Tatapanku terlempar begitu saja, setelah kalimat dari Mas Daffa mencuat. Apa maksudnya? apakah dia akan menanggung semua biaya pengobatan ayah? tidak, itu bukan tanggung jawabnya. "Aku pasti pergi dari hidup suamiku itu tapi untuk biaya ayah aku tidak mungkin membebankannya padamu Mas." Ujarku dengan tegas. Seraut wajah kecewa kembali kudapati, dan sesaat kemudian senyumannya kulihat. "Baiklah Amel tapi janji kalau ada apa-apa atau bahkan kamu perlu sesuatau jangan sungkan." Ucapnya. Anggukan kutunjukkan meski aku tidak mungkin membagi permasalahanku dengannya. Jam istirahat telah usai, kami berdua memutuskan untuk segera kembali. Sore itu setelah pulang kantor, aku janjian dengan Ira di suatu kafe, niat awalnya aku ingin naik taksi online namun lagi-lagi mobil Mas Daffa yang berhenti di depanku."Amel masuk." Titahnya. Aku mengerutkan alis, "Mas aku sudah memesan taksi online. " Tinggal batalkan lalu bayar ganti rugi." Ujar pria itu. Kakiku melangkah masuk ke dalam mobilnya
Rasa pusing masih ku rasakan ketika mataku terbuka. Disela rasa pusing yang cukup menyiksa aku melihat dokter memeriksaku, sebenarnya aku kenapa? Tiba-tiba pingsan dan kini ada seorang Dokter memeriksa? Tak jauh dari Dokter aku melihat Mas Daffa, pria itu menunjukkan ekspresi sedihnya, sedangkan Mas Raka duduk di sofa bersama Renata. "Dia kenapa Dok?" tanya Mas Daffa panik. "Tidak ada hal yang serius Pak Daffa, pasien hanya syok saja." Dokter itu lalu menulis sebuah resep. Kini Mas Daffa duduk di sisiku, "Apa masih pusing?" tanya atasanku itu. Mas Raka bangkit kemudian dia mendekat, "Apa yang kamu rasakan?" Suara dingin Mas Raka mencuat "Pusing." Jawabku singkat. Kini tatapan Mas Raka beralih ke Mas Daffa, "Sesuai janjimu, setelah Amel siuman dan Dokter pribadimu selesai memeriksanya kamu pergilah!" Ujar Mas Raka. Apa? Dokter pribadi? perhatian Mas Daffa sungguh besar padaku bahkan sampai memanggil dokternya. "Iya!" Sahut Mas Daffa sinis.Kini memori tadi perlahan datang, t
Wajahnya menunjukkan kekesalan, lalu dia pergi begitu saja. Masa bodoh dengan sikapnya aku segera turun lalu berangkat kerja. Sesampainya di kantor, aku segera mengerjakan pekerjaanku. Tak terasa jam makan siang telah datang, aku inisiatif pergi ke ruangan Mas Daffa untuk meminta maaf. Di depan ruangan Direktur Utama aku berdiri, menyiapkan kata yang akan kulontarkan pada atasanku itu. Tok, tok Aku mengetuk pintu, cukup lama tapi pintu itu tak terbuka. Helaan nafas ku hembuskan, mungkin Mas Daffa ada dinas luar atau mungkin tak masuk. "Sudahlah." ucapku lalu membalikkan badan. Baru saja hendak berjalan pergi kudengar pintu dibuka. "Amel." Suara lembutnya kudengar dan aku buru-buru membalikkan badan. "Mas... " Aku tersenyum lebar menatapnya. Dia mempersilahkan aku masuk. Aku mengekor langkah Mas Raka lalu duduk di sofa. "Mas aku ingin bicara." Kutatap wajah tampan pria itu. "Bicaralah Mel." Dia kembali tersenyum menatapku. Sungguh melihat senyum
