Laureta merasa dirinya bagai orang lain saat ia melihat bayangannya dari pantulan kaca yang ada di tembok. Gaun biru itu terlihat sangat mahal. Sepatu hak tingginya sekitar tujuh senti, tapi anehnya terasa sangat nyaman.
Rumah itu begitu mewah hingga ia pikir, ia sedang berada di alam mimpi. Seumur hidupnya, ia tidak pernah masuk ke dalam istana. Semua perabotan di rumah itu tampak elegan dan pasti mahal.
Laureta mengatur napasnya untuk menenangkan diri, sementara Kian berjalan di sebelahnya tampak bagai seorang bangsawan dan Laureta hanyalah seorang rakyat jelata.
Seorang wanita menyambut mereka. Ia memeluk Kian dan kemudian dengan ramah menanyakan tentang Laureta.
“Kenalkan, ini Laureta, Ma.”
“Ah, nama yang sangat cantik,” puji sang ibu dengan senyum yang sangat manis. Laureta salim pada sang ibu sambil memaksakan senyumnya. “Pa, ini calonnya Kian.”
Seorang pria bertubuh tinggi yang sama seperti Kian menghampiri mereka. Wajahnya sungguh tidak ramah, jauh lebih dingin dari Kian. Laureta pikir, ia akan mengompol di celana. Ia takut sekali jika ia akan ditelan hidup-hidup.
Laureta hendak salim, tapi sang ayah tidak merespon dengan ramah. Jadi, Laureta mengurungkan niatnya.
“Laureta,” ucap ayahnya dingin. “Dari mana kamu mengenal putraku?”
“Hmmm, waktu itu kami bertemu di Bali. Aku sedang berlibur. Lalu kami saling mengenal dan ….”
“Kalian pacaran diam-diam tanpa sepengetahuanku?” Ayahnya mengangkat sebelah alisnya. “Sudah berapa lama kalian pacaran?”
“Maaf, Pa. Aku tidak bermaksud untuk merahasiakannya dari Papa. Sebenarnya, kami sudah berpacaran lima tahun.”
Ayahnya mengangguk perlahan. “Apa pekerjaanmu?” tanyanya pada Laureta.
“Aku seorang instruktur senam,” jawab Laureta jujur.
Kian merangkul Laureta, tapi tangannya meremas bahunya cukup keras. Laureta menahan diri untuk tidak mengernyit karena Kian meremas di tempat yang sakit.
“Oh! Kamu seorang ZIN?” seru ibunya Kian. “Pantas badanmu kekar sekali. Kalian akan segera menikah bukan? Kalau begitu, Mama bisa senam setiap hari. Nanti kamu yang ajari Mama ya, Laureta.”
Belum apa-apa, sang ibu sudah menyebut dirinya mama. Laureta canggung sekali. Ia tersenyum sambil mengangguk.
“Ayahnya adalah seorang pilot dan ibunya sudah meninggal,” ucap Kian tiba-tiba. Sungguh sandiwara yang luar biasa.
“Ah, benarkah?” Ibunya menggenggam tangan Laureta dengan hangat. “Kasihan sekali. Kamu pasti sedih karena merindukan ibumu. Biar aku yang akan menjadi ibumu sekarang ya.”
“Terima kasih, Bu.” Laureta mengangguk canggung.
“Panggil aku mama. Oke? Dan panggil dia papa. Kamu akan menjadi menantu kami. Jadi, jangan sungkan-sungkan ya.”
Laureta pikir, ia akan menghadapi ikan hiu pemangsa yang mungkin akan menelannya dalam satu kali gigitan. Namun, ternyata suasana makan malam hari itu terasa hangat, kecuali sang ayah yang memiliki aura dingin seperti es.
