Aku dan Mas Raka saling pandang, bagaimana bisa hamil malam pertama saja baru terjadi beberapa waktu yang lalu itu saja aku diroda paksa oleh anaknya. "Akan kami upayakan secepatnya Ma." Ujar Mas Raka. Sungguh tak paham dengan pemikiran Mas Raka yang tega mengkhianati kepercayaan kedua orang tuanya. Jika suatu saat mereka tahu borok pernikahan kami bagaimana? bukankah mereka akan sakit dan kecewa? jika sudah seperti itu apakah dia masih disebut anak berbakti? Seandainya sudah cukup denganku dan pernikahan kami, pasti Mama dan Papanya akan segera menimang cucu. Ah sudahlah, mungkin sudah begini jalannya, biarlah dia pikir sendiri jika suatu saat kebohongannya terungkap lagipula aku disini hanyalah korban dari keegoisan Mas Raka dan Renata. Lama tak berkunjung ke rumah, Mama Mas Raka meminta kami untuk menginap. Gelengan keras sontak kutunjukkan begitu pula dengan Mas Raka. "Tidak bisa Ma," ujar Mas Raka dengan menatap mamanya. "Mas Raka ada urusan Ma." Aku turut menimp
Sore itu aku memutuskan keluar dari kamar Mas Raka, aku segera bergabung dengan mertuaku yang kini duduk di halaman belakang. "Amel, Raka mana?" tanya Mama sambil memutar netra ke belakangku. "Mas Raka ada urusan Ma," jawabku sambil tersenyum. Raut Mama Mas Raka berubah, kutemukan kekesalan disana. Mama Mas Raka meminta aku untuk sabar menghadapi sikap Mas Raka, menurut Mama Mas Raka, anaknya agak sedikit gila kerja. Aku hanya mengangguk paham walaupun hatiku menolak mentah-mentah asusmsi Mama. Dia bukan gila kerja melainkan gila wanita. Di rumah orang tua Mas Raka, aku benar-benar tenang, diperlakukan seperti anak sendiri begitu menyenangkan. Untung aku tadi tidak ikut pulang coba saja jika aku ikut pasti saat ini kekesalan menghantam ku karena perlakuan Renata. Malam itu saat kami makan, Mama Mas Raka masih mencari keberadaan anaknya, tanpa Mama tahu Mas Raka tidak mungkin kembali kesini. "Urusan apa hingga malam begini tidak kembali?" Mama terlihat kesal.
"Teman." Jawabku singkat lalu menutup pintu kembali. Renata menatapku dengan tatapan menyelidik, seolah tak percaya dengan apa yang aku katakan.Tapi....Aku masa bodoh dengan tatapan maupun apa yang dia pikirkan.Di dalam kamar aku segera menikmati empuknya kasur, kenyamanan kasur justru membuatku tertidur padahal belum membersihkan diri. Aku pikir kejadian semalam sudah selesai namun sepertinya Renata memperpanjang masalah tersebut dengan mengadukannya kepada Mas Raka. Alhasil ketika aku sedang memasak, Mas Raka kembali bertanya hal yang sama. "Semalam siapa yang mengantar kamu pulang?" Pertanyaanya cukup membuat aku terkejut, bahkan aku yang sedang memasak sontak membalikkan badan sambil membawa sutil. "Teman." Aku menjawab pertanyaannya dengan singkat. "Teman siapa?" Mas Raka bertanya lagi. Aku yang tengah menggoreng ayam meletakkan sutilku dengan kesal. Pagi-pagi kenapa membuat moodku buruk. "Meskipun aku memberitahu namanya kamu juga nggak akan tau." Jawabku dingi
"Teman atau gebetan apa pedulimu Mas?" Meski aku takut dan nyali menciut kutatap tajam matanya. "Kamu ini gimana sih Amel, jelas peduli! kamu tuh seorang istri!" Renata turut menyalakan aku. Melihat mereka mengeroyokku aku tak gentar, walaupun kakiku rasanya mau ambruk. "Tapi aku tidak merasa jika aku seorang istri." Kutatap Renata tajam-tajam lalu kulempar tatapanku ke Mas Raka. "Kamu tidak pernah menganggap aku istri kan?" Ingatan akan perlakuan Mas Raka datang kembali mengoyak hatiku yang sakit. Mulai aku diabaikan, dimarahi, dibentak, dipoligami dan puncaknya dipaksa melayani nafsu bejadnya, semua hal itu ramai di otakku. "Kamu itu salah! ditegur malah bicara yang nggak-nggak!" Gigi Mas merapat, rahangnya pun mengeras. Biasanya aku sangat ketakutan melihatnya begini namun kali ini rasa takutku entah kabur kemana hanya menyisakan keberanian. Aku tertawa sambil menggelengkan kepala, "Jika menurut kamu diantar pulang teman itu sebuah kesalahan lalu apa tindakan ka