Mas Raka mengejar aku sampai ke toilet, bahkan dia ikut masuk ke dalam. Aku yang terus muntah tidak bisa mengusirnya meskipun keberadaannya tidak aku inginkan. "Amel kamu kenapa?" Dia kembali bertanya. Rasanya ingin aku marah pada pria ini, dah tahu aku muntah masih saja bertanya. Di rasa muntahnya sudah berhenti, aku membasuh muka, lalu keluar. Melihat makanan Renata buru-buru kututup mulutku. seraya berkata, "Tolong singkirkan masakan Renata." Mau nggak mau aku harus meminta bantuan nya untuk menyingkirkan penyebab aku mual dan muntah. "Kenapa memangnya?" tanya Mas Raka heran. "Aku mual." Jawabku. Untung dia kali ini menurut dan segera menyingkirkan makanan Renata sehingga aku bisa mengambil roti di meja makan. "Ayo lihat TV Mas." Renata mengajak Mas Raka pergi. "Tapi Amel masih belum selesai makan." Ujar Mas Raka yang sepertinya ingin menungguiku. Renata menatapku kesal, sangat terlihat jika wanita ini sedang cemburu. "Dia sudah besar Mas ngapain
"Kamu membentak aku Mas!" Renata tak terima jika Mas Raka membentaknya. "Sudahlah." Ujar Mas Raka lalu pergi meninggalkan Renata. Melihat adegan di depanku, aku justru tersenyum sinis, sementara Renata menatapku kesal. "Senang kamu Amel!" Serunya. Aku tak menggubris ucapannya, tanpa berkata apa-apa kutinggal wanita itu. Kehamilan ini sudah cukup menyiksaku bagaimana mungkin aku memiliki pemikiran seperti yang dia tuduhkan padaku? Di kamar aku langsung merebahkan diri, tanpa membersihkan diri terlebih dahulu. Keesokan paginya aku kembali muntah-muntah hal ini membuat aku semakin lemah dan tak berdaya, ingin sekali pulang ke rumah agar ada yang merawatku tapi ibu sudah sibuk dengan merawat ayah. Tak mungkin bekerja dalam keadaanku yang seperti aku pun menghubungi Mas Daffa untuk meminta ijin. Dalam sambungan telepon kudengar suaranya begitu mengkhawatirkanku bahkan dia ingin datang untuk membawaku ke rumah sakit. "Tak perlu Mas, aku gak papa-papa." Aku meyakinkannya agar tida
Aku terdiam, apakah aku memang harus resign? tapi bagaimana dengan nasibku nanti? sekarang saja keuangan sudah Renata yang pegang. "Aku pikir dulu." Kataku yang menggantung keinginannya. Raut wajahnya berubah, tapi dia tidak mengeluarkan kekesalannya padaku. Sesampainya di rumah, Mas Raka membantu aku keluar dari mobil bahkan dia mengantar aku sampai ke kamar. "Minum obat dulu baru istirahat." Dia mengambilkan aku obat dan menyiapkan airnya juga. Apa ini suami yang selalu dingin padaku? apa ini pria yang jahat itu? Sejenak pikiranku melayang, melamunkan dia yang perhatian padaku. Kenapa setelah jutaan luka dia torehkan kini dia justru perhatian? apa ini bentuk rasa tanggung jawabnya akan anak yang aku kandung atau ada hal lain? entahlah, buru-buru aku menggelengkan kepala membuang asumsi yang mengisi kepalaku saat ini. Setelah aku meminun obatku dia pamit keluar karena harus bekerja by online. Memang dia hari tidak masuk karena mengantar aku pergi ke rumah sakit. Entah berapa
Ternyata tak berhenti disitu, Renata kini mengejar Mas Raka agar menceraikan aku. Wanita ini sungguh gila apa dia tidak tau jika wanita hamil tidak bisa dicerai? Aku menggelengkan kepala saat dia terus membujuk Mas Raka. "Mas dia selalu ingin bercerai darimu kan? kabulkanlah saja Mas keinginannya." Katanya. "Tidak bisa, bagaimana mungkin aku menceraikan Amel! apalagi kini dia mengandung anakku." Dengan lantang Mas Raka menolak keinginan Renata."Lagipula jika aku bercerai, bagaimana dengan orang tuaku." Ujar Mas Raka lagi. Aku berdiri di tempatku bingung harus kembali ke kamar atau mendekat? tapi aku yang harus sarapan, akhirnya berjalan ke arah mereka. Melihat aku yang datang, Mas Raka menatapku lalu bertanya, "Kamu mau sarapan apa?" Nada bicara nya lebih lembut dari sebelumnya, bahkan ini lah kali pertama dia bertanya keinginanku. "Susu." Jawabku lalu berjalan mengambil susu di kulkas. "Amel kamu harus makan makanan yang bergizi, apa perlu aku buatkan saropan?" Hah? di
