“Erwin, apa yang kamu lakukan?!”
Di hadapan Laureta, seorang pria tengah bergumul mesra dengan seorang wanita tanpa busana.
Pemandangan di depannya benar-benar membuat hatinya remuk redam!
“Tata!” bentak Erwin kasar. “Berani-beraninya kamu masuk kamar orang sembarangan!”
Seketika kegiatan pun terhenti. Erwin melepaskan diri dari sang wanita binal. Ia tampak kikuk saat menyadari Laureta ada di sana. Ia sibuk mencari celana dan segera mengenakannya. Berbeda dengan sang wanita yang tampak santai mengenakan kimono yang ia pungut di kasur.
Lutut Laureta terasa lemas. Ia sungguh tak percaya dengan apa yang tengah dilihatnya. Erwin tega mengkhianatinya. Mendadak, ia tidak tahu harus berkata apa. Mulutnya seolah terkunci rapat. Matanya membelalak menatap Erwin.
Pria itu mendekati Laureta dengan langkah cepat, lalu mendorongnya dengan kasar. “Keluar kamu!”
Laureta tetap bertahan. Ia hanya mundur sedikit sambil menunduk menatap lantai kamar hotel yang dilapisi karpet coklat muda. Sekujur tubuhnya gemetar.
“Kamu dengar aku, tidak? Pergi sana!”
“Kamu mengusirku …,” ucap Laureta lirih. “Aku ini tunangan kamu ….”
Ada sesuatu yang perih di dalam dadanya, bagaikan disayat-sayat ribuan pisau.
Erwin mendecak kesal. Lalu pria itu menekan bahu Laureta. “Kamu tidak seharusnya di sini.”
Laureta menepis tangan Erwin. “Jangan sentuh aku!”
Erwin mengangkat tangannya tanda menyerah. “Baiklah kalau begitu, kamu sebaiknya pergi. Hubungan kita sudah putus. Jangan menemuiku lagi, oke?”
Laureta menatap wanita yang sedang duduk di atas kasur sambil melipat kakinya. Ia tampak bosan dan tidak terganggu dengan kehadiran Laureta sama sekali.
“Ayo, Ta! Pergilah! Kenapa kamu diam saja?” desak Erwin.
Laureta terlalu syok melihat semua kejahatan di matanya hingga ia tidak sadar untuk segera pergi dari sini.
“Ah, dasar payah!” seru si wanita.
Tiba-tiba, si wanita binal mendecak kesal sambil memukul kasur. Ia mendekati Laureta dengan tatapan sinis, lalu mendorong Laureta hingga ia jatuh terjengkang.
“Erwin sudah menyuruhmu pergi!” seru wanita itu. “Seharusnya kamu langsung pergi! Mau apa kamu di sini terus? Mau melihat kami bermesraan? Dasar tidak tahu malu!”
“Sudahlah, Valentina Sayang. Kamu tunggu saja di sana ya,” ucap Erwin dengan lembut.
“Ya sudah. Cepat kamu usir wanita jelek itu dari sini ya. Urusan kita kan belum selesai.”
“Iya, Sayang.” Erwin tersenyum sambil mengangguk pada wanita itu.
Wanita jalang itu berlalu dengan gayanya yang centil sambil menyentuh lengan Erwin. Perlahan air mata Laureta meleleh. Tak pernah dalam sejarah ia berpacaran dengan Erwin dan pria itu memanggilnya dengan sebutan sayang.
Perih sungguh perih hati Laureta dengan semua sikap Erwin dan Valentina yang telah merendahkannya. Mereka yang sudah berdosa, tapi Laureta yang diusir dari sana. Laureta pun tak akan diam lebih lama lagi di sini.
Erwin kembali menatapnya, seolah merasa iba. Ia mengulurkan tangannya untuk membantu Laureta berdiri, tapi Laureta mengabaikannya. Laureta tidak butuh belas kasihan pria itu.
“Ta ….”
Laureta pun berhasil bangkit berdiri sambil mengelap air matanya. Dengan harga diri yang masih tersisa, Laureta melepaskan kalung tanda pertunangannya dengan Erwin dan melemparnya ke lantai.
“Selamat tinggal, Erwin!”
Ia segera pergi dari sana menuju ke parkiran motor dengan napas yang terengah-engah. Jantungnya berdegup dengan kencang hingga sekujur tubuhnya gemetar.
Sebelumnya, Laureta dihubungi sahabatnya yang melihat Erwin tengah masuk ke hotel The Prince. Tanpa mengganti baju selepas menjadi instruktur senam, ia pun langsung datang dan memergoki mereka.
“Dasar laki-laki berengsek!” ucap Lauretta yang terisak sambil menarik gas motornya dalam-dalam.
Brak!