Mas Raka menyeringai menatapku, "Jangan GR kamu! siapa yang menunggumu, siapa juga yang cemburu!" Aku tersenyum lalu berucap, "Syukurlah." Tak ingin mendebat lagi, aku memutuskan naik ke kamarku. Di kamar aku tertawa jika ingat ucapkanku tadi, mana mungkin dia menunggu atau cemburu padaku, dia tidak mungkin peduli padaku karena yang diperdulikan nya hanya lah Renata. Hidup seatap dengan madu serta suami yang tak peduli cukup membuat hatiku lelah, bahkan jika aku ingat kembali perlakuan mereka hatiku ingin menjerit sekerasnya, ingin ku langkahkan kaki pergi tapi masih ada orang tua yang harus kupikir. Kuhapus air mataku, aku tak boleh kalah dengan keadaan, aku harus kuat, aku yakin di akhir sana ada hal yang indah menanti. Pagi itu seperti biasa kami bertatap muka di ruang makan, lagi-lagi mereka mencari gara-gara denganku. "Amel mulai hari ini biar Renata yang memegang uang belanja." Ujar Mas Raka. "Mana bisa seperti itu, bukankah setiap bulan kamu pasti memberikan gaji kamu
Raut wajah Mas Daffa berubah, dia menatap aku sayu. "Kenapa kamu nggak bilang kalau kamu sudah menikah Mel?" Suaranya begitu lemah, terdengar jika dia sangat kecewa. "Maafkan aku Mas," kutatap lekat pria itu. Kini tatapan Mas Raka mengarah padaku, cara dia menatapku sangat terlihat jika dia sangat marah. "Jadi kamu menyembunyikan statusmu padanya! ada apa?" Dia membentakku. Dimarahi di depan Mas Daffa membuatku tak berkutik, apalagi raut Mas Daffa membuat aku merasa bersalah. "Tidak ada apa-apa." Cicit ku pelan. Mas Raka menarik tubuhku dengan kasar lalu dia merangkulku di depan Mas Daffa. "Sudah jelas jika wanita yang kamu cari ini sudah menikah, jadi sekarang pergilah!" Kekesalan ku memuncak, sekuat tenaga aku berusaha melepas tangannya. "Lepas!" Tau aku berusaha melepas tangannya, Mas Raka semakin erat memegang bahuku sehingga aku kesakitan sendiri. Sementara Mas Daffa berusaha bicara, "Jangan berlaku kasar pada wanita lihatlah Amel kesakitan." "Kamu tidak ada
Tatapanku terlempar begitu saja, setelah kalimat dari Mas Daffa mencuat. Apa maksudnya? apakah dia akan menanggung semua biaya pengobatan ayah? tidak, itu bukan tanggung jawabnya. "Aku pasti pergi dari hidup suamiku itu tapi untuk biaya ayah aku tidak mungkin membebankannya padamu Mas." Ujarku dengan tegas. Seraut wajah kecewa kembali kudapati, dan sesaat kemudian senyumannya kulihat. "Baiklah Amel tapi janji kalau ada apa-apa atau bahkan kamu perlu sesuatu jangan sungkan." Ucapnya. Anggukan kutunjukkan meski aku tidak mungkin membagi permasalahanku dengannya. Jam istirahat telah usai, kami berdua memutuskan untuk segera kembali. Sore itu setelah pulang kantor, aku janjian dengan Ira di suatu kafe, niat awalnya aku ingin naik taksi online namun lagi-lagi mobil Mas Daffa yang berhenti di depanku. "Amel masuk." Titahnya. Aku mengerutkan alis, "Mas aku sudah memesan taksi online. " Tinggal batalkan lalu bayar ganti rugi." Ujar pria itu. Kakiku melangkah masuk
