Dunia ini memang sempit hingga Kian pikir, ia mungkin hanya berputar-putar di tempat yang sama. Bagaimana bisa ia malah bertemu dengan wanita yang baru saja ia tabrak semalam? Mengapa harus wanita itu lagi?
Menangkap penjahat seperti Reno, bukan perkara yang sulit bagi Kian. Ia bahkan berencana untuk membuat Reno dipenjara seumur hidup dan membuat keluarganya menderita selamanya. Namun, begitu melihat wanita itu, seketika iman Kian goyah.
Ternyata wanita itu adalah putrinya Reno. Kian pun berusaha menenangkan dirinya dan tetap bersikap senormal mungkin.
“Aku akan melakukan apa saja!” ucap wanita itu penuh keyakinan.
Apa yang Kian butuhkan saat ini hanyalah mendapatkan seorang istri, lebih dari apa pun. Ucapan ayahnya semalam terdengar seperti sebuah ancaman yang serius. Kian tidak akan membiarkan keponakannya yang mengambil alih The Prince.
“Menikahlah denganku.”
Kian menatap wanita yang sampai sekarang belum ia ketahui namanya. Air mata membasahi wajahnya yang tampak lusuh. Terdapat bekas luka di tangannya, seperti luka cakaran. Bisa jadi jalanan aspal semalam yang telah melakukannya.
Wanita itu tercengang, mengedipkan matanya beberapa kali seolah tidak yakin dengan apa yang baru saja ia dengar.
“Menikah?” ucapnya lirih.
“Ya.” Kian mengangkat alisnya. “Kamu mau supaya utang ayahmu lunas, bukan?”
“Y-ya, tapi …, aku tidak mungkin …, aku tidak mungkin menikah dengan pria yang tidak aku kenal.”
“Itu bukan masalah. Kita bisa saling mengenal dalam waktu singkat. Siapa namamu?”
Wanita itu terlalu tegang untuk menjawab pertanyaan singkat dan mudah itu. Bukannya menjawab, ia malah terlihat semakin frustasi.
“Bukan masalah? Aku tidak akan pernah menikah denganmu!” seru wanita itu.
Kian tampak sudah tidak sabar lagi. Ia sungguh tidak membutuhkan percakapan seperti ini, sungguh membosankan.
“Terserah padamu! Kamu tidak mau menikah denganku, tidak apa-apa. Aku tetap akan memenjarakan ayahmu dan membuatmu membayar semua utang itu sampai lunas. Oke? Aku masih banyak urusan. Sampai nanti.”
Kian melangkah cepat meninggalkan rumah mungil itu dan segera masuk ke dalam mobil. Istrinya Reno sedang menelepon seseorang sambil bicara dengan suara yang bergetar. Kian tidak ingin melihat pemandangan ini lebih lama lagi. Ia harus segera pergi.
“Tunggu!” teriak sang wanita yang tiba-tiba muncul di depan mobilnya, menghalangi jalan.
Untung saja, Kian belum sempat menginjak gas. Ia membuka kaca jendela dan menatap wanita itu. “Ada apa lagi?”
“Benarkah hanya itu satu-satunya cara untuk membayar utang ayahku?” tanya wanita itu dengan wajah yang serius.
“Sepertinya begitu,” jawab Kian. “Tapi dengan beberapa syarat,” imbuhnya.
“Syarat apa?”
“Ikutlah denganku sekarang! Ada banyak hal yang harus kita bicarakan,” perintah Kian.
Wanita itu masih tampak tegang dan bergeming. Kian kehabisan kesabarannya. Ia turun dari mobil, lalu menarik tangan wanita itu dengan kasar dan mendorongnya untuk masuk ke dalam mobil.
Setelah itu, Kian memutar mobilnya dan masuk ke balik kursi kemudi. Mobil pun melaju dengan cepat. Mobil polisi sudah berangkat lebih dulu.
Kian menelepon menggunakan penyuara telinga. “Clara, tolong urus semuanya. Aku ada urusan penting yang harus diselesaikan. Jadi, aku tidak akan ke kantor polisi sekarang.”
