"Assalamu'alaikum." Aku mengucap salam kepada ibuku yang tengah duduk di teras, aku segera mencium punggung tangan wanita yang telah melahirkan aku itu. "Siapa yang mengantar kamu Mel?" tanya ibu. "Atasan Amel Bu." Ujarku. Segera aku meletakkan makanan yang tadi Mas Daffa belikan di atas meja. "Kamu beli makanan?" Ibu kembali bertanya. "Dibelikan atasan Amel Bu." Kutatap ibuku dengan tersenyum. Meski aku sudah menjawab pertanyaan ibu tapi beliau masih menunjukkan raut kebingungan. Seolah tak percaya jika aku habis ditraktir atasanku. "Atasan kamu baik sekali." Kalimat itu yang ibu ucapkan. "Jelas baik Bu." Kataku sambil menunjukkan sederet gigi putihku. "Ibu masih ingat Mas Daffa?" Ibuku kembali mengerutkan alisnya, "Siapa Daffa?" tanyanya bingung. "Itu loh Bu, dulu waktu Amel kuliah kan ada cowok yang mengantar Amel pulang dan sama ayah dimarahi habis-habisan." Aku berusaha mengingatkan ibu akan Mas Daffa. "Oh iya." Akhirnya ibu ingat. Kami membin
Mas Daffa juga terkejut melihat siapa yang datang. Tangannya terlihat mengepal begitu pula dengan rahangnya yang mulai mengeras. "Ada urusan apa kamu kemari!" Tanya Mas Daffa sinis. Mas Raka menyeringai, "Yang jelas bukan untuk mengencani istri orang!" Terdengar jelas jika Mas Raka tengah menyindir Mas Daffa, aku juga ikut sakit hati atas ucapannya. Sekali lagi dia merendahkan aku dan menuduhku berkencan dengan Mas Daffa. "Jangan buat masalah, kami disini menunggu klien bukan berkencan!" Kataku lantang. "Klise sekali alasan kamu Mel!" Dia tertawa menyeringai. "Tunggu!" Aku menatap Mas Raka. Apa jangan-jangn Mas Raka adalah klien kami? Kulempar tatapan ke arah Mas Daffa, jika dilihat dari raut wajahnya dia sepertinya sama sepertiku menyadari jika klien kami adalah Mas Raka. Tak selang lama, seorang datang dia langsung tersenyum. "Pak Daffa." Dia memanggil Mas Daffa. Mas Daffa yang kenal langsung merubah mimik wajahnya, dia tersenyum lalu menjabat orang tersebut.
Aku melongo menatap Mas Daffa, bagaimana mungkin dia mengklaim benih ini miliknya hanya karena ucapan Mas Raka tadi. Sungguh nggak pantas membebankan tanggung jawab ini pada Mas Daffa. "Tidak perlu seperti itu Mas." Kataku kemudian. "Perlu Amel, aku akan tanggung jawab akan anak ini!" Sahutnya. Entahlah aku bingung sendiri memikirkan Mas Raka dan Mas Daffa, tak tau harus berkata apa aku melemparkan tatapan keluar jendela. Daripada bingung, lebih baik aku ikuti alur dari sang Pencipta. Cukup sabar saja menjalani semua pasti semua permasalahan ini ada solusinya. Mobil Mas Daffa melaju jauh menuju jalan tol arah luar kota, entah kemana lagi dia akan pergi? "Mas kita mau kemana?" tanyaku heran. "Pantai, aku akan menunjukkan kamu sunset terindah." Jawabnya. Satu jam kemudian mobil Mas Daffa memasuki kawasan pantai, memang apa yang dia ucapkan benar adanya. Pantai ini masih asri, jalan menuju ke pantai ini juga masih jalan setapak sehingga mobil di parkir jauh dari bibir pan
