegas membersihkan diri. Mas Raka yang masih ada kerjaan bersiap kembali untuk menemui Daniel. "Nggak usah buru-buru Mas, Daniel dan Renata pasti juga bergulat." Kataku sambil meletakkan berkas yang dia bawa. Terlihat Mas Raka mengerutkan alis, "Kamu kesini bersama Renata?" tanyanya. "Siapa lagi yang mengajakku jika bukan Renata." Jawabku dengan terkekeh. Mas Raka menggelengkan kepala, "Kalian ini." Ujarnya. Karena Daniel mungkin juga lagi sibuk kami memutuskan untuk mengobrol santai sambil bersua hingga ponsel mas Raka berdering. "Baik, aku akan segera keluar." Kata Mas Raka dalam sambungan telponnya. Usai memutuskan sambungan telponnya, Mas Raka bangkit dan mulai bersiap. "Sayang aku harus berangkat lagi."
Keesokannya Renata kembali datang ke rumah untuk membahas kepergian kita keluar negeri. "Bisa-bisanya kak Daniel melarang kita ikut!" Renata terlihat kesal. "Kalau nggak boleh ya sudah lah Renata kita di rumah saja." Kataku sambil tersenyum menenangkannya. "Gak bisa Amel, takutnya mereka disana main wanita." Ujar Renata. Mendengar ucapan Renata aku sontak tertawa, ternyata dia cukup posesif terhadap suaminya. "Mana mungkin ada wanita Renata." Ku coba untuk meredam rasa posesifnya. Renata menatapku dengan ekspresi heran, "Kamu nggak tau sih Amel, perjamuan bisnis diluar negeri tuh suguhannya wanita seksi, kalau suami kita khilaf gimana?" Jujur aku nggak kepikiran kesana, tapi setelah mendengar ucapan Renata entah mengapa aku sedikit was-was. "Lalu gimana?" tanyaku. "Kita susul mereka." Bibir Renata merekah, dia terlihat bangga dengan idenya barusan. "Baiklah kalau begitu, mari kita susul mereka nanti." Aku pun ikut tertawa. ####Hari ini adalah hari dimana Mas Raka
Semenjak acara empat bulanan, Renata sering datang ke rumah apalagi setelah Mas Raka yang menghandle urusan proyek Papa dengan Daniel. "Sayang Daniel akan menitipkan Renata kesini lagi." Kata Mas Raka sambil merapikan jasnya. "Iya Mas gak papa, jadi aku gak kesepian." Sahutku dengan tersenyum. Mas Raka menatapku dengan senyuman yang sulit kuartikan. "Maaf Sayang jika kehadiran Renata mungkin membuat kamu tidak nyaman." Katanya sendu. Jujur mendengar kata-katanya membuat aku tertawa, kehadiran Renata benar-benar membuat aku tidak kesepian lagipula wanita itu bukanlah Renata maduku dulu. "Mas kamu ngomong apa sih, aku tuh senang ada Renata disini." Ucapku dengan mencubit pipinya. "Takutnya kamu teringat kembali dengan masa lalu itu sayang." Entah mengapa aku semakin tertawa, mas Raka sungguh menggemaskan. Bagiku masa lalu biarlah menjadi masa lalu karena bagaimanapun juga yang terpenting saat ini adalah masa depan. Setiap orang pernah berbuat salah tapi ketika
"Daniel adalah kakak angkat Renata Ma, ceritanya dulu Daniel mencintai Renata sehingga dia diusir." Aku dan Mama malah menghibah di dapur membicarakan Renata dan Daniel. "Ada ya yang seperti itu." Mama nampak heran dengan apa yang aku katakan. Di dunia ini banyak yang terjadi, termasuk hal diluar nalar seperti ini tapi selama masih dalam syariat tentu tidak dipermasalahkan. "Kalau seperti ini Mama gak boleh benci sama dia atau Papa akan marah." Bisik Mama sambil menatapku. Kutahu Mama sedang meminta ijin padaku, mungkin mama masih beranggapan aku masih menyimpan dendam pada Renata. "Asal mama tahu aku yang menjadi mak jomblang mereka, aku juga yang memilih cincin pernikahan mereka." Bisikku. Ekspresi Mama seketika berubah, beliau meletakkan kembali yang dibawanya. "Apa! bagaimana bisa Amel?" "Ceritanya panjang Ma, kalau Amel ceritakan sekarang bisa-bisa nanti malam baru kelar." Suara tawaku mengundang tawa mama. Sungguh aku dah Mama mas Raka tidak seperti menantu dan m
