"Jangan egois kamu pikirkan Amel!" Teriak Mas Daffa. Pria itu langsung saja membawaku ke mobilnya. Samar-samar kudengar teriakan Mas Raka tapi aku juga mendengar suara Renata. "Mas aku tidak apa-apa." Ujarku lirih. "Bagaimana bisa gak papa badan kamu lemes gini." Mas Daffa sangat khawatir. Setibanya di rumah sakit, Mas Daffa segera membawaku ke UGD, dia meminta dokter untuk segera memeriksa keadaanku. "Bagaimana Dok?" Baru saja Dokter selesai memeriksa Mas Daffa sudah bertanya. "Tidak ada hal serius memang ibu hamil itu seperti ini, mangkanya sebagai suami bapak harus memperhatikan istrinya lagi." Ujar Dokter. Dokter mengira Mas Daffa adalah suamiku. Dokter menuliskan resep obat padaku, lalu setelahnya kami keluar dari ruang UGD. "Kan sudah aku bilang Mas kalau aku gak papa." Aku protes pada Mas Daffa yang terlalu berlebihan padaku. "Aku tuh takut Mel kalau terjadi apa-apa sama kamu." Ujarnya. Setelah menebus obat, aku memutuskan untuk pulang dengan meme
Entah mengapa hatiku begitu sakit, luka digagahi dengan paksa saja masih membekas apalagi kini dituduh berselingkuh. Plak... Tamparan keras kujatuhkan, agar dia sadar dengan apa yang diucapkan. "Apa kamu meragukanku!" Aku berujar lantang. "Kalau begitu setelah anak ini lahir mari kita akhiri pernikahan ini." Di dalam kamar aku kembali meratapi nasibku, bahkan saat hamil aku masih saja mendapatkan perlakuan buruk. Dia selalu menciptakan luka baru, padahal luka lama masih menganga belum terobati. Dia menuduh aku berselingkuh padahal hingga detik rasa setia untuknya masih aku genggam. "Apa salahku Tuhan?!" Aku berteriak sekerasnya. Air mataku seakan tak mau berhenti. Semua perlakuan Mas Raka menari di kepalaku, memunculkan rasa benci yang berusaha aku tekan. Kini untuk apa lagi aku berada disini, rumah tangga ini bukan milikku. Ini semua milik Renata. Saat bersamaan aku melihat koper yang ada di samping lemari, tiba-tiba muncul keinginan untuk pergi dari sini. Ya sud
"Bismillah." Setelah berpamitan pada kedua orang tuaku, aku melangkahkan kaki keluar rumah. Sebenarnya ibuku tidak rela aku bekerja mengingat keadaanku yang tengah hamil tapi bagaimana lagi, aku juga perlu uang untuk biaya pengobatan ayah selain itu aku juga harus mempersiapkan persalinan nanti. Mas Raka tidak mungkin mau bertanggung jawab akan anak ini karena dia telah beranggapan jika janin yang aku kandung adalah milik Mas Daffa. Tiga puluh menit kemudian aku tiba di kantor, setelah cuti cukup lama akhirnya aku kembali, untung waktu itu aku tidak bersikeras resign jadi kini aku bisa bekerja lagi kesini. Teman-temanku menyambut kehadiranku dengan senang, mereka juga mengucapkan selamat atas kehamilanku yang pertama. Orang lain saja turut bahagia ketika tau aku hamil sementara Mas Raka.... Malah sebaliknya. Dia lebih percaya hasutan Renata daripada mempercayai ucapanku. "Amel kamu kerjakan berkas ini ya." Pinta atasanku. "Baik Bu." Segera kukerjakan setumpuk berk
"Assalamu'alaikum." Aku mengucap salam kepada ibuku yang tengah duduk di teras, aku segera mencium punggung tangan wanita yang telah melahirkan aku itu. "Siapa yang mengantar kamu Mel?" tanya ibu. "Atasan Amel Bu." Ujarku. Segera aku meletakkan makanan yang tadi Mas Daffa belikan di atas meja. "Kamu beli makanan?" Ibu kembali bertanya. "Dibelikan atasan Amel Bu." Kutatap ibuku dengan tersenyum. Meski aku sudah menjawab pertanyaan ibu tapi beliau masih menunjukkan raut kebingungan. Seolah tak percaya jika aku habis ditraktir atasanku. "Atasan kamu baik sekali." Kalimat itu yang ibu ucapkan. "Jelas baik Bu." Kataku sambil menunjukkan sederet gigi putihku. "Ibu masih ingat Mas Daffa?" Ibuku kembali mengerutkan alisnya, "Siapa Daffa?" tanyanya bingung. "Itu loh Bu, dulu waktu Amel kuliah kan ada cowok yang mengantar Amel pulang dan sama ayah dimarahi habis-habisan." Aku berusaha mengingatkan ibu akan Mas Daffa. "Oh iya." Akhirnya ibu ingat. Kami membin
