Kian memutar tubuh Laureta, lalu wanita itu pun menengadahkan kepalanya sambil mengangkat kakinya hingga berada dalam dekapan Kian. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.
Kian pun mendekatkan bibirnya dan mencium Laureta dengan lembut. Laureta pikir lututnya akan goyah hingga ia tidak sanggup untuk berpijak di bumi. Namun, Kian menopangnya, mendekapnya dengan erat.
Laureta pun membalas ciuman itu. Ia yakin sekali jika dalam hidupnya, ia hanya mencintai satu pria, yaitu Kian seorang. Susah payah ia menutupi perasaannya, tapi ia tak akan sanggup. Kian benar-benar telah mencuri hatinya.
Usai ciuman yang memabukkan itu, Kian pun melepaskan diri. Napas mereka sama-sama saling memburu. Kian mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya, lalu berlutut di hadapan Laureta.
“Laureta Widya, maukah kamu menikah denganku? Lagi?”
Laureta terkesima menatap cincin berlian di dalam kotak mungil berwarna merah. Ia pun mengangguk dan berkata, “Ya, aku
Zion adalah anak yang sangat lucu dan pintar. Di usianya yang menginjak lima bulan, anak itu sudah bisa diajak bercanda. Siapa pun yang bertemu dengannya pasti akan gemas dengan tingkah lakunya.Hari itu adalah pertama kalinya Kian bertemu dengan Zion. Kian tampak tegang sekali seperti hendak bertemu dengan presiden. Laureta terkekeh sejak tadi menertawakan sikap Kian.Laureta baru saja pulang kerja dan Kian yang menjemputnya. Pria itu menyetir mobil menuju ke rumahnya tanpa Laureta perlu menunjukkan arah seolah ia sudah tahu alamatnya di mana.“Bagaimana kamu bisa tahu alamat rumahku? Ah, kamu memang memata-mataiku, ya kan.”Kian tidak menggubris candaannya. Pria itu fokus menyetir hingga berhenti di depan rumahnya.“Aku memang pernah mengikuti Ivan sampai ke rumah ini. Aku ingin tahu apakah benar kamu tinggal bersama dengannya di sini,” ungkap Kian.Laureta pun tersenyum. “Ya sudah. Kali ini aku akan memaafkan
“Erwin, apa yang kamu lakukan?!” Di hadapan Laureta, seorang pria tengah bergumul mesra dengan seorang wanita tanpa busana. Pemandangan di depannya benar-benar membuat hatinya remuk redam! “Tata!” bentak Erwin kasar. “Berani-beraninya kamu masuk kamar orang sembarangan!” Seketika kegiatan pun terhenti. Erwin melepaskan diri dari sang wanita binal. Ia tampak kikuk saat menyadari Laureta ada di sana. Ia sibuk mencari celana dan segera mengenakannya. Berbeda dengan sang wanita yang tampak santai mengenakan kimono yang ia pungut di kasur. Lutut Laureta terasa lemas. Ia sungguh tak percaya dengan apa yang tengah dilihatnya. Erwin tega mengkhianatinya. Mendadak, ia tidak tahu harus berkata apa. Mulutnya seolah terkunci rapat. Matanya membelalak menatap Erwin. Pria itu mendekati Laureta dengan langkah cepat, lalu mendorongnya dengan kasar. “Keluar kamu!” Laureta tetap bertahan. Ia hanya mundur sedikit sambil menunduk menatap lantai kamar hotel yang dilapisi karpet coklat muda. Sekujur
Sebuah mobil SUV hitam mewah memasuki sebuah rumah megah bagai istana. Pintu pagar otomatis tertutup sendiri ketika mobil itu sudah lewat. Seorang pelayan menyambut sang majikannya yang baru saja turun dari mobil.“Kian!” seru seorang wanita dengan wajah yang cemas. “Ini sudah malam, kenapa kamu baru pulang? Papa sudah menunggumu sejak sore tadi.”Kian mendecak kesal, lalu menghela napasnya dengan wajah bosan. “Ma, aku kan sudah bilang, aku sedang sibuk. Untuk apa papa menungguku? Kalau ada hal yang penting, dia bisa meneleponku kapan saja.”Ibunya menggamit lengan Kian, lalu mereka sama-sama masuk ke dalam rumah. Sang pelayan telah terlebih dahulu berjalan untuk membawakan tas kerja Kian.“Hal ini sangat penting, tidak bisa hanya dibicarakan lewat telepon,” ujar ibunya kalem.“Hmmm, baiklah.”Kian dan ibunya berjalan bersama menaikki tangga ke lantai dua rumahnya. Kian menggosok matanya yang terasa tidak nyaman karena wanita yang baru ditabraknya tadi telah melemparinya dengan uang d
