Sebuah mobil SUV hitam mewah memasuki sebuah rumah megah bagai istana. Pintu pagar otomatis tertutup sendiri ketika mobil itu sudah lewat. Seorang pelayan menyambut sang majikannya yang baru saja turun dari mobil.
“Kian!” seru seorang wanita dengan wajah yang cemas. “Ini sudah malam, kenapa kamu baru pulang? Papa sudah menunggumu sejak sore tadi.”
Kian mendecak kesal, lalu menghela napasnya dengan wajah bosan. “Ma, aku kan sudah bilang, aku sedang sibuk. Untuk apa papa menungguku? Kalau ada hal yang penting, dia bisa meneleponku kapan saja.”
Ibunya menggamit lengan Kian, lalu mereka sama-sama masuk ke dalam rumah. Sang pelayan telah terlebih dahulu berjalan untuk membawakan tas kerja Kian.
“Hal ini sangat penting, tidak bisa hanya dibicarakan lewat telepon,” ujar ibunya kalem.
“Hmmm, baiklah.”
Kian dan ibunya berjalan bersama menaikki tangga ke lantai dua rumahnya. Kian menggosok matanya yang terasa tidak nyaman karena wanita yang baru ditabraknya tadi telah melemparinya dengan uang dan mengenai matanya.
“Mata kamu kenapa, Kian?”
“Ah, mataku kelilipan, Ma. Tidak apa-apa.”
“Mau Mama ambilkan obat tetes mata?”
“Tidak usah. Aku baik-baik saja, Ma,” dusta Kian.
Sebenarnya, matanya masih terasa tidak nyaman, tapi ia tidak akan menghiraukannya lagi. Sebentar lagi, ia akan menghadapi ayahnya. Sepertinya ia tahu apa yang akan ayahnya katakan padanya.
“Ma, kenapa tidak besok lagi saja mengobrolnya? Aku lelah, mau istirahat,” keluh Kian.
Ibunya menatap sang putra sambil tersenyum. Senyumannya begitu manis, satu-satunya hal yang mirip antara Kian dan ibunya. Wajah Kian lebih banyak mirip dengan ayahnya.
“Kamu pasti sudah tahu papa kamu mau bicara tentang apa, ya kan?”
“Aku bosan, Ma. Kalau sampai papa bahas terus tentang—”
“Tentang apa?” tanya ayahnya dengan suara yang lantang, memotong ucapan Kian.
Sang ayah berdiri di hadapannya. Tubuhnya tegap dan tinggi sama seperti Kian. Pria itu menatap Kian dengan wajah tidak suka. Kian memutar bola matanya, kemudian menghampiri ayahnya.
“Papa mau bicara tentang apa denganku?”
“Ikut Papa ke ruang kerja!” perintah ayahnya yang tidak bisa dibantah lagi.
Kian dan ibunya mengikuti ayahnya ke ruang kerja yang letaknya tidak jauh dari sana. Ruangan itu berpenerangan lampu kuning hangat. Namun, kesannya tetap saja menegangkan. Itu semua karena Kian tahu apa yang akan ayahnya bahas kali ini.
Kian duduk di sofa merah tua yang empuk di hadapan ayahnya, lalu menyilangkan kakinya.
“Sudah puas main-mainnya, Kian?” tanya ayahnya tanpa judul.
“Main apa, Pa? Aku kerja terus.”
“Papa tahu, kamu itu orangnya pekerja keras. Maksud Papa bukan itu. Usia kamu itu sudah empat puluh. Kepala empat, Nak! Kamu itu sudah tidak muda lagi. Mau sampai kapan kamu main-main untuk mencari istri?”
“Bahas istri lagi.” Kian menghela napas sambil menatap lantai. Entah sudah berapa ratus kali ayahnya membahas terus tentang hal ini.
“Waktu Papa seumuran kamu, anak Papa itu sudah empat. Nama kamu itu akan Papa cantumkan di surat wasiat Papa! Memangnya kamu mau Papa mati tidak tenang karena kamu belum menikah?”
“Papa tidak perlu bicara yang tidak-tidak,” cetus Kian.
“Papa ini sudah kakek-kakek, sudah punya cucu enam.”
