Sebuah mobil SUV hitam mewah memasuki sebuah rumah megah bagai istana. Pintu pagar otomatis tertutup sendiri ketika mobil itu sudah lewat. Seorang pelayan menyambut sang majikannya yang baru saja turun dari mobil.
“Kian!” seru seorang wanita dengan wajah yang cemas. “Ini sudah malam, kenapa kamu baru pulang? Papa sudah menunggumu sejak sore tadi.”
Kian mendecak kesal, lalu menghela napasnya dengan wajah bosan. “Ma, aku kan sudah bilang, aku sedang sibuk. Untuk apa papa menungguku? Kalau ada hal yang penting, dia bisa meneleponku kapan saja.”
Ibunya menggamit lengan Kian, lalu mereka sama-sama masuk ke dalam rumah. Sang pelayan telah terlebih dahulu berjalan untuk membawakan tas kerja Kian.
“Hal ini sangat penting, tidak bisa hanya dibicarakan lewat telepon,” ujar ibunya kalem.
“Hmmm, baiklah.”
Kian dan ibunya berjalan bersama menaikki tangga ke lantai dua rumahnya. Kian menggosok matanya yang terasa tidak nyaman karena wanita yang baru ditabraknya tadi telah melemparinya dengan uang dan mengenai matanya.
“Mata kamu kenapa, Kian?”
“Ah, mataku kelilipan, Ma. Tidak apa-apa.”
“Mau Mama ambilkan obat tetes mata?”
“Tidak usah. Aku baik-baik saja, Ma,” dusta Kian.
Sebenarnya, matanya masih terasa tidak nyaman, tapi ia tidak akan menghiraukannya lagi. Sebentar lagi, ia akan menghadapi ayahnya. Sepertinya ia tahu apa yang akan ayahnya katakan padanya.
“Ma, kenapa tidak besok lagi saja mengobrolnya? Aku lelah, mau istirahat,” keluh Kian.
Ibunya menatap sang putra sambil tersenyum. Senyumannya begitu manis, satu-satunya hal yang mirip antara Kian dan ibunya. Wajah Kian lebih banyak mirip dengan ayahnya.
“Kamu pasti sudah tahu papa kamu mau bicara tentang apa, ya kan?”
“Aku bosan, Ma. Kalau sampai papa bahas terus tentang—”
“Tentang apa?” tanya ayahnya dengan suara yang lantang, memotong ucapan Kian.
Sang ayah berdiri di hadapannya. Tubuhnya tegap dan tinggi sama seperti Kian. Pria itu menatap Kian dengan wajah tidak suka. Kian memutar bola matanya, kemudian menghampiri ayahnya.
“Papa mau bicara tentang apa denganku?”
“Ikut Papa ke ruang kerja!” perintah ayahnya yang tidak bisa dibantah lagi.
Kian dan ibunya mengikuti ayahnya ke ruang kerja yang letaknya tidak jauh dari sana. Ruangan itu berpenerangan lampu kuning hangat. Namun, kesannya tetap saja menegangkan. Itu semua karena Kian tahu apa yang akan ayahnya bahas kali ini.
Kian duduk di sofa merah tua yang empuk di hadapan ayahnya, lalu menyilangkan kakinya.
“Sudah puas main-mainnya, Kian?” tanya ayahnya tanpa judul.
“Main apa, Pa? Aku kerja terus.”
“Papa tahu, kamu itu orangnya pekerja keras. Maksud Papa bukan itu. Usia kamu itu sudah empat puluh. Kepala empat, Nak! Kamu itu sudah tidak muda lagi. Mau sampai kapan kamu main-main untuk mencari istri?”
“Bahas istri lagi.” Kian menghela napas sambil menatap lantai. Entah sudah berapa ratus kali ayahnya membahas terus tentang hal ini.
“Waktu Papa seumuran kamu, anak Papa itu sudah empat. Nama kamu itu akan Papa cantumkan di surat wasiat Papa! Memangnya kamu mau Papa mati tidak tenang karena kamu belum menikah?”
“Papa tidak perlu bicara yang tidak-tidak,” cetus Kian.
“Papa ini sudah kakek-kakek, sudah punya cucu enam.”
“Ya sudah, itu artinya Papa tidak butuh cucu tambahan lagi.”
Ibunya langsung memberi tanda pada Kian untuk tidak banyak bicara. Kian paham, tapi tetap saja ia ingin melawan kata-kata ayahnya.
“Pokoknya Papa tidak mau tahu! Kalau sampai akhir tahun ini, kamu masih belum menemukan calon istri, Papa tidak akan memasukkan nama kamu dalam daftar ahli waris. Biar anaknya Elisa saja yang memegang The Prince. Kamu maunya seperti itu?”
