“Mas, malam ini adalah malam Jumat. Apa kamu tidak menginginkannya?" tanyaku sambil menatap suamiku, Mas Raka yang berada di samping.
"Aku hanya ingin tidur Mel," katanya diiringi tatapan tajam ke arahku. Selalu itu jawaban yang Mas Raka berikan ketika aku meminta nafkah batin darinya. Sekali lagi hatiku tertampar atas penolakannya. Aku membalikkan tubuh dan seperti biasa, menangis dalam diam dengan air mata yang mengalir dengan deras. Sebagai wanita normal, tentu aku menginginkan belaian dari suami yang kunikahi setahun lalu, tapi dia? Selalu acuh tak acuh, mengabaikan hasratku yang terus meronta untuk dipenuhi. Kelakuannya sungguh kontras dengan cerita teman-temanku yang mengatakan apabila pria matang gencar-gencarnya bercinta. Aku hanya bisa bertanya-tanya, apakah suamiku normal? Apa dia tidak memerlukan sebuah pelepasan? Apa dia tidak mencintaiku? Ataukah dia memiliki wanita lain? Seabrek asumsi negatif berputar di kepalaku, sehingga membuat dadaku semakin sesak. Lelah memikirkan itu, akhirnya aku tertidur lelap dalam rasa sakit. Ketika pagi datang menyapa, seperti biasa aku menyiapkan sarapan untuk Mas Raka. Setelah itu aku membantunya bersiap. Penasaran pada asumsi-asumsiku, aku berpikir ingin bertanya padanya. "Mas, boleh aku bertanya?"cicitku pelan dengan menunduk takut. Belum-belum suara dinginnya mencuat. "Ada apa?" Mendengar itu, tubuhku rasanya menggigil bahkan nyaliku sekarang menciut. “A-aku....” Kata demi kata yang aku rangkai kini berhamburan tak karuan sehingga membuat mulutku terkunci rapat-rapat. "Jika tidak ada yang ingin kamu bicarakan, siapkan nasi untukku!" Kembali, suara baritonnya mengejutkanku. "B-baik Mas." Segera aku mengambilkan nasi dan meletakkan beberapa lauk di piringnya. "Ini, Mas!" Aku menatapnya sambil meletakkan piring di depannya. Gelagat penasaranku tak bisa aku sembunyikan. Hingga rasanya Mas Raka bisa membaca, jika aku masih penasaran pada pertanyaan yang kuurungkan tadi. "Kalau kamu masih mau bicara, bicaralah sekarang Mel! Jangan membuat nafsu makanku hilang!" Aku pun mengangguk, dan tanpa pikir panjang langsung mengutarakan pertanyaan. "Mas, kenapa sih kamu tidak seperti suami pada umumnya?" Klontang! Suara sendok yang diletakkan dengan kasar di atas piring menggema, membuat aku berjengit. Pria berkacamata itu menatapku tajam, raut wajahnya begitu menyeramkan. "Itu lagi, itu lagi! Kamu nggak punya pertanyaan lain? bosan aku mendengarnya!" Aku semakin menunduk ketika bukan jawaban manis yang aku dapatkan, melainkan bentakan keras. Tanpa berkata apa-apa lagi, Mas Raka bangkit dari tempat duduknya. Dia dengan segera mengambil tas jinjing miliknya, lalu berjalan keluar rumah. “Mas, tunggu! Maafkan aku. Makan dulu sarapannya!" Aku mengejarnya dan berusaha meminta maaf tapi dia tak mempedulikanku dan langsung saja masuk ke dalam mobil. Melihat mobilnya keluar carport membuat aku mematung. Di mana letak kesalahanku? Kenapa dia selalu membentakku jika aku bertanya hal itu? Memang kami bukanlah pasangan yang saling mencintai, sebab kami menikah karena sebuah perjodohan. Kupikir, menikahi pilihan orang tua membuat aku bahagia. Namun ternyata aku salah. Selama setahun ini, aku memendam rasa sakit sendiri. Aku menerima sikap buruknya tanpa banyak mengeluh, berharap sikap dinginnya bisa kuhangatkan. Tapi.... Ternyata aku tak mampu menghangatkannya, sementara kini hatiku sudah menjadi miliknya. ‘Ah, sudahlah.’ Hanya kata itu yang meredam semuanya. Kuingatkan lagi diriku pada nikmat lain yang diberikan Mas Raka. Hidup di rumah sendiri, uang belanja cukup, apa lagi yang aku inginkan? Pasti Posisiku sekarang banyak yang menginginkannya, bukan? Akhirnya, Drama Korea adalah hiburan saat hatiku terluka. Melihat bagaimana pemain utama pria begitu meratukan wanitanya, membuat nyeri di hatiku sedikit terobati. "Andaikan suamiku seperti Oppa itu," batinku dengan tersenyum membayangkan Mas Raka memelukku hangat dan mencumbuku mesra. Sebuah ide brilian lantas muncul di benakku. Kubuka aplikasi mengirim pesan, dan langsung saja aku menulis status. Kuunggah video romantis dari Drakor yang kutonton, dan kuberi caption kata-kata indah. “MasyaAllah, sudah tampan, begitu meratukan istri. Andai saja suamiku seperti Oppa ini....” Namun tak lama status itu mengudara, sambungan telepon masuk dari Mas Raka. “Apa-apaan kamu, Mel?! Kamu mau buat aku malu, dengan statusmu itu?!” omelnya langsung ketika panggilannya kuangkat. "Kenapa kamu marah? Apa salahnya jika aku membuat story seperti itu!" Aku protes kepadanya. Kesabaranku yang biasanya setebal bunga es di freezer kini entah mengapa hanya setipis tisu. Dimarahi karena sebuah story membuatku tak terima. "Hapus! Saat ini juga!" Mendengar bentakannya di telepon membuat tubuhku gemetar. Rasa marah karena Mas Raka membentakku hanya perkara story, membuatku menutup panggilannya secara sepihak sebelum kemudian menghapus story-ku. Di atas sofa aku kembali menangis. Apa yang salah dengan diriku? Kenapa dia terus saja bersikap menyakitkan? Aku ini dianggap istri atau apa?Drrrrrtttt.Sebuah pesan singkat aku terima sore harinya.Ternyata, pesan itu dari Raka. Dalam pesannya dia bilang kalau malam ini dirinya tidak akan pulang, karena ada lembur. Aku berdecak. Dengan kesal, kubalas pesannya secara kilat.“Kemarin juga kamu lembur, Mas. Tidak bisa gantian sama yang lain?” tulisku pada layar, kemudian segera menekan tombol kirim.Tak lama, balasan darinya masuk.Lagi, bukan permintaan maaf yang kudapatkan. Dia hanya mengirimkan dua kata yang ditutup dengan tanda seru, "Jangan bawel!" Aku mengembuskan napas panjang. Entahlah, rasanya aku sudah menyerah dengan semua ini. Aku merasa jika semua yang aku lakukan percuma. Marah salah, diam sakit.Akhirnya, daripada berada di rumah dan terus memikirkan suamiku itu, aku pun memutuskan untuk keluar.Aku pergi ke sebuah kafe dengan temanku, Ira. Niatnya, aku hanya sekedar makan saja. Namun siapa sangka aku justru terbawa suasana. Aku mulai menceritakan kisah hidupku yang pilu pada temanku dan dia sangat terkejut
Dia menepis tanganku, lalu membuang wajahnya. Melihat hal itu, aku semakin mengejarnya. "Jalang mana yang melakukannya, Mas? Katakan padaku!" "Bukan siapa-siapa!" ujarnya singkat tanpa mau menatapku. Aku tahu dia berbohong, karena tidak mungkin tanda itu tiba-tiba ada apabila tidak ada yang membuatnya. "Jujurlah Mas, biar jelas semua!" pintaku dengan suara lirih. "Pulanglah Amel, aku mau kerja." Dia melangkahkan kaki menuju meja kerjanya, kemudian membuka laptop. Sementara itu aku masih mematung menatapnya, menggumamkan kalimat lirih, “Entah terbuat dari apa hatimu, Mas.” Sekarang, aku yakin jika perkataan Ira benar. Mas Raka selingkuh. Akan tetapi, bukannya meminta maaf, pria itu justru bersikap seolah tak melakukan dosa. Menyerah dengan kediamannya, aku memutuskan pergi dari ruangannya. Semenjak meninggalkan ruangan Direktur Keuangan itu, air mataku tak berhenti menetes. Apakah mungkin aku akhiri saja pernikahan ini? Tapi, bagaimana dengan kedua orang tuaku