“Ya sudah, itu artinya Papa tidak butuh cucu tambahan lagi.”
Ibunya langsung memberi tanda pada Kian untuk tidak banyak bicara. Kian paham, tapi tetap saja ia ingin melawan kata-kata ayahnya.
“Pokoknya Papa tidak mau tahu! Kalau sampai akhir tahun ini, kamu masih belum menemukan calon istri, Papa tidak akan memasukkan nama kamu dalam daftar ahli waris. Biar anaknya Elisa saja yang memegang The Prince. Kamu maunya seperti itu?”
Kini, ayahnya mengancam Kian seolah hidup ayahnya itu tidak akan lama lagi dan semua ini tergantung pada Kian. Walau sebenarnya Kian tidak menginginkan harta kekayaan ayahnya, tapi ia juga tidak akan rela jika keponakannya itu yang akan menjalankan The Prince.
“Papa, memangnya mencari istri itu semudah membalikkan telapak tangan? Aku juga sudah berusaha, tapi karena aku sibuk bekerja jadi aku tidak sempat untuk berkencan.”
“Papa tidak menerima alasan apa pun! Kamu harus menikah tahun ini juga dan pastikan kamu memberi Papa cucu laki-laki. Paham?” Ayahnya menatap Kian dengan tatapan sengit nan tajam.
“Cucu laki-laki?”
Lalu ayahnya berdiri dan menarik tangan ibunya. “Ayo, Ma kita istirahat! Sudah jam berapa ini? Dari tadi menunggu Kian, lama sekali pulangnya.”
“Ini sudah jam sepuluh malam, Pa,” jawab ibunya. “Papa harus minum obat dulu sebelum tidur.”
“Baiklah.”
Lalu ayah dan ibunya pergi meninggalkan Kian di ruang kerja sendirian. Kian termenung memikirkan tentang mencari istri dalam waktu singkat. Sudah lama ia tidak pernah berkencan dengan wanita mana pun juga selain satu wanita yang telah lama ia tinggalkan.
Kian mengacak rambutnya, lalu bangkit berdiri. Ia masuk ke kamarnya, lalu mandi. Selama di kamar mandi, ia memikirkan terus tentang hal ini.
Biasanya, Kian akan selalu mengabaikan perkataan ayahnya tentang mencari istri karena saat sepuluh tahun yang lalu, hal itu terdengar konyol dan tidak masuk akal. Usia tiga puluh saatnya berkarir. Mana mungkin ia menikah semuda itu.
Tidak seperti Kian, kakak perempuannya, Elisa menikah di usia muda. Tidak heran jika keponakannya sekarang sudah dewasa. Kedua adiknya Kian pun sudah menikah dan memiliki anak. Hanya tinggal Kian yang masih sendiri.
Ayahnya benar, usia empat puluh memang sudah tidak muda lagi. Haruskah Kian mencari wanita di pinggir jalan yang mau dengannya dan kemudian menikahinya begitu saja?
Kian baru saja selesai mandi. Sambil mengenakan pakaian, ia membayangkan wanita yang baru saja ia tabrak. Wanita itu tampak sangat berotot. Sepertinya wanita itu baru selesai berolahraga.
Wanita itu mengenakan pakaian olahraga yang ketat, memperlihatkan lekuk tubuhnya yang atletis. Sama sekali tidak mengenakan jaket untuk melindungi tubuhnya. Otot di tangan dan betisnya begitu kekar. Jarang sekali Kian melihat wanita yang seperti itu.
Jika diingat-ingat lagi, wajahnya lumayan cantik meski Kian sudah lupa lagi. Ia hanya melihat wajah wanita itu sekilas saja karena terlalu sibuk memperhatikan otot tangannya.
“Berani-beraninya,” ujar Kian saat mengingat wanita itu telah melempari wajahnya dengan uang.
Semua itu memang salahnya sendiri karena telah melempar uang itu lebih dulu. Kian bersikap begitu karena takut jika wanita itu akan merampoknya. Lebih baik menghindar daripada harus berurusan dengan preman. Apakah wanita itu preman? Kian tidak yakin.
Ponsel Kian bergetar, ada telepon masuk.
“Ya, Clara?”