"Amel aku mohon pulanglah!" Dia menatapku dengan tatapan sendu, mengiba agar aku pulang bersamanya. Apa yang sebenarnya terjadi? kenapa dia bersikap begini? bukankah beberapa hari yang lalu dia sangat menyebabkan. "Sudahlah Mas, pergilah!" Ujarku lirih. "Aku akan pergi jika kamu ikut pulang bersamaku Amel." Hatiku mencolos mendengar ucapannya itu, inikah Mas Raka yang selalu melukaiku? Sejenak rasa iba datang menghampiri, hendak merobohkan pertahananku. Namun.... Segera perlakuan buruknya datang menghalau rasa iba itu, menyadarkanku betapa kejamnya dia. "Apa sih maumu! Kita telah sepakat untuk berpisah. Lagipula benih ini kamu juga tidak mengakuinya tapi kenapa sekarang kamu tiba-tiba datang dan mengajak aku pulang???" Kutatap tajam Mas Raka. Tangan Mas Daffa menggenggam tanganku, pria ini seolah memberiku kekuatan agar tidak rapuh. "Raka! anak ini milikku, jadi pergilah!" Ujar Mas Daffa dengan lantang. "Anak itu anakku Daffa!" Sahut Mas Raka yang tak mau kalah
"Mama ada apa mencari Amel?" Aku menatap Mama Mas Raka dengan lekat. Mama tersenyum menatapku. "Sebenarnya mama itu mau membahas acara syukuran anak kamu, kan usia kandungan kamu sudah empat bulan." Jawab Mama. Ternyata inilah tujuan Mama dan Papa datang, lalu apa yang harus aku katakan? sementara hubunganku dan Mas Raka hampir mencapai finish? Aku dan ibu saling pandang menunjukkan raut sedih masing-masing, sementara ayah tersenyum dan turut membahas acara syukuran ini. "Lebih baik syukuran ini dilakukan di rumah mereka, biar lebih berkah." Ujar ayah. "Benar sekali Pak besan." Sahut Papa Mas Raka. Apa ini, kenapa jadi begini? aku menatap ibu. Air mataku menggenang di pelupuk mataku. Haruskah aku bilang yang sebenarnya? "Tapi katanya Raka ada dinas diluar?" Ayah ternyata masih ingat alasanku, entah mengapa jawaban Mama Mas Raka bisa diterima ayah, dan mereka kini tertawa. "Bagaimana dengan anda Jeng? setuju bukan jika acara syukuran empat bulanan dilakukan di
"Heran, kamu tuh kenapa sih!" Aku menggerutu sambil melemparkan tatapanku kembali keluar kaca mobil. Pikiranku kini semakin ramai, melayang jauh kesana kemari tak menentu. Tak selang lama mobilnya tiba di depan lobi perusahaan, tanpa berkata apa-apa aku segera turun dan menutup pintu cukup keras. Kode pada Mas Raka jika aku tak suka dia antar ke kantor. Waktu masuk tinggal lima menit lagi, buru-buru aku masuk ke dalam untuk absen. Tinggal satu menit lagi, untung aku sudah selesai absen sehingga kedatanganku tidak masuk dalam kategori terlambat. Di belakangku ada Mas Daffa yang ternyata baru saja datang. "Tumben Mel kamu datang pas waktu masuk." Ujar pria itu. "Bangun kesiangan Mas." Jawabku dengan tersenyum menatapnya. Memang biasanya setengah jam sebelum jam masuk aku sudah standby di kantor. Tak ingin terlambat, aku segera pamit ke divisiku. Semua rekan kerja ku sudah berkutat dengan komputer masing-masing tinggal aku yang belum siap apa-apa. Segera aku
Di sore harinya, Mas Raka datang menjemputku kembali, jujur aku tak pernah berpikir pria ini akan gigih menemuiku berkali-kali. "Mel ayo pulang." Dia berjalan mendekat ke arahku. "Aku bisa pulang sendiri." Segera aku menolak tawarannya.. Namun Mas Raka langsung menarik tanganku. "Aku tadi mengantarmu berangkat jadi pulangnya harus aku jemput." Kulepas tangannya dengan kasar, " Jaga batasanmu Mas!" Ujarku lantang. Kulihat Mas Raka justru tersenyum, lalu menatapku. "Amel Amel batasan seperti apa yang harus aku jaga bukankah kamu adalah istriku?" Mendengarnya aku terdiam, apa yang dia ucapkan benar adanya, memang secara lahiriyah kami berpisah namun secara harfiah aku masih istrinya, bahkan masih menyandang status Nyoka Raka. "Sudahlah Mas aku tidak mau berdebat." Kataku dengan ketus. "Aku juga jadi tolong menurut lah, mari aku antar pulang, Ibu dan ayah sudah menunggu kamu di rumah." Dia berkata sangat lembut padaku, tatapannya juga sangat teduh. Sejenak kutatap Ma
