“Mama!” seru Erwin.Elisa hanya menoleh sedikit dan lanjut melangkah menuju ke kamarnya. “Kamu belum pergi? Kenapa kamu kembali lagi?”“Aku kembali untuk mengambil dompetku yang ketinggalan. Lalu aku mendengar suara Mama dari balkon kamar Om Kian,” ucap Erwin.Langkah Elisa pun terhenti. Ia membalikkan badannya dan menatap putranya dengan mata yang menyipit. “Lalu kenapa?”“Apa yang Mama lakukan di kamar Om Kian? Mama menemui Laureta?!” seru Erwin.“Lagi-lagi, kamu menyebut namanya langsung. Apa jangan-jangan kamu sudah mengenalnya lebih dulu?” tuduh Elisa.“Mama! Bisa tidak Mama fokus dengan pertanyaanku dulu? Apa yang Mama lakukan di kamarnya Om Kian?”“Bukan urusanmu,” jawab Elisa singkat.“Apa?” Erwin mengernyitkan wajahnya. “Mama berteriak-teriak di balkon sambil mencekik leher Laureta. Apa Mama mau membunuhnya
Sudah pukul lima sore. Indah tidak mungkin memaksa Laureta untuk makan lagi. Lagi pula, Laureta belum lapar. Ia mungkin baru akan makan sekitar dua jam lagi. Semoga saja Kian sudah pulang dan mereka bisa makan bersama.Indah pun pamit. Ketika pelayan itu berada di ambang pintu, ternyata ada seseorang di luar sana. Laureta pikir, itu pasti Kian. Suaminya pulang cepat.Sayangnya, ia tidak bisa turun dari kasur. Ia tidak akan banyak bergerak supaya janinnya baik-baik saja. Ia sendiri tidak tahu apakah janin itu masih ada atau tidak. Hanya ini yang bisa ia lakukan. Kalau ia kuat, besok ia akan pergi ke dokter untuk memeriksakan kandungannya.Laureta menata bantalnya supaya posisinya nyaman. Lalu ia menyandarkan kepalanya dan tersenyum menanti kedatangan Kian. Ia nyaris melambaikan tangannya, ternyata yang datang bukan Kian.“Tata! Apa kamu baik-baik saja?”Erwin menyeruak masuk ke dalam kamarnya dan kemudian langsung duduk di sebelahnya, tempat tadi Indah duduk. Laureta merasa waswas meli
Erwin langsung melepaskan tangannya dan kemudian bangkit berdiri.“Aku permisi dulu,” ucap Erwin dengan nada bicara yang dingin.Erwin berjalan cepat melewati Kian yang tampak kebingungan. Kian sampai membalikkan badan ke arah pintu, tapi kemudian Erwin menutup pintu dengan cepat.Laureta meringis. Ia takut sekali jika Kian tiba-tiba marah padanya karena cemburu. Dan lagi, Kian datang di saat Erwin sedang mengusap kepalanya. Padahal sejak tadi, Erwin tidak pernah menyentuhnya.Kian berjalan ke perlahan dan kemudian berhenti di depan kasur, menatap Laureta sambil membuka dua kancing kemejanya. Tatapannya begitu sengit. Laureta tidak berani membalas tatapan Kian. Jadi, ia hanya terdiam.“Apa yang Erwin lakukan di sini?” tanya Kian. “Menjengukmu? Mencurahkan perhatiannya padamu?”“Itu tidak seperti yang kamu bayangkan,” ujar Laureta yang masih tidak berani menatap Kian.“Lalu apa yang harus aku bayangkan?”“Kian, aku sedang tidak enak badan. Aku tidak ada tenaga untuk bertengkar denganmu
