"Memangnya apa yang aku lakukan?" Dengan ekspresi heran aku menatap Mas Raka. "Kamu mendorong Renata sampai jatuh! masih bilang apa yang kamu lakukan?!" Teriakan Mas Raka menggema membuat aku sedikit menjauh. Kutatap mereka bergantian, sambil menggelengkan kepala, sementara Mas Raka membantu Renata bangun. "Mana yang sakit?" Tanyanya dengan begitu lembut. "Tidak ada Mas." Jawab Renata dengan senyuman manisnya. Melihat drama mereka aku hanya bisa berdecak kesal. "Lebay" cicit ku kesal. Kini tatapan mereka terlempar padaku, ucapanku agaknya mengundang emosi mereka. "Kenapa sih kamu selalu mengganggu Renata?" Suara Mas Raka kembali mencuat. Masih bergeming kutatap dia dengan sinis, "Tanyakan padanya apa yang terjadi!" Renata yang tadi diam kini kembali bersuara, "Sudah Mas, nggak usah diperpanjang, bukankah aku tidak apa-apa." Suara Renata begitu lembut sehingga mampu menarik iba Mas Raka. "Dia sudah keterlaluan Sayang." Ujar Mas Raka. Tatapan Mas Raka
Aku melepas tanganku dengan kasar lalu bergegas naik ke atas. Hidupku benar-benar seperti di dalam neraka, setiap hari bertemu dengan madu yang suka drama dan suami tak mau salah. Bolehkan aku menulis sedikit kebahagian di kisah ini Tuhan? Aku mengusap rambutku frustasi hanya berharap semua berakhir indah. Lelah memikirkan semuanya aku memutuskan untuk tidur kembali. Pagi itu aku yang malas berdrama dengan Mas Raka maupun Renata memutuskan untuk tidak keluar kamar. Lagipula Renata bersikeras menjadi Nyonya di rumah ini jadi aku akan memberinya kesempatan. Setelah Mas Raka berangkat baru aku keluar untuk sarapan. Mungkin lebih baik seperti ini, mengatur jam keluar kamar sehingga bisa memininalis bertatap muka dengan mereka. Baru saja senang karena rumah sepi, tiba-tiba suara Renata terdengar. "Enak sekali kamu Amel, bangun siang turun-turun langsung sarapan." Sindir Renata dari arah belakang. Aku memutar wajah malas, kukira wanita ini berada di kamar tak taunya
"Jangan ngelunjak kamu Amel! ingat siapa yang akan membiayai pengobatan ayah jika kita berpisah!" Tatapan benci aku tunjukkan, sungguh dia adalah manusia terkejam yang pernah aku temui. Setelah dia pergi, aku meringkuk di sofa. Pikiranku benar-benar kacau. Ingin sekali pulang ke rumah dan memeluk ibuku tapi... Kesedihanku akan menambah pikirkan ayah sementara dokter melarang ayah banyak pikiran. Alhasil aku hanya bisa diam di kamar ini dengan air mata yang terus jatuh. "Kuat Amel, kuat." Aku mencoba menyemangati diriku sendiri namun semangat itu tak berpengaruh apapun, aku tetap saja terpuruk dalam sakit. Membuka mata sakit, memejamkan mata tak bisa sungguh sesak sekali dadaku. Saat dalam kefrustasian, Mas Daffa mengirim pesan padaku. Basa-basinya ku tanggapi serius, hingga kami terus mengobrol lewat pesan singkat. Tak peduli malam sudah larut, aku terus saja membalas pesannya tanpa mau berniat menghentikannya. Keesokan harinya, aku berniat pergi ke rumah or
"Tidak! aku akan tetap bekerja!" Dengan suara lantang ku bantah perintahnya. "Kamu pintar membantah sekarang." Tatapan dinginnya mencuat. Jujur melihatnya menatapku seperti itu aku sedikit kikuk, tapi aku harus tetap bekerja, selain agar bisa memenuhi kebutuhan ayah aku juga harus siap sedia karena aku tidak tahu kedepannya bagaimana. Setidaknya jika aku bekerja aku akan baik-baik saja apalagi setelah pernikahan ini boroknya tak lagi bisa kututupi. "Aku belajar darimu." Ujarku dingin. Sudahlah sebelum pembahasan kemana-mana yang bisa merusak mood, aku memutuskan bangkit dan berangkat. Mas Raka terus menahanku tapi aku tak akan berpengaruh. Selama ini aku hanya diam menerima perlakukan buruknya dan kali ini aku akan melawan. Aku terus berjalan ke depan meski ancaman terus Mas Raka kumandangkan. Tapi....Baru saja keluar rumah, aku baru ingat jika bekalku ketinggalan. Alhasil aku harus kembali lagi. Melihatku kembali membuat Mas Raka sedikit tersenyum sinis, "Kem