Mas Daffa tetap bersikeras, dia tidak perduli dengan apapun. Dia bahkan bilang jika rasa cintanya padaku semenjak dulu tetap sama dan tidak pernah berubah. Mendengar itu aku semakin tak enak, aku hanya lah sisa orang tak seharusnya dia memilihku yang bahkan kini statusku masih istri orang. "Jangan pertaruhkan masa depan kamu hanya demi aku." Aku membatin sembari menatapnya. Hari-hari ku aku jalani seperti biasa, hanya saja Renata dan Mas Raka lebih sering cek cok kini, kehamilan ku benar-benar membuat wanita itu cemburu tak jelas sehingga membuat Mas Raka sedikit ilfil padanya. Hingga suatu ketika, saat kami keluar bersama dia meminta suatu hal yang dengan tegas Mas Raka tolak. "Mas aku juga ingin hamil seperti Amel." Mas Raka yang awalnya fokus menyetir, kini menatapnya dengan tajam. Melihat tatapan Mas Raka untuk Renata dari kaca spion membuat aku menghela nafas, feeling tak baik mencuat. Pasti akan ada debat kusir setelah ini. "Tidak mungkin, kita hanya menikah di ba
Memang benar apa yang ibu katakan, Renata dulu sangat jahat, dia pandai berdrama. Bahkan selama kita tinggal bersama dia selalu saja mendominasi Mas Raka, dia juga sering memfitnah aku agar terlihat buruk di depan Mas Raka. Kutahu tujuan Renata memang ingin membuat aku dan Mas Raka pisah. Apa mungkin sikap asli dan tujuan Renata sudah diketahui Mas Raka? sehingga menyebabkan Mas Raka berpikir ulang untuk bersamanya? Hmmm, aku bingung sendiri memikirkan mereka. Sudahlah takdir Renata memang seperti itu. Bukankah apa yang ditanam itulah yang dia petik? Sepandai pandainya tupai melompat pasti akan terjatuh, begitu pula dengan Renata sepandai-pandainya Renata akting pasti akan ketahuan juga. Aku menepikan pikiranku yang kacau tentang mereka karena aku harus segera datang ke kantor.Baru saja turun dari taksi online, suara Mas Daffa kudengar. Pria ini seperti jelangkung saja yang tiba-tiba muncul tanpa notifikasi terlebih dahulu. "Kamu loh Mas mengagetkan saja." Tanganku membogem le
Renata mengamuk? apa ini karena talak dari Mas Raka waktu itu? Aku mengangguk tanpa protes seperti biasanya. Sesampainya di rumah Renata, terlihat beberapa security di depan. "Ada apa Pak?" tanya Mas Raka. "Mohon maaf, istri Pak Raka terus berteriak dan mengamuk." Jawab security. Menurut kesaksian, Renata terus berteriak sudah semingguan yang lalu, para tetangga mengira mungkin karena pertengkaran dalam rumah tangga namun tadi setelah ada yang mencoba mengecek Renata justru mengamuk. Aku merinding mendengar ucapan mereka, ada rasa takut di hatiku. Lalu aku dan Mas Raka masuk ke dalam. Sungguh aku tak sampai hati melihatnya yang diikat dengan mulut yang dilakban. Ada apa dengannya? Aku dan Mas Raka mendekati Renata, wanita itu berontak seolah ingin mengucapkan sesuatu pada kami. "Renata tenanglah!" Pinta Mas Raka dengan tatapan sendunya. Renata menangis saat Mas Raka mengelus rambutnya. Aku pun ikut menangis, Mas Raka..... Lihatlah kelakuanmu yang telah membuatnya