"Aku sangat pusing Mas." Ucapku lirih. Setelah berucap demikian, aku memejamkan mata. Tak tahu apa yang terjadi selanjutnya, tau-tau saat membuka mata kulihat seorang dokter memeriksaku. "Aku kenapa?" Cicitku. Dokter itu tersenyum lalu melepas stetoskopnya. "Anda tadi pingsan." Tak jauh dari Dokter aku melihat Mas Daffa, pria itu menunjukkan ekspresi sedihnya, sedangkan Mas Raka duduk di sofa bersama Renata. "Dia kenapa Dok?" tanya Mas Daffa panik. "Tidak ada hal yang serius Pak Daffa, pasien hanya syok saja." Dokter itu lalu menulis sebuah resep. Kini Mas Daffa duduk di sisiku, "Apa masih pusing?" tanya atasanku itu. Aku mengangguk, "Terima kasih Mas." Dia tersenyum menatapku, "Sama-sama Amel, kamu cepat sembuh ya." Ujar pria manis itu. Mas Raka bangkit kemudian dia mendekat, "Apa yang kamu rasakan?" Suara dingin Mas Raka mencuat "Pusing." Jawabku singkat. Kini tatapan Mas Raka beralih ke Mas Daffa, "Sesuai janjimu, sekarang pergilah!" Ujar Mas Raka. "Iya!
Tanganku mengepal, emosiku meledak-ledak melihatnya. Melihatku Mas Raka hanya menghela nafas. "Aku lelah, jangan marah-marah seperti ini." Katanya lalu dia merebahkan diri di tempat tidur. Tak rela jika amarahku berakhir begitu saja aku pun menghampirinya, ku tarik tangannya agar bangun untuk mendengar omelanku. Tapi bukannya bangun Mas Raka justru menarik tubuhku dan membawaku ke dalam dekapannya. "Arkan tidur lebih baik kamu tidur jangan marah-marah." Katanya. Aku melongo melihat suamiku ini, seketika emosiku yang sedari tadi berapi-api padam begitu saja. Dan dalam dekapannya aku merasa hangat hingga air mataku tak terasa meleleh. "Nyatanya lelahku hilang dalam dekapannya." Batinku sambil terus menatap Mas Raka yang sudah memejamkan mata. Baru saja aku terpejam suara Arkan membangunkan aku, malas dan lelah tapi aku harus bangun untuk menenangkan malaikat kecilku itu. "Kamu haus ya." Kataku sambil membuka kancing baju untuk menyusuinya. Saking ngantukn
Aku hanya tersenyum mendengar pesan Mama, entah mengapa aku ingin tanganku sendiri yang mengurus bayi ini. "Nanti Amel pikirkan ya Ma." Tak ingin Mama kecewa aku berkata demikian. Bayiku kini berusia tujuh hari, hari ini adalah hari dimana Mama mengadakan syukuran pemberian nama. Adat kami memang seperti itu, ada beberapa syukuran yang wajib digelar oleh keluarga yang baru saja memiliki keturunan. "Namanya Arkan Ma, diambil dari Amel dan Raka." Ujar Mas Raka. "Tapi sama Mas Raka ditambahi n," sambungku. Mama tertawa, sebenarnya aku yang ingin Mas Raka menambahkan paten n, karena aku ngefans sekali dengan salah satu sama pemain bola tanah air. Setelah acara syukuran pemberian nama selesai aku dan Mas Raka pamit ke atas untuk istirahat. Di dalam kamar, Mas Raka duduk di sampingku. "Sayang, besok pagi sekali aku ada dinas keluar kota kamu bisa nggak bangun pagi dan mengurusi aku." Dia menatapku. "Aku upayakan ya Mas, bayi kita sering rewel kalau malam jadi aku ga bisa
Ini bukan stimulasi Asi melainkan memancing hasrat, alhasil hasratku lah yang terpancing keluar. "Mas, ah...." Aku malah mendesah merasakan setiap hisapan yang mas Raka berikan. Tanganku menarik rambutnya, mataku justru terpejam. "Mas sudah." Aku menekan kepalanya. Entah apa yang ada di kepalaku, saat seperti ini aku malah terjerumus dalam hal ini. Mas Raka menyudahi aksinya, "Gimana sayang, apa sudah cukup stimulasinya?" Dia tersenyum licik. "Ini bukan stimulasi mas, tapi memancing hasrat." Sahutku kesal. Dia tertawa, suamiku sungguh mesum sekali. "Maafkan aku sayang," katanya lalu mencubit pipiku. Netraku menatap wajahnya kemudian turun ke bawah dan aku melihat ada sesuatu yang menyembur dari balik celananya. Deretan gigiku terlihat, ternyata dia juga terpancing perbuatannya sendiri. "Itu kamu juga berdiri." Kataku sambil menahan tawa. Sebenarnya aku ingin tertawa lepas mengejeknya hanya saja luka operasi jika dibuat tertawa terasa sangat sakit. Tau aku mengejeknya Mas
Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba, hari ini aku dan seluruh keluarga besarku dan Mas Raka pergi ke rumah sakit. Sengaja kami memilih hari ini karena hari ini bertepatan dengan ulang tahun Mas Raka jadi anakku nanti memiliki hari ulang tahun sama dengan papanya. "Mas aku takut." Aku terus memegangi tangan mas Raka. Ingatan waktu itu, membuat nyaliku menciut. Memang operasi sesar tidak menakutkan tapi setelahnya aku harus kesakitan. "Jangan takut sayang, ada aku." Mas Raka terus mengecup keningku. "Habis operasi sakit sekali Mas." Aku mengubah raut wajahku takut merasakannya lagi. Mas Raka tersenyum, dia bilang kalau nanti sakitnya terbayarkan dengan hadirnya anak kami. Aku tersenyum mendengar ucapannya. Bayangan bayi menangis menari di kepalaku, tanpa kusadari bibirku terus saja menyunggingkan senyuman. Beberapa waktu kemudian, Dokter datang untuk melakukan pemeriksaan, selain operasi aku juga meminta dokter untuk sekalian memasang kb, rencananya aku akan menunda kehamilan
Kulihat kedua pria itu nampak canggung, berbeda sebelum tahu kalau ada mata kami yang melihat mereka. Tak selang lama, orang-orang itu pergi termasuk para wanita yang duduk di samping Mas Raka dan Daniel. Selepas kepergian mereka, Mas Raka dan Daniel berjalan mendekat. "Sayang ngapain kesini?" Mas Raka menarik kursi sampingku. Pertanyaan yang sama juga Daniel tujukan kepada Renata. "Makan tapi ga nafsu karena lihat suami orang mau saja digoda wanita." Aku menyindir mereka berdua. "Sayang beneran kami nggak ngapa-ngapain, wanita-wanita itu memang sengaja dibawa oleh klien dan memang seperti itu kelakuan klien kalau ketemu." Dia berusaha menjelaskan. Daniel juga mencoba membujuk Renata tapi respon Renata sama sepertiku. "Tadi bukannya bilang kalau nanti datang nggak bawa istri mau ditemani?" Cuitan Renata membuat Mas Raka dan Daniel saling tatap. Mereka mengusap rambut mereka karena frustasi. "Sayang bukan begitu maksudnya, itu kami menolak secara halus supaya tida
"Kamu tuh bisa aja." Mas Raka mencubit hidungku. Padahal baru pagi tadi berpisah, tapi rasanya seperti lama sekali. Kamar hotel jadi saksi bisu kerinduan kami, aku dan Mas Raka membayar rindu yang sudah kami tahan. Setelah melepas rindu kami bergegas membersihkan diri. Mas Raka yang masih ada kerjaan bersiap kembali untuk menemui Daniel. "Nggak usah buru-buru Mas, Daniel dan Renata pasti juga bergulat." Kataku sambil meletakkan berkas yang dia bawa. Terlihat Mas Raka mengerutkan alis, "Kamu kesini bersama Renata?" tanyanya. "Siapa lagi yang mengajakku jika bukan Renata." Jawabku dengan terkekeh. Mas Raka menggelengkan kepala, "Kalian ini." Ujarnya. Karena Daniel mungkin juga lagi sibuk kami memutuskan untuk mengobrol santai sambil bersua hingga ponsel mas Raka berdering. "Baik, aku akan segera keluar." Kata Mas Raka dalam sambungan telponnya. Usai memutuskan sambungan telponnya, Mas Raka bangkit dan mulai bersiap. "Sayang aku harus berangkat lagi."