Darah menetes dari tangan Kian. Ia menatap kedua tangannya yang gemetaran. Baru saja ia memukul pohon yang ada di belakang rumah sakit. Jantungnya berdetak kencang karena emosi.Hatinya hancur berkeping-keping. Ia tak percaya jika Laureta tidak memberitahunya tentang kehamilannya. Lalu semuanya lenyap berlalu begitu saja.Dokter tidak bisa menyelamatkan anak yang dikandung Laureta. Kian telah kehilangan kesempatannya untuk menjadi seorang ayah. Air mata menetes di pipinya tanpa suara. Segera ia menghapusnya dengan lengan bajunya.Dengan hati yang kacau balau dan pikiran yang serabutan tak menentu, Kian berjalan menuju ke toilet. Ia membasuh bekas luka di tangannya, lalu membelit buku jarinya dengan tisu.Lalu Kian keluar dari toilet dan melihat Clara yang sedang berdiri di depan sana. Wajahnya terkejut bukan main saat melihat bosnya yang terlihat kacau.“Pak Kian, apa yang terjadi? Kenapa tangannya berdarah?” tanya Clara dengan nada bicara yang cemas dan bernada tinggi.Kian menurut s
Kian menggelengkan kepalanya. Kesabarannya entah menguap ke mana, ia tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi Laureta. Ia menarik napasnya dalam-dalam.“Ya sudah, sudah. Lagi pula sudah terjadi. Lain kali, kalau ada apa-apa, kamu harus …, wajib memberitahuku semuanya! Jangan ada yang kamu sembunyikan dariku, oke?! Aku tidak mau kamu memberiku kejutan atau semacamnya! Aku hanya ingin kamu selamat dan juga bayi kita! Sekarang sudah terlambat.”Laureta tersedu-sedu, masih tidak mau menatap Kian sama sekali. Kian pun tak tahu harus berbuat apa lagi. Ia mengambil botol mineral dari nakas, lalu memberinya sedotan.“Kamu mau minum?” tanya Kian.“Tidak! Aku tidak mau!” bentak Laureta.“Kamu mau minum dari minuman yang diberikan Erwin! Kenapa kalau aku yang berikan padamu, kamu tidak mau?! Apa kamu masih mencintai Erwin? Dia telah menolongmu tadi malam. Oh, jadi karena itu kamu tidak menginginkan kehadiranku di sini? Kamu tidak mau aku yang mengurusmu, begitu?”“Hentikan, Kian!” seru Laureta
Rahasia yang seharusnya tidak pernah ada di antara Laureta dan Kian, tapi Laureta jadikan hal itu sebagai tempat perlindungan. Ia tahu jika hal itu salah.Laureta tetap bungkam akan kasus Elisa yang pernah menyerangnya waktu itu hingga keguguran. Mungkin memang bukan sepenuhnya salah Elisa. Pagi harinya, ia memang merasa seperti ada flek kecoklatan yang keluar. Namun, karena fleknya hanya sedikit, Laureta pun mengabaikannya.Namun, tekanan yang ia terima di dalam hati dan perasaannya atas perbuatan kasar Elisa membuatnya tak tahan lagi. Akhirnya, janinnya pun harus dikeluarkan dari tubuhnya melalui operasi kuret.Butuh waktu dua minggu hingga tubuhnya kembali pulih ke kondisi semula. Namun, hingga sekarang sudah dua bulan lebih, hati dan perasaan Laureta masih belum juga pulih sama sekali. Rasa perih itu masih tersemat di dadanya seakan ia akan terus berduka seumur hidupnya.Tak ada satu ibu pun di dunia ini yang tidak berduka kehilangan anaknya meski masih dalam bentuk janin yang san
Lalu Laureta mengecek seluruh kolong ranjang dan akhirnya ia menemukan kotak itu berada di bagian kolong kaki ranjang. Laureta mengambil kotak itu dan berdiri untuk mengeceknya.Sungguh tidak masuk akal. Bagaimana mungkin kotaknya bergeser sampai sejauh itu? Seingatnya, ia menaruhnya di tengah-tengah. Lalu ia membuka kotaknya dan melihat posisi alat tes kehamilannya pun terbalik.Seseorang pasti ada yang mengambi, lalu membuka isinya, tapi terlalu ceroboh untuk mengembalikannya ke posisi semula. Siapa yang berani melakukan hal ini? Hanya para pelayan yang pernah keluar masuk kamarnya.Orang yang paling sering ke kamarnya adalah si pelayan muda bernama Indah. Laureta geram sekali. Ia harus menanyakan hal ini pada gadis itu sebelum emosinya benar-benar meledak.Jadi, Laureta pun keluar dari kamar dan mencari Indah. Ia berkeliling ke tempat di mana para pelayan biasanya bekerja. Lalu ia melihat Indah sedang mengelap kaca di dekat jendela taman. Tanpa banyak