Semalaman, Laureta tidak bisa tidur nyenyak. Tubuhnya terasa pegal-pegal karena ia baru saja mengalami kecelakaan. Belum lagi, ia masih terus menangisi Erwin yang tega mencampakkannya demi Valentina si wanita gatal.Jika mengingat lagi akan hal itu, Laureta bisa menangis lagi. Matanya sudah bengkak dan perih. Menangis lagi hanya akan membuatnya dehidrasi.Ponselnya berbunyi, Laureta mengangkatnya.“Halo, Reks,” ucapnya parau.“Ta, kamu ada di mana? Ini sudah kesiangan. Apa kamu tidak akan ke studio sekarang?” cecar Reksiana, sahabatnya.“Aku masih di rumah. Maaf ya, Reks. Hari ini aku tidak akan mengajar zumba dulu. Kamu tolong gantikan aku ya. Kali ini saja.”“Eh, apa yang terjadi? Kamu langsung pergi begitu saja waktu aku memberitahumu soal Erwin. Apa kamu sudah menemuinya?”Hening sejenak. Laureta tak sanggup menceritakannya pada Reksi. Namun, tak ada lagi yang lebih paham akan kehidupannya selain Reksi. Jadi, Laureta pun menceritakan segalanya. Syukurlah, air matanya bisa tertahan
Dunia ini memang sempit hingga Kian pikir, ia mungkin hanya berputar-putar di tempat yang sama. Bagaimana bisa ia malah bertemu dengan wanita yang baru saja ia tabrak semalam? Mengapa harus wanita itu lagi?Menangkap penjahat seperti Reno, bukan perkara yang sulit bagi Kian. Ia bahkan berencana untuk membuat Reno dipenjara seumur hidup dan membuat keluarganya menderita selamanya. Namun, begitu melihat wanita itu, seketika iman Kian goyah.Ternyata wanita itu adalah putrinya Reno. Kian pun berusaha menenangkan dirinya dan tetap bersikap senormal mungkin.“Aku akan melakukan apa saja!” ucap wanita itu penuh keyakinan.Apa yang Kian butuhkan saat ini hanyalah mendapatkan seorang istri, lebih dari apa pun. Ucapan ayahnya semalam terdengar seperti sebuah ancaman yang serius. Kian tidak akan membiarkan keponakannya yang mengambil alih The Prince.“Menikahlah denganku.”Kian menatap wanita yang sampai sekarang belum ia ketahui namanya. Air mata membasahi wajahnya yang tampak lusuh. Terdapat
Laureta merasa dirinya bagai orang lain saat ia melihat bayangannya dari pantulan kaca yang ada di tembok. Gaun biru itu terlihat sangat mahal. Sepatu hak tingginya sekitar tujuh senti, tapi anehnya terasa sangat nyaman.Rumah itu begitu mewah hingga ia pikir, ia sedang berada di alam mimpi. Seumur hidupnya, ia tidak pernah masuk ke dalam istana. Semua perabotan di rumah itu tampak elegan dan pasti mahal.Laureta mengatur napasnya untuk menenangkan diri, sementara Kian berjalan di sebelahnya tampak bagai seorang bangsawan dan Laureta hanyalah seorang rakyat jelata.Seorang wanita menyambut mereka. Ia memeluk Kian dan kemudian dengan ramah menanyakan tentang Laureta.“Kenalkan, ini Laureta, Ma.”“Ah, nama yang sangat cantik,” puji sang ibu dengan senyum yang sangat manis. Laureta salim pada sang ibu sambil memaksakan senyumnya. “Pa, ini calonnya Kian.”Seorang pria bertubuh tinggi yang sama seperti Kian menghampiri mereka. Wajahnya sungguh tidak ramah, jauh lebih dingin dari Kian. Laur
