Wajah Renata menunjukkan kekesalan, lalu dia pergi begitu saja. "Dasar aneh." Kunaikkan kedua pundakku merasa bodoh dengan Renata. Setelah siap aku turun ke bawah, ketika menunggu taksi Mas Raka keluar memanasi mobilnya karena dia juga bersiap ke kantor. "Lebih baik kamu istirahat dulu." Katanya. "Semalam sudah cukup istirahatnya." Sahutku. Taksi yang aku pesan sudah datang tanpa berkata apa-apa aku meninggalkan Mas Raka. Sesampainya di kantor, aku membuka komputer. Sumpek nya pikiranku sengaja aku alihkan dengan pekerjaan. Tak terasa jam makan siang telah datang, aku inisiatif pergi ke ruangan Mas Daffa untuk meminta maaf. Di depan ruangan Direktur Utama aku berdiri, menyiapkan kata yang akan kulontarkan pada atasanku itu. Tok, tok Aku mengetuk pintu, cukup lama tapi pintu itu tak terbuka. Helaan nafas ku hembuskan, mungkin Mas Daffa ada dinas luar atau mungkin tak masuk. "Sudahlah." ucapku lalu membalikkan badan. Baru saja hendak berjalan pergi kudengar pi
Kucoba menahan rasa mualku namun kelihatannya bau masakan Renata benar-benar membuat aku tak tahan. Aku berlari menuju toilet lalu setelahnya cairan yang ada di dalam perutku keluar. "Amel kamu kenapa?" Suaranya mengagetkan aku. "Dah tau jika aku muntah kenapa bertanya," Kujawab pertanyaannya kesal. Huek... Aku kembali muntah. Aku yang terus muntah tidak bisa mengusirnya meskipun keberadaannya tidak aku inginkan. Di rasa muntahnya sudah berhenti, aku membasuh muka, dan berdiri bersandar di dinding. Sementara Mas Raka terus menatapku. "Kamu ngapain terus disitu Mas!" Ujarku lirih tapi terdengar ketus. "Keluarlah Mas dan tolong singkirkan makanan Renata!" Pintaku kemudian. Mau nggak mau aku harus meminta bantuan nya untuk menyingkirkan penyebab aku mual dan muntah. "Kenapa memangnya?" tanya Mas Raka heran. Entah kenapa pria ini jadi bodoh, sudah tahu aku mual masih saja bertanya. "Aku mual." Jawabku. Untung dia kali ini menurut dan segera menyingkirkan makana
"Kamu membentak aku Mas!" Renata tak terima jika Mas Raka membentaknya. Tanpa minta maaf atau membujuk Renata Mas Raka malah pergi begitu saja. Apa dia mulai muak dengan istri kesayangannya itu? Melihat adegan di depanku, aku justru tersenyum sinis, sementara Renata menatapku kesal. "Senang kamu Amel!" Serunya. "Melihat adegan bagus siapa yang nggak senang." Sahutku dengan menatapnya sinis. Renata terlihat mengepalkan tangannya, kutahu dia sangat kesal denganku. Tapi aku tak menggubrisnya, tanpa berkata apa-apa lagi kutinggal wanita itu. Kehamilan ini sudah cukup menyiksaku ditambah lagi drama mereka, rasanya semakin pusing saja aku. Di kamar aku langsung ambruk di kasur tanpa membersihkan diri terlebih dahulu. Keesokan paginya aku kembali muntah-muntah hal ini membuat aku semakin lemah dan tak berdaya, ingin sekali pulang ke rumah agar ada yang merawatku tapi ibu sudah sibuk dengan merawat ayah. Tak mungkin bekerja dalam keadaanku yang seperti aku pun menghubung
Aku terdiam, apakah aku memang harus resign? tapi bagaimana dengan nasibku nanti? sekarang saja keuangan sudah Renata yang pegang. "Aku pikir dulu." Kataku yang menggantung keinginannya. Raut wajahnya berubah, tapi dia tidak mengeluarkan kekesalannya padaku. Sesampainya di rumah, Mas Raka membantu aku keluar dari mobil bahkan dia mengantar aku sampai ke kamar. "Minum obat dulu baru istirahat." Dia mengambilkan aku obat dan menyiapkan airnya juga. Apa ini suami yang selalu dingin padaku? apa ini pria yang jahat itu? Sejenak pikiranku melayang, melamunkan dia yang perhatian padaku. Kenapa setelah jutaan luka dia torehkan kini dia justru perhatian? apa ini bentuk rasa tanggung jawabnya akan anak yang aku kandung atau ada hal lain? entahlah, buru-buru aku menggelengkan kepala membuang asumsi yang mengisi kepalaku saat ini. Setelah aku meminun obatku dia pamit keluar karena harus bekerja by online. Memang dia hari tidak masuk karena mengantar aku pergi ke rumah sakit.