Kulihat, raut wajah Mas Raka berubah. Dia yang semula menolak menatapku, kini melemparkan tatapan yang sama tajamnya.Dia terlihat sangat marah. "Siapa Renata?" katanya masih mengelak.Aku mengerutkan alis, "Kamu tak tahu siapa Renata, Mas?" Segera kuambil ponselku, lalu kutunjukkan foto-foto serta video mesranya bersama Renata. "Yakin kamu tidak mengenalnya?"Meski bibirku tegas akan kalimatku tapi mataku tidak bisa aku berbohong. Air mata yang menggambarkan betapa lemahnya aku, mulai menggenang."Kamu terlihat sangat menyayanginya, sedangkan denganku... kamu begitu dingin." "Kamu cari penyakit sendiri Amel,” ujarnya tak mau lagi melihat layar ponsel. “Sudah aku bilang jangan menggunakan sosial media, tapi kamu membangkang!" Tanpa rasa bersalah, dia justru memarahi aku. Aku melongo menatapnya, manusia seperti apa dia? Dia yang ketahuan berbuat salah, tetapi justru dia yang menyalahkan aku?"Nggak waras kamu Mas!" kataku kesal.Aku berusaha berdiri, tetapi Mas Raka berhasil mencengk
"Aku adalah apa?" Hatiku mulai was-was. Kutatap mereka bergantian dengan tatapan yang sudah berubah. Tatapan garang ku berubah menjadi tatapan sendu. Mas Raka masih bergeming, tersirat ekspresi kebingungan di wajahnya, sementara Renata masih menatapku dengan ekspresi sama. Kini Renata menatap Mas Raka, entah apa yang mereka pikirkan hingga kulihat sebuah gelengan kecil Mas Raka tunjukkan. "Apa? Apa yang kalian sembunyikan dariku?" Kembali aku bersuara mengejar kalimatnya yang menggantung. Tapi Mas Raka tetap saja bungkam begitu pula dengan Renata. Apa yang ingin dia katakan sebenarnya? kenapa tiba-tiba dia terbungkam? Sesaat kemudian suara Renata mencuat melengkapi kalimatnya yang belum usai. "Karena aku juga istrinya." Deg! Jantungku seakan berhenti berdetak, dalam waktu sekejap aku mematung, tak hanya itu ribuan pisau serasa menghujam hatiku secara bersamaaan, ucapannya benar-benar membuat aku terkejut dan sakit. Segera kutunjukkan gelengan kepala, sebagai bentuk pro
“Semua tergantung kamu Amel! jika kamu mau mengerti rumah tangga kita akan baik-baik saja!" ujarnya keras. Aku menggeleng heran, bagaimana bisa semua akan baik-baik saja sementara dia membawa pemicu pertengkaran dalam rumah tangga kami? Aku yang benar-benar lelah hati dan pikiran membaringkan tubuhku, mengabaikannya yang masih terlihat ingin bicara dengan ku. “Aku ngantuk.” Dua kata untuk mengakhiri perbincangan kami. "Kita belum selesai bicara Amel!" Kutahu dia marah ketika aku mengakhiri pembicaraan kami. Sebenarnya aku tidak mengantuk, hanya saja aku lelah berdebat dengannya. Pagi hari telah datang, aku memutar netraku hingga kulihat wajah Mas Raka. Melihat wajah tampannya, ku tak percaya dia bisa melukaiku begitu dalam. Ku rasakan sakit kembali menghujam hatiku. Apa memang seperti ini rasanya dikhianati orang yang kita cintai? Hingga baru bangun saja rasa sakitnya langsung terasa? Netraku terus menatap dia yang masih terpejam, tanpa terasa air mataku mengalir