Tanpa sadar, tiba-tiba sebuah mobil muncul dari arah kiri dan langsung menyenggol motor Lauretta sampai ia terpental.
Tubuh sebelah kanannya menggesek jalanan aspal hingga lecet. Untungnya, ia lekas melompat untuk menghindari luka yang lebih banyak lagi.
Diliputi amarah, ia berjalan dengan langkah mantap dan kemudian menghampiri mobil yang telah menabraknya itu. Lalu Laureta menghantam kaca jendela mobil itu dengan helm sekuat tenaga.
“Keluar kamu!” teriak Laureta dihiasi suara yang bergetar karena emosi.
Laureta pun melayangkan tendangan yang cukup keras ke pintu mobil. Semoga saja menimbulkan bekas yang cukup dalam. Namun, nyatanya kaki Laureta kesakitan. Ia harus berpegangan pada atap mobil supaya ia tidak jatuh sambil memutar-mutar pergelangan kakinya.
“Keluar, hei! Kamu sudah menabrakku! Ayo tanggung jawab!” teriak Laureta lagi yang sudah bisa berdiri dengan benar.
Pintu terbuka, lalu seorang pria jangkung keluar dari sana. Tubuhnya benar-benar tinggi hingga Laureta harus mendongak untuk melihat wajahnya.
“Ada apa?” tanya pria itu dengan suara bariton yang menggelegar.
Laureta menatap pria itu tanpa berkedip. Garis-garis wajah pria itu begitu tegas dan matanya sangat tajam hingga Laureta pikir, ia telah mati karena hujaman tatapannya.
“Sa-saya …,” cicit Laureta dengan suara yang sangat pelan hingga lumba-lumba pun tidak bisa mendengarnya. Ia seolah tak berdaya untuk mengucapkan kalimat apa pun lagi.
Pria itu menatap Laureta dari ujung kaki hingga ke ujung kepala.
“Kamu harus tanggung jawab,” ucap Laureta, pada akhirnya setelah suaranya berhasil kembali ke tenggorokannya.
Pria jangkung itu mengangkat sebelah alisnya dengan wajahnya yang dingin. Ia menghela napas, lalu mengeluarkan dompet dari saku belakang celananya. Pria itu mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribu yang tampak masih baru dan berseri.
“Ini!” Pria itu melempar uang itu dengan asal ke depan wajah Laureta hingga tersebar di jalan raya.
Laureta tertegun selama beberapa detik sambil menatap uang-uang merah itu ternodai oleh debu jalanan.
“Tunggu dulu!” seru Laureta. Ia buru-buru memungut uang itu sebisanya. Kemudian ia berlari dan menghadang pintu masuk dengan tangan kirinya yang tidak terluka.
“Mau apa lagi?” Pria itu memasang wajah bosan.
Laureta balas melempar uang itu ke wajah si pria jangkung hingga pria itu memejamkan matanya sejenak.
“Kamu tidak boleh seenaknya melempar uang! Meski aku miskin, aku tidak butuh uang kotormu itu!” Laureta berteriak sambil menunjuk-nunjuk.
“Uang kotor?” Pria itu menautkan alisnya.
Tiba-tiba, pria itu berjalan mendekati Laureta dengan langkah perlahan. Otomatis Laureta mundur selangkah dengan lutut yang gemetar. Napasnya jadi semakin cepat dan pendek-pendek. Tatapan mata pria itu benar-benar mengerikan, seperti pembunuh berdarah dingin yang siap menghabisi korbannya. Dan di sini, Laureta sebagai korban.
Pria itu semakin mendekat sambil menundukkan wajahnya. Sebelah tangannya meraih dagu Laureta, menariknya ke atas dengan tegas. Pria itu memiringkan wajahnya sambil menatap Laureta, menatap lehernya entah pipinya—Laureta tidak mengerti.
Seketika tubuh Laureta melemas. Helm terlepas dari tangannya. “Apa yang kamu lakukan?” tanya Laureta takut-takut.
Pria itu mendekati kuping Laureta dan kemudian berbisik, “Kamu tidak perlu sok suci menolak uang dariku. Lebih baik kamu pungut uang itu dan pergi dari sini. Sebelum kamu melawan, sebaiknya kamu lihat dulu, siapa yang sedang kamu hadapi. Paham?”