Kini, ayahnya mengancam Kian seolah hidup ayahnya itu tidak akan lama lagi dan semua ini tergantung pada Kian. Walau sebenarnya Kian tidak menginginkan harta kekayaan ayahnya, tapi ia juga tidak akan rela jika keponakannya itu yang akan menjalankan The Prince.
“Papa, memangnya mencari istri itu semudah membalikkan telapak tangan? Aku juga sudah berusaha, tapi karena aku sibuk bekerja jadi aku tidak sempat untuk berkencan.”
“Papa tidak menerima alasan apa pun! Kamu harus menikah tahun ini juga dan pastikan kamu memberi Papa cucu laki-laki. Paham?” Ayahnya menatap Kian dengan tatapan sengit nan tajam.
“Cucu laki-laki?”
Lalu ayahnya berdiri dan menarik tangan ibunya. “Ayo, Ma kita istirahat! Sudah jam berapa ini? Dari tadi menunggu Kian, lama sekali pulangnya.”
“Ini sudah jam sepuluh malam, Pa,” jawab ibunya. “Papa harus minum obat dulu sebelum tidur.”
“Baiklah.”
Lalu ayah dan ibunya pergi meninggalkan Kian di ruang kerja sendirian. Kian termenung memikirkan tentang mencari istri dalam waktu singkat. Sudah lama ia tidak pernah berkencan dengan wanita mana pun juga selain satu wanita yang telah lama ia tinggalkan.
Kian mengacak rambutnya, lalu bangkit berdiri. Ia masuk ke kamarnya, lalu mandi. Selama di kamar mandi, ia memikirkan terus tentang hal ini.
Biasanya, Kian akan selalu mengabaikan perkataan ayahnya tentang mencari istri karena saat sepuluh tahun yang lalu, hal itu terdengar konyol dan tidak masuk akal. Usia tiga puluh saatnya berkarir. Mana mungkin ia menikah semuda itu.
Tidak seperti Kian, kakak perempuannya, Elisa menikah di usia muda. Tidak heran jika keponakannya sekarang sudah dewasa. Kedua adiknya Kian pun sudah menikah dan memiliki anak. Hanya tinggal Kian yang masih sendiri.
Ayahnya benar, usia empat puluh memang sudah tidak muda lagi. Haruskah Kian mencari wanita di pinggir jalan yang mau dengannya dan kemudian menikahinya begitu saja?
Kian baru saja selesai mandi. Sambil mengenakan pakaian, ia membayangkan wanita yang baru saja ia tabrak. Wanita itu tampak sangat berotot. Sepertinya wanita itu baru selesai berolahraga.
Wanita itu mengenakan pakaian olahraga yang ketat, memperlihatkan lekuk tubuhnya yang atletis. Sama sekali tidak mengenakan jaket untuk melindungi tubuhnya. Otot di tangan dan betisnya begitu kekar. Jarang sekali Kian melihat wanita yang seperti itu.
Jika diingat-ingat lagi, wajahnya lumayan cantik meski Kian sudah lupa lagi. Ia hanya melihat wajah wanita itu sekilas saja karena terlalu sibuk memperhatikan otot tangannya.
“Berani-beraninya,” ujar Kian saat mengingat wanita itu telah melempari wajahnya dengan uang.
Semua itu memang salahnya sendiri karena telah melempar uang itu lebih dulu. Kian bersikap begitu karena takut jika wanita itu akan merampoknya. Lebih baik menghindar daripada harus berurusan dengan preman. Apakah wanita itu preman? Kian tidak yakin.
Ponsel Kian bergetar, ada telepon masuk.
“Ya, Clara?”
“Halo, Pak. Maaf saya menelepon malam-malam. Sepertinya saya sudah menemukan pelaku yang telah menggelapkan uang perusahaan.”
Mata Kian melebar. “Serius? Siapa orangnya?”
“Pak Reno, Pak. Saya memiliki bukti yang kuat kalau dialah orangnya. Sebaiknya Bapak langsung memanggil polisi dan menangkapnya.”
“Reno? Bagian keuangan itu?”
“Ya, betul sekali, Pak!” seru Clara, sekretarisnya.
“Oke, besok kita datangi rumahnya. Aku akan membawa polisi. Tolong kirim berkas-berkasnya ke surel saya sekarang juga!”
“Baik, Pak.”
Kian menutup teleponnya dengan geram. Akhirnya, ia bisa menemukan orang yang telah menggelapkan uang perusahaan. Tidak tanggung-tanggung, Kian mengalami kerugian sebesar satu setengah milyar. Ia akan meringkus orang itu segera.
