Di sore harinya, Mas Raka datang menjemputku kembali, jujur aku tak pernah berpikir pria ini akan gigih menemuiku berkali-kali. "Mel ayo pulang." Dia berjalan mendekat ke arahku. "Aku bisa pulang sendiri." Segera aku menolak tawarannya.. Namun Mas Raka langsung menarik tanganku. "Aku tadi mengantarmu berangkat jadi pulangnya harus aku jemput." Kulepas tangannya dengan kasar, " Jaga batasanmu Mas!" Ujarku lantang. Kulihat Mas Raka justru tersenyum, lalu menatapku. "Amel Amel batasan seperti apa yang harus aku jaga bukankah kamu adalah istriku?" Mendengarnya aku terdiam, apa yang dia ucapkan benar adanya, memang secara lahiriyah kami berpisah namun secara harfiah aku masih istrinya, bahkan masih menyandang status Nyoka Raka. "Sudahlah Mas aku tidak mau berdebat." Kataku dengan ketus. "Aku juga jadi tolong menurut lah, mari aku antar pulang, Ibu dan ayah sudah menunggu kamu di rumah." Dia berkata sangat lembut padaku, tatapannya juga sangat teduh. Sejenak kutatap Ma
Ucapanku adalah harga mati yang tidak bisa diganggu gugat. Meski penyesalan Mas Raka setinggi gunung, aku tetap tidak akan kembali. “Pikirkan anak kita Mel, pikirkan orang tuamu juga. Aku mohon.” pintanya dengan tatapan sendu. “Justru karena aku memikirkan mereka aku tidak mau kembali Mas, sudahlah jangan mencoba mengurai komitmen kita.” Tak ingin terus berdebat dengannya aku berjalan ke pintu, “Pergilah, aku mau istirahat.” Sengaja aku mengusirnya karena jika tidak diusir dia tidak akan pergi. Dia mengangguk, sebelum keluar dia menatapku sendu. Melihatnya melas begini ada rasa tak tega tapi aku kejam begini juga karenanya. Dulu sikapnya juga begini padaku, sekeras aku memohon bahkan mengemis dia tidak pernah melihatku karena di otaknya hanya ada Renata dan Renata. “Ya sudah kamu istirahat, jaga anak kita.” Tangannya hendak mengelus perutku namun secepat kilat aku menghindar. “Tidak usah memegangnya.” Ujarku dingin. "Baik Mel, maaf." Setelah dia keluar, aku segera men
Aku berjalan menuju jendela, kutatap nanar luar sana. Di rumah ini pikiranku penuh sesak, Renata dengan aneka dramanya, Mas Raka yang tak ku tahu apa maunya, semua ini berputar di kepalaku membuat rasa sakit ini semakin terasa. Pikiranku menerawang jauh sehingga tak sadar jika ada tangan yang memelukku dari belakang. “Apa yang kamu lamunkan Mel?” Bisik Mas Raka. Reflek aku melepas tangannya, tapi tangan kekar Mas Raka tak membiarkan aku lepas. “Please biarkan seperti ini.” Pintanya. Aku berdecak kesal, “Jangan gila kamu Mas!” Kembali aku meronta, berusaha sekuat tenaga untuk lepas darinya. Namun aku tetap saja kalah. “Setelah kamu pergi, aku merasa kehilangan, aku akui aku tak bisa tanpamu Amel.” Ucapnya lirih. Hembusan nafas Mas Raka ku rasakan. Dan sekian detik kemudian, pelukannya kian mengerat. “Lepaskan aku Mas!” Aku berusaha lagi melepaskan pelukannya. "Kamu seperti piton saja!" Kataku ketus. “Bukankah dulu kamu selalu ingin aku peluk, kembalilah ke A
Buku-buku ku lempar tatapanku, sudahlah lagipula aku juga sudah memutuskan untuk berpisah jadi untuk apa aku memikirkan hal itu. Di dapur kami menyiapkan segala sesuatunya sambil mengobrol, Mas Raka benar-benar care caranya memperlakukan aku membuat Mama terus melirik kami. Aku keringetan sedikit dia langsung mengusapnya hal ini membuat aku semakin tak nyaman. "Raka, kamu bucin sekali, daritadi sudah berapa kali kamu mengusap keringat Amel." Ujar Mama dengan tersenyum. "Iya Ma takutnya nanti kena mata kalau nggak bergegas diusap." Sahutnya. Mungkin jika dia melakukan hal ini sebelum hatiku berubah pasti aku adalah wanita paling bahagia di dunia ini, Sayang dia memperlakukan aku dengan istimewa setelah hatiku mati rasa jadi hanya menjadi kekesalan bagiku. Aku masih bergeming karena tak berkutik untuk bicara, biar saja dia melakukan apapun semaunya. "Kamu pasti lelah, ayo aku antar istirahat." Mas Raka kembali menunjukkan perhatiannya. "Tidak." Jawabku singkat lalu kembal
