Sekarang atau tidak selamanya. Clara pikir, ia tidak akan pernah mendapatkan apa yang ia inginkan dari Kian. Bosnya itu tidak akan membalas cintanya meski ia sudah jungkir balik sekalipun. Jadi, tak ada ruginya jika ia mengkhianati Kian kali ini.
Clara pun mengangguk dengan cepat. “Baik, Bu. Baik. Uhm, sebenarnya …, Pak Kian memang …, beliau memang baru mengenal wanita itu.”
“Aha!” seru Elisa. “Lalu bagaimana?”
“Ayahnya pernah bekerja di The Prince dan mengambil uang kantor sebesar satu setengah milyar. Pak Kian memasukkan orang itu ke penjara dan mengambil putrinya.”
Elisa menautkan alisnya. “Mengambil putri siapa?”
“Putrinya orang yang sudah mengambil uang perusahaan, Bu. Namanya Pak Reno.”
“Untuk apa Kian mengambil seorang anak perempuan?” tanya Elisa heran.
“Ma-maksud saya …, anak dari Pak Reno itu adalah Laureta.”<
Elisa pulang ke rumahnya dengan penuh kekesalan. Ia menjerit-jerit di mobil sambil memukul setirnya. Ia kesal dan benci sekali pada Kian. Adiknya itu benar-benar egois dan jahat sekali karena ingin menghak milik The Prince seorang diri.Selama ini, Elisa pun bukannya diam saja. Ia juga turut memajukan perusahaan meski memang Kian yang lebih banyak bekerja keras. Ayahnya malah memberikannya usaha yang lain, yaitu ekspor ikan di mana kondisi perusahaannya sangat berantakan.Elisa yang membenahi usaha itu dari awal, membuang orang-orang yang selama ini menjadi benalu dalam perusahaan. Butuh usaha ekstra untuk menjadikan perusahaan itu stabil kembali.Ayahnya selalu memberikan hal yang sulit dan kacau balau padanya. Seolah Elisa dilahirkan ke dunia ini untuk membereskan segala kekacauan sementara Kian mendapatkan bagian yang paling enak.Semua orang pun tahu kalau The Prince adalah usaha yang paling menghasilkan keuntungan terbesar. Sementara Elisa harus puas
Pagi itu, Elisa sedang duduk di meja makan untuk sarapan. Menunya adalah Bubur Manado kesukaannya. Ia biasanya bisa makan dengan lahap, tapi tidak hari itu.Setelah semalaman tidak tidur nyenyak, Elisa jadi merasa lelah di pagi hari dan sama sekali tidak bersemangat. Matanya agak sembab karena terlalu banyak menangis.Erwin baru saja duduk di sebelahnya. Ia menatap Elisa, tidak biasanya ia berkomentar. “Mama kenapa?”Elisa menoleh. “Kenapa apanya?”“Wajah Mama seperti yang tidak segar. Apa Mama sakit?”Elisa menggelengkan kepalanya. “Mama tidak sakit. Mama hanya kurang tidur saja.”“Siapa yang kurang tidur?” gelegar ayahnya yang baru saja memasuki ruang makan.Wajah Elisa langsung berubah masam. Ia tidak mau menyapa ayahnya dan memilih untuk membuang wajah.“Selamat pagi, Kek. Itu Mama kurang tidur katanya,” jawab Erwin sopan.“Apa kamu sakit,
Semenjak Laureta melakukan tes kehamilan dan mengetahui jika dirinya sedang hamil, ia jadi semakin sensitif. Terlebih ia juga lebih sering muntah-muntah di waktu-waktu tertentu.Sayangnya, ia masih belum memiliki keberanian untuk memberitahu Kian tentang hal ini. Ia masih takut jika sampai Kian akan berpikir untuk merebut anak ini darinya. Ia hanya butuh waktu sampai mereka bisa berbicara serius empat mata.Selama ini, Kian sering sekali pulang malam. Jadi, mereka tak pernah mengobrol serius. Laureta sudah tidur lebih dulu. Pagi harinya, mereka hanya mengobrol sedikit sekali dan Kian sudah pergi bekerja.Sepertinya menjadi istri seorang bos pun tidak membuat seorang istri jadi lebih bahagia. Itu semua karena ada banyak hal-hal yang tidak bisa dibeli oleh uang, salah satunya waktu dan komunikasi yang berkualitas.Pernikahan Laureta tidak didasari oleh cinta. Untuk itu, Laureta tidak merasa sesedih itu. Ia masih bisa bertahan, meski tidak enak sekali bertahan di saat ia sedang sakit. Na