Kian menatap wajah Laureta yang kini telah resmi menjadi istrinya. Wanita itu tampak tercengang setelah Kian mengatakan bahwa Erwin adalah keponakannya. Wajahnya jadi tampak menggemaskan. Kian tersenyum tipis.Melihat penampilan Laureta saat ini membuat Kian terpesona. Seingatnya, wanita itu hanyalah seorang wanita sederhana yang tidak pernah mencoba untuk melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri.Riasan di wajahnya benar-benar pas, membuatnya semakin cantik. Kian tidak merasa rugi membayar gaun pernikahan mewah yang tengah wanita itu kenakan.Dengan kata lain, wanita yang sedang ia pegang tangannya adalah wanita yang tepat untuk ia jadikan istri. Kian mengangkat dagunya, merasa bangga karena akhirnya ia telah menikah.Pesta malam itu berlangsung meriah. Sekarang sudah pukul sepuluh malam. Kian dan Laureta sedang berada di kamar hotel The Prince. Kian memesan kamar terbaik di hotelnya sendiri.Kamar pengantin itu telah dihias sedemikian rupa dengan bunga mawar merah yang bertebaran di
Laureta merasa agak risih melihat cara Kian menatapnya. Pria itu seperti yang hendak memakannya hiduk-hidup. Ia jadi merasa setiap kali berada bersama dengan Kian, pria itu seperti predator dan Laureta adalah mangsanya.Sejujurnya, Laureta takut dengan apa yang akan terjadi malam ini. Sama seperti tadi, Laureta gemetar bukan main saat pria itu melepaskan gaun pengantin dan korsetnya. Kalau saja Laureta tidak segera kabur ke kamar mandi, mungkin pria itu akan menerkamnya dalam hitungan detik.Laureta mengatur napasnya, lalu membuka mulut untuk bicara. Dilihatnya makanan yang tersedia di meja. Asapnya mengepul dan mengeluarkan aroma yang lezat. Perut Laureta langsung meraung-raung meminta makan.“Kamu memesan makanan?” tanya Laureta agar keras untuk menyamarkan suara perutnya.Kian menegakkan tubuhnya, lalu berdeham sekali. “Ya. Makanlah!”Suaranya yang dalam membuat Laureta jadi salah tingkah. Ia mengangguk sekali, lalu duduk di meja makan bundar yang terbuat dari kaca. Di sana sudah t
Zion adalah anak yang sangat lucu dan pintar. Di usianya yang menginjak lima bulan, anak itu sudah bisa diajak bercanda. Siapa pun yang bertemu dengannya pasti akan gemas dengan tingkah lakunya.Hari itu adalah pertama kalinya Kian bertemu dengan Zion. Kian tampak tegang sekali seperti hendak bertemu dengan presiden. Laureta terkekeh sejak tadi menertawakan sikap Kian.Laureta baru saja pulang kerja dan Kian yang menjemputnya. Pria itu menyetir mobil menuju ke rumahnya tanpa Laureta perlu menunjukkan arah seolah ia sudah tahu alamatnya di mana.“Bagaimana kamu bisa tahu alamat rumahku? Ah, kamu memang memata-mataiku, ya kan.”Kian tidak menggubris candaannya. Pria itu fokus menyetir hingga berhenti di depan rumahnya.“Aku memang pernah mengikuti Ivan sampai ke rumah ini. Aku ingin tahu apakah benar kamu tinggal bersama dengannya di sini,” ungkap Kian.Laureta pun tersenyum. “Ya sudah. Kali ini aku akan memaafkan