Tak berhasil memprovokasi aku, Renata terus mengejar Mas Raka agar menceraikan aku. Wanita ini sungguh gila apa dia tidak tau jika wanita hamil tidak bisa dicerai? Aku menggelengkan kepala saat mendengar dia terus membujuk Mas Raka. "Mas dia selalu ingin bercerai darimu kan? kabulkanlah saja Mas keinginannya." Bujuknya. "Tidak bisa, bagaimana mungkin aku menceraikan Amel! apalagi kini dia mengandung anakku." Dengan lantang Mas Raka menolak keinginan Renata. "Lagipula jika aku bercerai, bagaimana dengan orang tuaku." Ujar Mas Raka lagi. Aku berdiri di tempatku bingung harus kembali ke kamar atau mendekat? tapi aku yang harus sarapan, akhirnya berjalan ke arah mereka. Melihat aku yang datang, Mas Raka menatapku lalu bertanya, "Kamu mau sarapan apa?" Nada bicara nya lebih lembut dari sebelumnya, bahkan ini lah kali pertama dia bertanya keinginanku. "Susu." Jawabku lalu berjalan mengambil susu di kulkas. "Amel kamu harus makan makanan yang bergizi, apa perlu aku buatkan sar
Mas Daffa tetap bersikeras, dia tidak perduli dengan apapun. Dia bahkan bilang jika rasa cintanya padaku semenjak dulu tetap sama dan tidak pernah berubah. Mendengar itu aku semakin tak enak, aku hanya lah sisa orang tak seharusnya dia memilihku yang bahkan kini statusku masih istri orang. "Jangan pertaruhkan masa depan kamu hanya demi aku." Aku membatin sembari menatapnya. Hari-hari ku aku jalani seperti biasa, hanya saja Renata dan Mas Raka lebih sering cek cok kini, kehamilan ku benar-benar membuat wanita itu cemburu tak jelas sehingga membuat Mas Raka sedikit ilfil padanya. Hingga suatu ketika, saat kami keluar bersama dia meminta suatu hal yang tidak mungkin pada Mas Raka. "Mas aku juga ingin hamil seperti Amel." Ujarnya lantang. Mas Raka yang awalnya fokus menyetir, kini menatapnya dengan tajam. Melihat tatapan Mas Raka untuk Renata dari kaca spion membuat aku menghela nafas, feeling tak baik mencuat. Pasti akan ada debat kusir setelah ini. "Tidak mungkin,
"Jangan egois kamu pikirkan Amel!" Teriak Mas Daffa. Pria itu langsung saja membawaku ke mobilnya. Samar-samar kudengar teriakan Mas Raka tapi aku juga mendengar suara Renata. "Mas aku tidak apa-apa." Ujarku lirih. "Bagaimana bisa gak papa badan kamu lemes gini." Mas Daffa sangat khawatir. Setibanya di rumah sakit, Mas Daffa segera membawaku ke UGD, dia meminta dokter untuk segera memeriksa keadaanku. "Bagaimana Dok?" Baru saja Dokter selesai memeriksa Mas Daffa sudah bertanya. "Tidak ada hal serius memang ibu hamil itu seperti ini, mangkanya sebagai suami bapak harus memperhatikan istrinya lagi." Ujar Dokter. Dokter mengira Mas Daffa adalah suamiku. Dokter menuliskan resep obat padaku, lalu setelahnya kami keluar dari ruang UGD. "Kan sudah aku bilang Mas kalau aku gak papa." Aku protes pada Mas Daffa yang terlalu berlebihan padaku. "Aku tuh takut Mel kalau terjadi apa-apa sama kamu." Ujarnya. Setelah menebus obat, aku memutuskan untuk pulang dengan meme