“Halo, Pak. Maaf saya menelepon malam-malam. Sepertinya saya sudah menemukan pelaku yang telah menggelapkan uang perusahaan.”
Mata Kian melebar. “Serius? Siapa orangnya?”
“Pak Reno, Pak. Saya memiliki bukti yang kuat kalau dialah orangnya. Sebaiknya Bapak langsung memanggil polisi dan menangkapnya.”
“Reno? Bagian keuangan itu?”
“Ya, betul sekali, Pak!” seru Clara, sekretarisnya.
“Oke, besok kita datangi rumahnya. Aku akan membawa polisi. Tolong kirim berkas-berkasnya ke surel saya sekarang juga!”
“Baik, Pak.”
Kian menutup teleponnya dengan geram. Akhirnya, ia bisa menemukan orang yang telah menggelapkan uang perusahaan. Tidak tanggung-tanggung, Kian mengalami kerugian sebesar satu setengah milyar. Ia akan meringkus orang itu segera.
Semalaman, Laureta tidak bisa tidur nyenyak. Tubuhnya terasa pegal-pegal karena ia baru saja mengalami kecelakaan. Belum lagi, ia masih terus menangisi Erwin yang tega mencampakkannya demi Valentina si wanita gatal.Jika mengingat lagi akan hal itu, Laureta bisa menangis lagi. Matanya sudah bengkak dan perih. Menangis lagi hanya akan membuatnya dehidrasi.Ponselnya berbunyi, Laureta mengangkatnya.“Halo, Reks,” ucapnya parau.“Ta, kamu ada di mana? Ini sudah kesiangan. Apa kamu tidak akan ke studio sekarang?” cecar Reksiana, sahabatnya.“Aku masih di rumah. Maaf ya, Reks. Hari ini aku tidak akan mengajar zumba dulu. Kamu tolong gantikan aku ya. Kali ini saja.”“Eh, apa yang terjadi? Kamu langsung pergi begitu saja waktu aku memberitahumu soal Erwin. Apa kamu sudah menemuinya?”Hening sejenak. Laureta tak sanggup menceritakannya pada Reksi. Namun, tak ada lagi yang lebih paham akan kehidupannya selain Reksi. Jadi, Laureta pun menceritakan segalanya. Syukurlah, air matanya bisa tertahan
Dunia ini memang sempit hingga Kian pikir, ia mungkin hanya berputar-putar di tempat yang sama. Bagaimana bisa ia malah bertemu dengan wanita yang baru saja ia tabrak semalam? Mengapa harus wanita itu lagi?Menangkap penjahat seperti Reno, bukan perkara yang sulit bagi Kian. Ia bahkan berencana untuk membuat Reno dipenjara seumur hidup dan membuat keluarganya menderita selamanya. Namun, begitu melihat wanita itu, seketika iman Kian goyah.Ternyata wanita itu adalah putrinya Reno. Kian pun berusaha menenangkan dirinya dan tetap bersikap senormal mungkin.“Aku akan melakukan apa saja!” ucap wanita itu penuh keyakinan.Apa yang Kian butuhkan saat ini hanyalah mendapatkan seorang istri, lebih dari apa pun. Ucapan ayahnya semalam terdengar seperti sebuah ancaman yang serius. Kian tidak akan membiarkan keponakannya yang mengambil alih The Prince.“Menikahlah denganku.”Kian menatap wanita yang sampai sekarang belum ia ketahui namanya. Air mata membasahi wajahnya yang tampak lusuh. Terdapat
Laureta merasa dirinya bagai orang lain saat ia melihat bayangannya dari pantulan kaca yang ada di tembok. Gaun biru itu terlihat sangat mahal. Sepatu hak tingginya sekitar tujuh senti, tapi anehnya terasa sangat nyaman.Rumah itu begitu mewah hingga ia pikir, ia sedang berada di alam mimpi. Seumur hidupnya, ia tidak pernah masuk ke dalam istana. Semua perabotan di rumah itu tampak elegan dan pasti mahal.Laureta mengatur napasnya untuk menenangkan diri, sementara Kian berjalan di sebelahnya tampak bagai seorang bangsawan dan Laureta hanyalah seorang rakyat jelata.Seorang wanita menyambut mereka. Ia memeluk Kian dan kemudian dengan ramah menanyakan tentang Laureta.“Kenalkan, ini Laureta, Ma.”“Ah, nama yang sangat cantik,” puji sang ibu dengan senyum yang sangat manis. Laureta salim pada sang ibu sambil memaksakan senyumnya. “Pa, ini calonnya Kian.”Seorang pria bertubuh tinggi yang sama seperti Kian menghampiri mereka. Wajahnya sungguh tidak ramah, jauh lebih dingin dari Kian. Laur