Tanpa banyak basa-basi, malam itu sang ayah menentukan tanggal pernikahan. Mereka akan menikah akhir minggu ini. Semua persiapan pernikahan akan dilaksanakan sesegera mungkin. Sepertinya sang ayah sudah lama merencakan pernikahan ini, hanya tinggal menunggu sang anak untuk membawa calonnya.
Seumur hidup, Laureta tidak pernah berpikir jika ia akan ditabrak seorang pria dan kemudian menikahinya. Hanya butuh satu hari pertemuan dan hidupnya langsung berubah. Menanti Erwin untuk menikahinya hanya membuatnya sakit hati. Pria itu malah berselingkuh dengan wanita lain.
Ibunya Laureta telah pergi meninggalkan rumah. Menurut Kian, ia sudah memberikan sejumlah uang pada ibunya untuk pergi menjauh dari sini. Kian tidak mengizinkan ibunya untuk hadir di pernikahannya. Dan ya, ayahnya Laureta adalah seorang ‘pilot’ yang artinya tidak bisa hadir di pernikahan mereka.
Hari Minggu datang begitu cepat hingga Laureta tidak ingat apa saja yang sudah ia lakukan selama tiga hari ini. Hanya Reksiana, sahabatnya yang bisa ia ajak bicara. Reksi begitu terkejut hingga nyaris berguling-guling di lantai.
Sahabatnya itu yang menjadi pendamping pengantin wanita. Reksi lebih tomboy daripada Laureta. Aneh rasanya melihat sahabatnya itu mengenakan gaun dan dirias wajahnya.
“Tata! Kamu cantik sekali,” puji Reksi. “Tapi wajah kamu tidak tersenyum. Ayolah bukankah ini namanya rejeki?”
“Rejeki apa? Ayahku masuk penjara. Ibuku diusir dari rumah. Lalu aku juga akan dipenjara di rumah pria aneh itu!”
“Ta, kamu berhasil mendapatkan pria kaya raya yang jauh lebih baik daripada Erwin!”
Laureta menghela napas. “Tapi usia kami jauh sekali, Reks. Dia sudah umur empat puluh.”
“Tidak apa-apa, Ta. Yang matang itu lebih menantang. Kamu pasti akan bahagia hidup bersamanya.”
Laureta ingin tertawa mendengar perkataan sahabatnya. Namun, doa sahabatnya itu akan ia percayai. Semoga saja ia akan hidup bahagia bersama Kian.
Pernikahan berlangsung secara sakral dan hanya dihadiri oleh keluarga dan kerabat terdekat saja. Tak ada satu pun keluarga Laureta. Hanya Reksiana satu-satunya orang yang Laureta kenal di pernikahan ini.
Bersanding di pelaminan bersama pria asing di sebelahnya ini membuat Laureta ingin pingsan. Namun, saat Laureta memandangi pria yang telah menjadi suaminya itu, ia pikir ia telah menikahi seorang pangeran.
Kian tampak sangat tampan dan mempesona. Rambutnya ditata sedemikian rupa, berbeda dari beberapa hari sebelumnya. Hidungnya mancung hingga Laureta pikir tangannya akan terluka jika menyentuh hidung itu.
Tatapan matanya begitu tajam, menyorot setiap orang yang berada di undangan. Entah harus merasa sedih atau bahagia, Laureta telah menghadapi kehidupannya yang baru. Ia akan menjadi seorang istri.
Lampu ruangan meremang, lalu sebuah lampu terang menyorot Laureta dan Kian. Pria itu membimbingnya untuk berdansa. Tubuh Laureta sudah biasa menari, senam zumba. Ia tentu bisa jika sekedar berdansa waltz.
Pegangan tangan Kian di pinggangnya terasa mantap. Laureta memandangi dagunya yang terdapat berewok tipis menggoda, tak sanggup menatap wajahnya yang tampan. Ia merasakan hujaman tatapan pria itu hingga membuat Laureta tidak nyaman.
“Kamu cantik,” pujinya singkat.
Laureta pun mendongak. “Terima kasih.”