Terpaksa Laureta berdiri dari lantai sambil berpegangan pada apa pun yang bisa ia raih. Ia masih menangis sambil menahan rasa pusing di kepalanya. Begitu badannya tegak, ia mengompol lebih banyak lagi.Rasanya ia tidak bisa menahan diri. Sungguh aneh. Air kencingnya seperti yang mengalir begitu saja tanpa ia sadari. Dengan langkah tertatih-tatih, Laureta berjalan ke kamar mandi yang rasanya jauh sekali.Perutnya tiba-tiba terasa mulas sekali dan berdenyut-denyut. Ia pikir, ia mungkin akan buang air besar, tapi mengapa rasa sakitnya amat dahsyat.Begitu tiba di sana, ia melepaskan celananya. “Oh tidak!” seru Laureta.Terdapat noda darah di celana dalamnya. Lebih banyak air mata yang mengalir di pipinya. Ia kembali gemetar. Dengan susah payah ia melepaskan semua celananya dan menaruhnya di wastafel.Laureta duduk di kloset sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia menangis sekeras-kerasnya. Perutnya masih terasa sakit dan pegal.Mengapa semua ini harus terjadi pada dirinya? Lauret
“Mama!” seru Erwin.Elisa hanya menoleh sedikit dan lanjut melangkah menuju ke kamarnya. “Kamu belum pergi? Kenapa kamu kembali lagi?”“Aku kembali untuk mengambil dompetku yang ketinggalan. Lalu aku mendengar suara Mama dari balkon kamar Om Kian,” ucap Erwin.Langkah Elisa pun terhenti. Ia membalikkan badannya dan menatap putranya dengan mata yang menyipit. “Lalu kenapa?”“Apa yang Mama lakukan di kamar Om Kian? Mama menemui Laureta?!” seru Erwin.“Lagi-lagi, kamu menyebut namanya langsung. Apa jangan-jangan kamu sudah mengenalnya lebih dulu?” tuduh Elisa.“Mama! Bisa tidak Mama fokus dengan pertanyaanku dulu? Apa yang Mama lakukan di kamarnya Om Kian?”“Bukan urusanmu,” jawab Elisa singkat.“Apa?” Erwin mengernyitkan wajahnya. “Mama berteriak-teriak di balkon sambil mencekik leher Laureta. Apa Mama mau membunuhnya
Sudah pukul lima sore. Indah tidak mungkin memaksa Laureta untuk makan lagi. Lagi pula, Laureta belum lapar. Ia mungkin baru akan makan sekitar dua jam lagi. Semoga saja Kian sudah pulang dan mereka bisa makan bersama.Indah pun pamit. Ketika pelayan itu berada di ambang pintu, ternyata ada seseorang di luar sana. Laureta pikir, itu pasti Kian. Suaminya pulang cepat.Sayangnya, ia tidak bisa turun dari kasur. Ia tidak akan banyak bergerak supaya janinnya baik-baik saja. Ia sendiri tidak tahu apakah janin itu masih ada atau tidak. Hanya ini yang bisa ia lakukan. Kalau ia kuat, besok ia akan pergi ke dokter untuk memeriksakan kandungannya.Laureta menata bantalnya supaya posisinya nyaman. Lalu ia menyandarkan kepalanya dan tersenyum menanti kedatangan Kian. Ia nyaris melambaikan tangannya, ternyata yang datang bukan Kian.“Tata! Apa kamu baik-baik saja?”Erwin menyeruak masuk ke dalam kamarnya dan kemudian langsung duduk di sebelahnya, tempat tadi Indah duduk. Laureta merasa waswas meli
