Malam itu Mas Raka pulang dengan wajah sumringah, berbeda sekali dengan biasanya yang selalu muram. Apa karena ada Renata? Aku hanya bisa tersenyum ketir tanpa bisa protes akan sikapnya. "Amel gajiku sudah aku transfer di rekening kamu." Ujar pria dingin itu. "Kamu besok bisa membawa ayah kamu ke rumah sakit untuk kontrol." Sambungnya. Aku menatapnya, lalu anggukan kecil aku tunjukkan, meski jahat tapi dia masih memiliki perhatian untuk orang tuaku. "Iya." Kukembalikan pandanganku ke arah TV, ada rasa bersalah karena tak mampu berucap terima kasih padanya.Tapi memang semua berbeda sekarang, dulu aku selalu menyambutnya ketika gajian, makanan enak dan banyak selalu kusajikan sebagai bentuk rasa terima kasih. Diriku kini seperti raga tak bernyawa yang malas berinteraksi dengannya. Ternyata kediaman kumengundang keingintahuannya, bahkan kata-kata sedikit lembut dia ucapkan. "Kenapa? Kamu kelihatan lemas, apa kamu sakit?" Lagi-lagi gelengan yang aku tunjukkan. Pernikaha
Aku lama menunggunya, tapi tak ada panggilan masuk di ponselku, apa saja yang mereka beli sehingga lama sekali? Rasa lelah mulai menghampiriku lalu aku putuskan untuk menghubungi Mas Raka lebih dulu. Panggilanku masuk tapi tidak diterima lalu aku pergi ke supermarket tadi untuk mengecek, tapi tidak kutemui Mas Raka dan Renata. Apa mereka meninggalkan aku? Saat bersamaan, panggilan masuk kuterima."Kamu ke mana saja? Karena kamu lama sekali, jadi aku dan Renata pulang duluan. Kasihan Renata sudah lelah."Aku menahan senyum sinis. Jadi, dia menghukumku seperti ini? Apa susahnya dia coba telepon istrinya ini, tanya di mana, kasih tahu kalau dia sudah mau pulang?!Sudahlah, memang dasarnya mereka saja yang mau berduaan.Tak ingin terpancing amarah, aku mematikan sambungan telepon. "Kamu pikir aku takut pulang sendiri." Aku mengomel di hadapan layar ponselku. Dengan taksi online, aku pulang. Setibanya di rumah aku langsung masuk ke dalam. Kudengar canda tawa di dapur menggema.
Seketika raut wajahnya berubah, "Jika yang kamu maksud adalah nafkah batin. Aku ingatkan, jangan pernah berharap hal itu padaku!""Sebenarnya di hatimu ada tempat untuk diriku nggak sih Mas?" Aku terus menatapnya dengan nanar. Menanti jawaban yang akan dia bari padaku walaupun sebenarnya aku sudah tahu jawabannya. Seraut wajah bingung kulihat, lama pria itu bergeming. Entah apa yang dia pikirkan, lalu suaranya kembali mencuat. "Tidak penting ada atau tidak, yang terpenting kebutuhanmu semua kucukupi." Usai berucap demikian dia keluar kamar meninggalkan aku dalam rasa sakit. Sepanjang malam, ucapannya terngiang di kepalaku, jika aku tidak pernah ada di hatinya, untuk apa dia mau berumah tangga denganku? apa tujuannya? lantas di usia pernikahan yang baru seumur jagung kenapa dia menikah lagi? Segudang pertanyaan menari di kepalaku, rasanya sungguh pusing memikirkan jawaban yang tak kunjung kutemukan. Keesokannya di pagi hari, ketika aku bangun ku rasakan perutku sangat