Keesokannya Renata kembali datang ke rumah untuk membahas kepergian kita keluar negeri. "Bisa-bisanya kak Daniel melarang kita ikut!" Renata terlihat kesal. "Kalau nggak boleh ya sudah lah Renata kita di rumah saja." Kataku sambil tersenyum menenangkannya. "Gak bisa Amel, takutnya mereka disana main wanita." Ujar Renata. Mendengar ucapan Renata aku sontak tertawa, ternyata dia cukup posesif terhadap suaminya. "Mana mungkin ada wanita Renata." Ku coba untuk meredam rasa posesifnya. Renata menatapku dengan ekspresi heran, "Kamu nggak tau sih Amel, perjamuan bisnis diluar negeri tuh suguhannya wanita seksi, kalau suami kita khilaf gimana?" Jujur aku nggak kepikiran kesana, tapi setelah mendengar ucapan Renata entah mengapa aku sedikit was-was. "Lalu gimana?" tanyaku. "Kita susul mereka." Bibir Renata merekah, dia terlihat bangga dengan idenya barusan. "Baiklah kalau begitu, mari kita susul mereka nanti." Aku pun ikut tertawa. ####Hari ini adalah hari dimana Mas Raka
Semenjak acara empat bulanan, Renata sering datang ke rumah apalagi setelah Mas Raka yang menghandle urusan proyek Papa dengan Daniel. "Sayang Daniel akan menitipkan Renata kesini lagi." Kata Mas Raka sambil merapikan jasnya. "Iya Mas gak papa, jadi aku gak kesepian." Sahutku dengan tersenyum. Mas Raka menatapku dengan senyuman yang sulit kuartikan. "Maaf Sayang jika kehadiran Renata mungkin membuat kamu tidak nyaman." Katanya sendu. Jujur mendengar kata-katanya membuat aku tertawa, kehadiran Renata benar-benar membuat aku tidak kesepian lagipula wanita itu bukanlah Renata maduku dulu. "Mas kamu ngomong apa sih, aku tuh senang ada Renata disini." Ucapku dengan mencubit pipinya. "Takutnya kamu teringat kembali dengan masa lalu itu sayang." Entah mengapa aku semakin tertawa, mas Raka sungguh menggemaskan. Bagiku masa lalu biarlah menjadi masa lalu karena bagaimanapun juga yang terpenting saat ini adalah masa depan. Setiap orang pernah berbuat salah tapi ketika
"Daniel adalah kakak angkat Renata Ma, ceritanya dulu Daniel mencintai Renata sehingga dia diusir." Aku dan Mama malah menghibah di dapur membicarakan Renata dan Daniel. "Ada ya yang seperti itu." Mama nampak heran dengan apa yang aku katakan. Di dunia ini banyak yang terjadi, termasuk hal diluar nalar seperti ini tapi selama masih dalam syariat tentu tidak dipermasalahkan. "Kalau seperti ini Mama gak boleh benci sama dia atau Papa akan marah." Bisik Mama sambil menatapku. Kutahu Mama sedang meminta ijin padaku, mungkin mama masih beranggapan aku masih menyimpan dendam pada Renata. "Asal mama tahu aku yang menjadi mak jomblang mereka, aku juga yang memilih cincin pernikahan mereka." Bisikku. Ekspresi Mama seketika berubah, beliau meletakkan kembali yang dibawanya. "Apa! bagaimana bisa Amel?" "Ceritanya panjang Ma, kalau Amel ceritakan sekarang bisa-bisa nanti malam baru kelar." Suara tawaku mengundang tawa mama. Sungguh aku dah Mama mas Raka tidak seperti menantu dan m