Erwin langsung melepaskan tangannya dan kemudian bangkit berdiri.“Aku permisi dulu,” ucap Erwin dengan nada bicara yang dingin.Erwin berjalan cepat melewati Kian yang tampak kebingungan. Kian sampai membalikkan badan ke arah pintu, tapi kemudian Erwin menutup pintu dengan cepat.Laureta meringis. Ia takut sekali jika Kian tiba-tiba marah padanya karena cemburu. Dan lagi, Kian datang di saat Erwin sedang mengusap kepalanya. Padahal sejak tadi, Erwin tidak pernah menyentuhnya.Kian berjalan ke perlahan dan kemudian berhenti di depan kasur, menatap Laureta sambil membuka dua kancing kemejanya. Tatapannya begitu sengit. Laureta tidak berani membalas tatapan Kian. Jadi, ia hanya terdiam.“Apa yang Erwin lakukan di sini?” tanya Kian. “Menjengukmu? Mencurahkan perhatiannya padamu?”“Itu tidak seperti yang kamu bayangkan,” ujar Laureta yang masih tidak berani menatap Kian.“Lalu apa yang harus aku bayangkan?”“Kian, aku sedang tidak enak badan. Aku tidak ada tenaga untuk bertengkar denganmu
Darah menetes dari tangan Kian. Ia menatap kedua tangannya yang gemetaran. Baru saja ia memukul pohon yang ada di belakang rumah sakit. Jantungnya berdetak kencang karena emosi.Hatinya hancur berkeping-keping. Ia tak percaya jika Laureta tidak memberitahunya tentang kehamilannya. Lalu semuanya lenyap berlalu begitu saja.Dokter tidak bisa menyelamatkan anak yang dikandung Laureta. Kian telah kehilangan kesempatannya untuk menjadi seorang ayah. Air mata menetes di pipinya tanpa suara. Segera ia menghapusnya dengan lengan bajunya.Dengan hati yang kacau balau dan pikiran yang serabutan tak menentu, Kian berjalan menuju ke toilet. Ia membasuh bekas luka di tangannya, lalu membelit buku jarinya dengan tisu.Lalu Kian keluar dari toilet dan melihat Clara yang sedang berdiri di depan sana. Wajahnya terkejut bukan main saat melihat bosnya yang terlihat kacau.“Pak Kian, apa yang terjadi? Kenapa tangannya berdarah?” tanya Clara dengan nada bicara yang cemas dan bernada tinggi.Kian menurut s
Zion adalah anak yang sangat lucu dan pintar. Di usianya yang menginjak lima bulan, anak itu sudah bisa diajak bercanda. Siapa pun yang bertemu dengannya pasti akan gemas dengan tingkah lakunya.Hari itu adalah pertama kalinya Kian bertemu dengan Zion. Kian tampak tegang sekali seperti hendak bertemu dengan presiden. Laureta terkekeh sejak tadi menertawakan sikap Kian.Laureta baru saja pulang kerja dan Kian yang menjemputnya. Pria itu menyetir mobil menuju ke rumahnya tanpa Laureta perlu menunjukkan arah seolah ia sudah tahu alamatnya di mana.“Bagaimana kamu bisa tahu alamat rumahku? Ah, kamu memang memata-mataiku, ya kan.”Kian tidak menggubris candaannya. Pria itu fokus menyetir hingga berhenti di depan rumahnya.“Aku memang pernah mengikuti Ivan sampai ke rumah ini. Aku ingin tahu apakah benar kamu tinggal bersama dengannya di sini,” ungkap Kian.Laureta pun tersenyum. “Ya sudah. Kali ini aku akan memaafkan
Kian memutar tubuh Laureta, lalu wanita itu pun menengadahkan kepalanya sambil mengangkat kakinya hingga berada dalam dekapan Kian. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.Kian pun mendekatkan bibirnya dan mencium Laureta dengan lembut. Laureta pikir lututnya akan goyah hingga ia tidak sanggup untuk berpijak di bumi. Namun, Kian menopangnya, mendekapnya dengan erat.Laureta pun membalas ciuman itu. Ia yakin sekali jika dalam hidupnya, ia hanya mencintai satu pria, yaitu Kian seorang. Susah payah ia menutupi perasaannya, tapi ia tak akan sanggup. Kian benar-benar telah mencuri hatinya.Usai ciuman yang memabukkan itu, Kian pun melepaskan diri. Napas mereka sama-sama saling memburu. Kian mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya, lalu berlutut di hadapan Laureta.“Laureta Widya, maukah kamu menikah denganku? Lagi?”Laureta terkesima menatap cincin berlian di dalam kotak mungil berwarna merah. Ia pun mengangguk dan berkata, “Ya, aku