Ucapanku adalah harga mati yang tidak bisa diganggu gugat. Meski penyesalan Mas Raka setinggi gunung, aku tetap tidak akan kembali. “Pikirkan anak kita Mel, pikirkan orang tuamu juga. Aku mohon.” pintanya dengan tatapan sendu. “Justru karena aku memikirkan mereka aku tidak mau kembali Mas, sudahlah jangan mencoba mengurai komitmen kita.” Tak ingin terus berdebat dengannya aku berjalan ke pintu, “Pergilah, aku mau istirahat.” Sengaja aku mengusirnya karena jika tidak diusir dia tidak akan pergi. Dia mengangguk, sebelum keluar dia menatapku sendu. Melihatnya melas begini ada rasa tak tega tapi aku kejam begini juga karenanya. Dulu sikapnya juga begini padaku, sekeras aku memohon bahkan mengemis dia tidak pernah melihatku karena di otaknya hanya ada Renata dan Renata. “Ya sudah kamu istirahat, jaga anak kita.” Tangannya hendak mengelus perutku namun secepat kilat aku menghindar. “Tidak usah memegangnya.” Ujarku dingin. "Baik Mel, maaf." Setelah dia keluar, aku segera men
Kutatap Mas Raka dengan lekat, kemudian kuambil ponselku kembali. "Apa yang aku sembunyikan Mas? aku tidak menyembunyikan apa-apa." Cicitku pelan-pelan. Kulihat dia menghela nafas, "Maaf Sayang mungkin karena banyak kerjaan jadi aku terlalu membesarkan masalah." Ujarnya lalu dia pergi ke kamar mandi. Segera aku menghapus pesan dari Daniel dan Renata,. aku tidak akan menyisakan kecurigaan sedikit pun. Aku juga menghapus kata sandi ponsel. Ternyata begini rasanya jika memiliki suami yang sudah mulai peduli hal kecil. Setelah Mas Raka keluar dari kamar mandi, aku memeluknya meminta maaf atas masalah tadi. "Sudah aku hapus sandinya Mas, kalau kamu butuh apa-apa dari ponselku bisa langsung kamu ambil." Kupeluk erat suamiku itu. Aku dan dia sudah lama tidak bertengkar jadi sedikit saja masalah yang datang membuat aku takut. "Maafkan aku sayang, hari ini banyak sekali customer yang booking hotel, bahkan sampai menolak tamu." Dia melepas pelukanku. "Iya Mas." Sahutku. #####Malam
"Mas kamu sarapan di hotel apa di rumah?" Tanyaku sambil membantunya memakai dasi. "Maaf sayang sepertinya aku sarapan di hotel, pagi ini aku harus briefing pegawai." Ujarnya. "Ya sudah." Sahutku kemudian mengambil tas jinjingnya. Saat aku mengambil tasnya tiba-tiba tangan suamiku menyusup masuk dan menyabuk di perutku. "Maaf sayang, besok setelah keadaan hotel sudah normal aku akan sarapan di rumah." Bisiknya. Mendengar ucapannya tentu aku tersenyum, aku tidak masalah jika dia sarapan di hotel. "Nggak papa Mas." Aku melepas pelukannya. "Sudah ayo berangkat, nanti keburu telat." Kataku lalu merangkul lengannya. Setelah Mas Raka berangkat, aku mendapatkan pesan dari Daniel, pria itu meminta aku untuk datang ke kantornya. Ku lempar ponselku, entah apa maunya. "Bukankah dia dan Renata akan menikah? untuk apa lagi menghubungiku?" Gerutuku kesal. Meskipun begitu aku tetap mengikuti keinginanya. Singkat cerita aku telah tiba di kantor Daniel, saat aku keluar ternyata ada