Mas Daffa juga terkejut melihat siapa yang datang. Tangannya terlihat mengepal begitu pula dengan rahangnya yang mulai mengeras. "Ada urusan apa kamu kemari!" Tanya Mas Daffa sinis. Mas Raka menyeringai, "Yang jelas bukan untuk mengencani istri orang!" Terdengar jelas jika Mas Raka tengah menyindir Mas Daffa, aku juga ikut sakit hati atas ucapannya. Sekali lagi dia merendahkan aku dan menuduhku berkencan dengan Mas Daffa. "Jangan buat masalah, kami disini menunggu klien bukan berkencan!" Kataku lantang. "Klise sekali alasan kamu Mel!" Dia tertawa menyeringai. "Tunggu!" Aku menatap Mas Raka. Apa jangan-jangn Mas Raka adalah klien kami? Kulempar tatapan ke arah Mas Daffa, jika dilihat dari raut wajahnya dia sepertinya sama sepertiku menyadari jika klien kami adalah Mas Raka. Tak selang lama, seorang datang dia langsung tersenyum. "Pak Daffa." Dia memanggil Mas Daffa. Mas Daffa yang kenal langsung merubah mimik wajahnya, dia tersenyum lalu menjabat orang tersebut.
Aku melongo menatap Mas Daffa, bagaimana mungkin dia mengklaim benih ini miliknya hanya karena ucapan Mas Raka tadi. Sungguh nggak pantas membebankan tanggung jawab ini pada Mas Daffa. "Tidak perlu seperti itu Mas." Kataku kemudian. "Perlu Amel, aku akan tanggung jawab akan anak ini!" Sahutnya. Entahlah aku bingung sendiri memikirkan Mas Raka dan Mas Daffa, tak tau harus berkata apa aku melemparkan tatapan keluar jendela. Daripada bingung, lebih baik aku ikuti alur dari sang Pencipta. Cukup sabar saja menjalani semua pasti semua permasalahan ini ada solusinya. Mobil Mas Daffa melaju jauh menuju jalan tol arah luar kota, entah kemana lagi dia akan pergi? "Mas kita mau kemana?" tanyaku heran. "Pantai, aku akan menunjukkan kamu sunset terindah." Jawabnya. Satu jam kemudian mobil Mas Daffa memasuki kawasan pantai, memang apa yang dia ucapkan benar adanya. Pantai ini masih asri, jalan menuju ke pantai ini juga masih jalan setapak sehingga mobil di parkir jauh dari bibir pan
"Amel aku mohon pulanglah!" Dia menatapku dengan tatapan sendu, mengiba agar aku pulang bersamanya. Apa yang sebenarnya terjadi? kenapa dia bersikap begini? bukankah beberapa hari yang lalu dia sangat menyebabkan. "Sudahlah Mas, pergilah!" Ujarku lirih. "Aku akan pergi jika kamu ikut pulang bersamaku Amel." Hatiku mencolos mendengar ucapannya itu, inikah Mas Raka yang selalu melukaiku? Sejenak rasa iba datang menghampiri, hendak merobohkan pertahananku. Namun.... Segera perlakuan buruknya datang menghalau rasa iba itu, menyadarkanku betapa kejamnya dia. "Apa sih maumu! Kita telah sepakat untuk berpisah. Lagipula benih ini kamu juga tidak mengakuinya tapi kenapa sekarang kamu tiba-tiba datang dan mengajak aku pulang???" Kutatap tajam Mas Raka. Tangan Mas Daffa menggenggam tanganku, pria ini seolah memberiku kekuatan agar tidak rapuh. "Raka! anak ini milikku, jadi pergilah!" Ujar Mas Daffa dengan lantang. "Anak itu anakku Daffa!" Sahut Mas Raka yang tak mau kalah