Setelah memberitahu sekretarisnya, Kian pun menutup sambungan telepon. Ia melirik sang wanita yang tampak kaku di sebelahnya.
“Kamu belum menjawab pertanyaanku. Siapa namamu?”
“Aku Laureta.”
Kian tersenyum tipis. “Nama yang bagus. Berapa usiamu?”
“Usiaku dua puluh dua tahun.”
Kian mendengus mengejek. “Dua puluh dua tahun? Astaga.”
Ia benar-benar tertawa sekarang. Bagaimana bisa ia mengajak menikah dengan seorang anak kecil? Apa kata ayahnya nanti? Namun, saat ini Kian memang sedang tidak punya banyak pilihan. Ia malas lagi mencari orang lain yang bisa ia perdaya. Kebetulan sekali takdir mempertemukannya dengan wanita kekar yang ternyata masih sangat muda ini.
“Apa yang salah jika umurku dua puluh dua?” Laureta tampak bingung.
“Kamu masih sangat muda.” Kian menahan diri untuk tidak menyebutnya anak kecil.
Akhirnya, mereka tiba di sebuah restoran. Kian menarik tangan Laureta dan membawanya ke sebuah ruangan pribadi tertutup yang jauh dari keramaian. Dua orang pelayan masuk dan membawakan sebuah teko keramik yang tampak klasik dan dua buah cangkir yang senada. Lalu di sana ada cemilan kue manis yang begitu cantik.
Setelah para pelayan keluar, Laureta melipat tangannya di dada dan berdiri menjulang di hadapan Kian. “Katakan apa maksud semua ini? Bagaimana bisa kamu menyuruhku untuk menikahimu? Apa mungkin kamu sengaja menjebak keluargaku? Apa utang ayahku hanya kebohongan belaka?”
Kian terkekeh pelan. “Duduk dulu.” Ia menarik Laureta untuk duduk di hadapannya. “Aku tahu, semua ini terdengar tidak masuk akal. Ayahmu korupsi dan memakan uang perusahaan sampai milyaran rupiah. Aku punya semua bukti. Untuk apa aku berbohong? Uangku sudah banyak. Aku tidak perlu memeras keluargamu, apalagi menjebakmu.”
“Lalu apa tujuanmu menikahiku? Kenapa harus aku?”
“Itu karena kamu berada di posisi yang tepat di saat yang tepat. Aku membutuhkan seorang istri untuk keperluanku pribadi. Aku tidak bisa menjelaskannya. Kalau kamu setuju untuk menikah, aku akan menganggap semua utang ayahmu itu lunas. Ayahmu mungkin tetap akan dipenjara, tapi aku akan membebaskannya dalam waktu yang dekat. Bukankah itu mudah?”
Laureta membuka mulutnya untuk bicara, tapi kemudian mengurungkannya.
“Aku memintamu untuk menjadi istriku dan melahirkan putra laki-laki secepatnya. Setelah itu, kamu boleh bercerai denganku. Kamu bebas menjalankan hidupmu sesukamu. Aku akan memberikanmu uang tunjangan sebesar satu milyar, dan setelah itu, aku tidak akan mencarimu lagi. Bagaimana?”
Kian meminta pelayan untuk menyediakan sebuah kertas dan alat tulis. Ia menuliskan surat perjanjian itu, segala persyaratan yang ia pikirkan secara mendadak di jalan menuju ke restoran. Setelah menandatangainya, ia menempelkan sebuah materai yang selalu ada di dompetnya. Lalu ia menyerahkan kertas itu pada Laureta.
“Tanda tangan di atas materai!” perintah Kian.
Laureta membaca tulisan itu selama satu menit yang terasa begitu lama, padahal tulisan Kian tidak begitu banyak.
“Jadi, namamu Kian Aleandro?”
Sungguh pertanyaan yang tidak Kian harapkan. Ia pikir, Laureta akan menanyakan tentang hal yang lain. Kian pun hanya mengangguk.