Semalaman, Laureta tidak bisa tidur nyenyak. Tubuhnya terasa pegal-pegal karena ia baru saja mengalami kecelakaan. Belum lagi, ia masih terus menangisi Erwin yang tega mencampakkannya demi Valentina si wanita gatal.Jika mengingat lagi akan hal itu, Laureta bisa menangis lagi. Matanya sudah bengkak dan perih. Menangis lagi hanya akan membuatnya dehidrasi.Ponselnya berbunyi, Laureta mengangkatnya.“Halo, Reks,” ucapnya parau.“Ta, kamu ada di mana? Ini sudah kesiangan. Apa kamu tidak akan ke studio sekarang?” cecar Reksiana, sahabatnya.“Aku masih di rumah. Maaf ya, Reks. Hari ini aku tidak akan mengajar zumba dulu. Kamu tolong gantikan aku ya. Kali ini saja.”“Eh, apa yang terjadi? Kamu langsung pergi begitu saja waktu aku memberitahumu soal Erwin. Apa kamu sudah menemuinya?”Hening sejenak. Laureta tak sanggup menceritakannya pada Reksi. Namun, tak ada lagi yang lebih paham akan kehidupannya selain Reksi. Jadi, Laureta pun menceritakan segalanya. Syukurlah, air matanya bisa tertahan
Dunia ini memang sempit hingga Kian pikir, ia mungkin hanya berputar-putar di tempat yang sama. Bagaimana bisa ia malah bertemu dengan wanita yang baru saja ia tabrak semalam? Mengapa harus wanita itu lagi?Menangkap penjahat seperti Reno, bukan perkara yang sulit bagi Kian. Ia bahkan berencana untuk membuat Reno dipenjara seumur hidup dan membuat keluarganya menderita selamanya. Namun, begitu melihat wanita itu, seketika iman Kian goyah.Ternyata wanita itu adalah putrinya Reno. Kian pun berusaha menenangkan dirinya dan tetap bersikap senormal mungkin.“Aku akan melakukan apa saja!” ucap wanita itu penuh keyakinan.Apa yang Kian butuhkan saat ini hanyalah mendapatkan seorang istri, lebih dari apa pun. Ucapan ayahnya semalam terdengar seperti sebuah ancaman yang serius. Kian tidak akan membiarkan keponakannya yang mengambil alih The Prince.“Menikahlah denganku.”Kian menatap wanita yang sampai sekarang belum ia ketahui namanya. Air mata membasahi wajahnya yang tampak lusuh. Terdapat
Laureta merasa dirinya bagai orang lain saat ia melihat bayangannya dari pantulan kaca yang ada di tembok. Gaun biru itu terlihat sangat mahal. Sepatu hak tingginya sekitar tujuh senti, tapi anehnya terasa sangat nyaman.Rumah itu begitu mewah hingga ia pikir, ia sedang berada di alam mimpi. Seumur hidupnya, ia tidak pernah masuk ke dalam istana. Semua perabotan di rumah itu tampak elegan dan pasti mahal.Laureta mengatur napasnya untuk menenangkan diri, sementara Kian berjalan di sebelahnya tampak bagai seorang bangsawan dan Laureta hanyalah seorang rakyat jelata.Seorang wanita menyambut mereka. Ia memeluk Kian dan kemudian dengan ramah menanyakan tentang Laureta.“Kenalkan, ini Laureta, Ma.”“Ah, nama yang sangat cantik,” puji sang ibu dengan senyum yang sangat manis. Laureta salim pada sang ibu sambil memaksakan senyumnya. “Pa, ini calonnya Kian.”Seorang pria bertubuh tinggi yang sama seperti Kian menghampiri mereka. Wajahnya sungguh tidak ramah, jauh lebih dingin dari Kian. Laur
Kian menatap wajah Laureta yang kini telah resmi menjadi istrinya. Wanita itu tampak tercengang setelah Kian mengatakan bahwa Erwin adalah keponakannya. Wajahnya jadi tampak menggemaskan. Kian tersenyum tipis.Melihat penampilan Laureta saat ini membuat Kian terpesona. Seingatnya, wanita itu hanyalah seorang wanita sederhana yang tidak pernah mencoba untuk melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri.Riasan di wajahnya benar-benar pas, membuatnya semakin cantik. Kian tidak merasa rugi membayar gaun pernikahan mewah yang tengah wanita itu kenakan.Dengan kata lain, wanita yang sedang ia pegang tangannya adalah wanita yang tepat untuk ia jadikan istri. Kian mengangkat dagunya, merasa bangga karena akhirnya ia telah menikah.Pesta malam itu berlangsung meriah. Sekarang sudah pukul sepuluh malam. Kian dan Laureta sedang berada di kamar hotel The Prince. Kian memesan kamar terbaik di hotelnya sendiri.Kamar pengantin itu telah dihias sedemikian rupa dengan bunga mawar merah yang bertebaran di