"Sudahlah Amel jangan diingat lagi, aku tahu aku salah!" Tatapan Mas Raka berubah sendu. "Mudah bagimu melupakan karena kamu yang menyakiti, tapi bagaimana dengan aku? ingatan perlakuanmu masih membekas di kepalaku!" Kusahut ucapannya dengan sinis. Enak saja jangan diingat lagi, apa dia tahu bagaimana rasanya jadi aku. "Maaf." Suara Mas Raka lirih. Waktu terus bergulir, acara pun segera dimulai. Setelah mandi aku memakai pakaian yang telah Mama belikan, begitu pula dengan Mas Raka. "Kamu cantik sekali pakai gamis ini Mel." Puja-puji Mas Raka mencuat. "Biasa saja, lagian tumben sekali memujiku." Sahutku ketus. Dia terdiam seribu bahasa, lagian sok sok an memujiku perasaan selama setahun lebih bersamanya dia pernah dia memujiku. Saat bersamaan Ponsel Mas Raka berbunyi, setelah dia menerima panggilan dia pamit turun. "Iya sana sana ganggu orang berias saja!" gerutuku. Setelah Mas Raka keluar, kudengar pintu dibuka. Sontak aku menoleh dan ternyata Renata masuk ke dalam
"Tidur di kamar bawah saja ya Ma, kamar di atas sangat berantakan, Raka malas merapikan. Mau nyuruh Amel tapi dia kan lagi hamil." Mas Raka berusaha membujuk Mamanya agar mau tidur di kamar bawah. Mama menghela nafas, beliau setuju dengan keinginan sang anak. Senyum kelegaan tersungging di bibir Mas Raka karena dia keluar dari masalah. Malam ini Mas Raka berada di kamarku, terbiasa tidur sendiri membuat aku risih tidur ditemani olehnya. "Pergilah ke kamarmu, jangan tidur disini." Ujarku dengan menatapnya. "Aku kangen tidur bersama." Dia menunjukkan wajah melasnya. Sungguh kesal sekali, saat dia seperti ini aku malah merindukan sikap dinginnya. Dimanakah Mas Raka yang begitu dingin dulu? kenapa berubah menjadi kucing jinak begini? "Aku suka kamu yang dulu Mas, dingin, berwajah datar dan sedikit bicara padaku!" Aku demo akan perubahannya. Ah kenapa doa yang terus aku ucapkan dulu malah terkabul ketika aku membencinya? Tuhan maafkan aku, dulu memang aku sangat men
Sungguh kenapa jadi begini? kenapa mereka seperti anak ABG? apa mereka tidak sadar jika mereka ini adalah petinggi perusahaan besar? Kami menjadi pusat perhatian staf maupun orang luar di depot itu. Aku malu sekali. Pasti setelah ini beredar rumor di divisi ku jika seorang wanita hamil direbutkan dua direktur. "OMG pusing sekali kepalaku." Gumamku. Meskipun nggak bernafsu aku tetap memakan makanan yang mereka pesan. "Kalian makan saja jangan ada yang bicara." Aku berbisik di depan mereka. Meskipun hanya staf biasa namun aku berani memerintah Direktur. Usai makan aku kembali ke kantor tanpa memperdulikan mereka. Sikap mereka cukup membuat aku malu. Benar saja saat aku kembali ke meja kerjaku, beberapa staf menatapku, mereka bahkan terlihat berbisik-bisik. "Mel mereka membicarakan kamu." Kata temanku. "Iya aku tahu." Sahutku. Masa bodoh dengan mereka, aku melanjutkan pekerjaanku kembali. Sepulang dari kantor aku langsung pulang, aku tak menghiraukan pesan masuk yang