“You may kiss the bride!” seru sang pembawa acara.
Laureta tidak mengerti apa yang harus ia lakukan. Kian melepaskan tangannya dari pinggang Laureta, lalu merenggut dagunya. Ini adalah kali kedua pria itu menarik dagunya. Napas Laureta tercekat.
Kian mendekatkan wajahnya sambil memejamkan mata. Laureta pun ikut memejamkan matanya. Sebuah ciuman mendarat di bibirnya, membuat jiwanya melayang-layang di udara.
Laureta pikir ia sedang bermimpi. Tak pernah ia merasakan bibir hangat seorang pria melumat bibirnya. Ini benar-benar pengalaman pertamanya. Laureta hanya bisa terdiam dengan lutut yang gemetar.
Semua orang bertepuk tangan riuh dan kembang api berpendar di sekelilingnya. Ciuman itu benar-benar romantis. Laureta ingin menangis karena terharu, tapi kemudian Kian melepaskan ciumannya.
“Selamat datang di duniaku, Istriku,” ucap Kian dengan suaranya yang dalam.
Laureta tersenyum sambil menegakkan tubuhnya. Ia terlalu ringkih untuk berdiri tegak. Ia mengedarkan pandangannya. Seluruh undangan tampak senang melihat sepasang suami istri yang baru saja menunjukkan kemesraannya.
Lalu di sanalah, Laureta melihat seorang pria yang ia kenal betul. Pandangan mata mereka berserobok. Seketika jiwa Laureta kembali ke bumi. Kembang api telah padam. Laureta bisa melihat pria itu dengan lebih jelas lagi.
“Erwin?” gumam Laureta.
Kian menoleh padanya. “Ada apa? Kamu mengenal Erwin?”
“I-iya. Aku mengenalnya,” jawab Laureta gugup.
“Oh, Erwin adalah keponakanku.”
Kian menatap wajah Laureta yang kini telah resmi menjadi istrinya. Wanita itu tampak tercengang setelah Kian mengatakan bahwa Erwin adalah keponakannya. Wajahnya jadi tampak menggemaskan. Kian tersenyum tipis.Melihat penampilan Laureta saat ini membuat Kian terpesona. Seingatnya, wanita itu hanyalah seorang wanita sederhana yang tidak pernah mencoba untuk melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri.Riasan di wajahnya benar-benar pas, membuatnya semakin cantik. Kian tidak merasa rugi membayar gaun pernikahan mewah yang tengah wanita itu kenakan.Dengan kata lain, wanita yang sedang ia pegang tangannya adalah wanita yang tepat untuk ia jadikan istri. Kian mengangkat dagunya, merasa bangga karena akhirnya ia telah menikah.Pesta malam itu berlangsung meriah. Sekarang sudah pukul sepuluh malam. Kian dan Laureta sedang berada di kamar hotel The Prince. Kian memesan kamar terbaik di hotelnya sendiri.Kamar pengantin itu telah dihias sedemikian rupa dengan bunga mawar merah yang bertebaran di
Laureta merasa agak risih melihat cara Kian menatapnya. Pria itu seperti yang hendak memakannya hiduk-hidup. Ia jadi merasa setiap kali berada bersama dengan Kian, pria itu seperti predator dan Laureta adalah mangsanya.Sejujurnya, Laureta takut dengan apa yang akan terjadi malam ini. Sama seperti tadi, Laureta gemetar bukan main saat pria itu melepaskan gaun pengantin dan korsetnya. Kalau saja Laureta tidak segera kabur ke kamar mandi, mungkin pria itu akan menerkamnya dalam hitungan detik.Laureta mengatur napasnya, lalu membuka mulut untuk bicara. Dilihatnya makanan yang tersedia di meja. Asapnya mengepul dan mengeluarkan aroma yang lezat. Perut Laureta langsung meraung-raung meminta makan.“Kamu memesan makanan?” tanya Laureta agar keras untuk menyamarkan suara perutnya.Kian menegakkan tubuhnya, lalu berdeham sekali. “Ya. Makanlah!”Suaranya yang dalam membuat Laureta jadi salah tingkah. Ia mengangguk sekali, lalu duduk di meja makan bundar yang terbuat dari kaca. Di sana sudah t