Ramainya para pengunjung restoran, membuat Kian enggan untuk duduk berlama-lama di sini. Ia pun memilih untuk memesan tempat privat. Untuk kesekian kalinya, Kian merasa waswas setiap kali berbuat seperti ini.Dosanya semakin lama semakin menumpuk. Berkali-kali ia mencoba untuk bertobat, tapi berkali-kali pula ia jatuh. Begitu ia melakukannya sekali, lantas ia melakukannya untuk kedua kalinya dan seterusnya.Duduk diam di ruangan privat pun tidak membuatnya merasa lebih baik. Seharusnya Kian pergi dari sini, tapi ia sudah terlanjur berjanji untuk menemuinya.Kian bingung harus bagaimana. Ia pun bangkit berdiri dan membuka pintu untuk pergi. Namun, seseorang menghalangi jalannya.Helga tersenyum padanya dan mendorong Kian untuk masuk. “Maaf, aku terlambat. Jalanan agak macet. Apa kamu sudah menungguku lama? Sudah pesan sesuatu?”Kian pun tak sanggup pergi dari sini. Dengan patuh ia duduk kembali ke kursinya.“Aku baru beberapa menit tiba di sini. Hmmm, kamu mau memesan apa?”“Apa saja y
Zion adalah anak yang sangat lucu dan pintar. Di usianya yang menginjak lima bulan, anak itu sudah bisa diajak bercanda. Siapa pun yang bertemu dengannya pasti akan gemas dengan tingkah lakunya.Hari itu adalah pertama kalinya Kian bertemu dengan Zion. Kian tampak tegang sekali seperti hendak bertemu dengan presiden. Laureta terkekeh sejak tadi menertawakan sikap Kian.Laureta baru saja pulang kerja dan Kian yang menjemputnya. Pria itu menyetir mobil menuju ke rumahnya tanpa Laureta perlu menunjukkan arah seolah ia sudah tahu alamatnya di mana.“Bagaimana kamu bisa tahu alamat rumahku? Ah, kamu memang memata-mataiku, ya kan.”Kian tidak menggubris candaannya. Pria itu fokus menyetir hingga berhenti di depan rumahnya.“Aku memang pernah mengikuti Ivan sampai ke rumah ini. Aku ingin tahu apakah benar kamu tinggal bersama dengannya di sini,” ungkap Kian.Laureta pun tersenyum. “Ya sudah. Kali ini aku akan memaafkan
Kian memutar tubuh Laureta, lalu wanita itu pun menengadahkan kepalanya sambil mengangkat kakinya hingga berada dalam dekapan Kian. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.Kian pun mendekatkan bibirnya dan mencium Laureta dengan lembut. Laureta pikir lututnya akan goyah hingga ia tidak sanggup untuk berpijak di bumi. Namun, Kian menopangnya, mendekapnya dengan erat.Laureta pun membalas ciuman itu. Ia yakin sekali jika dalam hidupnya, ia hanya mencintai satu pria, yaitu Kian seorang. Susah payah ia menutupi perasaannya, tapi ia tak akan sanggup. Kian benar-benar telah mencuri hatinya.Usai ciuman yang memabukkan itu, Kian pun melepaskan diri. Napas mereka sama-sama saling memburu. Kian mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya, lalu berlutut di hadapan Laureta.“Laureta Widya, maukah kamu menikah denganku? Lagi?”Laureta terkesima menatap cincin berlian di dalam kotak mungil berwarna merah. Ia pun mengangguk dan berkata, “Ya, aku