Sebuah mobil SUV hitam mewah memasuki sebuah rumah megah bagai istana. Pintu pagar otomatis tertutup sendiri ketika mobil itu sudah lewat. Seorang pelayan menyambut sang majikannya yang baru saja turun dari mobil.“Kian!” seru seorang wanita dengan wajah yang cemas. “Ini sudah malam, kenapa kamu baru pulang? Papa sudah menunggumu sejak sore tadi.”Kian mendecak kesal, lalu menghela napasnya dengan wajah bosan. “Ma, aku kan sudah bilang, aku sedang sibuk. Untuk apa papa menungguku? Kalau ada hal yang penting, dia bisa meneleponku kapan saja.”Ibunya menggamit lengan Kian, lalu mereka sama-sama masuk ke dalam rumah. Sang pelayan telah terlebih dahulu berjalan untuk membawakan tas kerja Kian.“Hal ini sangat penting, tidak bisa hanya dibicarakan lewat telepon,” ujar ibunya kalem.“Hmmm, baiklah.”Kian dan ibunya berjalan bersama menaikki tangga ke lantai dua rumahnya. Kian menggosok matanya yang terasa tidak nyaman karena wanita yang baru ditabraknya tadi telah melemparinya dengan uang d
Semalaman, Laureta tidak bisa tidur nyenyak. Tubuhnya terasa pegal-pegal karena ia baru saja mengalami kecelakaan. Belum lagi, ia masih terus menangisi Erwin yang tega mencampakkannya demi Valentina si wanita gatal.Jika mengingat lagi akan hal itu, Laureta bisa menangis lagi. Matanya sudah bengkak dan perih. Menangis lagi hanya akan membuatnya dehidrasi.Ponselnya berbunyi, Laureta mengangkatnya.“Halo, Reks,” ucapnya parau.“Ta, kamu ada di mana? Ini sudah kesiangan. Apa kamu tidak akan ke studio sekarang?” cecar Reksiana, sahabatnya.“Aku masih di rumah. Maaf ya, Reks. Hari ini aku tidak akan mengajar zumba dulu. Kamu tolong gantikan aku ya. Kali ini saja.”“Eh, apa yang terjadi? Kamu langsung pergi begitu saja waktu aku memberitahumu soal Erwin. Apa kamu sudah menemuinya?”Hening sejenak. Laureta tak sanggup menceritakannya pada Reksi. Namun, tak ada lagi yang lebih paham akan kehidupannya selain Reksi. Jadi, Laureta pun menceritakan segalanya. Syukurlah, air matanya bisa tertahan
Dunia ini memang sempit hingga Kian pikir, ia mungkin hanya berputar-putar di tempat yang sama. Bagaimana bisa ia malah bertemu dengan wanita yang baru saja ia tabrak semalam? Mengapa harus wanita itu lagi?Menangkap penjahat seperti Reno, bukan perkara yang sulit bagi Kian. Ia bahkan berencana untuk membuat Reno dipenjara seumur hidup dan membuat keluarganya menderita selamanya. Namun, begitu melihat wanita itu, seketika iman Kian goyah.Ternyata wanita itu adalah putrinya Reno. Kian pun berusaha menenangkan dirinya dan tetap bersikap senormal mungkin.“Aku akan melakukan apa saja!” ucap wanita itu penuh keyakinan.Apa yang Kian butuhkan saat ini hanyalah mendapatkan seorang istri, lebih dari apa pun. Ucapan ayahnya semalam terdengar seperti sebuah ancaman yang serius. Kian tidak akan membiarkan keponakannya yang mengambil alih The Prince.“Menikahlah denganku.”Kian menatap wanita yang sampai sekarang belum ia ketahui namanya. Air mata membasahi wajahnya yang tampak lusuh. Terdapat
Laureta merasa dirinya bagai orang lain saat ia melihat bayangannya dari pantulan kaca yang ada di tembok. Gaun biru itu terlihat sangat mahal. Sepatu hak tingginya sekitar tujuh senti, tapi anehnya terasa sangat nyaman.Rumah itu begitu mewah hingga ia pikir, ia sedang berada di alam mimpi. Seumur hidupnya, ia tidak pernah masuk ke dalam istana. Semua perabotan di rumah itu tampak elegan dan pasti mahal.Laureta mengatur napasnya untuk menenangkan diri, sementara Kian berjalan di sebelahnya tampak bagai seorang bangsawan dan Laureta hanyalah seorang rakyat jelata.Seorang wanita menyambut mereka. Ia memeluk Kian dan kemudian dengan ramah menanyakan tentang Laureta.“Kenalkan, ini Laureta, Ma.”“Ah, nama yang sangat cantik,” puji sang ibu dengan senyum yang sangat manis. Laureta salim pada sang ibu sambil memaksakan senyumnya. “Pa, ini calonnya Kian.”Seorang pria bertubuh tinggi yang sama seperti Kian menghampiri mereka. Wajahnya sungguh tidak ramah, jauh lebih dingin dari Kian. Laur