Entah mengapa hatiku begitu sakit, luka digagahi dengan paksa saja masih membekas apalagi kini dituduh berselingkuh. Plak... Tamparan keras kujatuhkan, agar dia sadar dengan apa yang diucapkan. "Apa kamu meragukanku!" Aku berujar lantang. "Kalau begitu setelah anak ini lahir mari kita akhiri pernikahan ini." Di dalam kamar aku kembali meratapi nasibku, bahkan saat hamil aku masih saja mendapatkan perlakuan buruk. Dia selalu menciptakan luka baru, padahal luka lama masih menganga belum terobati. Dia menuduh aku berselingkuh padahal hingga detik rasa setia untuknya masih aku genggam. "Apa salahku Tuhan?!" Aku berteriak sekerasnya. Air mataku seakan tak mau berhenti. Semua perlakuan Mas Raka menari di kepalaku, memunculkan rasa benci yang berusaha aku tekan. Kini untuk apa lagi aku berada disini, rumah tangga ini bukan milikku. Ini semua milik Renata. Saat bersamaan aku melihat koper yang ada di samping lemari, tiba-tiba muncul keinginan untuk pergi dari sini. Ya sud
Tanganku mengepal, emosiku meledak-ledak melihatnya. Melihatku Mas Raka hanya menghela nafas. "Aku lelah, jangan marah-marah seperti ini." Katanya lalu dia merebahkan diri di tempat tidur. Tak rela jika amarahku berakhir begitu saja aku pun menghampirinya, ku tarik tangannya agar bangun untuk mendengar omelanku. Tapi bukannya bangun Mas Raka justru menarik tubuhku dan membawaku ke dalam dekapannya. "Arkan tidur lebih baik kamu tidur jangan marah-marah." Katanya. Aku melongo melihat suamiku ini, seketika emosiku yang sedari tadi berapi-api padam begitu saja. Dan dalam dekapannya aku merasa hangat hingga air mataku tak terasa meleleh. "Nyatanya lelahku hilang dalam dekapannya." Batinku sambil terus menatap Mas Raka yang sudah memejamkan mata. Baru saja aku terpejam suara Arkan membangunkan aku, malas dan lelah tapi aku harus bangun untuk menenangkan malaikat kecilku itu. "Kamu haus ya." Kataku sambil membuka kancing baju untuk menyusuinya. Saking ngantukn
Aku hanya tersenyum mendengar pesan Mama, entah mengapa aku ingin tanganku sendiri yang mengurus bayi ini. "Nanti Amel pikirkan ya Ma." Tak ingin Mama kecewa aku berkata demikian. Bayiku kini berusia tujuh hari, hari ini adalah hari dimana Mama mengadakan syukuran pemberian nama. Adat kami memang seperti itu, ada beberapa syukuran yang wajib digelar oleh keluarga yang baru saja memiliki keturunan. "Namanya Arkan Ma, diambil dari Amel dan Raka." Ujar Mas Raka. "Tapi sama Mas Raka ditambahi n," sambungku. Mama tertawa, sebenarnya aku yang ingin Mas Raka menambahkan paten n, karena aku ngefans sekali dengan salah satu sama pemain bola tanah air. Setelah acara syukuran pemberian nama selesai aku dan Mas Raka pamit ke atas untuk istirahat. Di dalam kamar, Mas Raka duduk di sampingku. "Sayang, besok pagi sekali aku ada dinas keluar kota kamu bisa nggak bangun pagi dan mengurusi aku." Dia menatapku. "Aku upayakan ya Mas, bayi kita sering rewel kalau malam jadi aku ga bisa
Ini bukan stimulasi Asi melainkan memancing hasrat, alhasil hasratku lah yang terpancing keluar. "Mas, ah...." Aku malah mendesah merasakan setiap hisapan yang mas Raka berikan. Tanganku menarik rambutnya, mataku justru terpejam. "Mas sudah." Aku menekan kepalanya. Entah apa yang ada di kepalaku, saat seperti ini aku malah terjerumus dalam hal ini. Mas Raka menyudahi aksinya, "Gimana sayang, apa sudah cukup stimulasinya?" Dia tersenyum licik. "Ini bukan stimulasi mas, tapi memancing hasrat." Sahutku kesal. Dia tertawa, suamiku sungguh mesum sekali. "Maafkan aku sayang," katanya lalu mencubit pipiku. Netraku menatap wajahnya kemudian turun ke bawah dan aku melihat ada sesuatu yang menyembur dari balik celananya. Deretan gigiku terlihat, ternyata dia juga terpancing perbuatannya sendiri. "Itu kamu juga berdiri." Kataku sambil menahan tawa. Sebenarnya aku ingin tertawa lepas mengejeknya hanya saja luka operasi jika dibuat tertawa terasa sangat sakit. Tau aku mengejeknya Mas
Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba, hari ini aku dan seluruh keluarga besarku dan Mas Raka pergi ke rumah sakit. Sengaja kami memilih hari ini karena hari ini bertepatan dengan ulang tahun Mas Raka jadi anakku nanti memiliki hari ulang tahun sama dengan papanya. "Mas aku takut." Aku terus memegangi tangan mas Raka. Ingatan waktu itu, membuat nyaliku menciut. Memang operasi sesar tidak menakutkan tapi setelahnya aku harus kesakitan. "Jangan takut sayang, ada aku." Mas Raka terus mengecup keningku. "Habis operasi sakit sekali Mas." Aku mengubah raut wajahku takut merasakannya lagi. Mas Raka tersenyum, dia bilang kalau nanti sakitnya terbayarkan dengan hadirnya anak kami. Aku tersenyum mendengar ucapannya. Bayangan bayi menangis menari di kepalaku, tanpa kusadari bibirku terus saja menyunggingkan senyuman. Beberapa waktu kemudian, Dokter datang untuk melakukan pemeriksaan, selain operasi aku juga meminta dokter untuk sekalian memasang kb, rencananya aku akan menunda kehamilan
Kulihat kedua pria itu nampak canggung, berbeda sebelum tahu kalau ada mata kami yang melihat mereka. Tak selang lama, orang-orang itu pergi termasuk para wanita yang duduk di samping Mas Raka dan Daniel. Selepas kepergian mereka, Mas Raka dan Daniel berjalan mendekat. "Sayang ngapain kesini?" Mas Raka menarik kursi sampingku. Pertanyaan yang sama juga Daniel tujukan kepada Renata. "Makan tapi ga nafsu karena lihat suami orang mau saja digoda wanita." Aku menyindir mereka berdua. "Sayang beneran kami nggak ngapa-ngapain, wanita-wanita itu memang sengaja dibawa oleh klien dan memang seperti itu kelakuan klien kalau ketemu." Dia berusaha menjelaskan. Daniel juga mencoba membujuk Renata tapi respon Renata sama sepertiku. "Tadi bukannya bilang kalau nanti datang nggak bawa istri mau ditemani?" Cuitan Renata membuat Mas Raka dan Daniel saling tatap. Mereka mengusap rambut mereka karena frustasi. "Sayang bukan begitu maksudnya, itu kami menolak secara halus supaya tida
"Kamu tuh bisa aja." Mas Raka mencubit hidungku. Padahal baru pagi tadi berpisah, tapi rasanya seperti lama sekali. Kamar hotel jadi saksi bisu kerinduan kami, aku dan Mas Raka membayar rindu yang sudah kami tahan. Setelah melepas rindu kami bergegas membersihkan diri. Mas Raka yang masih ada kerjaan bersiap kembali untuk menemui Daniel. "Nggak usah buru-buru Mas, Daniel dan Renata pasti juga bergulat." Kataku sambil meletakkan berkas yang dia bawa. Terlihat Mas Raka mengerutkan alis, "Kamu kesini bersama Renata?" tanyanya. "Siapa lagi yang mengajakku jika bukan Renata." Jawabku dengan terkekeh. Mas Raka menggelengkan kepala, "Kalian ini." Ujarnya. Karena Daniel mungkin juga lagi sibuk kami memutuskan untuk mengobrol santai sambil bersua hingga ponsel mas Raka berdering. "Baik, aku akan segera keluar." Kata Mas Raka dalam sambungan telponnya. Usai memutuskan sambungan telponnya, Mas Raka bangkit dan mulai bersiap. "Sayang aku harus berangkat lagi."