Kian menatap wajah Laureta yang kini telah resmi menjadi istrinya. Wanita itu tampak tercengang setelah Kian mengatakan bahwa Erwin adalah keponakannya. Wajahnya jadi tampak menggemaskan. Kian tersenyum tipis.Melihat penampilan Laureta saat ini membuat Kian terpesona. Seingatnya, wanita itu hanyalah seorang wanita sederhana yang tidak pernah mencoba untuk melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri.Riasan di wajahnya benar-benar pas, membuatnya semakin cantik. Kian tidak merasa rugi membayar gaun pernikahan mewah yang tengah wanita itu kenakan.Dengan kata lain, wanita yang sedang ia pegang tangannya adalah wanita yang tepat untuk ia jadikan istri. Kian mengangkat dagunya, merasa bangga karena akhirnya ia telah menikah.Pesta malam itu berlangsung meriah. Sekarang sudah pukul sepuluh malam. Kian dan Laureta sedang berada di kamar hotel The Prince. Kian memesan kamar terbaik di hotelnya sendiri.Kamar pengantin itu telah dihias sedemikian rupa dengan bunga mawar merah yang bertebaran di
Laureta merasa agak risih melihat cara Kian menatapnya. Pria itu seperti yang hendak memakannya hiduk-hidup. Ia jadi merasa setiap kali berada bersama dengan Kian, pria itu seperti predator dan Laureta adalah mangsanya.Sejujurnya, Laureta takut dengan apa yang akan terjadi malam ini. Sama seperti tadi, Laureta gemetar bukan main saat pria itu melepaskan gaun pengantin dan korsetnya. Kalau saja Laureta tidak segera kabur ke kamar mandi, mungkin pria itu akan menerkamnya dalam hitungan detik.Laureta mengatur napasnya, lalu membuka mulut untuk bicara. Dilihatnya makanan yang tersedia di meja. Asapnya mengepul dan mengeluarkan aroma yang lezat. Perut Laureta langsung meraung-raung meminta makan.“Kamu memesan makanan?” tanya Laureta agar keras untuk menyamarkan suara perutnya.Kian menegakkan tubuhnya, lalu berdeham sekali. “Ya. Makanlah!”Suaranya yang dalam membuat Laureta jadi salah tingkah. Ia mengangguk sekali, lalu duduk di meja makan bundar yang terbuat dari kaca. Di sana sudah t
Kian memijat tulang hidungnya. Pukulan wanita itu sungguh keras sekali. Kian jadi khawatir jika wanita itu bisa menghajarnya sampai babak belur. Sebenarnya, Kian juga bisa bela diri. Namun, ia tidak mungkin melawan Laureta.Setelah dipikir-pikir, ia bisa saja melawan wanita itu dan kedudukan mereka seri.“Maafkan aku.”Sungguh Kian tidak menginginkan Laureta mengucapkan maaf. Ia yang salah karena telah menghampiri wanita itu tiba-tiba. Ia jadi malu sekali. Ia hanya menjawab Laureta dengan gumaman singkat.“Kenapa kamu bisa ada di sebelahku?” tanya wanita itu. Kian memejamkan matanya sambil mengingat apa tujuannya menghampiri wanita itu.“Aku tidak suka tidur di sofa,” jawab Kian berdusta. Sebenarnya bukan itu alasan utamanya.“Oh, maafkan aku. Biar aku saja yang tidur di sofa,” kata Laureta yang hendak beranjak dari sana.Kian segera menahan tangan wanita itu. “Tidak perlu! Kamu tidur saja di sini.”Laureta melebarkan matanya. “Lalu bagaimana denganmu?”“Aku bisa tidur di sebelah sini