"Mama ada apa mencari Amel?" Aku menatap Mama Mas Raka dengan lekat. Mama tersenyum menatapku. "Sebenarnya mama itu mau membahas acara syukuran anak kamu, kan usia kandungan kamu sudah empat bulan." Jawab Mama. Ternyata inilah tujuan Mama dan Papa datang, lalu apa yang harus aku katakan? sementara hubunganku dan Mas Raka hampir mencapai finish? Aku dan ibu saling pandang menunjukkan raut sedih masing-masing, sementara ayah tersenyum dan turut membahas acara syukuran ini. "Lebih baik syukuran ini dilakukan di rumah mereka, biar lebih berkah." Ujar ayah. "Benar sekali Pak besan." Sahut Papa Mas Raka. Apa ini, kenapa jadi begini? aku menatap ibu. Air mataku menggenang di pelupuk mataku. Haruskah aku bilang yang sebenarnya? "Tapi katanya Raka ada dinas diluar?" Ayah ternyata masih ingat alasanku, entah mengapa jawaban Mama Mas Raka bisa diterima ayah, dan mereka kini tertawa. "Bagaimana dengan anda Jeng? setuju bukan jika acara syukuran empat bulanan dilakukan di
Seperti kemarin aku datang lagi ke rumah Renata, saat menemuiku Renata sudah menunjukkan ekspresi tak suka. "Mau apa lagi kamu kemari?" Tanyanya sinis. "Apa sudah kamu pikirkan ucapanku kemarin?" Tanpa menjawab aku justru melemparkan pertanyaan. Dia tertawa kemudian bilang ke aku jika Daniel memintanya untuk tidak menggubris ucapanku. Tentu aku melongo, apa maunya kuda nil itu! jelas-jelas dia memintaku untuk membujuk Renata tapi mengapa dia malah berkata demikian? "Dia bicara begitu?" tanganku sontak mengepal. "Iya, lagipul kak Daniel akan selalu menyayangiku selamanya, dia akan menuruti semua kemauan ku termasuk membuat kalian menderita!" Renata tertawa bahagia sementara aku kekesalan menggerogoti hatiku. "Yakin? manusia itu gampang berubah sekarang bilang akan selalu menyayangi tapi entah besok." Agaknya ucapanku mengundang perhatiannya, sehingga Renata menatapku tajam. "Aku yakin sama Kak Daniel." Ujarnya. "Dulu kamu juga yakin sama Mas Raka bukan?" Raut wajah Renata be
Esok harinya setelah Mas Raka berangkat ke kantor, aku pergi menemui Renata di rumahnya. Mengetahui kedatanganku Renata sangat terkejut. "Amel! bagaimana kamu tahu rumahku?" Dia menatapku tajam. "Tidak penting aku tahu darimana." Ujarku yang juga menatapnya. Dia duduk di sofanya yang lain, "Apa maumu?" Masih dengan tatapan yang sama. "Aku ingin bicara Renata." Sahutku. "Bicara apa?" Tanyanya dengan dingin. Aku menghela nafas, kalau bukan demi Mas Raka aku tidak mungkin mau menemuinya, soal penculikan waktu itu saja masih ku ingat bahkan masih jadi ketakutanku "Mari kita akhiri dendam ini." Kutatap dia dengan lekat. "Enak saja, aku menderita setelah Raka menceraikan aku dan kini kamu ingin aku mengakhiri ini?" Dia mendengus kesal. Dia pikir hanya dia saja yang menderita, aku jauh lebih parah. Ingin sekali aku pergi tapi aku harus berhasil membujuknya atau kakaknya akan menghancurkan bisnis keluargaku. "Kita sudah mendapatkan karma kita masing-masing Renata, kamu m
Keesokan harinya tubuhku rasanya pegal semua, keganasan Mas Raka semalam benar-benar membuatku sampai memohon ampun. "Kamu kenapa sayang?" tanyanya sambil menatapku. Aku memberengut kesal, "Kenapa-kenapa ini karena keganasan kamu semalam Mas." Bibir refleks maju ke depan. Dia tertawa kemudian memelukku, "Sekali lagi boleh?" Mataku melongo menatapnya, tubuhku sudah remuk begini dia meminta sekali lagi? "Mas kita lanjut nanti ya, aku harus memasak." Buru-buru aku bangkit dan pergi ke kamar mandi. Setelah membersihkan diri aku menyiapkan keperluannya. "Mas dasi warna abu-abunya kok ga ada ya." Aku berkali-kali mencari dasi warna abu namun tak ketemu. Mas Raka tertawa dan hal itu membuat aku kesal. "Bantu cari dong Mas kamu kenapa malah tertawa." Ujarku sambil memberengut. Dia berjalan ke arahku kemudian mengambil dasi yang ternyata ada di leherku. "Ini apa Sayang." Bisiknya. Aku yang malu hanya tertawa. "Maaf Mas." Bukannya segera memakai bajunya, Mas Raka malah men