Kian memutar tubuh Laureta, lalu wanita itu pun menengadahkan kepalanya sambil mengangkat kakinya hingga berada dalam dekapan Kian. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.Kian pun mendekatkan bibirnya dan mencium Laureta dengan lembut. Laureta pikir lututnya akan goyah hingga ia tidak sanggup untuk berpijak di bumi. Namun, Kian menopangnya, mendekapnya dengan erat.Laureta pun membalas ciuman itu. Ia yakin sekali jika dalam hidupnya, ia hanya mencintai satu pria, yaitu Kian seorang. Susah payah ia menutupi perasaannya, tapi ia tak akan sanggup. Kian benar-benar telah mencuri hatinya.Usai ciuman yang memabukkan itu, Kian pun melepaskan diri. Napas mereka sama-sama saling memburu. Kian mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya, lalu berlutut di hadapan Laureta.“Laureta Widya, maukah kamu menikah denganku? Lagi?”Laureta terkesima menatap cincin berlian di dalam kotak mungil berwarna merah. Ia pun mengangguk dan berkata, “Ya, aku
Laureta tersenyum membaca pesan singkat dari Ivan. “Pacar?” gumamnya.“Ada apa?” tanya Kian.“Uhm, tidak ada apa-apa.”“Ayolah! Aku ingin tahu. Kamu tadi bilang pacar. Pacar siapa?”Kian merebut ponselnya dari tangannya. Ia malu sekali saat Kian membaca pesan itu dari Ivan. Kian pun tertawa lepas.“Astaga! Jadi, apakah aku harus memanggil Ivan kakak mulai sekarang? Dia itu kakakmu kan?”Laureta terkekeh. “Mungkin begitu. Dia pernah menyuruhku untuk memanggilnya kakak, tapi aku tidak mau.”“Kenapa? Sepertinya usianya lebih tua darimu.” Kian menautkan alisnya, tapi Laureta menggelengkan kepala. “Kamu saja selalu memanggilku nama padahal usia kita terpaut delapan belas tahun. Atau mungkin sekarang aku punya panggilan baru?”“Apa itu?”“Papa?”Laureta terkejut. “Papa? Kamu kan bukan ayahku!&rdq
“Kamu siap?” tanya Ivan sambil mengulurkan tangannya pada Laureta.Ia tersenyum dan kemudian menyerahkan tangannya pada Ivan. Ia baru saja turun dari mobil. Lalu mereka berjalan bergandengan, masuk ke dalam gedung mewah. Di dalam sana sedang ada acara pernikahan seorang anak pengusaha importir, rekan kerjanya Ivan.Sebenarnya, Laureta tidak perlu datang ke sini karena ia sama sekali tidak mengenal siapa pun di sini. Namun, Ivan bersikeras mengajaknya karena menurutnya Laureta pasti akan senang mencicipi berbagai macam makanan yang unik-unik di sana.Laureta pun terpaksa ikut. Ia melangkahkan kakinya dengan penuh percaya diri. Ivan membelikannya gaun yang ia pakai sekarang. Gaun itu berwarna biru tua dengan belahan rok yang tinggi hingga menampilkan kakinya yang tampak jenjang berbalut sepatu hak tinggi bertali hingga ke betisnya.Banyak sekali tamu yang datang ke acara pernikahan itu. Semua wanitanya mengenakan gaun yang sangat cantik dan para
Laureta menatap kedua tangannya yang gemetar. Ia pikir ia sudah gila karena menyerahkan amplop berisi cek satu setengah milyar. Laureta menepi di pinggir jalan, lalu menangis sejadi-jadinya. Ia tak kuasa lagi menahan semua emosi yang ada di dalam dadanya.Demi Tuhan, ia baru saja bertemu dengan Kian Aleandro, pria yang pernah menjadi suaminya. Meski pertemuannya hanya berlangsung selama beberapa menit, tapi efeknya luar biasa. Sekujur tubuhnya gemetar dan ia kesusahan untuk menginjak gas di kakinya.Dengan susah payah, Laureta menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Lalu ia pun kembali menangis sambil menutup muka dengan kedua tangannya.Kian begitu tampan mempesona. Tatapan matanya begitu tajam seperti biasanya dan seakan Laureta bisa tenggelam di dalamnya. Lalu pria itu memeluknya begitu saja.Hati Laureta dilingkupi oleh kehangatan yang tak pernah ia rasakan selama lebih dari satu tahun ini. Perasaannya jungkir balik seolah kakinya ber