Sebuah sentuhan di kulitnya membuat Laureta terbangun dari tidurnya. Ia membuka mata dan sekali lagi terkejut bukan main. Dalam kurun waktu kurang dari dua puluh empat jam, ia sudah dua kali terkena serangan jantung.Kian menarik tangannya, lalu duduk di kasur. Laureta yakin benar jika pria itu baru saja menyentuhnya.“Apa yang baru saja kamu lakukan?” tanya Laureta dengan suara parau.Kian berdeham. “Secara sah, kamu adalah istriku. Aku bebas melakukan apa saja padamu.”Laureta menyadari hal itu meski rasanya menyakitkan. Ia tidak suka jika pria itu menyentuhnya seperti semalam. Ia pikir, ia akan kehilangan keperawanannya malam itu juga. Tanpa disangka, Kian malah pergi begitu saja.“Jadi …, aku harus bagaimana?”Kian mendengus mengejek mendengar perkataan Laureta. “Laura, kamu itu lucu sekali. Semalam itu memang kesalahanku. Kita bisa melakukannya lagi lain kali.”Laureta mengangguk patuh. Lain kali. Tentu saja akan ada lain kali. Ia harus mempersiapkan dirinya jika sampai pria itu
Laureta menelan ludahnya. Ia kembali duduk ke kursinya dan menghabiskan sarapannya yang terasa mengganjal di tenggorokannya. Perutnya seperti yang masih kenyang karena semalam ia makan sangat banyak.Jam makannya jadi kacau. Begitu pula jam tidurnya. Laureta masih ingin tidur di kasur hotel yang empuk, tapi mereka sudah harus berangkat setengah jam lagi.Sepanjang sarapan itu, Kian tampak sibuk sekali. Ia beberapa kali menerima telepon.“Kian, apa kamu tidak akan makan?” tanya Laureta saat pria itu baru menutup telepon.“Hmmm,” jawab Kian sambil matanya menatap ponsel.Sungguh jawaban khas Kian, Laureta harus membiasakan dirinya. Sepertinya, pria itu tidak makan apa pun. Setelah itu, mereka pun kembali ke kamar untuk bersiap-siap.Laureta agak terkejut melihat kopernya sudah rapi. Kasurnya pun tampak seperti yang belum pernah dipakai sama sekali. Pekerja house keeping benar-benar bekerja dengan maksimal.Kian berbicara dalam bahasa Inggris di telepon sambil tersenyum beberapa kali. Bi
Zion adalah anak yang sangat lucu dan pintar. Di usianya yang menginjak lima bulan, anak itu sudah bisa diajak bercanda. Siapa pun yang bertemu dengannya pasti akan gemas dengan tingkah lakunya.Hari itu adalah pertama kalinya Kian bertemu dengan Zion. Kian tampak tegang sekali seperti hendak bertemu dengan presiden. Laureta terkekeh sejak tadi menertawakan sikap Kian.Laureta baru saja pulang kerja dan Kian yang menjemputnya. Pria itu menyetir mobil menuju ke rumahnya tanpa Laureta perlu menunjukkan arah seolah ia sudah tahu alamatnya di mana.“Bagaimana kamu bisa tahu alamat rumahku? Ah, kamu memang memata-mataiku, ya kan.”Kian tidak menggubris candaannya. Pria itu fokus menyetir hingga berhenti di depan rumahnya.“Aku memang pernah mengikuti Ivan sampai ke rumah ini. Aku ingin tahu apakah benar kamu tinggal bersama dengannya di sini,” ungkap Kian.Laureta pun tersenyum. “Ya sudah. Kali ini aku akan memaafkan
Kian memutar tubuh Laureta, lalu wanita itu pun menengadahkan kepalanya sambil mengangkat kakinya hingga berada dalam dekapan Kian. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti.Kian pun mendekatkan bibirnya dan mencium Laureta dengan lembut. Laureta pikir lututnya akan goyah hingga ia tidak sanggup untuk berpijak di bumi. Namun, Kian menopangnya, mendekapnya dengan erat.Laureta pun membalas ciuman itu. Ia yakin sekali jika dalam hidupnya, ia hanya mencintai satu pria, yaitu Kian seorang. Susah payah ia menutupi perasaannya, tapi ia tak akan sanggup. Kian benar-benar telah mencuri hatinya.Usai ciuman yang memabukkan itu, Kian pun melepaskan diri. Napas mereka sama-sama saling memburu. Kian mengeluarkan sesuatu dari saku jasnya, lalu berlutut di hadapan Laureta.“Laureta Widya, maukah kamu menikah denganku? Lagi?”Laureta terkesima menatap cincin berlian di dalam kotak mungil berwarna merah. Ia pun mengangguk dan berkata, “Ya, aku