Tak terasa taksi yang membawa aku sudah berhenti di depan lobi, aku buru-buru keluar dan bergegas masuk. Netraku terus menatap alat penunjuk waktu di pergelangan tangan, mengabaikan peringatan lantai licin. "Aaaa." Alhasil kakiku tergelincir. Teriakan keluar dari mulutku begitu saja, mengabaikan jika kini aku ada di kantor. Aku pasrah jika harus jatuh namun ternyata sebuah tangan menangkapku. "Mas Daffa." Sungguh pria ini selalu ada, bahkan saat aku terjatuh dia datang untukku. Sejenak aku terpaku menatapnya melupakan keberadaanku yang mungkin saat ini aku menjadi pusat perhatian banyak staff. Semakin aku menatapnya aku semakin terbuai dalam lamunan hingga suaranya membuyarkan semua. "Hati-hati Mel." Aku tersentak kaget, lalu buru-buru melepaskan tangannya. "Maaf Mas aku tadi tergesa-gesa sehingga mengabaikan adanya peringatan lantai licin. Dia tersenyum lalu kulihat netranya memutar melihat beberapa staff yang asik menyaksikan adegan kami. "Apa yang kalian
Waktu berjalan dengan cepat tak terasa sudah seminggu berlalu. Sore itu aku kembali diantar oleh Mas Daffa, meskipun aku berkali-kali menolaknya tapi dia tetap bersikeras akan niatnya. Di dalam mobil kami menceritakan pekerjaan kami masing-masing di sela-sela obrolan kami Mas Daffa selalu berhasil membuat aku tertawa dengan candaannya. Kehadiran Mas Daffa benar-benar membuat aku lupa jika aku adalah seorang istri. Dia mengembalikan kecerian di wajahku. Menghapus segala kesedihan yang kurasakan. Kini mobil Mas Daffa telah sampai di depan rumah, setelah mengucapkan terima kasih aku segera turun. Ku lambaikan tanganku, ketika dia membuka kaca mobilnya, "Hati-hati Mas." Dia tersenyum dan berlalu. Tak kusangka dari arah berlawanan munculah mobil Mas Raka. Hatiku mencelos, apa dia melihat aku diantar Mas Daffa? Rasa gugup sedikit menguasaiku namun aku segera menghalaunya, lagipula bukankah dia tak peduli padaku? Kini mobil Suami ku telah memasuki Carport, seolah bukan sia
Aku dan Mas Raka saling pandang, bagaimana bisa hamil malam pertama saja baru terjadi beberapa waktu yang lalu itu saja aku diroda paksa oleh anaknya. "Akan kami upayakan secepatnya Ma." Ujar Mas Raka. Sungguh tak paham dengan pemikiran Mas Raka yang tega mengkhianati kepercayaan kedua orang tuanya. Jika suatu saat mereka tahu borok pernikahan kami bagaimana? bukankah mereka akan sakit dan kecewa? jika sudah seperti itu apakah dia masih disebut anak berbakti? Seandainya sudah cukup denganku dan pernikahan kami, pasti Mama dan Papanya akan segera menimang cucu. Ah sudahlah, mungkin sudah begini jalannya, biarlah dia pikir sendiri jika suatu saat kebohongannya terungkap lagipula aku disini hanyalah korban dari keegoisan Mas Raka dan Renata. Lama tak berkunjung ke rumah, Mama Mas Raka meminta kami untuk menginap. Gelengan keras sontak kutunjukkan begitu pula dengan Mas Raka. "Tidak bisa Ma," ujar Mas Raka dengan menatap mamanya. "Mas Raka ada urusan Ma." Aku turut menimp