Penolakan tegas terdengar dari mulut Renata, dia tidak mau pulang naik taksi. "Aku nggak mau Mas!" Aku tersenyum sinis, "Tuh istri kamu tidak mau." Aku dan Ira bersiap berjalan tapi tangan Mas Raka menarik tanganku. "Tunggu Mel." Mas Raka meminta aku untuk menunggunya, lalu dia memberi Renata uang. "Jangan protes mengertilah Amel sedang hamil!" Katanya. Renata menerima uang itu dengan mata berkata, kutahu dia saat ini pasti kecewa dengan keputusan suami tercintanya ini. Sementara aku harus menerima konsekuensi atas ucapanku, seandainya aku tadi tidak menggertaknya mungkin saat ini aku pulang bersama Ira. Di mobil kami sekarang, kutatap kesal pria yang masih berstatus suamiku ini. "Mel bagaimana anak kita? apa dia terus menendang?" Dia membuka pembicaraan. "Iya." Kujawab singkat pertanyaannya. "Tidak bisakah kita tinggal bersama lagi Mel?" Kembali dia meminta hal itu. "Aku sudah sangat senang bisa keluar dari rumah itu dan kamu ingin aku kembali lagi? j
Seperti kemarin aku datang lagi ke rumah Renata, saat menemuiku Renata sudah menunjukkan ekspresi tak suka. "Mau apa lagi kamu kemari?" Tanyanya sinis. "Apa sudah kamu pikirkan ucapanku kemarin?" Tanpa menjawab aku justru melemparkan pertanyaan. Dia tertawa kemudian bilang ke aku jika Daniel memintanya untuk tidak menggubris ucapanku. Tentu aku melongo, apa maunya kuda nil itu! jelas-jelas dia memintaku untuk membujuk Renata tapi mengapa dia malah berkata demikian? "Dia bicara begitu?" tanganku sontak mengepal. "Iya, lagipul kak Daniel akan selalu menyayangiku selamanya, dia akan menuruti semua kemauan ku termasuk membuat kalian menderita!" Renata tertawa bahagia sementara aku kekesalan menggerogoti hatiku. "Yakin? manusia itu gampang berubah sekarang bilang akan selalu menyayangi tapi entah besok." Agaknya ucapanku mengundang perhatiannya, sehingga Renata menatapku tajam. "Aku yakin sama Kak Daniel." Ujarnya. "Dulu kamu juga yakin sama Mas Raka bukan?" Raut wajah Renata be
Esok harinya setelah Mas Raka berangkat ke kantor, aku pergi menemui Renata di rumahnya. Mengetahui kedatanganku Renata sangat terkejut. "Amel! bagaimana kamu tahu rumahku?" Dia menatapku tajam. "Tidak penting aku tahu darimana." Ujarku yang juga menatapnya. Dia duduk di sofanya yang lain, "Apa maumu?" Masih dengan tatapan yang sama. "Aku ingin bicara Renata." Sahutku. "Bicara apa?" Tanyanya dengan dingin. Aku menghela nafas, kalau bukan demi Mas Raka aku tidak mungkin mau menemuinya, soal penculikan waktu itu saja masih ku ingat bahkan masih jadi ketakutanku "Mari kita akhiri dendam ini." Kutatap dia dengan lekat. "Enak saja, aku menderita setelah Raka menceraikan aku dan kini kamu ingin aku mengakhiri ini?" Dia mendengus kesal. Dia pikir hanya dia saja yang menderita, aku jauh lebih parah. Ingin sekali aku pergi tapi aku harus berhasil membujuknya atau kakaknya akan menghancurkan bisnis keluargaku. "Kita sudah mendapatkan karma kita masing-masing Renata, kamu m
Keesokan harinya tubuhku rasanya pegal semua, keganasan Mas Raka semalam benar-benar membuatku sampai memohon ampun. "Kamu kenapa sayang?" tanyanya sambil menatapku. Aku memberengut kesal, "Kenapa-kenapa ini karena keganasan kamu semalam Mas." Bibir refleks maju ke depan. Dia tertawa kemudian memelukku, "Sekali lagi boleh?" Mataku melongo menatapnya, tubuhku sudah remuk begini dia meminta sekali lagi? "Mas kita lanjut nanti ya, aku harus memasak." Buru-buru aku bangkit dan pergi ke kamar mandi. Setelah membersihkan diri aku menyiapkan keperluannya. "Mas dasi warna abu-abunya kok ga ada ya." Aku berkali-kali mencari dasi warna abu namun tak ketemu. Mas Raka tertawa dan hal itu membuat aku kesal. "Bantu cari dong Mas kamu kenapa malah tertawa." Ujarku sambil memberengut. Dia berjalan ke arahku kemudian mengambil dasi yang ternyata ada di leherku. "Ini apa Sayang." Bisiknya. Aku yang malu hanya tertawa. "Maaf Mas." Bukannya segera memakai bajunya, Mas Raka malah men
