Hai kak.... Maaf baru menyapa. Salken y kak.... Makasih yang udah komen komen, duh jadi semangat nulis ceritanya deh hehe. Selamat membaca kaka, dan jangan lupa terus tinggalkan jejaknya ya.... 🥰
Aku berjalan menuju jendela, kutatap nanar luar sana. Di rumah ini pikiranku penuh sesak, Renata dengan aneka dramanya, Mas Raka yang tak ku tahu apa maunya, semua ini berputar di kepalaku membuat rasa sakit ini semakin terasa. Pikiranku menerawang jauh sehingga tak sadar jika ada tangan yang memelukku dari belakang. “Apa yang kamu lamunkan Mel?” Bisik Mas Raka. Reflek aku melepas tangannya, tapi tangan kekar Mas Raka tak membiarkan aku lepas. “Please biarkan seperti ini.” Pintanya. Aku berdecak kesal, “Jangan gila kamu Mas!” Kembali aku meronta, berusaha sekuat tenaga untuk lepas darinya. Namun aku tetap saja kalah. “Setelah kamu pergi, aku merasa kehilangan, aku akui aku tak bisa tanpamu Amel.” Ucapnya lirih. Hembusan nafas Mas Raka ku rasakan. Dan sekian detik kemudian, pelukannya kian mengerat. “Lepaskan aku Mas!” Aku berusaha lagi melepaskan pelukannya. "Kamu seperti piton saja!" Kataku ketus. “Bukankah dulu kamu selalu ingin aku peluk, kembalilah ke A
Buku-buku ku lempar tatapanku, sudahlah lagipula aku juga sudah memutuskan untuk berpisah jadi untuk apa aku memikirkan hal itu. Di dapur kami menyiapkan segala sesuatunya sambil mengobrol, Mas Raka benar-benar care caranya memperlakukan aku membuat Mama terus melirik kami. Aku keringetan sedikit dia langsung mengusapnya hal ini membuat aku semakin tak nyaman. "Raka, kamu bucin sekali, daritadi sudah berapa kali kamu mengusap keringat Amel." Ujar Mama dengan tersenyum. "Iya Ma takutnya nanti kena mata kalau nggak bergegas diusap." Sahutnya. Mungkin jika dia melakukan hal ini sebelum hatiku berubah pasti aku adalah wanita paling bahagia di dunia ini, Sayang dia memperlakukan aku dengan istimewa setelah hatiku mati rasa jadi hanya menjadi kekesalan bagiku. Aku masih bergeming karena tak berkutik untuk bicara, biar saja dia melakukan apapun semaunya. "Kamu pasti lelah, ayo aku antar istirahat." Mas Raka kembali menunjukkan perhatiannya. "Tidak." Jawabku singkat lalu kembal
"Sudahlah Amel jangan diingat lagi, aku tahu aku salah!" Tatapan Mas Raka berubah sendu. "Mudah bagimu melupakan karena kamu yang menyakiti, tapi bagaimana dengan aku? ingatan perlakuanmu masih membekas di kepalaku!" Kusahut ucapannya dengan sinis. Enak saja jangan diingat lagi, apa dia tahu bagaimana rasanya jadi aku. "Maaf." Suara Mas Raka lirih. Waktu terus bergulir, acara pun segera dimulai. Setelah mandi aku memakai pakaian yang telah Mama belikan, begitu pula dengan Mas Raka. "Kamu cantik sekali pakai gamis ini Mel." Puja-puji Mas Raka mencuat. "Biasa saja, lagian tumben sekali memujiku." Sahutku ketus. Dia terdiam seribu bahasa, lagian sok sok an memujiku perasaan selama setahun lebih bersamanya dia pernah dia memujiku. Saat bersamaan Ponsel Mas Raka berbunyi, setelah dia menerima panggilan dia pamit turun. "Iya sana sana ganggu orang berias saja!" gerutuku. Setelah Mas Raka keluar, kudengar pintu dibuka. Sontak aku menoleh dan ternyata Renata masuk ke dalam