Dengan gamblang kulihat pria yang menikahiku setahun yang lalu itu tak berbusana. Aku selalu ingin melihat tubuhnya tapi tidak dengan cara seperti ini. Sungguh kini aku justru jijik melihatnya. "Kenapa tidak melakukannya di kamar?" Aku bersuara keras menatap mereka tajam-tajam. "Kamu lagian ngapain tidak ketuk pintu dulu kalau sudah pulang!" Sungguh Mas Raka pintar sekali menjawab, malah menyalahkan aku dengan alasan tak mengetuk pintu. Malas mendebatnya aku pun membalilkan badan dan segera pergi ke kamar. Pikiranku yang sudah penuh dengan penyakit ayah kini ditambah lagi pemandangan menjijikkan mereka. Kesal dan marah bercampur jadi satu. Mataku yang masih suci ini harus ternoda akibat adegan liar mereka. Layaknya berhubungan badan dilakukan di dalam kamar, mengingat ada penghuni lain di rumah tapi agaknya mereka mengabaikan keberadaanku. Segitu tak pentingnya diriku di mata mereka? "Hari ini mengapa begitu banyak yang terjadi." Sambil kuusap rambutku dengan kas
Sambil menangis ku punguti bajuku satu persatu, Rasanya benar-benar sakit. Dengan menahan sakit di bagian sensitifku aku pergi ke kamar mandi. Kuguyur tubuhku dengan air, kugosok bagian tubuh yang terjamah olehnya dengan sabun. Berharap aroma percintaan tadi menghilang namun sayang ingatan di kepala sampai kapanpun tak akan pernah menghilang. "Raka!!! kamu sungguh biadab." Di bawah guyuran air yang mengalir, aku menangis histeris, kenapa dia sangat kejam padaku. Aku ini adalah pasangannya bukan musuh yang tak sepatutnya dibenci. Serangkaian penyesalan kini berdatangan menghampiriku, aku menyesal telah menerima perjodohan setahun lalu, aku menyesal membuat hidupku dan hidupnya terikat. Aku menyesal, sungguh aku menyesal telah mencintainya. Cinta yang kurawat selama setahun kini musnah sudah, hanya menyisakan luka dan rasa benci yang teramat sangat. Puas menangis, aku segera membersihkan diri lalu keluar. Kutatap ranjang dinginku yang kini sudah ternoda dengan perbuata
Buru-buru kuusap air mataku dengan tangan, lalu tersenyum padanya. Rasanya sungguh malu lama tak bertemu dan sekalinya bertemu aku malah dalam keadaan seperti ini. Pria itu juga menatapku sambil berekspresi heran. "Kamu menangis?" Aku menggeleng pelan, "Tidak, mataku kelilipan." Jawabku berbohong sambil pura-pura mengucek mata. Dia hanya tersenyum tipis, entah Mas Daffa percaya atau tidak namun yang jelas aku tidak bisa mengaku akan apa yang terjadi padanya. Mas Daffa adalah seniorku dulu di kampus, dia selalu perhatian padaku bahkan beberapa kali mengungkap perasaannya tapi karena dulu aku dilarang pacaran oleh ayah akhirnya aku selalu menolak cintanya. Meskipun aku selalu menolak cintanya tapi tak membuatnya menyerah, aku sampai heran melihat sikapnya, bagaimana bisa dia begitu gigih. Kami tak lagi bertemu setelah dia lulus kuliah, karena dia harus melanjutkan kuliah S2 diluar negeri. Namun siapa sangka malam ini kami dipertemukan kembali. "Kamu ngapain disini Ma
"Memangnya apa yang aku lakukan?" Dengan ekspresi heran aku menatap Mas Raka. "Kamu mendorong Renata sampai jatuh! masih bilang apa yang kamu lakukan?!" Teriakan Mas Raka menggema membuat aku sedikit menjauh. Kutatap mereka bergantian, sambil menggelengkan kepala, sementara Mas Raka membantu Renata bangun. "Mana yang sakit?" Tanyanya dengan begitu lembut. "Tidak ada Mas." Jawab Renata dengan senyuman manisnya. Melihat drama mereka aku hanya bisa berdecak kesal. "Lebay" cicit ku kesal. Kini tatapan mereka terlempar padaku, ucapanku agaknya mengundang emosi mereka. "Kenapa sih kamu selalu mengganggu Renata?" Suara Mas Raka kembali mencuat. Masih bergeming kutatap dia dengan sinis, "Tanyakan padanya apa yang terjadi!" Renata yang tadi diam kini kembali bersuara, "Sudah Mas, nggak usah diperpanjang, bukankah aku tidak apa-apa." Suara Renata begitu lembut sehingga mampu menarik iba Mas Raka. "Dia sudah keterlaluan Sayang." Ujar Mas Raka. Tatapan Mas Raka