Tanpa disangka-sangka, Laureta langsung menandatangi kertas perjanjian itu di atas materai. Kian pun tersenyum miring.
“Bagus. Malam ini, kamu akan bertemu dengan orang tuaku. Setelah itu, kita akan langsung menikah.”
“Secepat itu?”
Kian bukan tipe orang yang banyak bicara. Ia menyuruh Clara untuk menyiapkan sebuah gaun yang pantas untuk Laureta. Lalu Clara membawa Laureta ke salon untuk menata rambutnya dan merias wajahnya.
Malam itu juga, Laureta sudah siap untuk menemui ayahnya Kian. Pasti ayahnya itu akan terkejut melihat Kian membawa pulang calon istri. Keberuntungan sedang berada di pihak Kian. Semudah itu ia menemukan seorang calon istri.
Kian sudah tiba di rumahnya terlebih dahulu. Supirnya, Karsa, membawa Laureta ke rumahnya setelah wanita itu selesai dari salon.
Kian sudah bersiap-siap mengenakan kemeja dan celana panjang hitam. Ia memadukannya dengan blazer biru yang jarang ia kenakan. Rasanya akan lebih formal jika ia mengenakan jas.
Setibanya di rumah, Kian menyambut Laureta di pintu masuk. Seketika ia tertegun melihat penampilan Laureta. Ia tidak pernah menyuruh Clara untuk mencarikan gaun yang sepadan dengan jas miliknya. Kebetulan sekali, Laureta mengenakan gaun biru selutut yang tampak sangat pas di tubuhnya.
Kian menatap sepasang kaki yang kekar berotot, lalu naik ke atas ke sang pemilik wajah yang ternyata sangat cantik. Kian melangkah maju mendekatinya dan kemudian menekuk tangannya. Laureta menggamit lengan Kian dengan kaku.
Ia melihat bekas luka di tangan Laureta sudah disamarkan dengan sangat baik. Itu bagus, tak ada yang perlu tahu seperti apa sebenarnya Kian pertama bertemu dengan Laureta.
“Apa Clara sudah memberikan catatan padamu?” tanya Kian dan wanita itu mengangguk. “Kamu sudah menghafalnya?”
“Sudah. Hmmm, haruskah kita membohongi orang tuamu?”
“Semua demi kebaikanmu, Laura. Dan juga untuk kebaikanku. Ayo kita masuk ke dalam!”
Laureta merasa dirinya bagai orang lain saat ia melihat bayangannya dari pantulan kaca yang ada di tembok. Gaun biru itu terlihat sangat mahal. Sepatu hak tingginya sekitar tujuh senti, tapi anehnya terasa sangat nyaman.Rumah itu begitu mewah hingga ia pikir, ia sedang berada di alam mimpi. Seumur hidupnya, ia tidak pernah masuk ke dalam istana. Semua perabotan di rumah itu tampak elegan dan pasti mahal.Laureta mengatur napasnya untuk menenangkan diri, sementara Kian berjalan di sebelahnya tampak bagai seorang bangsawan dan Laureta hanyalah seorang rakyat jelata.Seorang wanita menyambut mereka. Ia memeluk Kian dan kemudian dengan ramah menanyakan tentang Laureta.“Kenalkan, ini Laureta, Ma.”“Ah, nama yang sangat cantik,” puji sang ibu dengan senyum yang sangat manis. Laureta salim pada sang ibu sambil memaksakan senyumnya. “Pa, ini calonnya Kian.”Seorang pria bertubuh tinggi yang sama seperti Kian menghampiri mereka. Wajahnya sungguh tidak ramah, jauh lebih dingin dari Kian. Laur