Laureta merasa agak risih melihat cara Kian menatapnya. Pria itu seperti yang hendak memakannya hiduk-hidup. Ia jadi merasa setiap kali berada bersama dengan Kian, pria itu seperti predator dan Laureta adalah mangsanya.Sejujurnya, Laureta takut dengan apa yang akan terjadi malam ini. Sama seperti tadi, Laureta gemetar bukan main saat pria itu melepaskan gaun pengantin dan korsetnya. Kalau saja Laureta tidak segera kabur ke kamar mandi, mungkin pria itu akan menerkamnya dalam hitungan detik.Laureta mengatur napasnya, lalu membuka mulut untuk bicara. Dilihatnya makanan yang tersedia di meja. Asapnya mengepul dan mengeluarkan aroma yang lezat. Perut Laureta langsung meraung-raung meminta makan.“Kamu memesan makanan?” tanya Laureta agar keras untuk menyamarkan suara perutnya.Kian menegakkan tubuhnya, lalu berdeham sekali. “Ya. Makanlah!”Suaranya yang dalam membuat Laureta jadi salah tingkah. Ia mengangguk sekali, lalu duduk di meja makan bundar yang terbuat dari kaca. Di sana sudah t
Kian memijat tulang hidungnya. Pukulan wanita itu sungguh keras sekali. Kian jadi khawatir jika wanita itu bisa menghajarnya sampai babak belur. Sebenarnya, Kian juga bisa bela diri. Namun, ia tidak mungkin melawan Laureta.Setelah dipikir-pikir, ia bisa saja melawan wanita itu dan kedudukan mereka seri.“Maafkan aku.”Sungguh Kian tidak menginginkan Laureta mengucapkan maaf. Ia yang salah karena telah menghampiri wanita itu tiba-tiba. Ia jadi malu sekali. Ia hanya menjawab Laureta dengan gumaman singkat.“Kenapa kamu bisa ada di sebelahku?” tanya wanita itu. Kian memejamkan matanya sambil mengingat apa tujuannya menghampiri wanita itu.“Aku tidak suka tidur di sofa,” jawab Kian berdusta. Sebenarnya bukan itu alasan utamanya.“Oh, maafkan aku. Biar aku saja yang tidur di sofa,” kata Laureta yang hendak beranjak dari sana.Kian segera menahan tangan wanita itu. “Tidak perlu! Kamu tidur saja di sini.”Laureta melebarkan matanya. “Lalu bagaimana denganmu?”“Aku bisa tidur di sebelah sini
Sebuah sentuhan di kulitnya membuat Laureta terbangun dari tidurnya. Ia membuka mata dan sekali lagi terkejut bukan main. Dalam kurun waktu kurang dari dua puluh empat jam, ia sudah dua kali terkena serangan jantung.Kian menarik tangannya, lalu duduk di kasur. Laureta yakin benar jika pria itu baru saja menyentuhnya.“Apa yang baru saja kamu lakukan?” tanya Laureta dengan suara parau.Kian berdeham. “Secara sah, kamu adalah istriku. Aku bebas melakukan apa saja padamu.”Laureta menyadari hal itu meski rasanya menyakitkan. Ia tidak suka jika pria itu menyentuhnya seperti semalam. Ia pikir, ia akan kehilangan keperawanannya malam itu juga. Tanpa disangka, Kian malah pergi begitu saja.“Jadi …, aku harus bagaimana?”Kian mendengus mengejek mendengar perkataan Laureta. “Laura, kamu itu lucu sekali. Semalam itu memang kesalahanku. Kita bisa melakukannya lagi lain kali.”Laureta mengangguk patuh. Lain kali. Tentu saja akan ada lain kali. Ia harus mempersiapkan dirinya jika sampai pria itu
Laureta menelan ludahnya. Ia kembali duduk ke kursinya dan menghabiskan sarapannya yang terasa mengganjal di tenggorokannya. Perutnya seperti yang masih kenyang karena semalam ia makan sangat banyak.Jam makannya jadi kacau. Begitu pula jam tidurnya. Laureta masih ingin tidur di kasur hotel yang empuk, tapi mereka sudah harus berangkat setengah jam lagi.Sepanjang sarapan itu, Kian tampak sibuk sekali. Ia beberapa kali menerima telepon.“Kian, apa kamu tidak akan makan?” tanya Laureta saat pria itu baru menutup telepon.“Hmmm,” jawab Kian sambil matanya menatap ponsel.Sungguh jawaban khas Kian, Laureta harus membiasakan dirinya. Sepertinya, pria itu tidak makan apa pun. Setelah itu, mereka pun kembali ke kamar untuk bersiap-siap.Laureta agak terkejut melihat kopernya sudah rapi. Kasurnya pun tampak seperti yang belum pernah dipakai sama sekali. Pekerja house keeping benar-benar bekerja dengan maksimal.Kian berbicara dalam bahasa Inggris di telepon sambil tersenyum beberapa kali. Bi