Laureta tersenyum membaca pesan singkat dari Ivan. “Pacar?” gumamnya.“Ada apa?” tanya Kian.“Uhm, tidak ada apa-apa.”“Ayolah! Aku ingin tahu. Kamu tadi bilang pacar. Pacar siapa?”Kian merebut ponselnya dari tangannya. Ia malu sekali saat Kian membaca pesan itu dari Ivan. Kian pun tertawa lepas.“Astaga! Jadi, apakah aku harus memanggil Ivan kakak mulai sekarang? Dia itu kakakmu kan?”Laureta terkekeh. “Mungkin begitu. Dia pernah menyuruhku untuk memanggilnya kakak, tapi aku tidak mau.”“Kenapa? Sepertinya usianya lebih tua darimu.” Kian menautkan alisnya, tapi Laureta menggelengkan kepala. “Kamu saja selalu memanggilku nama padahal usia kita terpaut delapan belas tahun. Atau mungkin sekarang aku punya panggilan baru?”“Apa itu?”“Papa?”Laureta terkejut. “Papa? Kamu kan bukan ayahku!&rdq
“Kamu siap?” tanya Ivan sambil mengulurkan tangannya pada Laureta.Ia tersenyum dan kemudian menyerahkan tangannya pada Ivan. Ia baru saja turun dari mobil. Lalu mereka berjalan bergandengan, masuk ke dalam gedung mewah. Di dalam sana sedang ada acara pernikahan seorang anak pengusaha importir, rekan kerjanya Ivan.Sebenarnya, Laureta tidak perlu datang ke sini karena ia sama sekali tidak mengenal siapa pun di sini. Namun, Ivan bersikeras mengajaknya karena menurutnya Laureta pasti akan senang mencicipi berbagai macam makanan yang unik-unik di sana.Laureta pun terpaksa ikut. Ia melangkahkan kakinya dengan penuh percaya diri. Ivan membelikannya gaun yang ia pakai sekarang. Gaun itu berwarna biru tua dengan belahan rok yang tinggi hingga menampilkan kakinya yang tampak jenjang berbalut sepatu hak tinggi bertali hingga ke betisnya.Banyak sekali tamu yang datang ke acara pernikahan itu. Semua wanitanya mengenakan gaun yang sangat cantik dan para
Laureta menatap kedua tangannya yang gemetar. Ia pikir ia sudah gila karena menyerahkan amplop berisi cek satu setengah milyar. Laureta menepi di pinggir jalan, lalu menangis sejadi-jadinya. Ia tak kuasa lagi menahan semua emosi yang ada di dalam dadanya.Demi Tuhan, ia baru saja bertemu dengan Kian Aleandro, pria yang pernah menjadi suaminya. Meski pertemuannya hanya berlangsung selama beberapa menit, tapi efeknya luar biasa. Sekujur tubuhnya gemetar dan ia kesusahan untuk menginjak gas di kakinya.Dengan susah payah, Laureta menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya. Lalu ia pun kembali menangis sambil menutup muka dengan kedua tangannya.Kian begitu tampan mempesona. Tatapan matanya begitu tajam seperti biasanya dan seakan Laureta bisa tenggelam di dalamnya. Lalu pria itu memeluknya begitu saja.Hati Laureta dilingkupi oleh kehangatan yang tak pernah ia rasakan selama lebih dari satu tahun ini. Perasaannya jungkir balik seolah kakinya ber