Di perjalanan pulang dari rumah Renata aku menghubungi Daniel, aku mengatakan jika Renata setuju menikah dengannya.Ternyata dia yang dingin itu langsung menelponku. "Kamu pasti berbohong." Kata itu yang aku dengar saat aku menerima panggilannya. "Terserah kamu percaya apa tidak," sahutku kesal.Pria itu kemudian mengajakku untuk bertemu di kantornya dia ingin membahas masalah Renata lebih lanjut lagi. Aku pun menyetujuinya lalu meminta sopir putar balik. Kini aku berada di ruangan Daniel, dia mengambilkan aku minuman dinginnya. "Minumlah!" Titahnya. Aku tahu pria ini sangat senang tapi entah mengapa wajahnya masih saja datar suaranya juga masih dingin sehingga membuat aku kesel sendiri. "Iya."Aku yang haus segera meminum minumannya sampai tandas. Grrrrkkk, aku malah sendawa dengan keras. "Ups maaf Pak Daniel." Kutatap pria itu. "Tak masalah." Ujar Daniel. "Lalu apa rencanamu?" tanyanya kemudian. Sejauh ini aku masih belum memiliki rencana untuk mereka namun karena Daniel s
Aku segera mengambil ponselku, lalu meletakkannya kembali."Dari siapa sayang? kenapa namanya kuda nil?" Mas Raka nampak bingung."Temanku," jawabku dengan was-was.Mas Raka tersenyum kemudian merangkulku, "Kamu tuh ya, seorang teman malah dinamai kuda nil." Mas Raka terlihat menggelengkan kepala."Habisnya badannya besar seperti kuda nil," sahutku sambil tertawa juga.Tak ingin Mas Raka tertanya lebih aku segera mengajaknya turun. Setelah makan kami di ajak mengobrol oleh Papa dan Mama."Ada apa Pa?" Tanya Mas Raka dengan tatapan heran. "Papa dengan omset menurun drastis, sana sini banyak rumor buruk, kinerja kamu itu gimana?" Pertanyaan Papa membuat Mas Raka menghela nafas, kutahu dia tidak akan menceritakan yang sesungguhnya kepada sang Papa. "Raka akan kerja keras lagi Pa." Hanya kata semangat itu yang dia ucapkan. Papa meminta Mas Raka untuk menjaga baik-baik hotel itu karena bagaimanapun juga itu hotel beliau rintis sejak muda. "Jangan sampai bangkrut Raka, Papa mohon." Te
Seperti kemarin aku datang lagi ke rumah Renata, saat menemuiku Renata sudah menunjukkan ekspresi tak suka. "Mau apa lagi kamu kemari?" Tanyanya sinis. "Apa sudah kamu pikirkan ucapanku kemarin?" Tanpa menjawab aku justru melemparkan pertanyaan. Dia tertawa kemudian bilang ke aku jika Daniel memintanya untuk tidak menggubris ucapanku. Tentu aku melongo, apa maunya kuda nil itu! jelas-jelas dia memintaku untuk membujuk Renata tapi mengapa dia malah berkata demikian? "Dia bicara begitu?" tanganku sontak mengepal. "Iya, lagipul kak Daniel akan selalu menyayangiku selamanya, dia akan menuruti semua kemauan ku termasuk membuat kalian menderita!" Renata tertawa bahagia sementara aku kekesalan menggerogoti hatiku. "Yakin? manusia itu gampang berubah sekarang bilang akan selalu menyayangi tapi entah besok." Agaknya ucapanku mengundang perhatiannya, sehingga Renata menatapku tajam. "Aku yakin sama Kak Daniel." Ujarnya. "Dulu kamu juga yakin sama Mas Raka bukan?" Raut wajah Renata be
Esok harinya setelah Mas Raka berangkat ke kantor, aku pergi menemui Renata di rumahnya. Mengetahui kedatanganku Renata sangat terkejut. "Amel! bagaimana kamu tahu rumahku?" Dia menatapku tajam. "Tidak penting aku tahu darimana." Ujarku yang juga menatapnya. Dia duduk di sofanya yang lain, "Apa maumu?" Masih dengan tatapan yang sama. "Aku ingin bicara Renata." Sahutku. "Bicara apa?" Tanyanya dengan dingin. Aku menghela nafas, kalau bukan demi Mas Raka aku tidak mungkin mau menemuinya, soal penculikan waktu itu saja masih ku ingat bahkan masih jadi ketakutanku "Mari kita akhiri dendam ini." Kutatap dia dengan lekat. "Enak saja, aku menderita setelah Raka menceraikan aku dan kini kamu ingin aku mengakhiri ini?" Dia mendengus kesal. Dia pikir hanya dia saja yang menderita, aku jauh lebih parah. Ingin sekali aku pergi tapi aku harus berhasil membujuknya atau kakaknya akan menghancurkan bisnis keluargaku. "Kita sudah mendapatkan karma kita masing-masing Renata, kamu m