"Tidur di kamar bawah saja ya Ma, kamar di atas sangat berantakan, Raka malas merapikan. Mau nyuruh Amel tapi dia kan lagi hamil." Mas Raka berusaha membujuk Mamanya agar mau tidur di kamar bawah. Mama menghela nafas, beliau setuju dengan keinginan sang anak. Senyum kelegaan tersungging di bibir Mas Raka karena dia keluar dari masalah. Malam ini Mas Raka berada di kamarku, terbiasa tidur sendiri membuat aku risih tidur ditemani olehnya. "Pergilah ke kamarmu, jangan tidur disini." Ujarku dengan menatapnya. "Aku kangen tidur bersama." Dia menunjukkan wajah melasnya. Sungguh kesal sekali, saat dia seperti ini aku malah merindukan sikap dinginnya. Dimanakah Mas Raka yang begitu dingin dulu? kenapa berubah menjadi kucing jinak begini? "Aku suka kamu yang dulu Mas, dingin, berwajah datar dan sedikit bicara padaku!" Aku demo akan perubahannya. Ah kenapa doa yang terus aku ucapkan dulu malah terkabul ketika aku membencinya? Tuhan maafkan aku, dulu memang aku sangat men
Sungguh kenapa jadi begini? kenapa mereka seperti anak ABG? apa mereka tidak sadar jika mereka ini adalah petinggi perusahaan besar? Kami menjadi pusat perhatian staf maupun orang luar di depot itu. Aku malu sekali. Pasti setelah ini beredar rumor di divisi ku jika seorang wanita hamil direbutkan dua direktur. "OMG pusing sekali kepalaku." Gumamku. Meskipun nggak bernafsu aku tetap memakan makanan yang mereka pesan. "Kalian makan saja jangan ada yang bicara." Aku berbisik di depan mereka. Meskipun hanya staf biasa namun aku berani memerintah Direktur. Usai makan aku kembali ke kantor tanpa memperdulikan mereka. Sikap mereka cukup membuat aku malu. Benar saja saat aku kembali ke meja kerjaku, beberapa staf menatapku, mereka bahkan terlihat berbisik-bisik. "Mel mereka membicarakan kamu." Kata temanku. "Iya aku tahu." Sahutku. Masa bodoh dengan mereka, aku melanjutkan pekerjaanku kembali. Sepulang dari kantor aku langsung pulang, aku tak menghiraukan pesan masuk yang
Penolakan tegas terdengar dari mulut Renata, dia tidak mau pulang naik taksi. "Aku nggak mau Mas!" Aku tersenyum sinis, "Tuh istri kamu tidak mau." Aku dan Ira bersiap berjalan tapi tangan Mas Raka menarik tanganku. "Tunggu Mel." Mas Raka meminta aku untuk menunggunya, lalu dia memberi Renata uang. "Jangan protes mengertilah Amel sedang hamil!" Katanya. Renata menerima uang itu dengan mata berkata, kutahu dia saat ini pasti kecewa dengan keputusan suami tercintanya ini. Sementara aku harus menerima konsekuensi atas ucapanku, seandainya aku tadi tidak menggertaknya mungkin saat ini aku pulang bersama Ira. Di mobil kami sekarang, kutatap kesal pria yang masih berstatus suamiku ini. "Mel bagaimana anak kita? apa dia terus menendang?" Dia membuka pembicaraan. "Iya." Kujawab singkat pertanyaannya. "Tidak bisakah kita tinggal bersama lagi Mel?" Kembali dia meminta hal itu. "Aku sudah sangat senang bisa keluar dari rumah itu dan kamu ingin aku kembali lagi? j
Aku membisu, seandainya kata-kata itu terucap beberapa bulan yang lalu mungkin akan aku pikirkan lagi niatan untuk berpisah namun sayang kata indah ini dia ucapkan ketika niatku sudah bulat. Meskipun aku adalah rumah baginya tapi dia bukanlah nahkoda di kapalku, aku bisa mendayung perahuku sendiri tanpa harus melibatkannya. "Terkadang tempat singgah juga lebih nyaman daripada rumah Mas." Ucapku lirih. "Tidak Amel." Sanggahnya. "Buktinya kamu dulu begitu mengagungkan tempat singgahmu itu!" Seusia kalimat itu kuucap, kami berdua saling diam. Tatapanku ke depan menatap sederet mobil yang sedari tadi tetap di tempatnya. Entah sampai kapan macet ini akan terurai sehingga aku lebih cepat lepas dari pria ini. Hingga satu jam berlalu namun mobil di depan tidak bergerak sedikit pun. Apa sebenarnya yang menyebabkan macet panjang ini? Aku mulai bertanya-tanya. Diriku yang lelah memutuskan untuk memejamkan mata, lebih baik aku tidur daripada diajak Mas Raka ngobrol yang tida