Mas Raka menjelaskan semua, Kakak Renata sengaja menyebarkan rumor buruk tentang hotel keluarga kami ya tujuannya untuk menghancurkan Mas Raka kembali. Tanganku sontak mengepal, orang ini benar-benar gila. Apa belum puas dia sudah membuat dua direktur resign tanpa mendapatkan apa-apa. "Dia benar-benar!" batinku. Aku harus melawan rasa takutku, ya aku harus menemui Kakak Renata, meskipun dia seorang mafia tapi negara ini adalah negara hukum jadi tak mungkin melakukan hal buruk padaku. Keesokan harinya setelah Mas Raka berangkat ke hotel, aku datang ke kantornya dahulu untuk menemui Kakak Renata. "Semoga saja pria busuk itu disini." Gumamku. Aku meminta supir dan security rumahku menunggu di mobil. Diam-diam aku naik ke atas ke ruangan CEO. Benar saja saat aku mengetuk pintu ada sahutan dari dalam. Saat aku berdiri di hadapannya dia memelototkan mata. "Kamu! beraninya staf biasa masuk ke ruanganku!" Makinya dengan menatapku tajam. "Aku bukan staff disini." Ujarku. Sebenarnya
Mulutku terbuka lebar-lebar, aku sungguh tak menyangka jika bertemu dengan kakak Renata di lift. Dari wajahnya memang pria ini terlihat garang, dia juga sangat dingin lebih dingin dari sikap Mas Raka dulu, pantas sekali dia menjadi seorang mafia kelas kakap di negara ini."OMG dia kakak Renata.":batinku dengan terus menatapnya. Pria itu juga menatapku kemudian berkomentar pedas, "Kenapa kamu terus menatapku! suka?" Suara dinginnya membuat aku segera melemparkan tatapan. Lawak juga nih orang, bisa-bisa berkata seperti itu! mana mungkin aku suka, wajahnya saja menyeramkan. Aku mendengus kesal meskipun di dunia ini lelaki tinggal dia seorang, aku tak mungkin suka. "Maaf tapi kamu bukan tipeku." Ujarku ketus. Kebetulan live telah tebuka dia melangkahkan kaki keluar.Saat dia keluar aku menghela nafas dalam-dalam. "Syukurlah." Sambil mengelus dada. Setibanya di ruangan mas Raka aku segera memberikan berkas yang dia minta."Terima kasih sayang maaf aku merepotkanmu," katanya lalu men
"Posesif sekali kamu Raka, tenang saja aku tidak akan mengambil amal darimu." Ujar Mas Daffa dengan tertawa.Aku juga tertawa, "Dia sekarang bucin akut Mas." Aku turut menimpali ucapan Mas Daffa. Kami bertiga tertawa bersama, syukurlah Mas Daffa dan Mas Raka kini tidak bermusuhan lagi. Setelah mengobrol random Mas Daffa pamit pulang sedangkan kami selepas kepulangannya kembali ke kamar. Di dalam kamar kami mengobrol kembali hingga akhirnya kami memutuskan untuk istirahat mengingat malam sudah sangat larut. Keesokan paginya aku melakukan aktivitasku seperti biasa, mask, bersih-bersih dan menyiapkan keperluan Mas Raka. Mas Raka pagi ini berangkat lebih awal karena dia harus bertemu Mas Daffa kembali untuk membahas Kakak Renata. "Dibahas lagi Mas, bukankah semalam sudah selesai." Kataku sambil menyiapkan bekal makannya. "Aku mendapatkan kabar buruk sayang." Jawab Mas Raka sambil menunjukkan ponselnya. "Perusahaan terancam bangkrut." Mataku rasanya mau keluar membaca berita itu.