Mas Raka menjelaskan semua, Kakak Renata sengaja menyebarkan rumor buruk tentang hotel keluarga kami ya tujuannya untuk menghancurkan Mas Raka kembali. Tanganku sontak mengepal, orang ini benar-benar gila. Apa belum puas dia sudah membuat dua direktur resign tanpa mendapatkan apa-apa. "Dia benar-benar!" batinku. Aku harus melawan rasa takutku, ya aku harus menemui Kakak Renata, meskipun dia seorang mafia tapi negara ini adalah negara hukum jadi tak mungkin melakukan hal buruk padaku. Keesokan harinya setelah Mas Raka berangkat ke hotel, aku datang ke kantornya dahulu untuk menemui Kakak Renata. "Semoga saja pria busuk itu disini." Gumamku. Aku meminta supir dan security rumahku menunggu di mobil. Diam-diam aku naik ke atas ke ruangan CEO. Benar saja saat aku mengetuk pintu ada sahutan dari dalam. Saat aku berdiri di hadapannya dia memelototkan mata. "Kamu! beraninya staf biasa masuk ke ruanganku!" Makinya dengan menatapku tajam. "Aku bukan staff disini." Ujarku. Sebenarnya
Mulutku terbuka lebar-lebar, aku sungguh tak menyangka jika bertemu dengan kakak Renata di lift. Dari wajahnya memang pria ini terlihat garang, dia juga sangat dingin lebih dingin dari sikap Mas Raka dulu, pantas sekali dia menjadi seorang mafia kelas kakap di negara ini."OMG dia kakak Renata.":batinku dengan terus menatapnya. Pria itu juga menatapku kemudian berkomentar pedas, "Kenapa kamu terus menatapku! suka?" Suara dinginnya membuat aku segera melemparkan tatapan. Lawak juga nih orang, bisa-bisa berkata seperti itu! mana mungkin aku suka, wajahnya saja menyeramkan. Aku mendengus kesal meskipun di dunia ini lelaki tinggal dia seorang, aku tak mungkin suka. "Maaf tapi kamu bukan tipeku." Ujarku ketus. Kebetulan live telah tebuka dia melangkahkan kaki keluar.Saat dia keluar aku menghela nafas dalam-dalam. "Syukurlah." Sambil mengelus dada. Setibanya di ruangan mas Raka aku segera memberikan berkas yang dia minta."Terima kasih sayang maaf aku merepotkanmu," katanya lalu men
"Posesif sekali kamu Raka, tenang saja aku tidak akan mengambil amal darimu." Ujar Mas Daffa dengan tertawa.Aku juga tertawa, "Dia sekarang bucin akut Mas." Aku turut menimpali ucapan Mas Daffa. Kami bertiga tertawa bersama, syukurlah Mas Daffa dan Mas Raka kini tidak bermusuhan lagi. Setelah mengobrol random Mas Daffa pamit pulang sedangkan kami selepas kepulangannya kembali ke kamar. Di dalam kamar kami mengobrol kembali hingga akhirnya kami memutuskan untuk istirahat mengingat malam sudah sangat larut. Keesokan paginya aku melakukan aktivitasku seperti biasa, mask, bersih-bersih dan menyiapkan keperluan Mas Raka. Mas Raka pagi ini berangkat lebih awal karena dia harus bertemu Mas Daffa kembali untuk membahas Kakak Renata. "Dibahas lagi Mas, bukankah semalam sudah selesai." Kataku sambil menyiapkan bekal makannya. "Aku mendapatkan kabar buruk sayang." Jawab Mas Raka sambil menunjukkan ponselnya. "Perusahaan terancam bangkrut." Mataku rasanya mau keluar membaca berita itu.