Aku melepas tanganku dengan kasar lalu bergegas naik ke atas. Hidupku benar-benar seperti di dalam neraka, setiap hari bertemu dengan madu yang suka drama dan suami tak mau salah. Bolehkan aku menulis sedikit kebahagian di kisah ini Tuhan? Aku mengusap rambutku frustasi hanya berharap semua berakhir indah. Lelah memikirkan semuanya aku memutuskan untuk tidur kembali. Pagi itu aku yang malas berdrama dengan Mas Raka maupun Renata memutuskan untuk tidak keluar kamar. Lagipula Renata bersikeras menjadi Nyonya di rumah ini jadi aku akan memberinya kesempatan. Setelah Mas Raka berangkat baru aku keluar untuk sarapan. Mungkin lebih baik seperti ini, mengatur jam keluar kamar sehingga bisa memininalis bertatap muka dengan mereka. Baru saja senang karena rumah sepi, tiba-tiba suara Renata terdengar. "Enak sekali kamu Amel, bangun siang turun-turun langsung sarapan." Sindir Renata dari arah belakang. Aku memutar wajah malas, kukira wanita ini berada di kamar tak taunya
Keesokan harinya tubuhku rasanya pegal semua, keganasan Mas Raka semalam benar-benar membuatku sampai memohon ampun. "Kamu kenapa sayang?" tanyanya sambil menatapku. Aku memberengut kesal, "Kenapa-kenapa ini karena keganasan kamu semalam Mas." Bibir refleks maju ke depan. Dia tertawa kemudian memelukku, "Sekali lagi boleh?" Mataku melongo menatapnya, tubuhku sudah remuk begini dia meminta sekali lagi? "Mas kita lanjut nanti ya, aku harus memasak." Buru-buru aku bangkit dan pergi ke kamar mandi. Setelah membersihkan diri aku menyiapkan keperluannya. "Mas dasi warna abu-abunya kok ga ada ya." Aku berkali-kali mencari dasi warna abu namun tak ketemu. Mas Raka tertawa dan hal itu membuat aku kesal. "Bantu cari dong Mas kamu kenapa malah tertawa." Ujarku sambil memberengut. Dia berjalan ke arahku kemudian mengambil dasi yang ternyata ada di leherku. "Ini apa Sayang." Bisiknya. Aku yang malu hanya tertawa. "Maaf Mas." Bukannya segera memakai bajunya, Mas Raka malah men
Mas Raka menjelaskan semua, Kakak Renata sengaja menyebarkan rumor buruk tentang hotel keluarga kami ya tujuannya untuk menghancurkan Mas Raka kembali. Tanganku sontak mengepal, orang ini benar-benar gila. Apa belum puas dia sudah membuat dua direktur resign tanpa mendapatkan apa-apa. "Dia benar-benar!" batinku. Aku harus melawan rasa takutku, ya aku harus menemui Kakak Renata, meskipun dia seorang mafia tapi negara ini adalah negara hukum jadi tak mungkin melakukan hal buruk padaku. Keesokan harinya setelah Mas Raka berangkat ke hotel, aku datang ke kantornya dahulu untuk menemui Kakak Renata. "Semoga saja pria busuk itu disini." Gumamku. Aku meminta supir dan security rumahku menunggu di mobil. Diam-diam aku naik ke atas ke ruangan CEO. Benar saja saat aku mengetuk pintu ada sahutan dari dalam. Saat aku berdiri di hadapannya dia memelototkan mata. "Kamu! beraninya staf biasa masuk ke ruanganku!" Makinya dengan menatapku tajam. "Aku bukan staff disini." Ujarku. Sebenarnya