Laureta tersenyum membaca pesan singkat dari Ivan. “Pacar?” gumamnya.“Ada apa?” tanya Kian.“Uhm, tidak ada apa-apa.”“Ayolah! Aku ingin tahu. Kamu tadi bilang pacar. Pacar siapa?”Kian merebut ponselnya dari tangannya. Ia malu sekali saat Kian membaca pesan itu dari Ivan. Kian pun tertawa lepas.“Astaga! Jadi, apakah aku harus memanggil Ivan kakak mulai sekarang? Dia itu kakakmu kan?”Laureta terkekeh. “Mungkin begitu. Dia pernah menyuruhku untuk memanggilnya kakak, tapi aku tidak mau.”“Kenapa? Sepertinya usianya lebih tua darimu.” Kian menautkan alisnya, tapi Laureta menggelengkan kepala. “Kamu saja selalu memanggilku nama padahal usia kita terpaut delapan belas tahun. Atau mungkin sekarang aku punya panggilan baru?”“Apa itu?”“Papa?”Laureta terkejut. “Papa? Kamu kan bukan ayahku!&rdq
“Kamu siap?” tanya Ivan sambil mengulurkan tangannya pada Laureta.Ia tersenyum dan kemudian menyerahkan tangannya pada Ivan. Ia baru saja turun dari mobil. Lalu mereka berjalan bergandengan, masuk ke dalam gedung mewah. Di dalam sana sedang ada acara pernikahan seorang anak pengusaha importir, rekan kerjanya Ivan.Sebenarnya, Laureta tidak perlu datang ke sini karena ia sama sekali tidak mengenal siapa pun di sini. Namun, Ivan bersikeras mengajaknya karena menurutnya Laureta pasti akan senang mencicipi berbagai macam makanan yang unik-unik di sana.Laureta pun terpaksa ikut. Ia melangkahkan kakinya dengan penuh percaya diri. Ivan membelikannya gaun yang ia pakai sekarang. Gaun itu berwarna biru tua dengan belahan rok yang tinggi hingga menampilkan kakinya yang tampak jenjang berbalut sepatu hak tinggi bertali hingga ke betisnya.Banyak sekali tamu yang datang ke acara pernikahan itu. Semua wanitanya mengenakan gaun yang sangat cantik dan para
Laureta menatap kedua tangannya yang gemetar. Ia pikir ia sudah gila karena menyerahkan amplop berisi cek satu setengah milyar. Laureta menepi di pinggir jalan, lalu menangis sejadi-jadinya. Ia tak kuasa lagi menahan semua emosi yang ada di dalam dadanya.Demi Tuhan, ia baru saja bertemu dengan Kian Aleandro, pria yang pernah menjadi suaminya. Meski pertemuannya hanya berlangsung selama beberapa menit, tapi efeknya luar biasa. Sekujur tubuhnya gemetar dan ia kesusahan untuk menginjak gas di kakinya.Dengan susah payah, Laureta menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Lalu ia pun kembali menangis sambil menutup muka dengan kedua tangannya.Kian begitu tampan mempesona. Tatapan matanya begitu tajam seperti biasanya dan seakan Laureta bisa tenggelam di dalamnya. Lalu pria itu memeluknya begitu saja.Hati Laureta dilingkupi oleh kehangatan yang tak pernah ia rasakan selama lebih dari satu tahun ini. Perasaannya jungkir balik seolah kakinya ber