Kian memijat tulang hidungnya. Pukulan wanita itu sungguh keras sekali. Kian jadi khawatir jika wanita itu bisa menghajarnya sampai babak belur. Sebenarnya, Kian juga bisa bela diri. Namun, ia tidak mungkin melawan Laureta.Setelah dipikir-pikir, ia bisa saja melawan wanita itu dan kedudukan mereka seri.“Maafkan aku.”Sungguh Kian tidak menginginkan Laureta mengucapkan maaf. Ia yang salah karena telah menghampiri wanita itu tiba-tiba. Ia jadi malu sekali. Ia hanya menjawab Laureta dengan gumaman singkat.“Kenapa kamu bisa ada di sebelahku?” tanya wanita itu. Kian memejamkan matanya sambil mengingat apa tujuannya menghampiri wanita itu.“Aku tidak suka tidur di sofa,” jawab Kian berdusta. Sebenarnya bukan itu alasan utamanya.“Oh, maafkan aku. Biar aku saja yang tidur di sofa,” kata Laureta yang hendak beranjak dari sana.Kian segera menahan tangan wanita itu. “Tidak perlu! Kamu tidur saja di sini.”Laureta melebarkan matanya. “Lalu bagaimana denganmu?”“Aku bisa tidur di sebelah sini
Sebuah sentuhan di kulitnya membuat Laureta terbangun dari tidurnya. Ia membuka mata dan sekali lagi terkejut bukan main. Dalam kurun waktu kurang dari dua puluh empat jam, ia sudah dua kali terkena serangan jantung.Kian menarik tangannya, lalu duduk di kasur. Laureta yakin benar jika pria itu baru saja menyentuhnya.“Apa yang baru saja kamu lakukan?” tanya Laureta dengan suara parau.Kian berdeham. “Secara sah, kamu adalah istriku. Aku bebas melakukan apa saja padamu.”Laureta menyadari hal itu meski rasanya menyakitkan. Ia tidak suka jika pria itu menyentuhnya seperti semalam. Ia pikir, ia akan kehilangan keperawanannya malam itu juga. Tanpa disangka, Kian malah pergi begitu saja.“Jadi …, aku harus bagaimana?”Kian mendengus mengejek mendengar perkataan Laureta. “Laura, kamu itu lucu sekali. Semalam itu memang kesalahanku. Kita bisa melakukannya lagi lain kali.”Laureta mengangguk patuh. Lain kali. Tentu saja akan ada lain kali. Ia harus mempersiapkan dirinya jika sampai pria itu
Laureta menelan ludahnya. Ia kembali duduk ke kursinya dan menghabiskan sarapannya yang terasa mengganjal di tenggorokannya. Perutnya seperti yang masih kenyang karena semalam ia makan sangat banyak.Jam makannya jadi kacau. Begitu pula jam tidurnya. Laureta masih ingin tidur di kasur hotel yang empuk, tapi mereka sudah harus berangkat setengah jam lagi.Sepanjang sarapan itu, Kian tampak sibuk sekali. Ia beberapa kali menerima telepon.“Kian, apa kamu tidak akan makan?” tanya Laureta saat pria itu baru menutup telepon.“Hmmm,” jawab Kian sambil matanya menatap ponsel.Sungguh jawaban khas Kian, Laureta harus membiasakan dirinya. Sepertinya, pria itu tidak makan apa pun. Setelah itu, mereka pun kembali ke kamar untuk bersiap-siap.Laureta agak terkejut melihat kopernya sudah rapi. Kasurnya pun tampak seperti yang belum pernah dipakai sama sekali. Pekerja house keeping benar-benar bekerja dengan maksimal.Kian berbicara dalam bahasa Inggris di telepon sambil tersenyum beberapa kali. Bi