Aku berdiri, hatiku rasanya sesak mendengar pengakuan Mas Daffa, dia sangat mengharapkan aku. Mas Daffa turut berdiri di sampingku. Senyuman ketir kutunjukkan, lalu kuelus punggung Mas Daffa. "Jangan gitu Mas, lagipula masih banyak wanita lain yang jauh dariku." "Tapi hatiku telah menjadi milikmu Mel." Sahutnya. Ku lempar tatapan nanar ke depan. Mas Daffa kamu sangat tampan, baik, jabatan tinggi pasti banyak wanita diluar sana yang mengejarmu, please jangan pertaruhkan masa depanmu hanya untuk aku yang bahkan statusku adalah istri orang. Saat aku perang dengan pikiranku, tangan Mas Daffa menyusup masuk dan memelukku dari belakang. Aku yang begitu syok mematung tanpa bisa menolak maupun menerima pelukannya. "Ijinkan aku menjadi penjagamu Amel." Bisiknya. Pelukannya semakin erat, Direktur utama itu bak ular piton yang hendak meremukkan mangsanya. 'Mas jangan lakukan ini' Hatiku menjerit, memohon padanya agar melepaskan pelukannya namun mulutku masih terkunci. "Aku
Di dalam kamar aku menangis, sungguh aku merasa sedih dengan sikap Mas Raka. Kenapa semua seolah aku yang salah? padahal aku hanya ingin merawat Arkan dengan tanganku sendiri? "Kenapa kamu begini Mas?" Aku bermonolog dengan diriku sendiri. Kukira Mas Raka akan mengerti keadaanku, seorang ibu baru yang mengalami perubahan segala siklus hidup namun nyatanya tidak. Di saat seperti ini bukankah peran suami adalah mensupport istri? tapi mengapa malah balik menyalahkan? ArrggggAku berteriak sambil mengusap rambutku dengan kasar. Meskipun aku mengurus Arkan sendiri aku tidak pernah mengganggu tidurnya, seberapa repotnya aku tiap malam aku tidak pernah membangunkannya karena aku sadar dia harus bekerja. Tapi kenapa dia tidak mengerti? bukankah masa-masa seperti ini tidak lama, ketika bayi semakin besar dia pasti akan jarang bangun malam dan aku bisa mengurusnya kembali? Hati yang meradang membuat aku terus menangis hingga suara ketukan dari luar menghentikan tangisku. Aku berjalan u
Kutunggui dia yang sedang makan, entah mengapa melihat Mas Raka makan, aku merasa iba. Emosi yang memburu tiba-tiba menghilang. "Aku sudah selesai makan, apa yang ingin dibicarakan?" Dia menatapku. "Ayo le kamar." Tak ingin di dengar pelayan dan Mama aku mengajak Mas Raka ke kamar. Tapi Mas Raka menolak dengan alasan kekenyangan jadi malas naik. "Kamu tuh kenapa sih Mas, bicara di kamar lebih leluasa tidak didengar banyak orang!" Aku memberengut kesal. "Apa masalahmu?" Nafasku kembali memburu, dia tidak pulang dan dia bertanya apa masalahnya? "Kamu tuh nyadar gak sih kalau salah! nggak pulang apa menurut kamu itu wajar?" Air mataku yang kutahan memberontak keluar, sehingga kini aku menangis di hadapannya. "Apa yang kamu tangisi bukanlah semua keinginan kamu?" Mendengar ucapannya sontak aku membuat aku kembali menatapnya, "Apa maksud kamu?" "Ya kamu lelah dengan Arkan bukanlah itu keinginan kamu? dari awal aku sudah mencoba menawarkan baby sitter tapi kamu selalu menolak."