Aaaa Aku yang takut sontak memeluk Mas Raka sementara Mas Raka tertawa. "Jangan takut ada aku." Bisiknya. "TV nya kenapa mati Mas?" Aku sedikit heran. Apakah ada pemadaman listrik? atau ada hal lain yang menyebabkan listri mati? Mas Raka melepas pelukanku lalu dia mengambil senter untuk memeriksa keadaan. Dengan bantuan senter ponsel Mas Raka membuka pintu balkon dan memang diluar semua nampak gelap, itu artinya memang ada pemadaman listrik. "Sayang memang mati lampu." Kata Mas Raka. "Ada lilin nggak Mas?" tanyaku sambil mengipas tubuhku karena sedikit gerah. "Ngapain pakai Lilin habis ini pasti nyala lampunya." Sahut Mas Raka. Ternyata benar beberapa saat kemudian lampu memang menyala tapi dari arah balkon keadaan diluar masih gelap. "Mas kenapa ada yang masih gelap dan ada yang sudah menyala?" Sambil mengerutkan alis. Sungguh aku bingung sendiri, apa memang seperti ini kompleks perumahan orang elit? Ketika mati lampu ada yang nyala dan ada yang tidak?
"Kamu siapa?" Mama Mas Daffa terlihat menatap Mas Raka dengan tatapan menyelidik terlihat pula tatapan sinis. "Saya suami Amel." Dengan tegas Mas Raka berucap. Raut wajah Mama Mas Daffa seketika berubah, "Syukurlah kalau kamu sudah punya suami Amel jadi tidak mengganggu Daffa." Wanita paruh baya itu berbicara sinis. Aku hanya tersenyum melihat ekspresinya, mungkin dia pikir aku akan mengganggu anaknya. Dari bangsal, Mas Daffa terdengar merintih. Dia nampak memegangi kepalanya. Melihatnya aku pun panik. "Mas kamu kenapa?" kulepas genggaman tangan Mas Raka. "Kepalaku pusing Amel." Ujarnya lirih. Mas Raka memencet bel sementara mamanya terus diam dengan ekspresi panik. Beberapa saat kemudian Dokter datang dan langsung memeriksa keadaan Mas Daffa. "Saya akan menyuntikkan obat pereda nyeri, benturan di kepala pasien yang menyebabkan rasa pusing." Seusia menyuntikkan obatnya, Dokter pamit kembali. Sebelum keluar beliau berpesan kalau keadaan Mas Daffa mas
"Mas aku kok pengen mangga ya." Bangun tidur entah mengapa bayangan mangga menari di kepalaku. Mas Raka mencubit hidungku, "Nanti setelah pulang kerja aku belikan di supermarket ya." Ujar Mas Raka sambil tersenyum. "Gak mau, aku pengennya mangga yang nggak mentah dan juga nggak matang, kalau di supermarket mangganya matang semua Mas." Kutatap Mas Raka dengan bibir maju. Mas Raka juga menatapku, raut wajahnya nampak berpikir. "Sayang cari dimana?" Aku menggeleng, aku tahu keinginanku agak keterlaluan, tapi gimana lagi ngidam seperti ini bukan inginku. Aku bukan istri yang mengada-ngada minta inu dan itu mengatasnamakan ngidam. Di bawah Mas Raka mencari info lewat pelayan, barangkali ada yang memiliki pohon mangga di rumah. Salah satu dari mereka ada yang memiliki pohon mangga tapi kampung mereka jauh diluar kota. Dari belakang suara Mama terdengar, "Apa yang kamu cari Raka?" Tanya Mama. Tanganku menyenggol tangan Mas Raka, aku mengkode Mas Raka agar diam. "Gak papa."