Raut wajahku berubah sendu, seharusnya aku lah yang marah karena dia menamai kontak Renata dengan nama Istriku, sementara aku? hanya nama saja. "Ponsel kamu terus berdering, telingaku sakit mendengarnya!" Kataku dengan menatapnya. "Lain kali jangan lagi menolak panggilan yang masuk!" Ujarnya memperingatkan aku. "Menolak panggilan yang masuk atau hanya panggilan dari istriku saja." Aku semakin berani, kusindir dia. Agaknya sindiran ku membuat emosinya merangkak naik lagi. Dari tempatnya dia menatapku tajam, “Sudahlah Amel jangan mulai lagi." Aku hanya mengangguk, meski hatiku sakit tapi aku tak ingin mendebatnya lebih jauh, biarlah dia menyakitiku sesuka hatinya, toh lambat laun aku juga akan mati rasa. Tak terasa seminggu telah berlalu, kini Mas Raka sudah jauh lebih sehat. “Aku hari ini masuk kerja, siapkan semua keperluanku.” Dari tempat tidur dia memerintahkan aku untuk menyiapkan segala sesuatunya. Aku tak merespon ucapannya, tapi meskipun begitu ketika dia mandi
Aku menatapnya dengan tatapan benci, kenapa dia memaksakan kehendaknya seperti ini. Pernikahannya saja aku menolak untuk menerima tapi kini, dia malah mendatangkan Renata kesini, apa dia ingin membuat neraka di dalam surgaku? Tak ada pilihan lain, aku pun menuruti keinginannya. Aku turun ke bawah untuk menemui jalangnya. "Malam Amel." Sapaan lembut aku terima, bahkan wanita itu menjabat tanganku dan menunjukkan sederet giginya yang putih. Melihatnya aku hanya bisa menahan segala amarahku dan rasa kesalku. Namun sesaat kemudian kutatap dia sendu. Entah apa yang dipikiran oleh Mas Raka saat ini, entah apa yang menginspirasinya, sehingga dia membawa Renata pulang dan menyandingkannya denganku. "Kalian berbincang dulu." Ujarnya lalu dia masuk ke dalam. "Selamat Renata kamu berhasil menghidupkan ceritamu dan mematikan ceritaku. Kamu berhasil mengobrak abrik istanaku bersama Mas Raka." Kutatap dingin wanita itu, sungguh tak sudi aku hidup bersamanya. "Aku tidak mematikan ceri
Aku menatapnya dengan tatapan benci, kenapa dia memaksakan kehendaknya seperti ini. Pernikahannya saja aku menolak untuk menerima tapi kini, dia malah mendatangkan Renata kesini, apa dia ingin membuat neraka di dalam surgaku? Tak ada pilihan lain, aku pun menuruti keinginannya. Aku turun ke bawah untuk menemui jalangnya. "Malam Amel." Sapaan lembut aku terima, bahkan wanita itu menjabat tanganku dan menunjukkan sederet giginya yang putih. Melihatnya aku hanya bisa menahan segala amarahku dan rasa kesalku. Namun sesaat kemudian kutatap dia sendu. Entah apa yang dipikiran oleh Mas Raka saat ini, entah apa yang menginspirasinya, sehingga dia membawa Renata pulang dan menyandingkannya denganku. "Kalian berbincang dulu." Ujarnya lalu dia masuk ke dalam. "Selamat Renata kamu berhasil menghidupkan ceritamu dan mematikan ceritaku. Kamu berhasil mengobrak abrik istanaku bersama Mas Raka." Kutatap dingin wanita itu, sungguh tak sudi aku hidup bersamanya. "Aku tidak mematikan ceri