Sore itu aku memutuskan keluar dari kamar Mas Raka, aku segera bergabung dengan mertuaku yang kini duduk di halaman belakang. "Amel, Raka mana?" tanya Mama sambil memutar netra ke belakangku. "Mas Raka ada urusan Ma," jawabku sambil tersenyum. Raut Mama Mas Raka berubah, kutemukan kekesalan disana. Mama Mas Raka meminta aku untuk sabar menghadapi sikap Mas Raka, menurut Mama Mas Raka, anaknya agak sedikit gila kerja. Aku hanya mengangguk paham walaupun hatiku menolak mentah-mentah asusmsi Mama. Dia bukan gila kerja melainkan gila wanita. Di rumah orang tua Mas Raka, aku benar-benar tenang, diperlakukan seperti anak sendiri begitu menyenangkan. Untung aku tadi tidak ikut pulang coba saja jika aku ikut pasti saat ini kekesalan menghantam ku karena perlakuan Renata. Malam itu saat kami makan, Mama Mas Raka masih mencari keberadaan anaknya, tanpa Mama tahu Mas Raka tidak mungkin kembali kesini. "Urusan apa hingga malam begini tidak kembali?" Mama terlihat kesal.
Seperti kemarin aku datang lagi ke rumah Renata, saat menemuiku Renata sudah menunjukkan ekspresi tak suka. "Mau apa lagi kamu kemari?" Tanyanya sinis. "Apa sudah kamu pikirkan ucapanku kemarin?" Tanpa menjawab aku justru melemparkan pertanyaan. Dia tertawa kemudian bilang ke aku jika Daniel memintanya untuk tidak menggubris ucapanku. Tentu aku melongo, apa maunya kuda nil itu! jelas-jelas dia memintaku untuk membujuk Renata tapi mengapa dia malah berkata demikian? "Dia bicara begitu?" tanganku sontak mengepal. "Iya, lagipul kak Daniel akan selalu menyayangiku selamanya, dia akan menuruti semua kemauan ku termasuk membuat kalian menderita!" Renata tertawa bahagia sementara aku kekesalan menggerogoti hatiku. "Yakin? manusia itu gampang berubah sekarang bilang akan selalu menyayangi tapi entah besok." Agaknya ucapanku mengundang perhatiannya, sehingga Renata menatapku tajam. "Aku yakin sama Kak Daniel." Ujarnya. "Dulu kamu juga yakin sama Mas Raka bukan?" Raut wajah Renata be
Esok harinya setelah Mas Raka berangkat ke kantor, aku pergi menemui Renata di rumahnya. Mengetahui kedatanganku Renata sangat terkejut. "Amel! bagaimana kamu tahu rumahku?" Dia menatapku tajam. "Tidak penting aku tahu darimana." Ujarku yang juga menatapnya. Dia duduk di sofanya yang lain, "Apa maumu?" Masih dengan tatapan yang sama. "Aku ingin bicara Renata." Sahutku. "Bicara apa?" Tanyanya dengan dingin. Aku menghela nafas, kalau bukan demi Mas Raka aku tidak mungkin mau menemuinya, soal penculikan waktu itu saja masih ku ingat bahkan masih jadi ketakutanku "Mari kita akhiri dendam ini." Kutatap dia dengan lekat. "Enak saja, aku menderita setelah Raka menceraikan aku dan kini kamu ingin aku mengakhiri ini?" Dia mendengus kesal. Dia pikir hanya dia saja yang menderita, aku jauh lebih parah. Ingin sekali aku pergi tapi aku harus berhasil membujuknya atau kakaknya akan menghancurkan bisnis keluargaku. "Kita sudah mendapatkan karma kita masing-masing Renata, kamu m
Keesokan harinya tubuhku rasanya pegal semua, keganasan Mas Raka semalam benar-benar membuatku sampai memohon ampun. "Kamu kenapa sayang?" tanyanya sambil menatapku. Aku memberengut kesal, "Kenapa-kenapa ini karena keganasan kamu semalam Mas." Bibir refleks maju ke depan. Dia tertawa kemudian memelukku, "Sekali lagi boleh?" Mataku melongo menatapnya, tubuhku sudah remuk begini dia meminta sekali lagi? "Mas kita lanjut nanti ya, aku harus memasak." Buru-buru aku bangkit dan pergi ke kamar mandi. Setelah membersihkan diri aku menyiapkan keperluannya. "Mas dasi warna abu-abunya kok ga ada ya." Aku berkali-kali mencari dasi warna abu namun tak ketemu. Mas Raka tertawa dan hal itu membuat aku kesal. "Bantu cari dong Mas kamu kenapa malah tertawa." Ujarku sambil memberengut. Dia berjalan ke arahku kemudian mengambil dasi yang ternyata ada di leherku. "Ini apa Sayang." Bisiknya. Aku yang malu hanya tertawa. "Maaf Mas." Bukannya segera memakai bajunya, Mas Raka malah men