Kian menatap wajah Laureta yang kini telah resmi menjadi istrinya. Wanita itu tampak tercengang setelah Kian mengatakan bahwa Erwin adalah keponakannya. Wajahnya jadi tampak menggemaskan. Kian tersenyum tipis.Melihat penampilan Laureta saat ini membuat Kian terpesona. Seingatnya, wanita itu hanyalah seorang wanita sederhana yang tidak pernah mencoba untuk melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri.Riasan di wajahnya benar-benar pas, membuatnya semakin cantik. Kian tidak merasa rugi membayar gaun pernikahan mewah yang tengah wanita itu kenakan.Dengan kata lain, wanita yang sedang ia pegang tangannya adalah wanita yang tepat untuk ia jadikan istri. Kian mengangkat dagunya, merasa bangga karena akhirnya ia telah menikah.Pesta malam itu berlangsung meriah. Sekarang sudah pukul sepuluh malam. Kian dan Laureta sedang berada di kamar hotel The Prince. Kian memesan kamar terbaik di hotelnya sendiri.Kamar pengantin itu telah dihias sedemikian rupa dengan bunga mawar merah yang bertebaran di
Laureta merasa agak risih melihat cara Kian menatapnya. Pria itu seperti yang hendak memakannya hiduk-hidup. Ia jadi merasa setiap kali berada bersama dengan Kian, pria itu seperti predator dan Laureta adalah mangsanya.Sejujurnya, Laureta takut dengan apa yang akan terjadi malam ini. Sama seperti tadi, Laureta gemetar bukan main saat pria itu melepaskan gaun pengantin dan korsetnya. Kalau saja Laureta tidak segera kabur ke kamar mandi, mungkin pria itu akan menerkamnya dalam hitungan detik.Laureta mengatur napasnya, lalu membuka mulut untuk bicara. Dilihatnya makanan yang tersedia di meja. Asapnya mengepul dan mengeluarkan aroma yang lezat. Perut Laureta langsung meraung-raung meminta makan.“Kamu memesan makanan?” tanya Laureta agar keras untuk menyamarkan suara perutnya.Kian menegakkan tubuhnya, lalu berdeham sekali. “Ya. Makanlah!”Suaranya yang dalam membuat Laureta jadi salah tingkah. Ia mengangguk sekali, lalu duduk di meja makan bundar yang terbuat dari kaca. Di sana sudah t
Kian memijat tulang hidungnya. Pukulan wanita itu sungguh keras sekali. Kian jadi khawatir jika wanita itu bisa menghajarnya sampai babak belur. Sebenarnya, Kian juga bisa bela diri. Namun, ia tidak mungkin melawan Laureta.Setelah dipikir-pikir, ia bisa saja melawan wanita itu dan kedudukan mereka seri.“Maafkan aku.”Sungguh Kian tidak menginginkan Laureta mengucapkan maaf. Ia yang salah karena telah menghampiri wanita itu tiba-tiba. Ia jadi malu sekali. Ia hanya menjawab Laureta dengan gumaman singkat.“Kenapa kamu bisa ada di sebelahku?” tanya wanita itu. Kian memejamkan matanya sambil mengingat apa tujuannya menghampiri wanita itu.“Aku tidak suka tidur di sofa,” jawab Kian berdusta. Sebenarnya bukan itu alasan utamanya.“Oh, maafkan aku. Biar aku saja yang tidur di sofa,” kata Laureta yang hendak beranjak dari sana.Kian segera menahan tangan wanita itu. “Tidak perlu! Kamu tidur saja di sini.”Laureta melebarkan matanya. “Lalu bagaimana denganmu?”“Aku bisa tidur di sebelah sini
Sebuah sentuhan di kulitnya membuat Laureta terbangun dari tidurnya. Ia membuka mata dan sekali lagi terkejut bukan main. Dalam kurun waktu kurang dari dua puluh empat jam, ia sudah dua kali terkena serangan jantung.Kian menarik tangannya, lalu duduk di kasur. Laureta yakin benar jika pria itu baru saja menyentuhnya.“Apa yang baru saja kamu lakukan?” tanya Laureta dengan suara parau.Kian berdeham. “Secara sah, kamu adalah istriku. Aku bebas melakukan apa saja padamu.”Laureta menyadari hal itu meski rasanya menyakitkan. Ia tidak suka jika pria itu menyentuhnya seperti semalam. Ia pikir, ia akan kehilangan keperawanannya malam itu juga. Tanpa disangka, Kian malah pergi begitu saja.“Jadi …, aku harus bagaimana?”Kian mendengus mengejek mendengar perkataan Laureta. “Laura, kamu itu lucu sekali. Semalam itu memang kesalahanku. Kita bisa melakukannya lagi lain kali.”Laureta mengangguk patuh. Lain kali. Tentu saja akan ada lain kali. Ia harus mempersiapkan dirinya jika sampai pria itu