Laureta tersenyum membaca pesan singkat dari Ivan. “Pacar?” gumamnya.“Ada apa?” tanya Kian.“Uhm, tidak ada apa-apa.”“Ayolah! Aku ingin tahu. Kamu tadi bilang pacar. Pacar siapa?”Kian merebut ponselnya dari tangannya. Ia malu sekali saat Kian membaca pesan itu dari Ivan. Kian pun tertawa lepas.“Astaga! Jadi, apakah aku harus memanggil Ivan kakak mulai sekarang? Dia itu kakakmu kan?”Laureta terkekeh. “Mungkin begitu. Dia pernah menyuruhku untuk memanggilnya kakak, tapi aku tidak mau.”“Kenapa? Sepertinya usianya lebih tua darimu.” Kian menautkan alisnya, tapi Laureta menggelengkan kepala. “Kamu saja selalu memanggilku nama padahal usia kita terpaut delapan belas tahun. Atau mungkin sekarang aku punya panggilan baru?”“Apa itu?”“Papa?”Laureta terkejut. “Papa? Kamu kan bukan ayahku!&rdq
“Kamu siap?” tanya Ivan sambil mengulurkan tangannya pada Laureta.Ia tersenyum dan kemudian menyerahkan tangannya pada Ivan. Ia baru saja turun dari mobil. Lalu mereka berjalan bergandengan, masuk ke dalam gedung mewah. Di dalam sana sedang ada acara pernikahan seorang anak pengusaha importir, rekan kerjanya Ivan.Sebenarnya, Laureta tidak perlu datang ke sini karena ia sama sekali tidak mengenal siapa pun di sini. Namun, Ivan bersikeras mengajaknya karena menurutnya Laureta pasti akan senang mencicipi berbagai macam makanan yang unik-unik di sana.Laureta pun terpaksa ikut. Ia melangkahkan kakinya dengan penuh percaya diri. Ivan membelikannya gaun yang ia pakai sekarang. Gaun itu berwarna biru tua dengan belahan rok yang tinggi hingga menampilkan kakinya yang tampak jenjang berbalut sepatu hak tinggi bertali hingga ke betisnya.Banyak sekali tamu yang datang ke acara pernikahan itu. Semua wanitanya mengenakan gaun yang sangat cantik dan para
Laureta menatap kedua tangannya yang gemetar. Ia pikir ia sudah gila karena menyerahkan amplop berisi cek satu setengah milyar. Laureta menepi di pinggir jalan, lalu menangis sejadi-jadinya. Ia tak kuasa lagi menahan semua emosi yang ada di dalam dadanya.Demi Tuhan, ia baru saja bertemu dengan Kian Aleandro, pria yang pernah menjadi suaminya. Meski pertemuannya hanya berlangsung selama beberapa menit, tapi efeknya luar biasa. Sekujur tubuhnya gemetar dan ia kesusahan untuk menginjak gas di kakinya.Dengan susah payah, Laureta menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Lalu ia pun kembali menangis sambil menutup muka dengan kedua tangannya.Kian begitu tampan mempesona. Tatapan matanya begitu tajam seperti biasanya dan seakan Laureta bisa tenggelam di dalamnya. Lalu pria itu memeluknya begitu saja.Hati Laureta dilingkupi oleh kehangatan yang tak pernah ia rasakan selama lebih dari satu tahun ini. Perasaannya jungkir balik seolah kakinya ber