Kian mendongak dan semua seolah terjadi dalam adegan lambat. Ia melihat Laureta masuk ke dalam ruangan dalam balutan kaus hitam ketat dengan potongan leher berbentuk kotak. Bagian lengannya berbahan tile halus hingga kulitnya jadi terlihat samar-samar. Bagian bawahnya ia mengenakan celana cargo dengan banyak kantung yang membuatnya tampak sangat keren.Kian terkesima melihat wanita yang pernah menjadi istrinya itu muncul lagi dalam hidupnya. Laureta tidak pernah terlihat secantik dan seanggun itu dalam hidupnya. Laureta terlihat tomboy, tapi juga elegan dalam waktu bersamaan.“Maaf aku terlambat,” ucapnya dengan suara yang terdengar amat merdu di kuping Kian.Tergerak untuk langsung melompat dari kursi dan memeluk wanita itu, Kian pun menahan dirinya.“Kamu memotong rambutmu,” ucap Kian yang masih melongo.Kalimat pertama yang ia ucapkan malah terdengar konyol dan tidak penting sama sekali. Ia jadi terlihat sangat bodoh di h
Betapa sedihnya Kian karena ia harus menerima kenyataan jika Laureta memang tidak mau bertemu lagi dengannya.“Ya. Kamu sudah membuatnya merasa terbuang dari rumahmu itu. Semua orang membencinya karena kalian menyebutnya anak perampok. Dia tidak mau menghalangimu untuk menikah dengan wanita yang kamu cintai. Ha! Kamu pun menikah dengan Helga, tapi kamu menyia-nyiakannya hingga dia harus mengembuskan napas terakhirnya.”“Aku tidak mencintai Helga. Aku menikah dengannya karena ayahku yang memaksa. Dan satu hal lagi, aku tidak pernah menyebut Laura dengan sebutan anak perampok. Akulah yang memintanya untuk menikah denganku meski aku tahu ayahnya seperti apa.”“Kamu terpaksa menikahi Laureta karena kamu ingin dia membayar utang ayahnya!” hardik Ivan. “Kamu pikir uang satu setengah milyar cukup untuk membayar seorang wanita untuk memuaskan nafsumu dan melahirkan seorang anak?”Kian pun terdiam. Ivan benar-benar t
Semalaman itu Kian benar-benar tidak bisa tidur. Ia mengingat tatapan Laureta saat melihatnya. Wanita itu jelas-jelas terkejut melihatnya. Lalu seperti ada sorot ketakutan yang membuatnya langsung memutuskan untuk kabur dari Kian.Lalu anak bayi itu. Anak siapakah itu? Bagaimana mungkin Ivan menikah dengan Laureta dan melahirkan anaknya? Kian pikir, Ivan masih mencintai Helga. Jika dilihat dari usia bayi itu dan waktu untuk mengandung selama sembilan bulan, Ivan mungkin sudah lama menikah dengan Laureta.Mana mungkin? Batin Kian menolak semua pemikiran itu.Entah sudah berapa kali Kian menghubungi Ivan hingga ponselnya pun tidak aktif lagi. Ivan benar-benar menghindarinya.Ia melihat jam di dinding dan memutuskan untuk bangun. Ia menyiapkan diri dan segera turun untuk sarapan. Marisa sudah ada di ruang makan lebih dulu.“Pagi, Kian,” sapa Marisa.“Pagi,” jawab Kian singkat yang langsung menuangkan kopi ke dalam cangki
Desti tampak bingung mendengar pernyataan Kian.“Tante Laureta? Kenapa? Bukankah kalian sudah berpisah lama?”Kian mendesah. “Aku selalu mencintai Laura, lebih dari apa pun. Aku menikah dengan Helga karena terpaksa, hanya untuk memenuhi keinginan kakekmu.”“Kenapa Om mau menurut?”“Ya, banyak hal yang membuatku harus menurut pada keinginan kakek.”Desti mengangguk dengan bibir yang tertekuk ke bawah. “Om pasti sedih sekali ya ditinggal wanita yang Om cintai.”“Kenapa kita tidak membahas tentangmu? Siapa itu Erik? Teman atau teman?”Desti tersenyum. “Teman, Om. Benar! Aku dan dia belum jadian.”“Baguslah! Tidak usah berpacaran dengan laki-laki yang meninggalkanmu di mall yang besar seperti ini! Nanti kamu menyesal. Cari lagi pria lain yang sepadan denganmu.”“Aku sebenarnya suka pria yang lebih tua dariku, seperti Om Kian