Keesokannya Renata kembali datang ke rumah untuk membahas kepergian kita keluar negeri. "Bisa-bisanya kak Daniel melarang kita ikut!" Renata terlihat kesal. "Kalau nggak boleh ya sudah lah Renata kita di rumah saja." Kataku sambil tersenyum menenangkannya. "Gak bisa Amel, takutnya mereka disana main wanita." Ujar Renata. Mendengar ucapan Renata aku sontak tertawa, ternyata dia cukup posesif terhadap suaminya. "Mana mungkin ada wanita Renata." Ku coba untuk meredam rasa posesifnya. Renata menatapku dengan ekspresi heran, "Kamu nggak tau sih Amel, perjamuan bisnis diluar negeri tuh suguhannya wanita seksi, kalau suami kita khilaf gimana?" Jujur aku nggak kepikiran kesana, tapi setelah mendengar ucapan Renata entah mengapa aku sedikit was-was. "Lalu gimana?" tanyaku. "Kita susul mereka." Bibir Renata merekah, dia terlihat bangga dengan idenya barusan. "Baiklah kalau begitu, mari kita susul mereka nanti." Aku pun ikut tertawa. ####Hari ini adalah hari dimana Mas Raka
Semenjak acara empat bulanan, Renata sering datang ke rumah apalagi setelah Mas Raka yang menghandle urusan proyek Papa dengan Daniel. "Sayang Daniel akan menitipkan Renata kesini lagi." Kata Mas Raka sambil merapikan jasnya. "Iya Mas gak papa, jadi aku gak kesepian." Sahutku dengan tersenyum. Mas Raka menatapku dengan senyuman yang sulit kuartikan. "Maaf Sayang jika kehadiran Renata mungkin membuat kamu tidak nyaman." Katanya sendu. Jujur mendengar kata-katanya membuat aku tertawa, kehadiran Renata benar-benar membuat aku tidak kesepian lagipula wanita itu bukanlah Renata maduku dulu. "Mas kamu ngomong apa sih, aku tuh senang ada Renata disini." Ucapku dengan mencubit pipinya. "Takutnya kamu teringat kembali dengan masa lalu itu sayang." Entah mengapa aku semakin tertawa, mas Raka sungguh menggemaskan. Bagiku masa lalu biarlah menjadi masa lalu karena bagaimanapun juga yang terpenting saat ini adalah masa depan. Setiap orang pernah berbuat salah tapi ketika
"Daniel adalah kakak angkat Renata Ma, ceritanya dulu Daniel mencintai Renata sehingga dia diusir." Aku dan Mama malah menghibah di dapur membicarakan Renata dan Daniel. "Ada ya yang seperti itu." Mama nampak heran dengan apa yang aku katakan. Di dunia ini banyak yang terjadi, termasuk hal diluar nalar seperti ini tapi selama masih dalam syariat tentu tidak dipermasalahkan. "Kalau seperti ini Mama gak boleh benci sama dia atau Papa akan marah." Bisik Mama sambil menatapku. Kutahu Mama sedang meminta ijin padaku, mungkin mama masih beranggapan aku masih menyimpan dendam pada Renata. "Asal mama tahu aku yang menjadi mak jomblang mereka, aku juga yang memilih cincin pernikahan mereka." Bisikku. Ekspresi Mama seketika berubah, beliau meletakkan kembali yang dibawanya. "Apa! bagaimana bisa Amel?" "Ceritanya panjang Ma, kalau Amel ceritakan sekarang bisa-bisa nanti malam baru kelar." Suara tawaku mengundang tawa mama. Sungguh aku dah Mama mas Raka tidak seperti menantu dan m