Mas Raka menggeleng, agaknya mas Raka juga bingung dengan hal ini. "Entahlah Sayang, aku akan menyelidikinya." Ujar Mas Raka. Aku mengangguk paham. Sepanjang jalan, aku masih mengingat kejadian tadi. Kini aku tidak berani kemana-mana sendiri, Renata sungguh meresahkan. "Mas tapi bagaimana bisa Mas Daffa datang menyelamatkan kita?" Aku yang baru menyadari hal itu segera bertanya pada Mas Raka. "Tadi aku keluar sama atasanku, ternyata kami bertemu dengan Daffa untuk membahas kerja sama waktu itu." Jelas Mas Raka. "Oh gitu jadi tadi pas kamu telpon, ada Mas Daffa? dan Mas Daffa tahu?" Kembali aku bertanya. Mas Daffa yang berada di belakang mobil kami melaju mendahului karena memang arah rumah kami berlawanan. Setibanya di rumah Mas Raka melakukan banyak panggilan, dia berusaha keras untuk menyelidiki Renata. "Mas makan dulu." Aku sengaja membawa makanan ke ruang kerjanya karna kutahu suamiku kini malas makan. "Nanti dulu Sayang," katanya tanpa melihatku. "Aku lapar
Aku segera berteriak agar Mas Raka tidak masuk, "Jangan Mas!" Namun Renata segera memutuskan sambungan telponnya. Dia kemudian menatapku, "Kamu pikir paling pintar Amel!" Ujarnya lalu berjalan mendekat ke arahku. Wanita itu mencengkeram daguku. "Aku sengaja membiarkan kamu memberikan info padanya biar dia kesini!" Lalu dengan keras dia membuang wajahku. "Dasar wanita jahat!" Teriakku. Tak selang kemudian, seseorang datang melapor. Renata tertawa kemudian memberi perintahnya. "Bawa dia masuk." katanya. Kutahu pasti Mas Raka yang datang. Dan benar saja Mas Raka masuk dengan dikawal dua orang. Melihat Mas Raka Renata nampak marah, wanita ini terlihat begitu menyimpan dendam pada mantan suaminya. "Hai Raka!" Dia berjalan menatap Mas Raka. "Lepaskan Amel Renata! urusanmu denganku bukan dengannya!" Ujar Mas Raka dengan lantang. Renata tertawa sinis, "Jelas ada Raka, dialah yang membuat kamu menceraikan aku, dia juga yang membuat aku menderita!" Teriaknya. "Kenapa
Mas Raka langsung mendekat, "Ada apa Sayang?" tanya Mas Raka panik. "Lihatlah Mas." Aku tunjukkan foto yang dikirim nomor asing itu. Mas Raka mengepalkan tangannya, "Apa maksudnya." Ujarnya marah. Pria itu menelpon nomor asing tersebut. "Nomornya tidak aktif sayang." Aku duduk dan terdiam, memikirkan foto itu. "Kira-kira apa maksudnya si pengirim itu ya Mas, kenapa foto kucing berlumuran darah dia kirim ke aku?" Ku pandang Mas Raka. "Entahlah Sayang, sudah jangan kamu pikirkan." Mas Raka membujuk aku. Aku mengangguk, kemudian Mas Raka meminta aku untuk istirahat. "Kamu istirahat dulu, aku harus kembali bekerja." Ujar Mas Raka lalu mengecupku. Pikiranku benar-benar kacau, pesan ini jelas bukan pesan iseng melainkan sebuah ancaman, apa si pengirim pesan ingin membunuh aku seperti kucing itu? 'Apa ini perbuatan Renata?' Aku membatin dan menerka jika itu adalah Renata. Lelah memikirkan foto yang dikirim tadi, aku memutuskan untuk tidur. Entah berapa lam