Lupakan yang sudah-sudah? tentu tidak. Luka ini tidak bisa hilang begitu saja. Aku sungguh ingin pergi dari Mas Raka, tapi entah mengapa ada saja yang menarikku untuk dekat dengannya kembali. Orang tuaku, anak ini dan kini orang tuanya, kenapa mereka seolah ingin aku terus berada di sisi Mas Raka? Tuhan, apa kesakitanku ini adalah hal yang lumrah dirasakan seorang wanita sehingga untuk lepas dari sakit rasanya begitu sulit?Apakah benar tali takdir yang sudah terikat akan sulit dilepas? Pada akhirnya aku mengalah, mengikuti kemauan mama mertua untuk pulang bersama mereka. Di dalam mobil, aku terus diam. Pikiranku kacau tak menentu, dadaku rasanya sesak tapi aku tak bisa berbuat apa-apa. Sementara itu Mas Raka dia mencoba berbicara padaku. "Amel aku mohon jangan seperti ini." Dia mengiba sambil fokus menyetir. "Lalu bagaimana maumu?" tanyaku tanpa menatapnya."Bicaralah jangan diam saja." Dia meminta aku untuk bicara tapi apa yang akan aku bicarakan dengannya? Anggukan aku tu
Mas Raka melemparkan tatapan sendu ke mamanya, dia seperti kebingungan. Lalu dia menatap Renata yang juga menangis menatapnya. "Jangan Mas, kita sudah menikah. Aku lah yang kamu cintai bukan Amel!" pinta Renata. "Kamu sudah janji sama mendiang orang tuaku untuk selalu menjagaku." Dia menambahkan lagi. Melihatnya seperti ini aku tak tega meski dia sering menyakiti aku tapi tetap saja hati ini tak tega. Mungkin inilah harga yang harus Renata terima. Dulu sudah jelas kedua orang tua Mas Raka menolaknya namun dia tetap saja mau mendampingi Mas Raka walaupun dia hanya dijadikan istri simpanan. "Raka kalau kamu nekat bersamanya maka jangan anggap kami orang tua kamu lagi!" Ancam sang Papa. Beginilah kalau orang menyembunyikan bangkai, dan ketika kebusukannya terungkap bukan hanya dia yang tersakiti, orang di sekitarnya pun turut ikut merasakan imbasnya. "Pa, Ma jangan begitu. Biarlah mereka bahagia, Amel sudah ikhlas akan takdir Amel. Semua akan sama meski Amel nantinya buka
Mataku membola, ada apa? Sungguh hatiku menjadi tak karuan. "Baik Ma, Amel akan kesana." Aku pun memutuskan untuk kesana. "Ada apa Mel?" tanya Mas Daffa yang menunjukkan ekspresi khawatir. "Entah Mas Mertuaku menangis beliau meminta aku untuk pulang." Jawabku dengan menatapnya Mas Daffa terlihat menghela nafas, "Ada saja mereka," ujarnya kesal. Aku mengangguk, "Iya Mas." Aku meminta Mas Daffa untuk menepikan mobilnya, karena aku harus segera pergi ke rumah Mas Raka. "Aku akan mengantarmu Mel." Mas Daffa ternyata yang akan mengantarku ke rumah Mas Raka. Sungguh aku tak enak diantar olehnya tapi dia sendiri yang memaksaku agar mau diantar. "Kamu hati-hati ya Mel, hubungi aku jika ada apa-apa." Pesan Mas Daffa. Tak selang lama kami telah tiba di rumah Mas Raka, terlihat mobil Mertuaku dan mobil Mas Raka berjejer di carport. "Aku turun ya Mas, Terima kasih udah mau ngantar aku." Kutatap wajah Mas Daffa dengan senyuman. Setelah mengucapkan terima kasih
Mata Mas Raka membola, dia terlihat sangat syok mendengar penuturan ibu. "Maafkan Raka Bu." Ucapnya sambil menatap ibu nanar. "Sudah lama ibu menahan ini, hati ibu sakit melihat anak ibu diperlakukan buruk oleh kamu!" Maki ibu. Air mata ibuku mengalir, ibu mana yang rela melihat anaknya disakiti. "Tau begini dulu ibu tidak akan menerima lamaran kedua orang tua kamu!" Ibu meluapkan unek-uneknya, aku tak menyangka ibu akan emosi begini padahal selama ini ibu sangat tenang. Melihat ibu yang terisak aku pun turut menangis. "Sudah Bu, Amel mohon ibu jangan menangis. Ayah nanti bangun." Aku memohon pada ibuku untuk mengakhiri tangisannya, aku tidak mau masalahku menjadi beban untuk orang tuaku. Kini tatapanku tertuju pada Mas Raka, kuminta dia untuk pulang daripada kehadirannya disini membuat masalah. "Pulanglah!" kataku dengan menatapnya tajam. "Baik, maafkan aku Amel, ibu." Mas Raka lalu melangkahkan kaki pergi. Hari sudah malam, kuminta ibuku untuk istirahat, aku juga me