Keesokan harinya tubuhku rasanya pegal semua, keganasan Mas Raka semalam benar-benar membuatku sampai memohon ampun. "Kamu kenapa sayang?" tanyanya sambil menatapku. Aku memberengut kesal, "Kenapa-kenapa ini karena keganasan kamu semalam Mas." Bibir refleks maju ke depan. Dia tertawa kemudian memelukku, "Sekali lagi boleh?" Mataku melongo menatapnya, tubuhku sudah remuk begini dia meminta sekali lagi? "Mas kita lanjut nanti ya, aku harus memasak." Buru-buru aku bangkit dan pergi ke kamar mandi. Setelah membersihkan diri aku menyiapkan keperluannya. "Mas dasi warna abu-abunya kok ga ada ya." Aku berkali-kali mencari dasi warna abu namun tak ketemu. Mas Raka tertawa dan hal itu membuat aku kesal. "Bantu cari dong Mas kamu kenapa malah tertawa." Ujarku sambil memberengut. Dia berjalan ke arahku kemudian mengambil dasi yang ternyata ada di leherku. "Ini apa Sayang." Bisiknya. Aku yang malu hanya tertawa. "Maaf Mas." Bukannya segera memakai bajunya, Mas Raka malah men
Mas Raka menjelaskan semua, Kakak Renata sengaja menyebarkan rumor buruk tentang hotel keluarga kami ya tujuannya untuk menghancurkan Mas Raka kembali. Tanganku sontak mengepal, orang ini benar-benar gila. Apa belum puas dia sudah membuat dua direktur resign tanpa mendapatkan apa-apa. "Dia benar-benar!" batinku. Aku harus melawan rasa takutku, ya aku harus menemui Kakak Renata, meskipun dia seorang mafia tapi negara ini adalah negara hukum jadi tak mungkin melakukan hal buruk padaku. Keesokan harinya setelah Mas Raka berangkat ke hotel, aku datang ke kantornya dahulu untuk menemui Kakak Renata. "Semoga saja pria busuk itu disini." Gumamku. Aku meminta supir dan security rumahku menunggu di mobil. Diam-diam aku naik ke atas ke ruangan CEO. Benar saja saat aku mengetuk pintu ada sahutan dari dalam. Saat aku berdiri di hadapannya dia memelototkan mata. "Kamu! beraninya staf biasa masuk ke ruanganku!" Makinya dengan menatapku tajam. "Aku bukan staff disini." Ujarku. Sebenarnya
Mulutku terbuka lebar-lebar, aku sungguh tak menyangka jika bertemu dengan kakak Renata di lift. Dari wajahnya memang pria ini terlihat garang, dia juga sangat dingin lebih dingin dari sikap Mas Raka dulu, pantas sekali dia menjadi seorang mafia kelas kakap di negara ini."OMG dia kakak Renata.":batinku dengan terus menatapnya. Pria itu juga menatapku kemudian berkomentar pedas, "Kenapa kamu terus menatapku! suka?" Suara dinginnya membuat aku segera melemparkan tatapan. Lawak juga nih orang, bisa-bisa berkata seperti itu! mana mungkin aku suka, wajahnya saja menyeramkan. Aku mendengus kesal meskipun di dunia ini lelaki tinggal dia seorang, aku tak mungkin suka. "Maaf tapi kamu bukan tipeku." Ujarku ketus. Kebetulan live telah tebuka dia melangkahkan kaki keluar.Saat dia keluar aku menghela nafas dalam-dalam. "Syukurlah." Sambil mengelus dada. Setibanya di ruangan mas Raka aku segera memberikan berkas yang dia minta."Terima kasih sayang maaf aku merepotkanmu," katanya lalu men