Kian mendongak dan semua seolah terjadi dalam adegan lambat. Ia melihat Laureta masuk ke dalam ruangan dalam balutan kaus hitam ketat dengan potongan leher berbentuk kotak. Bagian lengannya berbahan tile halus hingga kulitnya jadi terlihat samar-samar. Bagian bawahnya ia mengenakan celana cargo dengan banyak kantung yang membuatnya tampak sangat keren.Kian terkesima melihat wanita yang pernah menjadi istrinya itu muncul lagi dalam hidupnya. Laureta tidak pernah terlihat secantik dan seanggun itu dalam hidupnya. Laureta terlihat tomboy, tapi juga elegan dalam waktu bersamaan.“Maaf aku terlambat,” ucapnya dengan suara yang terdengar amat merdu di kuping Kian.Tergerak untuk langsung melompat dari kursi dan memeluk wanita itu, Kian pun menahan dirinya.“Kamu memotong rambutmu,” ucap Kian yang masih melongo.Kalimat pertama yang ia ucapkan malah terdengar konyol dan tidak penting sama sekali. Ia jadi terlihat sangat bodoh di h
Betapa sedihnya Kian karena ia harus menerima kenyataan jika Laureta memang tidak mau bertemu lagi dengannya.“Ya. Kamu sudah membuatnya merasa terbuang dari rumahmu itu. Semua orang membencinya karena kalian menyebutnya anak perampok. Dia tidak mau menghalangimu untuk menikah dengan wanita yang kamu cintai. Ha! Kamu pun menikah dengan Helga, tapi kamu menyia-nyiakannya hingga dia harus mengembuskan napas terakhirnya.”“Aku tidak mencintai Helga. Aku menikah dengannya karena ayahku yang memaksa. Dan satu hal lagi, aku tidak pernah menyebut Laura dengan sebutan anak perampok. Akulah yang memintanya untuk menikah denganku meski aku tahu ayahnya seperti apa.”“Kamu terpaksa menikahi Laureta karena kamu ingin dia membayar utang ayahnya!” hardik Ivan. “Kamu pikir uang satu setengah milyar cukup untuk membayar seorang wanita untuk memuaskan nafsumu dan melahirkan seorang anak?”Kian pun terdiam. Ivan benar-benar t
Semalaman itu Kian benar-benar tidak bisa tidur. Ia mengingat tatapan Laureta saat melihatnya. Wanita itu jelas-jelas terkejut melihatnya. Lalu seperti ada sorot ketakutan yang membuatnya langsung memutuskan untuk kabur dari Kian.Lalu anak bayi itu. Anak siapakah itu? Bagaimana mungkin Ivan menikah dengan Laureta dan melahirkan anaknya? Kian pikir, Ivan masih mencintai Helga. Jika dilihat dari usia bayi itu dan waktu untuk mengandung selama sembilan bulan, Ivan mungkin sudah lama menikah dengan Laureta.Mana mungkin? Batin Kian menolak semua pemikiran itu.Entah sudah berapa kali Kian menghubungi Ivan hingga ponselnya pun tidak aktif lagi. Ivan benar-benar menghindarinya.Ia melihat jam di dinding dan memutuskan untuk bangun. Ia menyiapkan diri dan segera turun untuk sarapan. Marisa sudah ada di ruang makan lebih dulu.“Pagi, Kian,” sapa Marisa.“Pagi,” jawab Kian singkat yang langsung menuangkan kopi ke dalam cangki
Desti tampak bingung mendengar pernyataan Kian.“Tante Laureta? Kenapa? Bukankah kalian sudah berpisah lama?”Kian mendesah. “Aku selalu mencintai Laura, lebih dari apa pun. Aku menikah dengan Helga karena terpaksa, hanya untuk memenuhi keinginan kakekmu.”“Kenapa Om mau menurut?”“Ya, banyak hal yang membuatku harus menurut pada keinginan kakek.”Desti mengangguk dengan bibir yang tertekuk ke bawah. “Om pasti sedih sekali ya ditinggal wanita yang Om cintai.”“Kenapa kita tidak membahas tentangmu? Siapa itu Erik? Teman atau teman?”Desti tersenyum. “Teman, Om. Benar! Aku dan dia belum jadian.”“Baguslah! Tidak usah berpacaran dengan laki-laki yang meninggalkanmu di mall yang besar seperti ini! Nanti kamu menyesal. Cari lagi pria lain yang sepadan denganmu.”“Aku sebenarnya suka pria yang lebih tua dariku, seperti Om Kian