Pagi itu, Elisa sedang duduk di meja makan untuk sarapan. Menunya adalah Bubur Manado kesukaannya. Ia biasanya bisa makan dengan lahap, tapi tidak hari itu.
Setelah semalaman tidak tidur nyenyak, Elisa jadi merasa lelah di pagi hari dan sama sekali tidak bersemangat. Matanya agak sembab karena terlalu banyak menangis.
Erwin baru saja duduk di sebelahnya. Ia menatap Elisa, tidak biasanya ia berkomentar. “Mama kenapa?”
Elisa menoleh. “Kenapa apanya?”
“Wajah Mama seperti yang tidak segar. Apa Mama sakit?”
Elisa menggelengkan kepalanya. “Mama tidak sakit. Mama hanya kurang tidur saja.”
“Siapa yang kurang tidur?” gelegar ayahnya yang baru saja memasuki ruang makan.
Wajah Elisa langsung berubah masam. Ia tidak mau menyapa ayahnya dan memilih untuk membuang wajah.
“Selamat pagi, Kek. Itu Mama kurang tidur katanya,” jawab Erwin sopan.
“Apa kamu sakit,
Semenjak Laureta melakukan tes kehamilan dan mengetahui jika dirinya sedang hamil, ia jadi semakin sensitif. Terlebih ia juga lebih sering muntah-muntah di waktu-waktu tertentu.Sayangnya, ia masih belum memiliki keberanian untuk memberitahu Kian tentang hal ini. Ia masih takut jika sampai Kian akan berpikir untuk merebut anak ini darinya. Ia hanya butuh waktu sampai mereka bisa berbicara serius empat mata.Selama ini, Kian sering sekali pulang malam. Jadi, mereka tak pernah mengobrol serius. Laureta sudah tidur lebih dulu. Pagi harinya, mereka hanya mengobrol sedikit sekali dan Kian sudah pergi bekerja.Sepertinya menjadi istri seorang bos pun tidak membuat seorang istri jadi lebih bahagia. Itu semua karena ada banyak hal-hal yang tidak bisa dibeli oleh uang, salah satunya waktu dan komunikasi yang berkualitas.Pernikahan Laureta tidak didasari oleh cinta. Untuk itu, Laureta tidak merasa sesedih itu. Ia masih bisa bertahan, meski tidak enak sekali bertahan di saat ia sedang sakit. Na
Terpaksa Laureta berdiri dari lantai sambil berpegangan pada apa pun yang bisa ia raih. Ia masih menangis sambil menahan rasa pusing di kepalanya. Begitu badannya tegak, ia mengompol lebih banyak lagi.Rasanya ia tidak bisa menahan diri. Sungguh aneh. Air kencingnya seperti yang mengalir begitu saja tanpa ia sadari. Dengan langkah tertatih-tatih, Laureta berjalan ke kamar mandi yang rasanya jauh sekali.Perutnya tiba-tiba terasa mulas sekali dan berdenyut-denyut. Ia pikir, ia mungkin akan buang air besar, tapi mengapa rasa sakitnya amat dahsyat.Begitu tiba di sana, ia melepaskan celananya. “Oh tidak!” seru Laureta.Terdapat noda darah di celana dalamnya. Lebih banyak air mata yang mengalir di pipinya. Ia kembali gemetar. Dengan susah payah ia melepaskan semua celananya dan menaruhnya di wastafel.Laureta duduk di kloset sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. Ia menangis sekeras-kerasnya. Perutnya masih terasa sakit dan pegal.Mengapa semua ini harus terjadi pada dirinya? Lauret
“Mama!” seru Erwin.Elisa hanya menoleh sedikit dan lanjut melangkah menuju ke kamarnya. “Kamu belum pergi? Kenapa kamu kembali lagi?”“Aku kembali untuk mengambil dompetku yang ketinggalan. Lalu aku mendengar suara Mama dari balkon kamar Om Kian,” ucap Erwin.Langkah Elisa pun terhenti. Ia membalikkan badannya dan menatap putranya dengan mata yang menyipit. “Lalu kenapa?”“Apa yang Mama lakukan di kamar Om Kian? Mama menemui Laureta?!” seru Erwin.“Lagi-lagi, kamu menyebut namanya langsung. Apa jangan-jangan kamu sudah mengenalnya lebih dulu?” tuduh Elisa.“Mama! Bisa tidak Mama fokus dengan pertanyaanku dulu? Apa yang Mama lakukan di kamarnya Om Kian?”“Bukan urusanmu,” jawab Elisa singkat.“Apa?” Erwin mengernyitkan wajahnya. “Mama berteriak-teriak di balkon sambil mencekik leher Laureta. Apa Mama mau membunuhnya
Sudah pukul lima sore. Indah tidak mungkin memaksa Laureta untuk makan lagi. Lagi pula, Laureta belum lapar. Ia mungkin baru akan makan sekitar dua jam lagi. Semoga saja Kian sudah pulang dan mereka bisa makan bersama.Indah pun pamit. Ketika pelayan itu berada di ambang pintu, ternyata ada seseorang di luar sana. Laureta pikir, itu pasti Kian. Suaminya pulang cepat.Sayangnya, ia tidak bisa turun dari kasur. Ia tidak akan banyak bergerak supaya janinnya baik-baik saja. Ia sendiri tidak tahu apakah janin itu masih ada atau tidak. Hanya ini yang bisa ia lakukan. Kalau ia kuat, besok ia akan pergi ke dokter untuk memeriksakan kandungannya.Laureta menata bantalnya supaya posisinya nyaman. Lalu ia menyandarkan kepalanya dan tersenyum menanti kedatangan Kian. Ia nyaris melambaikan tangannya, ternyata yang datang bukan Kian.“Tata! Apa kamu baik-baik saja?”Erwin menyeruak masuk ke dalam kamarnya dan kemudian langsung duduk di sebelahnya, tempat tadi Indah duduk. Laureta merasa waswas meli
