Share

2. Mencari Istri

Sebuah mobil SUV hitam mewah memasuki sebuah rumah megah bagai istana. Pintu pagar otomatis tertutup sendiri ketika mobil itu sudah lewat. Seorang pelayan menyambut sang majikannya yang baru saja turun dari mobil.

“Kian!” seru seorang wanita dengan wajah yang cemas. “Ini sudah malam, kenapa kamu baru pulang? Papa sudah menunggumu sejak sore tadi.”

Kian mendecak kesal, lalu menghela napasnya dengan wajah bosan. “Ma, aku kan sudah bilang, aku sedang sibuk. Untuk apa papa menungguku? Kalau ada hal yang penting, dia bisa meneleponku kapan saja.”

Ibunya menggamit lengan Kian, lalu mereka sama-sama masuk ke dalam rumah. Sang pelayan telah terlebih dahulu berjalan untuk membawakan tas kerja Kian.

“Hal ini sangat penting, tidak bisa hanya dibicarakan lewat telepon,” ujar ibunya kalem.

“Hmmm, baiklah.”

Kian dan ibunya berjalan bersama menaikki tangga ke lantai dua rumahnya. Kian menggosok matanya yang terasa tidak nyaman karena wanita yang baru ditabraknya tadi telah melemparinya dengan uang dan mengenai matanya.

“Mata kamu kenapa, Kian?”

“Ah, mataku kelilipan, Ma. Tidak apa-apa.”

“Mau Mama ambilkan obat tetes mata?”

“Tidak usah. Aku baik-baik saja, Ma,” dusta Kian.

Sebenarnya, matanya masih terasa tidak nyaman, tapi ia tidak akan menghiraukannya lagi. Sebentar lagi, ia akan menghadapi ayahnya. Sepertinya ia tahu apa yang akan ayahnya katakan padanya.

“Ma, kenapa tidak besok lagi saja mengobrolnya? Aku lelah, mau istirahat,” keluh Kian.

Ibunya menatap sang putra sambil tersenyum. Senyumannya begitu manis, satu-satunya hal yang mirip antara Kian dan ibunya. Wajah Kian lebih banyak mirip dengan ayahnya.

“Kamu pasti sudah tahu papa kamu mau bicara tentang apa, ya kan?”

“Aku bosan, Ma. Kalau sampai papa bahas terus tentang—”

“Tentang apa?” tanya ayahnya dengan suara yang lantang, memotong ucapan Kian.

Sang ayah berdiri di hadapannya. Tubuhnya tegap dan tinggi sama seperti Kian. Pria itu menatap Kian dengan wajah tidak suka. Kian memutar bola matanya, kemudian menghampiri ayahnya.

“Papa mau bicara tentang apa denganku?”

“Ikut Papa ke ruang kerja!” perintah ayahnya yang tidak bisa dibantah lagi.

Kian dan ibunya mengikuti ayahnya ke ruang kerja yang letaknya tidak jauh dari sana. Ruangan itu berpenerangan lampu kuning hangat. Namun, kesannya tetap saja menegangkan. Itu semua karena Kian tahu apa yang akan ayahnya bahas kali ini.

Kian duduk di sofa merah tua yang empuk di hadapan ayahnya, lalu menyilangkan kakinya.

“Sudah puas main-mainnya, Kian?” tanya ayahnya tanpa judul.

“Main apa, Pa? Aku kerja terus.”

“Papa tahu, kamu itu orangnya pekerja keras. Maksud Papa bukan itu. Usia kamu itu sudah empat puluh. Kepala empat, Nak! Kamu itu sudah tidak muda lagi. Mau sampai kapan kamu main-main untuk mencari istri?”

“Bahas istri lagi.” Kian menghela napas sambil menatap lantai. Entah sudah berapa ratus kali ayahnya membahas terus tentang hal ini.

“Waktu Papa seumuran kamu, anak Papa itu sudah empat. Nama kamu itu akan Papa cantumkan di surat wasiat Papa! Memangnya kamu mau Papa mati tidak tenang karena kamu belum menikah?”

“Papa tidak perlu bicara yang tidak-tidak,” cetus Kian.

“Papa ini sudah kakek-kakek, sudah punya cucu enam.”

“Ya sudah, itu artinya Papa tidak butuh cucu tambahan lagi.”

Ibunya langsung memberi tanda pada Kian untuk tidak banyak bicara. Kian paham, tapi tetap saja ia ingin melawan kata-kata ayahnya.

“Pokoknya Papa tidak mau tahu! Kalau sampai akhir tahun ini, kamu masih belum menemukan calon istri, Papa tidak akan memasukkan nama kamu dalam daftar ahli waris. Biar anaknya Elisa saja yang memegang The Prince. Kamu maunya seperti itu?”