Mulutku terbuka lebar-lebar, aku sungguh tak menyangka jika bertemu dengan kakak Renata di lift. Dari wajahnya memang pria ini terlihat garang, dia juga sangat dingin lebih dingin dari sikap Mas Raka dulu, pantas sekali dia menjadi seorang mafia kelas kakap di negara ini."OMG dia kakak Renata.":batinku dengan terus menatapnya. Pria itu juga menatapku kemudian berkomentar pedas, "Kenapa kamu terus menatapku! suka?" Suara dinginnya membuat aku segera melemparkan tatapan. Lawak juga nih orang, bisa-bisa berkata seperti itu! mana mungkin aku suka, wajahnya saja menyeramkan. Aku mendengus kesal meskipun di dunia ini lelaki tinggal dia seorang, aku tak mungkin suka. "Maaf tapi kamu bukan tipeku." Ujarku ketus. Kebetulan live telah tebuka dia melangkahkan kaki keluar.Saat dia keluar aku menghela nafas dalam-dalam. "Syukurlah." Sambil mengelus dada. Setibanya di ruangan mas Raka aku segera memberikan berkas yang dia minta."Terima kasih sayang maaf aku merepotkanmu," katanya lalu men
"Posesif sekali kamu Raka, tenang saja aku tidak akan mengambil amal darimu." Ujar Mas Daffa dengan tertawa.Aku juga tertawa, "Dia sekarang bucin akut Mas." Aku turut menimpali ucapan Mas Daffa. Kami bertiga tertawa bersama, syukurlah Mas Daffa dan Mas Raka kini tidak bermusuhan lagi. Setelah mengobrol random Mas Daffa pamit pulang sedangkan kami selepas kepulangannya kembali ke kamar. Di dalam kamar kami mengobrol kembali hingga akhirnya kami memutuskan untuk istirahat mengingat malam sudah sangat larut. Keesokan paginya aku melakukan aktivitasku seperti biasa, mask, bersih-bersih dan menyiapkan keperluan Mas Raka. Mas Raka pagi ini berangkat lebih awal karena dia harus bertemu Mas Daffa kembali untuk membahas Kakak Renata. "Dibahas lagi Mas, bukankah semalam sudah selesai." Kataku sambil menyiapkan bekal makannya. "Aku mendapatkan kabar buruk sayang." Jawab Mas Raka sambil menunjukkan ponselnya. "Perusahaan terancam bangkrut." Mataku rasanya mau keluar membaca berita itu.
Mas Raka menggeleng, agaknya mas Raka juga bingung dengan hal ini. "Entahlah Sayang, aku akan menyelidikinya." Ujar Mas Raka. Aku mengangguk paham. Sepanjang jalan, aku masih mengingat kejadian tadi. Kini aku tidak berani kemana-mana sendiri, Renata sungguh meresahkan. "Mas tapi bagaimana bisa Mas Daffa datang menyelamatkan kita?" Aku yang baru menyadari hal itu segera bertanya pada Mas Raka. "Tadi aku keluar sama atasanku, ternyata kami bertemu dengan Daffa untuk membahas kerja sama waktu itu." Jelas Mas Raka. "Oh gitu jadi tadi pas kamu telpon, ada Mas Daffa? dan Mas Daffa tahu?" Kembali aku bertanya. Mas Daffa yang berada di belakang mobil kami melaju mendahului karena memang arah rumah kami berlawanan. Setibanya di rumah Mas Raka melakukan banyak panggilan, dia berusaha keras untuk menyelidiki Renata. "Mas makan dulu." Aku sengaja membawa makanan ke ruang kerjanya karna kutahu suamiku kini malas makan. "Nanti dulu Sayang," katanya tanpa melihatku. "Aku lapar
Aku segera berteriak agar Mas Raka tidak masuk, "Jangan Mas!" Namun Renata segera memutuskan sambungan telponnya. Dia kemudian menatapku, "Kamu pikir paling pintar Amel!" Ujarnya lalu berjalan mendekat ke arahku. Wanita itu mencengkeram daguku. "Aku sengaja membiarkan kamu memberikan info padanya biar dia kesini!" Lalu dengan keras dia membuang wajahku. "Dasar wanita jahat!" Teriakku. Tak selang kemudian, seseorang datang melapor. Renata tertawa kemudian memberi perintahnya. "Bawa dia masuk." katanya. Kutahu pasti Mas Raka yang datang. Dan benar saja Mas Raka masuk dengan dikawal dua orang. Melihat Mas Raka Renata nampak marah, wanita ini terlihat begitu menyimpan dendam pada mantan suaminya. "Hai Raka!" Dia berjalan menatap Mas Raka. "Lepaskan Amel Renata! urusanmu denganku bukan dengannya!" Ujar Mas Raka dengan lantang. Renata tertawa sinis, "Jelas ada Raka, dialah yang membuat kamu menceraikan aku, dia juga yang membuat aku menderita!" Teriaknya. "Kenapa