Raut wajahku berubah sendu, seharusnya aku lah yang marah karena dia menamai kontak Renata dengan nama Istriku, sementara aku? hanya nama saja. "Ponsel kamu terus berdering, telingaku sakit mendengarnya!" Kataku dengan menatapnya. "Lain kali jangan lagi menolak panggilan yang masuk!" Ujarnya memperingatkan aku. "Menolak panggilan yang masuk atau hanya panggilan dari istriku saja." Aku semakin berani, kusindir dia. Agaknya sindiran ku membuat emosinya merangkak naik lagi. Dari tempatnya dia menatapku tajam, “Sudahlah Amel jangan mulai lagi." Aku hanya mengangguk, meski hatiku sakit tapi aku tak ingin mendebatnya lebih jauh, biarlah dia menyakitiku sesuka hatinya, toh lambat laun aku juga akan mati rasa. Tak terasa seminggu telah berlalu, kini Mas Raka sudah jauh lebih sehat. “Aku hari ini masuk kerja, siapkan semua keperluanku.” Dari tempat tidur dia memerintahkan aku untuk menyiapkan segala sesuatunya. Aku tak merespon ucapannya, tapi meskipun begitu ketika dia mandi
“Semua tergantung kamu Amel! jika kamu mau mengerti rumah tangga kita akan baik-baik saja!" ujarnya keras. Aku menggeleng heran, bagaimana bisa semua akan baik-baik saja sementara dia membawa pemicu pertengkaran dalam rumah tangga kami? Aku yang benar-benar lelah hati dan pikiran membaringkan tubuhku, mengabaikannya yang masih terlihat ingin bicara dengan ku. “Aku ngantuk.” Dua kata untuk mengakhiri perbincangan kami. "Kita belum selesai bicara Amel!" Kutahu dia marah ketika aku mengakhiri pembicaraan kami. Sebenarnya aku tidak mengantuk, hanya saja aku lelah berdebat dengannya. Pagi hari telah datang, aku memutar netraku hingga kulihat wajah Mas Raka. Melihat wajah tampannya, ku tak percaya dia bisa melukaiku begitu dalam. Ku rasakan sakit kembali menghujam hatiku. Apa memang seperti ini rasanya dikhianati orang yang kita cintai? Hingga baru bangun saja rasa sakitnya langsung terasa? Netraku terus menatap dia yang masih terpejam, tanpa terasa air mataku mengalir
"Aku adalah apa?" Hatiku mulai was-was. Kutatap mereka bergantian dengan tatapan yang sudah berubah. Tatapan garang ku berubah menjadi tatapan sendu. Mas Raka masih bergeming, tersirat ekspresi kebingungan di wajahnya, sementara Renata masih menatapku dengan ekspresi sama. Kini Renata menatap Mas Raka, entah apa yang mereka pikirkan hingga kulihat sebuah gelengan kecil Mas Raka tunjukkan. "Apa? Apa yang kalian sembunyikan dariku?" Kembali aku bersuara mengejar kalimatnya yang menggantung. Tapi Mas Raka tetap saja bungkam begitu pula dengan Renata. Apa yang ingin dia katakan sebenarnya? kenapa tiba-tiba dia terbungkam? Sesaat kemudian suara Renata mencuat melengkapi kalimatnya yang belum usai. "Karena aku juga istrinya." Deg! Jantungku seakan berhenti berdetak, dalam waktu sekejap aku mematung, tak hanya itu ribuan pisau serasa menghujam hatiku secara bersamaaan, ucapannya benar-benar membuat aku terkejut dan sakit. Segera kutunjukkan gelengan kepala, sebagai bentuk pro
Kulihat, raut wajah Mas Raka berubah. Dia yang semula menolak menatapku, kini melemparkan tatapan yang sama tajamnya.Dia terlihat sangat marah. "Siapa Renata?" katanya masih mengelak.Aku mengerutkan alis, "Kamu tak tahu siapa Renata, Mas?" Segera kuambil ponselku, lalu kutunjukkan foto-foto serta video mesranya bersama Renata. "Yakin kamu tidak mengenalnya?"Meski bibirku tegas akan kalimatku tapi mataku tidak bisa aku berbohong. Air mata yang menggambarkan betapa lemahnya aku, mulai menggenang."Kamu terlihat sangat menyayanginya, sedangkan denganku... kamu begitu dingin." "Kamu cari penyakit sendiri Amel,” ujarnya tak mau lagi melihat layar ponsel. “Sudah aku bilang jangan menggunakan sosial media, tapi kamu membangkang!" Tanpa rasa bersalah, dia justru memarahi aku. Aku melongo menatapnya, manusia seperti apa dia? Dia yang ketahuan berbuat salah, tetapi justru dia yang menyalahkan aku?"Nggak waras kamu Mas!" kataku kesal.Aku berusaha berdiri, tetapi Mas Raka berhasil mencengk