Kini, ayahnya mengancam Kian seolah hidup ayahnya itu tidak akan lama lagi dan semua ini tergantung pada Kian. Walau sebenarnya Kian tidak menginginkan harta kekayaan ayahnya, tapi ia juga tidak akan rela jika keponakannya itu yang akan menjalankan The Prince.

“Papa, memangnya mencari istri itu semudah membalikkan telapak tangan? Aku juga sudah berusaha, tapi karena aku sibuk bekerja jadi aku tidak sempat untuk berkencan.”

“Papa tidak menerima alasan apa pun! Kamu harus menikah tahun ini juga dan pastikan kamu memberi Papa cucu laki-laki. Paham?” Ayahnya menatap Kian dengan tatapan sengit nan tajam.

“Cucu laki-laki?”

Lalu ayahnya berdiri dan menarik tangan ibunya. “Ayo, Ma kita istirahat! Sudah jam berapa ini? Dari tadi menunggu Kian, lama sekali pulangnya.”

“Ini sudah jam sepuluh malam, Pa,” jawab ibunya. “Papa harus minum obat dulu sebelum tidur.”

“Baiklah.”

Lalu ayah dan ibunya pergi meninggalkan Kian di ruang kerja sendirian. Kian termenung memikirkan tentang mencari istri dalam waktu singkat. Sudah lama ia tidak pernah berkencan dengan wanita mana pun juga selain satu wanita yang telah lama ia tinggalkan.

Kian mengacak rambutnya, lalu bangkit berdiri. Ia masuk ke kamarnya, lalu mandi. Selama di kamar mandi, ia memikirkan terus tentang hal ini.

Biasanya, Kian akan selalu mengabaikan perkataan ayahnya tentang mencari istri karena saat sepuluh tahun yang lalu, hal itu terdengar konyol dan tidak masuk akal. Usia tiga puluh saatnya berkarir. Mana mungkin ia menikah semuda itu.

Tidak seperti Kian, kakak perempuannya, Elisa menikah di usia muda. Tidak heran jika keponakannya sekarang sudah dewasa. Kedua adiknya Kian pun sudah menikah dan memiliki anak. Hanya tinggal Kian yang masih sendiri.

Ayahnya benar, usia empat puluh memang sudah tidak muda lagi. Haruskah Kian mencari wanita di pinggir jalan yang mau dengannya dan kemudian menikahinya begitu saja?

Kian baru saja selesai mandi. Sambil mengenakan pakaian, ia membayangkan wanita yang baru saja ia tabrak. Wanita itu tampak sangat berotot. Sepertinya wanita itu baru selesai berolahraga.

Wanita itu mengenakan pakaian olahraga yang ketat, memperlihatkan lekuk tubuhnya yang atletis. Sama sekali tidak mengenakan jaket untuk melindungi tubuhnya. Otot di tangan dan betisnya begitu kekar. Jarang sekali Kian melihat wanita yang seperti itu.

Jika diingat-ingat lagi, wajahnya lumayan cantik meski Kian sudah lupa lagi. Ia hanya melihat wajah wanita itu sekilas saja karena terlalu sibuk memperhatikan otot tangannya.

“Berani-beraninya,” ujar Kian saat mengingat wanita itu telah melempari wajahnya dengan uang.

Semua itu memang salahnya sendiri karena telah melempar uang itu lebih dulu. Kian bersikap begitu karena takut jika wanita itu akan merampoknya. Lebih baik menghindar daripada harus berurusan dengan preman. Apakah wanita itu preman? Kian tidak yakin.

Ponsel Kian bergetar, ada telepon masuk.

“Ya, Clara?”

“Halo, Pak. Maaf saya menelepon malam-malam. Sepertinya saya sudah menemukan pelaku yang telah menggelapkan uang perusahaan.”

Mata Kian melebar. “Serius? Siapa orangnya?”

“Pak Reno, Pak. Saya memiliki bukti yang kuat kalau dialah orangnya. Sebaiknya Bapak langsung memanggil polisi dan menangkapnya.”

“Reno? Bagian keuangan itu?”

“Ya, betul sekali, Pak!” seru Clara, sekretarisnya.

“Oke, besok kita datangi rumahnya. Aku akan membawa polisi. Tolong kirim berkas-berkasnya ke surel saya sekarang juga!”

“Baik, Pak.”

Kian menutup teleponnya dengan geram. Akhirnya, ia bisa menemukan orang yang telah menggelapkan uang perusahaan. Tidak tanggung-tanggung, Kian mengalami kerugian sebesar satu setengah milyar. Ia akan meringkus orang itu segera.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
cin1225
Seru juga nich ceritanya! Bikin penasaran.. Lanjutkan thor ...
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status