Mas Raka langsung mendekat, "Ada apa Sayang?" tanya Mas Raka panik. "Lihatlah Mas." Aku tunjukkan foto yang dikirim nomor asing itu. Mas Raka mengepalkan tangannya, "Apa maksudnya." Ujarnya marah. Pria itu menelpon nomor asing tersebut. "Nomornya tidak aktif sayang." Aku duduk dan terdiam, memikirkan foto itu. "Kira-kira apa maksudnya si pengirim itu ya Mas, kenapa foto kucing berlumuran darah dia kirim ke aku?" Ku pandang Mas Raka. "Entahlah Sayang, sudah jangan kamu pikirkan." Mas Raka membujuk aku. Aku mengangguk, kemudian Mas Raka meminta aku untuk istirahat. "Kamu istirahat dulu, aku harus kembali bekerja." Ujar Mas Raka lalu mengecupku. Pikiranku benar-benar kacau, pesan ini jelas bukan pesan iseng melainkan sebuah ancaman, apa si pengirim pesan ingin membunuh aku seperti kucing itu? 'Apa ini perbuatan Renata?' Aku membatin dan menerka jika itu adalah Renata. Lelah memikirkan foto yang dikirim tadi, aku memutuskan untuk tidur. Entah berapa lam
Aku benar-benar tak tahu dimanapun aku berada rasanya selalu ada yang mengawasi, apa itu benar Renata atau hanya pikiranku saja? Sudah sebulan ini aku terus terganggu dengan hal itu, hingga aku stres sendiri. "Sudah Sayang jangan memikirkan hal itu," bujuk Mas Raka. "Tapi aku merasa ada yang mengawasi Mas." Dalam pelukan Mas Raka aku menangis, mengeluhkan apa yang aku rasakan. Pria itu dengan lembut mengelus rambutku, kutau dia juga sangat mencemaskanku. Dia dan Mas Daffa telah melakukan hal terbaik untukku tapi tetap saja akun merasa tak tenang. Hingga suatu siang saat Mas Raka ada meeting di luar kota, dia tidak bisa datang ke kantor untuk makan siang, sementara Mas Daffa juga sama. Aku yang lapar terdiam di lobi, antara keluar atau memesan makanan saja. Ketika ragu salah satu temanku mengajak aku makan di depot sebelah. "Amel ayo." Ajaknya. Akhirnya aku ikut dengannya, pikirku mungkin selama ini aku hanya terlalu banyak pikiran saja sehingga merasa jika a
Aku meyakinkan mas Raka jika aku akan aman meskipun aku bekerja. Karena tidak mungkin Renata datang menemuiku di kantor. "Kamu tenang saja Mas, nggak usah berpikir yanga berlebihan." aku pun mencoba menenangkannya. "Tapi aku takut sayang bila dia mencelakaimu." Mas Raka menatapku nanar. "Kita berdoa saja semoga Renata tidak dendam sama kita." Aku mencoba mengurai ketakutan mas Raka, ketakutanku dan ketakutan Mas Raka berbeda, dia takut Renata mencelakaiku sementara aku takut mereka rujuk kembali. "Sebenarnya yang aku takutkan adalah kamu kembali lagi padanya Mas." Mas Raka memelukku dan meyakinkan aku jika hal itu tidak akan terjadi, "Hatiku telah kamu genggam sayang jadi mana mungkin aku rujuk sama Renata kembali?"Aku mengangguk kemudian melepas pelukannya. Tak ingin terus membahas masalah ini aku mengajak Mas Raka makan. "Keburu masakanku dingin," kataku sambil menarik tangannya. Di meja makan kita sekarang aku melayani suamiku dengan meletakkan makanan di piringnya setela