Kian mendongak dan semua seolah terjadi dalam adegan lambat. Ia melihat Laureta masuk ke dalam ruangan dalam balutan kaus hitam ketat dengan potongan leher berbentuk kotak. Bagian lengannya berbahan tile halus hingga kulitnya jadi terlihat samar-samar. Bagian bawahnya ia mengenakan celana cargo dengan banyak kantung yang membuatnya tampak sangat keren.Kian terkesima melihat wanita yang pernah menjadi istrinya itu muncul lagi dalam hidupnya. Laureta tidak pernah terlihat secantik dan seanggun itu dalam hidupnya. Laureta terlihat tomboy, tapi juga elegan dalam waktu bersamaan.“Maaf aku terlambat,” ucapnya dengan suara yang terdengar amat merdu di kuping Kian.Tergerak untuk langsung melompat dari kursi dan memeluk wanita itu, Kian pun menahan dirinya.“Kamu memotong rambutmu,” ucap Kian yang masih melongo.Kalimat pertama yang ia ucapkan malah terdengar konyol dan tidak penting sama sekali. Ia jadi terlihat sangat bodoh di h
Betapa sedihnya Kian karena ia harus menerima kenyataan jika Laureta memang tidak mau bertemu lagi dengannya.“Ya. Kamu sudah membuatnya merasa terbuang dari rumahmu itu. Semua orang membencinya karena kalian menyebutnya anak perampok. Dia tidak mau menghalangimu untuk menikah dengan wanita yang kamu cintai. Ha! Kamu pun menikah dengan Helga, tapi kamu menyia-nyiakannya hingga dia harus mengembuskan napas terakhirnya.”“Aku tidak mencintai Helga. Aku menikah dengannya karena ayahku yang memaksa. Dan satu hal lagi, aku tidak pernah menyebut Laura dengan sebutan anak perampok. Akulah yang memintanya untuk menikah denganku meski aku tahu ayahnya seperti apa.”“Kamu terpaksa menikahi Laureta karena kamu ingin dia membayar utang ayahnya!” hardik Ivan. “Kamu pikir uang satu setengah milyar cukup untuk membayar seorang wanita untuk memuaskan nafsumu dan melahirkan seorang anak?”Kian pun terdiam. Ivan benar-benar t
Semalaman itu Kian benar-benar tidak bisa tidur. Ia mengingat tatapan Laureta saat melihatnya. Wanita itu jelas-jelas terkejut melihatnya. Lalu seperti ada sorot ketakutan yang membuatnya langsung memutuskan untuk kabur dari Kian.Lalu anak bayi itu. Anak siapakah itu? Bagaimana mungkin Ivan menikah dengan Laureta dan melahirkan anaknya? Kian pikir, Ivan masih mencintai Helga. Jika dilihat dari usia bayi itu dan waktu untuk mengandung selama sembilan bulan, Ivan mungkin sudah lama menikah dengan Laureta.Mana mungkin? Batin Kian menolak semua pemikiran itu.Entah sudah berapa kali Kian menghubungi Ivan hingga ponselnya pun tidak aktif lagi. Ivan benar-benar menghindarinya.Ia melihat jam di dinding dan memutuskan untuk bangun. Ia menyiapkan diri dan segera turun untuk sarapan. Marisa sudah ada di ruang makan lebih dulu.“Pagi, Kian,” sapa Marisa.“Pagi,” jawab Kian singkat yang langsung menuangkan kopi ke dalam cangki
Desti tampak bingung mendengar pernyataan Kian.“Tante Laureta? Kenapa? Bukankah kalian sudah berpisah lama?”Kian mendesah. “Aku selalu mencintai Laura, lebih dari apa pun. Aku menikah dengan Helga karena terpaksa, hanya untuk memenuhi keinginan kakekmu.”“Kenapa Om mau menurut?”“Ya, banyak hal yang membuatku harus menurut pada keinginan kakek.”Desti mengangguk dengan bibir yang tertekuk ke bawah. “Om pasti sedih sekali ya ditinggal wanita yang Om cintai.”“Kenapa kita tidak membahas tentangmu? Siapa itu Erik? Teman atau teman?”Desti tersenyum. “Teman, Om. Benar! Aku dan dia belum jadian.”“Baguslah! Tidak usah berpacaran dengan laki-laki yang meninggalkanmu di mall yang besar seperti ini! Nanti kamu menyesal. Cari lagi pria lain yang sepadan denganmu.”“Aku sebenarnya suka pria yang lebih tua dariku, seperti Om Kian