Erwin langsung melepaskan tangannya dan kemudian bangkit berdiri.“Aku permisi dulu,” ucap Erwin dengan nada bicara yang dingin.Erwin berjalan cepat melewati Kian yang tampak kebingungan. Kian sampai membalikkan badan ke arah pintu, tapi kemudian Erwin menutup pintu dengan cepat.Laureta meringis. Ia takut sekali jika Kian tiba-tiba marah padanya karena cemburu. Dan lagi, Kian datang di saat Erwin sedang mengusap kepalanya. Padahal sejak tadi, Erwin tidak pernah menyentuhnya.Kian berjalan ke perlahan dan kemudian berhenti di depan kasur, menatap Laureta sambil membuka dua kancing kemejanya. Tatapannya begitu sengit. Laureta tidak berani membalas tatapan Kian. Jadi, ia hanya terdiam.“Apa yang Erwin lakukan di sini?” tanya Kian. “Menjengukmu? Mencurahkan perhatiannya padamu?”“Itu tidak seperti yang kamu bayangkan,” ujar Laureta yang masih tidak berani menatap Kian.“Lalu apa yang harus aku bayangkan?”“Kian, aku sedang tidak enak badan. Aku tidak ada tenaga untuk bertengkar denganmu
Darah menetes dari tangan Kian. Ia menatap kedua tangannya yang gemetaran. Baru saja ia memukul pohon yang ada di belakang rumah sakit. Jantungnya berdetak kencang karena emosi.Hatinya hancur berkeping-keping. Ia tak percaya jika Laureta tidak memberitahunya tentang kehamilannya. Lalu semuanya lenyap berlalu begitu saja.Dokter tidak bisa menyelamatkan anak yang dikandung Laureta. Kian telah kehilangan kesempatannya untuk menjadi seorang ayah. Air mata menetes di pipinya tanpa suara. Segera ia menghapusnya dengan lengan bajunya.Dengan hati yang kacau balau dan pikiran yang serabutan tak menentu, Kian berjalan menuju ke toilet. Ia membasuh bekas luka di tangannya, lalu membelit buku jarinya dengan tisu.Lalu Kian keluar dari toilet dan melihat Clara yang sedang berdiri di depan sana. Wajahnya terkejut bukan main saat melihat bosnya yang terlihat kacau.“Pak Kian, apa yang terjadi? Kenapa tangannya berdarah?” tanya Clara dengan nada bicara yang cemas dan bernada tinggi.Kian menurut s
Kian menggelengkan kepalanya. Kesabarannya entah menguap ke mana, ia tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi Laureta. Ia menarik napasnya dalam-dalam.“Ya sudah, sudah. Lagi pula sudah terjadi. Lain kali, kalau ada apa-apa, kamu harus …, wajib memberitahuku semuanya! Jangan ada yang kamu sembunyikan dariku, oke?! Aku tidak mau kamu memberiku kejutan atau semacamnya! Aku hanya ingin kamu selamat dan juga bayi kita! Sekarang sudah terlambat.”Laureta tersedu-sedu, masih tidak mau menatap Kian sama sekali. Kian pun tak tahu harus berbuat apa lagi. Ia mengambil botol mineral dari nakas, lalu memberinya sedotan.“Kamu mau minum?” tanya Kian.“Tidak! Aku tidak mau!” bentak Laureta.“Kamu mau minum dari minuman yang diberikan Erwin! Kenapa kalau aku yang berikan padamu, kamu tidak mau?! Apa kamu masih mencintai Erwin? Dia telah menolongmu tadi malam. Oh, jadi karena itu kamu tidak menginginkan kehadiranku di sini? Kamu tidak mau aku yang mengurusmu, begitu?”“Hentikan, Kian!” seru Laureta
Rahasia yang seharusnya tidak pernah ada di antara Laureta dan Kian, tapi Laureta jadikan hal itu sebagai tempat perlindungan. Ia tahu jika hal itu salah.Laureta tetap bungkam akan kasus Elisa yang pernah menyerangnya waktu itu hingga keguguran. Mungkin memang bukan sepenuhnya salah Elisa. Pagi harinya, ia memang merasa seperti ada flek kecoklatan yang keluar. Namun, karena fleknya hanya sedikit, Laureta pun mengabaikannya.Namun, tekanan yang ia terima di dalam hati dan perasaannya atas perbuatan kasar Elisa membuatnya tak tahan lagi. Akhirnya, janinnya pun harus dikeluarkan dari tubuhnya melalui operasi kuret.Butuh waktu dua minggu hingga tubuhnya kembali pulih ke kondisi semula. Namun, hingga sekarang sudah dua bulan lebih, hati dan perasaan Laureta masih belum juga pulih sama sekali. Rasa perih itu masih tersemat di dadanya seakan ia akan terus berduka seumur hidupnya.Tak ada satu ibu pun di dunia ini yang tidak berduka kehilangan anaknya meski masih dalam bentuk janin yang san