Mas Raka menjelaskan semua, Kakak Renata sengaja menyebarkan rumor buruk tentang hotel keluarga kami ya tujuannya untuk menghancurkan Mas Raka kembali. Tanganku sontak mengepal, orang ini benar-benar gila. Apa belum puas dia sudah membuat dua direktur resign tanpa mendapatkan apa-apa. "Dia benar-benar!" batinku. Aku harus melawan rasa takutku, ya aku harus menemui Kakak Renata, meskipun dia seorang mafia tapi negara ini adalah negara hukum jadi tak mungkin melakukan hal buruk padaku. Keesokan harinya setelah Mas Raka berangkat ke hotel, aku datang ke kantornya dahulu untuk menemui Kakak Renata. "Semoga saja pria busuk itu disini." Gumamku. Aku meminta supir dan security rumahku menunggu di mobil. Diam-diam aku naik ke atas ke ruangan CEO. Benar saja saat aku mengetuk pintu ada sahutan dari dalam. Saat aku berdiri di hadapannya dia memelototkan mata. "Kamu! beraninya staf biasa masuk ke ruanganku!" Makinya dengan menatapku tajam. "Aku bukan staff disini." Ujarku. Sebenarnya
Mulutku terbuka lebar-lebar, aku sungguh tak menyangka jika bertemu dengan kakak Renata di lift. Dari wajahnya memang pria ini terlihat garang, dia juga sangat dingin lebih dingin dari sikap Mas Raka dulu, pantas sekali dia menjadi seorang mafia kelas kakap di negara ini."OMG dia kakak Renata.":batinku dengan terus menatapnya. Pria itu juga menatapku kemudian berkomentar pedas, "Kenapa kamu terus menatapku! suka?" Suara dinginnya membuat aku segera melemparkan tatapan. Lawak juga nih orang, bisa-bisa berkata seperti itu! mana mungkin aku suka, wajahnya saja menyeramkan. Aku mendengus kesal meskipun di dunia ini lelaki tinggal dia seorang, aku tak mungkin suka. "Maaf tapi kamu bukan tipeku." Ujarku ketus. Kebetulan live telah tebuka dia melangkahkan kaki keluar.Saat dia keluar aku menghela nafas dalam-dalam. "Syukurlah." Sambil mengelus dada. Setibanya di ruangan mas Raka aku segera memberikan berkas yang dia minta."Terima kasih sayang maaf aku merepotkanmu," katanya lalu men
"Posesif sekali kamu Raka, tenang saja aku tidak akan mengambil amal darimu." Ujar Mas Daffa dengan tertawa.Aku juga tertawa, "Dia sekarang bucin akut Mas." Aku turut menimpali ucapan Mas Daffa. Kami bertiga tertawa bersama, syukurlah Mas Daffa dan Mas Raka kini tidak bermusuhan lagi. Setelah mengobrol random Mas Daffa pamit pulang sedangkan kami selepas kepulangannya kembali ke kamar. Di dalam kamar kami mengobrol kembali hingga akhirnya kami memutuskan untuk istirahat mengingat malam sudah sangat larut. Keesokan paginya aku melakukan aktivitasku seperti biasa, mask, bersih-bersih dan menyiapkan keperluan Mas Raka. Mas Raka pagi ini berangkat lebih awal karena dia harus bertemu Mas Daffa kembali untuk membahas Kakak Renata. "Dibahas lagi Mas, bukankah semalam sudah selesai." Kataku sambil menyiapkan bekal makannya. "Aku mendapatkan kabar buruk sayang." Jawab Mas Raka sambil menunjukkan ponselnya. "Perusahaan terancam bangkrut." Mataku rasanya mau keluar membaca berita itu.