Senyuman ketir kutunjukkan, lalu aku bertanya seolah tak tahu apa maksud dari kata takut. "Takut kenapa Mas?" "Takut tak bisa memilikimu," jawabnya. Ku lempar tatapan nanar ke depan. Mas Daffa kamu sangat tampan, baik, jabatan tinggi pasti banyak wanita diluar sana yang mengejarmu, please jangan pertaruhkan masa depanmu hanya untuk aku yang bahkan statusku adalah istri orang. Saat aku perang dengan pikiranku, tangan Mas Daffa menyusup masuk dan memelukku dari belakang. Aku yang begitu syok mematung tanpa bisa menolak maupun menerima pelukannya. "Ijinkan aku menjadi penjagamu Amel." Bisiknya. Pelukannya semakin erat, Direktur utama itu bak ular piton yang hendak meremukkan mangsa. 'Mas jangan lakukan ini' Hatiku menjerit, memohon padanya agar melepaskan pelukannya namun tubuhku masih terkunci. Akhirnya dia melepaskan pelukannya juga, dan saat itu pula tubuhku kembali normal. Jam istirahat telah habis, aku dan Mas Daffa berjalan turun. Kami berpisah di lift lebih tepat
Aku membisu, seandainya kata-kata itu terucap beberapa bulan yang lalu mungkin akan aku pikirkan lagi niatan untuk berpisah namun sayang kata indah ini dia ucapkan ketika niatku sudah bulat. Meskipun aku adalah rumah baginya tapi dia bukanlah nahkoda di kapalku, aku bisa mendayung perahuku sendiri tanpa harus melibatkannya. "Terkadang tempat singgah juga lebih nyaman daripada rumah Mas." Ucapku lirih. "Tidak Amel." Sanggahnya. "Buktinya kamu dulu begitu mengagungkan tempat singgahmu itu!" Seusia kalimat itu kuucap, kami berdua saling diam. Tatapanku ke depan menatap sederet mobil yang sedari tadi tetap di tempatnya. Entah sampai kapan macet ini akan terurai sehingga aku lebih cepat lepas dari pria ini. Hingga satu jam berlalu namun mobil di depan tidak bergerak sedikit pun. Apa sebenarnya yang menyebabkan macet panjang ini? Aku mulai bertanya-tanya. Diriku yang lelah memutuskan untuk memejamkan mata, lebih baik aku tidur daripada diajak Mas Raka ngobrol yang tidak-t
Penolakan tegas terdengar dari mulut Renata, jelas dia tidak mau pulang naik taksi. "Aku nggak mau Mas!" Aku tersenyum sinis, "Tuh istri kamu tidak mau." Aku dan Ira bersiap berjalan tapi tangan Mas Raka menarik tanganku. "Tunggu Amel." Mas Raka meminta aku untuk menunggunya, lalu dia memberi Renata uang. "Jangan protes mengertilah Amel sedang hamil!" Katanya. Renata menerima uang itu dengan mata berkata, kutahu dia saat ini pasti kecewa dengan keputusan suami tercintanya ini. Sementara aku harus menerima konsekuensi atas ucapanku, seandainya aku tadi tidak menggertaknya mungkin saat ini aku pulang bersama Ira. Di mobil kami sekarang, kutatap kesal pria yang masih berstatus suamiku ini. "Mel bagaimana anak kita? apa dia terus menendang?" Dia membuka pembicaraan. "Iya." Kujawab singkat pertanyaannya. "Tidak bisakah kita tinggal bersama lagi Mel?" Pertanyaannya mengundang emosiku, segera ku lempar tatapan tajam ku padanya. "Aku sudah sangat senang bis