Dia menepis tanganku, lalu membuang wajahnya. Melihat hal itu, aku semakin mengejarnya. "Jalang mana yang melakukannya, Mas? Katakan padaku!" "Bukan siapa-siapa!" ujarnya singkat tanpa mau menatapku. Aku tahu dia berbohong, karena tidak mungkin tanda itu tiba-tiba ada apabila tidak ada yang membuatnya. "Jujurlah Mas, biar jelas semua!" pintaku dengan suara lirih. "Pulanglah Amel, aku mau kerja." Dia melangkahkan kaki menuju meja kerjanya, kemudian membuka laptop. Sementara itu aku masih mematung menatapnya, menggumamkan kalimat lirih, “Entah terbuat dari apa hatimu, Mas.” Sekarang, aku yakin jika perkataan Ira benar. Mas Raka selingkuh. Akan tetapi, bukannya meminta maaf, pria itu justru bersikap seolah tak melakukan dosa. Menyerah dengan kediamannya, aku memutuskan pergi dari ruangannya. Semenjak meninggalkan ruangan Direktur Keuangan itu, air mataku tak berhenti menetes. Apakah mungkin aku akhiri saja pernikahan ini? Tapi, bagaimana dengan kedua orang tuaku
Drrrrrtttt.Sebuah pesan singkat aku terima sore harinya.Ternyata, pesan itu dari Raka. Dalam pesannya dia bilang kalau malam ini dirinya tidak akan pulang, karena ada lembur. Aku berdecak. Dengan kesal, kubalas pesannya secara kilat.“Kemarin juga kamu lembur, Mas. Tidak bisa gantian sama yang lain?” tulisku pada layar, kemudian segera menekan tombol kirim.Tak lama, balasan darinya masuk.Lagi, bukan permintaan maaf yang kudapatkan. Dia hanya mengirimkan dua kata yang ditutup dengan tanda seru, "Jangan bawel!" Aku mengembuskan napas panjang. Entahlah, rasanya aku sudah menyerah dengan semua ini. Aku merasa jika semua yang aku lakukan percuma. Marah salah, diam sakit.Akhirnya, daripada berada di rumah dan terus memikirkan suamiku itu, aku pun memutuskan untuk keluar.Aku pergi ke sebuah kafe dengan temanku, Ira. Niatnya, aku hanya sekedar makan saja. Namun siapa sangka aku justru terbawa suasana. Aku mulai menceritakan kisah hidupku yang pilu pada temanku dan dia sangat terkejut
“Mas, malam ini adalah malam Jumat. Apa kamu tidak menginginkannya?" tanyaku sambil menatap suamiku, Mas Raka yang berada di samping. "Aku hanya ingin tidur Mel," katanya diiringi tatapan tajam ke arahku. Selalu itu jawaban yang Mas Raka berikan ketika aku meminta nafkah batin darinya. Sekali lagi hatiku tertampar atas penolakannya. Aku membalikkan tubuh dan seperti biasa, menangis dalam diam dengan air mata yang mengalir dengan deras. Sebagai wanita normal, tentu aku menginginkan belaian dari suami yang kunikahi setahun lalu, tapi dia? Selalu acuh tak acuh, mengabaikan hasratku yang terus meronta untuk dipenuhi. Kelakuannya sungguh kontras dengan cerita teman-temanku yang mengatakan apabila pria matang gencar-gencarnya bercinta. Aku hanya bisa bertanya-tanya, apakah suamiku normal? Apa dia tidak memerlukan sebuah pelepasan? Apa dia tidak mencintaiku? Ataukah dia memiliki wanita lain? Seabrek asumsi negatif berputar di kepalaku, sehingga membuat dadaku semakin sesak. Lelah memi