Mas Raka menggeleng, agaknya mas Raka juga bingung dengan hal ini. "Entahlah Sayang, aku akan menyelidikinya." Ujar Mas Raka. Aku mengangguk paham. Sepanjang jalan, aku masih mengingat kejadian tadi. Kini aku tidak berani kemana-mana sendiri, Renata sungguh meresahkan. "Mas tapi bagaimana bisa Mas Daffa datang menyelamatkan kita?" Aku yang baru menyadari hal itu segera bertanya pada Mas Raka. "Tadi aku keluar sama atasanku, ternyata kami bertemu dengan Daffa untuk membahas kerja sama waktu itu." Jelas Mas Raka. "Oh gitu jadi tadi pas kamu telpon, ada Mas Daffa? dan Mas Daffa tahu?" Kembali aku bertanya. Mas Daffa yang berada di belakang mobil kami melaju mendahului karena memang arah rumah kami berlawanan. Setibanya di rumah Mas Raka melakukan banyak panggilan, dia berusaha keras untuk menyelidiki Renata. "Mas makan dulu." Aku sengaja membawa makanan ke ruang kerjanya karna kutahu suamiku kini malas makan. "Nanti dulu Sayang," katanya tanpa melihatku. "Aku lapar
Aku segera berteriak agar Mas Raka tidak masuk, "Jangan Mas!" Namun Renata segera memutuskan sambungan telponnya. Dia kemudian menatapku, "Kamu pikir paling pintar Amel!" Ujarnya lalu berjalan mendekat ke arahku. Wanita itu mencengkeram daguku. "Aku sengaja membiarkan kamu memberikan info padanya biar dia kesini!" Lalu dengan keras dia membuang wajahku. "Dasar wanita jahat!" Teriakku. Tak selang kemudian, seseorang datang melapor. Renata tertawa kemudian memberi perintahnya. "Bawa dia masuk." katanya. Kutahu pasti Mas Raka yang datang. Dan benar saja Mas Raka masuk dengan dikawal dua orang. Melihat Mas Raka Renata nampak marah, wanita ini terlihat begitu menyimpan dendam pada mantan suaminya. "Hai Raka!" Dia berjalan menatap Mas Raka. "Lepaskan Amel Renata! urusanmu denganku bukan dengannya!" Ujar Mas Raka dengan lantang. Renata tertawa sinis, "Jelas ada Raka, dialah yang membuat kamu menceraikan aku, dia juga yang membuat aku menderita!" Teriaknya. "Kenapa
Mas Raka langsung mendekat, "Ada apa Sayang?" tanya Mas Raka panik. "Lihatlah Mas." Aku tunjukkan foto yang dikirim nomor asing itu. Mas Raka mengepalkan tangannya, "Apa maksudnya." Ujarnya marah. Pria itu menelpon nomor asing tersebut. "Nomornya tidak aktif sayang." Aku duduk dan terdiam, memikirkan foto itu. "Kira-kira apa maksudnya si pengirim itu ya Mas, kenapa foto kucing berlumuran darah dia kirim ke aku?" Ku pandang Mas Raka. "Entahlah Sayang, sudah jangan kamu pikirkan." Mas Raka membujuk aku. Aku mengangguk, kemudian Mas Raka meminta aku untuk istirahat. "Kamu istirahat dulu, aku harus kembali bekerja." Ujar Mas Raka lalu mengecupku. Pikiranku benar-benar kacau, pesan ini jelas bukan pesan iseng melainkan sebuah ancaman, apa si pengirim pesan ingin membunuh aku seperti kucing itu? 'Apa ini perbuatan Renata?' Aku membatin dan menerka jika itu adalah Renata. Lelah memikirkan foto yang dikirim tadi, aku memutuskan untuk tidur. Entah berapa lam