Kian menatap wajah Laureta yang kini telah resmi menjadi istrinya. Wanita itu tampak tercengang setelah Kian mengatakan bahwa Erwin adalah keponakannya. Wajahnya jadi tampak menggemaskan. Kian tersenyum tipis.Melihat penampilan Laureta saat ini membuat Kian terpesona. Seingatnya, wanita itu hanyalah seorang wanita sederhana yang tidak pernah mencoba untuk melakukan sesuatu untuk dirinya sendiri.Riasan di wajahnya benar-benar pas, membuatnya semakin cantik. Kian tidak merasa rugi membayar gaun pernikahan mewah yang tengah wanita itu kenakan.Dengan kata lain, wanita yang sedang ia pegang tangannya adalah wanita yang tepat untuk ia jadikan istri. Kian mengangkat dagunya, merasa bangga karena akhirnya ia telah menikah.Pesta malam itu berlangsung meriah. Sekarang sudah pukul sepuluh malam. Kian dan Laureta sedang berada di kamar hotel The Prince. Kian memesan kamar terbaik di hotelnya sendiri.Kamar pengantin itu telah dihias sedemikian rupa dengan bunga mawar merah yang bertebaran di
Laureta merasa agak risih melihat cara Kian menatapnya. Pria itu seperti yang hendak memakannya hiduk-hidup. Ia jadi merasa setiap kali berada bersama dengan Kian, pria itu seperti predator dan Laureta adalah mangsanya.Sejujurnya, Laureta takut dengan apa yang akan terjadi malam ini. Sama seperti tadi, Laureta gemetar bukan main saat pria itu melepaskan gaun pengantin dan korsetnya. Kalau saja Laureta tidak segera kabur ke kamar mandi, mungkin pria itu akan menerkamnya dalam hitungan detik.Laureta mengatur napasnya, lalu membuka mulut untuk bicara. Dilihatnya makanan yang tersedia di meja. Asapnya mengepul dan mengeluarkan aroma yang lezat. Perut Laureta langsung meraung-raung meminta makan.“Kamu memesan makanan?” tanya Laureta agar keras untuk menyamarkan suara perutnya.Kian menegakkan tubuhnya, lalu berdeham sekali. “Ya. Makanlah!”Suaranya yang dalam membuat Laureta jadi salah tingkah. Ia mengangguk sekali, lalu duduk di meja makan bundar yang terbuat dari kaca. Di sana sudah t
Kian memijat tulang hidungnya. Pukulan wanita itu sungguh keras sekali. Kian jadi khawatir jika wanita itu bisa menghajarnya sampai babak belur. Sebenarnya, Kian juga bisa bela diri. Namun, ia tidak mungkin melawan Laureta.Setelah dipikir-pikir, ia bisa saja melawan wanita itu dan kedudukan mereka seri.“Maafkan aku.”Sungguh Kian tidak menginginkan Laureta mengucapkan maaf. Ia yang salah karena telah menghampiri wanita itu tiba-tiba. Ia jadi malu sekali. Ia hanya menjawab Laureta dengan gumaman singkat.“Kenapa kamu bisa ada di sebelahku?” tanya wanita itu. Kian memejamkan matanya sambil mengingat apa tujuannya menghampiri wanita itu.“Aku tidak suka tidur di sofa,” jawab Kian berdusta. Sebenarnya bukan itu alasan utamanya.“Oh, maafkan aku. Biar aku saja yang tidur di sofa,” kata Laureta yang hendak beranjak dari sana.Kian segera menahan tangan wanita itu. “Tidak perlu! Kamu tidur saja di sini.”Laureta melebarkan matanya. “Lalu bagaimana denganmu?”“Aku bisa tidur di sebelah sini
Sebuah sentuhan di kulitnya membuat Laureta terbangun dari tidurnya. Ia membuka mata dan sekali lagi terkejut bukan main. Dalam kurun waktu kurang dari dua puluh empat jam, ia sudah dua kali terkena serangan jantung.Kian menarik tangannya, lalu duduk di kasur. Laureta yakin benar jika pria itu baru saja menyentuhnya.“Apa yang baru saja kamu lakukan?” tanya Laureta dengan suara parau.Kian berdeham. “Secara sah, kamu adalah istriku. Aku bebas melakukan apa saja padamu.”Laureta menyadari hal itu meski rasanya menyakitkan. Ia tidak suka jika pria itu menyentuhnya seperti semalam. Ia pikir, ia akan kehilangan keperawanannya malam itu juga. Tanpa disangka, Kian malah pergi begitu saja.“Jadi …, aku harus bagaimana?”Kian mendengus mengejek mendengar perkataan Laureta. “Laura, kamu itu lucu sekali. Semalam itu memang kesalahanku. Kita bisa melakukannya lagi lain kali.”Laureta mengangguk patuh. Lain kali. Tentu saja akan ada lain kali. Ia harus mempersiapkan dirinya jika sampai pria itu