Mas Raka menggeleng, agaknya mas Raka juga bingung dengan hal ini. "Entahlah Sayang, aku akan menyelidikinya." Ujar Mas Raka. Aku mengangguk paham. Sepanjang jalan, aku masih mengingat kejadian tadi. Kini aku tidak berani kemana-mana sendiri, Renata sungguh meresahkan. "Mas tapi bagaimana bisa Mas Daffa datang menyelamatkan kita?" Aku yang baru menyadari hal itu segera bertanya pada Mas Raka. "Tadi aku keluar sama atasanku, ternyata kami bertemu dengan Daffa untuk membahas kerja sama waktu itu." Jelas Mas Raka. "Oh gitu jadi tadi pas kamu telpon, ada Mas Daffa? dan Mas Daffa tahu?" Kembali aku bertanya. Mas Daffa yang berada di belakang mobil kami melaju mendahului karena memang arah rumah kami berlawanan. Setibanya di rumah Mas Raka melakukan banyak panggilan, dia berusaha keras untuk menyelidiki Renata. "Mas makan dulu." Aku sengaja membawa makanan ke ruang kerjanya karna kutahu suamiku kini malas makan. "Nanti dulu Sayang," katanya tanpa melihatku. "Aku lapar
Aku segera berteriak agar Mas Raka tidak masuk, "Jangan Mas!" Namun Renata segera memutuskan sambungan telponnya. Dia kemudian menatapku, "Kamu pikir paling pintar Amel!" Ujarnya lalu berjalan mendekat ke arahku. Wanita itu mencengkeram daguku. "Aku sengaja membiarkan kamu memberikan info padanya biar dia kesini!" Lalu dengan keras dia membuang wajahku. "Dasar wanita jahat!" Teriakku. Tak selang kemudian, seseorang datang melapor. Renata tertawa kemudian memberi perintahnya. "Bawa dia masuk." katanya. Kutahu pasti Mas Raka yang datang. Dan benar saja Mas Raka masuk dengan dikawal dua orang. Melihat Mas Raka Renata nampak marah, wanita ini terlihat begitu menyimpan dendam pada mantan suaminya. "Hai Raka!" Dia berjalan menatap Mas Raka. "Lepaskan Amel Renata! urusanmu denganku bukan dengannya!" Ujar Mas Raka dengan lantang. Renata tertawa sinis, "Jelas ada Raka, dialah yang membuat kamu menceraikan aku, dia juga yang membuat aku menderita!" Teriaknya. "Kenapa
Mas Raka langsung mendekat, "Ada apa Sayang?" tanya Mas Raka panik. "Lihatlah Mas." Aku tunjukkan foto yang dikirim nomor asing itu. Mas Raka mengepalkan tangannya, "Apa maksudnya." Ujarnya marah. Pria itu menelpon nomor asing tersebut. "Nomornya tidak aktif sayang." Aku duduk dan terdiam, memikirkan foto itu. "Kira-kira apa maksudnya si pengirim itu ya Mas, kenapa foto kucing berlumuran darah dia kirim ke aku?" Ku pandang Mas Raka. "Entahlah Sayang, sudah jangan kamu pikirkan." Mas Raka membujuk aku. Aku mengangguk, kemudian Mas Raka meminta aku untuk istirahat. "Kamu istirahat dulu, aku harus kembali bekerja." Ujar Mas Raka lalu mengecupku. Pikiranku benar-benar kacau, pesan ini jelas bukan pesan iseng melainkan sebuah ancaman, apa si pengirim pesan ingin membunuh aku seperti kucing itu? 'Apa ini perbuatan Renata?' Aku membatin dan menerka jika itu adalah Renata. Lelah memikirkan foto yang dikirim tadi, aku memutuskan untuk tidur. Entah berapa lam