Tanganku mengepal, emosiku meledak-ledak melihatnya. Melihatku Mas Raka hanya menghela nafas. "Aku lelah, jangan marah-marah seperti ini." Katanya lalu dia merebahkan diri di tempat tidur. Tak rela jika amarahku berakhir begitu saja aku pun menghampirinya, ku tarik tangannya agar bangun untuk mendengar omelanku. Tapi bukannya bangun Mas Raka justru menarik tubuhku dan membawaku ke dalam dekapannya. "Arkan tidur lebih baik kamu tidur jangan marah-marah." Katanya. Aku melongo melihat suamiku ini, seketika emosiku yang sedari tadi berapi-api padam begitu saja. Dan dalam dekapannya aku merasa hangat hingga air mataku tak terasa meleleh. "Nyatanya lelahku hilang dalam dekapannya." Batinku sambil terus menatap Mas Raka yang sudah memejamkan mata. Baru saja aku terpejam suara Arkan membangunkan aku, malas dan lelah tapi aku harus bangun untuk menenangkan malaikat kecilku itu. "Kamu haus ya." Kataku sambil membuka kancing baju untuk menyusuinya. Saking ngantukn
Aku hanya tersenyum mendengar pesan Mama, entah mengapa aku ingin tanganku sendiri yang mengurus bayi ini. "Nanti Amel pikirkan ya Ma." Tak ingin Mama kecewa aku berkata demikian. Bayiku kini berusia tujuh hari, hari ini adalah hari dimana Mama mengadakan syukuran pemberian nama. Adat kami memang seperti itu, ada beberapa syukuran yang wajib digelar oleh keluarga yang baru saja memiliki keturunan. "Namanya Arkan Ma, diambil dari Amel dan Raka." Ujar Mas Raka. "Tapi sama Mas Raka ditambahi n," sambungku. Mama tertawa, sebenarnya aku yang ingin Mas Raka menambahkan paten n, karena aku ngefans sekali dengan salah satu sama pemain bola tanah air. Setelah acara syukuran pemberian nama selesai aku dan Mas Raka pamit ke atas untuk istirahat. Di dalam kamar, Mas Raka duduk di sampingku. "Sayang, besok pagi sekali aku ada dinas keluar kota kamu bisa nggak bangun pagi dan mengurusi aku." Dia menatapku. "Aku upayakan ya Mas, bayi kita sering rewel kalau malam jadi aku ga bisa
Ini bukan stimulasi Asi melainkan memancing hasrat, alhasil hasratku lah yang terpancing keluar. "Mas, ah...." Aku malah mendesah merasakan setiap hisapan yang mas Raka berikan. Tanganku menarik rambutnya, mataku justru terpejam. "Mas sudah." Aku menekan kepalanya. Entah apa yang ada di kepalaku, saat seperti ini aku malah terjerumus dalam hal ini. Mas Raka menyudahi aksinya, "Gimana sayang, apa sudah cukup stimulasinya?" Dia tersenyum licik. "Ini bukan stimulasi mas, tapi memancing hasrat." Sahutku kesal. Dia tertawa, suamiku sungguh mesum sekali. "Maafkan aku sayang," katanya lalu mencubit pipiku. Netraku menatap wajahnya kemudian turun ke bawah dan aku melihat ada sesuatu yang menyembur dari balik celananya. Deretan gigiku terlihat, ternyata dia juga terpancing perbuatannya sendiri. "Itu kamu juga berdiri." Kataku sambil menahan tawa. Sebenarnya aku ingin tertawa lepas mengejeknya hanya saja luka operasi jika dibuat tertawa terasa sangat sakit. Tau aku mengejeknya Mas
Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba, hari ini aku dan seluruh keluarga besarku dan Mas Raka pergi ke rumah sakit. Sengaja kami memilih hari ini karena hari ini bertepatan dengan ulang tahun Mas Raka jadi anakku nanti memiliki hari ulang tahun sama dengan papanya. "Mas aku takut." Aku terus memegangi tangan mas Raka. Ingatan waktu itu, membuat nyaliku menciut. Memang operasi sesar tidak menakutkan tapi setelahnya aku harus kesakitan. "Jangan takut sayang, ada aku." Mas Raka terus mengecup keningku. "Habis operasi sakit sekali Mas." Aku mengubah raut wajahku takut merasakannya lagi. Mas Raka tersenyum, dia bilang kalau nanti sakitnya terbayarkan dengan hadirnya anak kami. Aku tersenyum mendengar ucapannya. Bayangan bayi menangis menari di kepalaku, tanpa kusadari bibirku terus saja menyunggingkan senyuman. Beberapa waktu kemudian, Dokter datang untuk melakukan pemeriksaan, selain operasi aku juga meminta dokter untuk sekalian memasang kb, rencananya aku akan menunda kehamilan
Kulihat kedua pria itu nampak canggung, berbeda sebelum tahu kalau ada mata kami yang melihat mereka. Tak selang lama, orang-orang itu pergi termasuk para wanita yang duduk di samping Mas Raka dan Daniel. Selepas kepergian mereka, Mas Raka dan Daniel berjalan mendekat. "Sayang ngapain kesini?" Mas Raka menarik kursi sampingku. Pertanyaan yang sama juga Daniel tujukan kepada Renata. "Makan tapi ga nafsu karena lihat suami orang mau saja digoda wanita." Aku menyindir mereka berdua. "Sayang beneran kami nggak ngapa-ngapain, wanita-wanita itu memang sengaja dibawa oleh klien dan memang seperti itu kelakuan klien kalau ketemu." Dia berusaha menjelaskan. Daniel juga mencoba membujuk Renata tapi respon Renata sama sepertiku. "Tadi bukannya bilang kalau nanti datang nggak bawa istri mau ditemani?" Cuitan Renata membuat Mas Raka dan Daniel saling tatap. Mereka mengusap rambut mereka karena frustasi. "Sayang bukan begitu maksudnya, itu kami menolak secara halus supaya tida
"Kamu tuh bisa aja." Mas Raka mencubit hidungku. Padahal baru pagi tadi berpisah, tapi rasanya seperti lama sekali. Kamar hotel jadi saksi bisu kerinduan kami, aku dan Mas Raka membayar rindu yang sudah kami tahan. Setelah melepas rindu kami bergegas membersihkan diri. Mas Raka yang masih ada kerjaan bersiap kembali untuk menemui Daniel. "Nggak usah buru-buru Mas, Daniel dan Renata pasti juga bergulat." Kataku sambil meletakkan berkas yang dia bawa. Terlihat Mas Raka mengerutkan alis, "Kamu kesini bersama Renata?" tanyanya. "Siapa lagi yang mengajakku jika bukan Renata." Jawabku dengan terkekeh. Mas Raka menggelengkan kepala, "Kalian ini." Ujarnya. Karena Daniel mungkin juga lagi sibuk kami memutuskan untuk mengobrol santai sambil bersua hingga ponsel mas Raka berdering. "Baik, aku akan segera keluar." Kata Mas Raka dalam sambungan telponnya. Usai memutuskan sambungan telponnya, Mas Raka bangkit dan mulai bersiap. "Sayang aku harus berangkat lagi."
Keesokannya Renata kembali datang ke rumah untuk membahas kepergian kita keluar negeri. "Bisa-bisanya kak Daniel melarang kita ikut!" Renata terlihat kesal. "Kalau nggak boleh ya sudah lah Renata kita di rumah saja." Kataku sambil tersenyum menenangkannya. "Gak bisa Amel, takutnya mereka disana main wanita." Ujar Renata. Mendengar ucapan Renata aku sontak tertawa, ternyata dia cukup posesif terhadap suaminya. "Mana mungkin ada wanita Renata." Ku coba untuk meredam rasa posesifnya. Renata menatapku dengan ekspresi heran, "Kamu nggak tau sih Amel, perjamuan bisnis diluar negeri tuh suguhannya wanita seksi, kalau suami kita khilaf gimana?" Jujur aku nggak kepikiran kesana, tapi setelah mendengar ucapan Renata entah mengapa aku sedikit was-was. "Lalu gimana?" tanyaku. "Kita susul mereka." Bibir Renata merekah, dia terlihat bangga dengan idenya barusan. "Baiklah kalau begitu, mari kita susul mereka nanti." Aku pun ikut tertawa. ####Hari ini adalah hari dimana Mas Raka