Laureta menelan ludahnya. Ia kembali duduk ke kursinya dan menghabiskan sarapannya yang terasa mengganjal di tenggorokannya. Perutnya seperti yang masih kenyang karena semalam ia makan sangat banyak.Jam makannya jadi kacau. Begitu pula jam tidurnya. Laureta masih ingin tidur di kasur hotel yang empuk, tapi mereka sudah harus berangkat setengah jam lagi.Sepanjang sarapan itu, Kian tampak sibuk sekali. Ia beberapa kali menerima telepon.“Kian, apa kamu tidak akan makan?” tanya Laureta saat pria itu baru menutup telepon.“Hmmm,” jawab Kian sambil matanya menatap ponsel.Sungguh jawaban khas Kian, Laureta harus membiasakan dirinya. Sepertinya, pria itu tidak makan apa pun. Setelah itu, mereka pun kembali ke kamar untuk bersiap-siap.Laureta agak terkejut melihat kopernya sudah rapi. Kasurnya pun tampak seperti yang belum pernah dipakai sama sekali. Pekerja house keeping benar-benar bekerja dengan maksimal.Kian berbicara dalam bahasa Inggris di telepon sambil tersenyum beberapa kali. Bi
Setelah mengatakan hal itu, Kian pun tersenyum. Ini merupakan pengalaman pertama bagi Kian menghadapi wanita yang usianya masih sangat muda. Sekarang ia tahu cara membujuk Laureta. Wanita itu suka makan.Harus Kian akui jika Laureta sangat perhatian padanya. Tidak pernah ada wanita lain yang peduli jika ia sudah makan atau belum. Bagi mantan-mantannya, yang terpenting adalah uang, uang, dan uang.Jika Kian sudah memanjakan mantannya dengan uang yang banyak, barulah mereka bahagia. Ada untungnya juga ia menikah dengan wanita yang polos dan sederhana seperti Laureta. Wanita itu tidak pernah meminta apa pun dari Kian.Pakaian yang ia belikan untuk Laureta tidak bermerk mahal, tapi wanita itu memakainya dengan senang hati. Tasnya hanya tas buatan lokal. Meski begitu, ia meminta Clara memilih produk lokal yang terbaik. Ada baiknya juga ia memajukan produk lokal untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia.Sejak kapan Kian peduli? Mungkin sejak ia bertemu dengan Laureta. Ia hanya ingin meminim
Debar jantung Laureta semakin bertalu-talu tatkala ia masuk ke dalam kamar mandi. Awalnya ia pikir kamar ini benar-benar spektakuler. Harganya sudah pasti berjuta-juta semalam. Namun, ia tak pernah menyangka jika ia harus berhadapan dengan kamar mandi transparan.“Aduh, kenapa kamar mandinya seperti ini?” keluh Laureta saat menatap kaca besar transparan yang terpampang di hadapannya.Tidak ada tirai penutup sama sekali. Pancuran airnya berada di dekat jendela tersebut. Jadi, sudah pasti siapa saja bisa melihatnya mandi. Kacau. Apalah gunanya pintu kamar mandi jika kacanya saja tidak ada penutupnya.Laureta meremas pakaiannya dan memutuskan untuk tidak mandi. Ia bisa membasuh wajah, mencuci tangan, dan ketiaknya dengan sabun. Itu sudah cukup untuk seperti mandi. Ia tidak perlu membuka baju sama sekali.Hal itu terdengar seperti ide yang bagus. Laureta pun bergegas membuka blazernya yang terasa agak panas. Ia harus bergerak cepat sebelum Kian tiba-tiba mengintipnya. Apakah pria itu tipi