Kian mendongak dan semua seolah terjadi dalam adegan lambat. Ia melihat Laureta masuk ke dalam ruangan dalam balutan kaus hitam ketat dengan potongan leher berbentuk kotak. Bagian lengannya berbahan tile halus hingga kulitnya jadi terlihat samar-samar. Bagian bawahnya ia mengenakan celana cargo dengan banyak kantung yang membuatnya tampak sangat keren.Kian terkesima melihat wanita yang pernah menjadi istrinya itu muncul lagi dalam hidupnya. Laureta tidak pernah terlihat secantik dan seanggun itu dalam hidupnya. Laureta terlihat tomboy, tapi juga elegan dalam waktu bersamaan.“Maaf aku terlambat,” ucapnya dengan suara yang terdengar amat merdu di kuping Kian.Tergerak untuk langsung melompat dari kursi dan memeluk wanita itu, Kian pun menahan dirinya.“Kamu memotong rambutmu,” ucap Kian yang masih melongo.Kalimat pertama yang ia ucapkan malah terdengar konyol dan tidak penting sama sekali. Ia jadi terlihat sangat bodoh di h
Betapa sedihnya Kian karena ia harus menerima kenyataan jika Laureta memang tidak mau bertemu lagi dengannya.“Ya. Kamu sudah membuatnya merasa terbuang dari rumahmu itu. Semua orang membencinya karena kalian menyebutnya anak perampok. Dia tidak mau menghalangimu untuk menikah dengan wanita yang kamu cintai. Ha! Kamu pun menikah dengan Helga, tapi kamu menyia-nyiakannya hingga dia harus mengembuskan napas terakhirnya.”“Aku tidak mencintai Helga. Aku menikah dengannya karena ayahku yang memaksa. Dan satu hal lagi, aku tidak pernah menyebut Laura dengan sebutan anak perampok. Akulah yang memintanya untuk menikah denganku meski aku tahu ayahnya seperti apa.”“Kamu terpaksa menikahi Laureta karena kamu ingin dia membayar utang ayahnya!” hardik Ivan. “Kamu pikir uang satu setengah milyar cukup untuk membayar seorang wanita untuk memuaskan nafsumu dan melahirkan seorang anak?”Kian pun terdiam. Ivan benar-benar t
Semalaman itu Kian benar-benar tidak bisa tidur. Ia mengingat tatapan Laureta saat melihatnya. Wanita itu jelas-jelas terkejut melihatnya. Lalu seperti ada sorot ketakutan yang membuatnya langsung memutuskan untuk kabur dari Kian.Lalu anak bayi itu. Anak siapakah itu? Bagaimana mungkin Ivan menikah dengan Laureta dan melahirkan anaknya? Kian pikir, Ivan masih mencintai Helga. Jika dilihat dari usia bayi itu dan waktu untuk mengandung selama sembilan bulan, Ivan mungkin sudah lama menikah dengan Laureta.Mana mungkin? Batin Kian menolak semua pemikiran itu.Entah sudah berapa kali Kian menghubungi Ivan hingga ponselnya pun tidak aktif lagi. Ivan benar-benar menghindarinya.Ia melihat jam di dinding dan memutuskan untuk bangun. Ia menyiapkan diri dan segera turun untuk sarapan. Marisa sudah ada di ruang makan lebih dulu.“Pagi, Kian,” sapa Marisa.“Pagi,” jawab Kian singkat yang langsung menuangkan kopi ke dalam cangki
Desti tampak bingung mendengar pernyataan Kian.“Tante Laureta? Kenapa? Bukankah kalian sudah berpisah lama?”Kian mendesah. “Aku selalu mencintai Laura, lebih dari apa pun. Aku menikah dengan Helga karena terpaksa, hanya untuk memenuhi keinginan kakekmu.”“Kenapa Om mau menurut?”“Ya, banyak hal yang membuatku harus menurut pada keinginan kakek.”Desti mengangguk dengan bibir yang tertekuk ke bawah. “Om pasti sedih sekali ya ditinggal wanita yang Om cintai.”“Kenapa kita tidak membahas tentangmu? Siapa itu Erik? Teman atau teman?”Desti tersenyum. “Teman, Om. Benar! Aku dan dia belum jadian.”“Baguslah! Tidak usah berpacaran dengan laki-laki yang meninggalkanmu di mall yang besar seperti ini! Nanti kamu menyesal. Cari lagi pria lain yang sepadan denganmu.”“Aku sebenarnya suka pria yang lebih tua dariku, seperti Om Kian