Setelah mengatakan hal itu, Kian pun tersenyum. Ini merupakan pengalaman pertama bagi Kian menghadapi wanita yang usianya masih sangat muda. Sekarang ia tahu cara membujuk Laureta. Wanita itu suka makan.Harus Kian akui jika Laureta sangat perhatian padanya. Tidak pernah ada wanita lain yang peduli jika ia sudah makan atau belum. Bagi mantan-mantannya, yang terpenting adalah uang, uang, dan uang.Jika Kian sudah memanjakan mantannya dengan uang yang banyak, barulah mereka bahagia. Ada untungnya juga ia menikah dengan wanita yang polos dan sederhana seperti Laureta. Wanita itu tidak pernah meminta apa pun dari Kian.Pakaian yang ia belikan untuk Laureta tidak bermerk mahal, tapi wanita itu memakainya dengan senang hati. Tasnya hanya tas buatan lokal. Meski begitu, ia meminta Clara memilih produk lokal yang terbaik. Ada baiknya juga ia memajukan produk lokal untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia.Sejak kapan Kian peduli? Mungkin sejak ia bertemu dengan Laureta. Ia hanya ingin meminim
Debar jantung Laureta semakin bertalu-talu tatkala ia masuk ke dalam kamar mandi. Awalnya ia pikir kamar ini benar-benar spektakuler. Harganya sudah pasti berjuta-juta semalam. Namun, ia tak pernah menyangka jika ia harus berhadapan dengan kamar mandi transparan.“Aduh, kenapa kamar mandinya seperti ini?” keluh Laureta saat menatap kaca besar transparan yang terpampang di hadapannya.Tidak ada tirai penutup sama sekali. Pancuran airnya berada di dekat jendela tersebut. Jadi, sudah pasti siapa saja bisa melihatnya mandi. Kacau. Apalah gunanya pintu kamar mandi jika kacanya saja tidak ada penutupnya.Laureta meremas pakaiannya dan memutuskan untuk tidak mandi. Ia bisa membasuh wajah, mencuci tangan, dan ketiaknya dengan sabun. Itu sudah cukup untuk seperti mandi. Ia tidak perlu membuka baju sama sekali.Hal itu terdengar seperti ide yang bagus. Laureta pun bergegas membuka blazernya yang terasa agak panas. Ia harus bergerak cepat sebelum Kian tiba-tiba mengintipnya. Apakah pria itu tipi
Rasa geli menjalar dari atas hingga ke bawah. Lidah Laureta terasa kebas hingga ia tak sanggup untuk berkata-kata. Yang keluar dari mulutnya hanya suara erangan serta rintihan yang tidak terdengar seperti suaranya.Kian mengusap bahunya, lalu menyentuh bekas luka di lengannya. Ia berhenti mencium Laureta. Hal itu membuat Laureta membuka matanya. Ternyata Kian sedang menatap bekas lukanya. Matanya tampak sendu.“Aku belum sempat mengatakan maaf,” ucap Kian.Laureta pun terkejut mendengarnya. “Maaf?”“Ya. Maafkan aku karena telah menabrakmu. Apa luka ini masih terasa sakit?”Laureta mengatur bibirnya agar tidak terlalu bergetar. “I-iya, sedikit. Kalau ditekan masih terasa sakit, tapi tidak apa-apa. Aku baik-baik saja.”Kian pun menarik tangan Laureta dari dada dan bagian bawah tubuhnya, lalu menaruh keduanya di pinggang Kian. Perlahan pria itu menunduk dan mencium bibir Laureta.Seketika lutut Laureta semakin lemas hingga ia pikir ia bisa pingsan kapan saja. Bibir Kian menciuminya denga