"Apa kamu yakin, tidak akan kembali lagi padanya?" tanya Revana, suaranya lembut tapi tegas, seolah mencoba menembus dinding pertahanan terakhir yang Tristan mungkin bangun di antara mereka.Matanya mencari-cari di wajah Tristan, berharap menemukan kebenaran yang tidak bisa diungkapkan hanya dengan kata-kata.Tristan menatap Revana dengan mata yang lembut namun penuh keyakinan. “Apa kamu melihat keraguan dalam ucapanku? Kamu pikir, selama ini aku tidak tersiksa ketika kamu pergi?” suaranya rendah, penuh dengan perasaan yang sudah lama terpendam.“Bahkan selama dua minggu saat bersama dengan Aluna pun aku selalu memastikan kamu baik-baik saja di rumah. Pikiran dan hatiku hanya padamu meski saat itu aku sedang bersama dengan Aluna.”Revana diam, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Tristan. Ada kejujuran di sana, ada rasa sakit yang terdengar jelas, tetapi juga ada cinta yang seolah ingin meyakinkan dirinya.“Aku tidak jujur padamu karena aku tidak ingin kamu kepikiran, apala
Angin sore menyapu lembut wajah Revana saat ia melangkah keluar dari pintu kedatangan bandara. Suara-suara riuh para penumpang dan lalu lalang orang-orang yang menjemput berpadu menjadi satu, menciptakan simfoni kehidupan yang mengisi telinga. Di sampingnya, Tristan berjalan dengan tenang, tangan kanannya menggenggam koper mereka, sementara tangan kirinya sesekali menyentuh punggung Revana dengan lembut, seolah takut jika perempuan itu kembali pergi menghilang.Tiba-tiba, ponsel Revana bergetar di dalam tasnya. Ia merogoh dengan cepat dan melihat nama yang tertera di layar. "Dea." Dengan sigap, ia menerima panggilan itu. “Halo, Dea? Ada apa?” tanyanya, mencoba menyembunyikan kegugupan di suaranya.“Kenapa nomormu baru aktif? Dari tadi aku telepon tapi nggak aktif. Aku khawatir tahu!” terdengar suara Dea yang penuh kekhawatiran di ujung sana, suaranya sedikit meninggi, memarahi sekaligus melampiaskan kekesalannya karena selama ini tidak bisa menghubungi Revana.Revana terkekeh pelan,
Dengan satu gerakan cepat, Tristan kembali menundukkan kepalanya dan mencium bibir Revana dengan lebih agresif. Revana merasakan tubuhnya dipenuhi gelombang panas yang menggairahkan. Ia tahu ke mana arah ini akan berlanjut, namun ada sesuatu tentang bagaimana Tristan mendekapnya kali ini yang membuatnya lebih bersemangat.“Mas ...,” ucap Revana setengah berbisik, setengah mendesah, saat Tristan mulai menjelajahi lehernya dengan ciuman-ciuman lembut namun berapi-api.Tristan menghentikan sejenak kegiatannya, mengangkat kepalanya untuk menatap Revana. “Apa?” tanyanya pelan, tapi dengan mata yang penuh gairah. "Kamu tahu aku tak bisa menahan diri kalau kamu sudah di hadapanku begini. Aku selalu merindukanmu, setiap detik yang kita lewatkan berpisah terasa begitu berat bagiku."Revana menggigit bibir bawahnya, matanya memandang Tristan dengan penuh cinta. “Aku juga, Mas. Aku selalu merindukanmu, bahkan ketika aku merasa marah padamu,” jawabnya jujur.Mendengar itu, Tristan tersenyum dan
Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi ketika Tristan membuka matanya. Cahaya matahari yang lembut menerobos masuk melalui celah-celah tirai kamar, menciptakan pola-pola cahaya yang menari di dinding.Dia menoleh ke samping dan melihat Revana masih tertidur lelap, wajahnya tampak tenang dan damai. Senyum merekah di bibir Tristan, rasa syukur dan bahagia mengalir melalui nadinya.‘Ternyata ini bukan mimpi,’ pikirnya dalam hati, matanya tidak lepas memandangi wajah istrinya yang cantik. ‘Dia sudah kembali ke rumah ini, kembali ke pelukanku.’ Dengan penuh kasih sayang, Tristan menunduk dan mencium kening Revana, lembut dan penuh cinta.‘Wanita yang dulu tak pernah kuberikan cinta, malah membuatku jatuh cinta sedalam-dalamnya. Bahkan, aku rela melakukan apa saja untuk wanita ini,’ gumamnya dalam hati.Tristan mengulum senyum, merasa malu pada dirinya sendiri karena pernah mengabaikan dan bersikap kurang ajar pada Revana. Sekarang, apa pun yang diinginkan istrinya, akan segera ia turuti.
Tristan menyeret tangan Aluna dengan paksa, membawanya dengan langkah cepat menuju ruang kerjanya. Setiap tarikan napasnya terasa berat, dadanya bergemuruh penuh amarah yang tertahan.Genggaman tangannya kuat, begitu erat hingga menimbulkan rasa sakit di pergelangan tangan Aluna, membuat wanita itu meringis."Tristan! Apa yang kamu lakukan? Lepaskan, sakit, Tristan!" teriak Aluna, suaranya penuh dengan kepanikan dan rasa sakit yang menjalar di pergelangan tangannya yang tercekik oleh genggaman Tristan.Tristan tidak merespons. Matanya yang tajam menyala dengan api kemarahan, wajahnya keras, penuh determinasi. "Kamu sendiri yang datang ke sini!" ucap Tristan dengan nada dingin, pandangannya lurus ke depan, tak sudi melirik wajah Aluna yang sedang kesakitan.“Karena kamu tidak mau menerima panggilan dariku! Kamu menjauh dariku demi wanita murahan itu!” pekik Aluna, wajahnya penuh kemarahan, matanya membara.Kata-kata itu keluar seperti bisa yang menghujam langsung ke jantung Tristan, ta
Gave kembali ke rumah dengan langkah yang lebih berat dari biasanya. Meskipun wajahnya tetap tenang, hatinya bergelut dengan beban rahasia yang harus ia simpan. Ia tahu, Tristan telah memerintahkannya untuk tidak mengatakan apa pun kepada Revana tentang insiden dengan Aluna pagi ini.Namun, meskipun dia telah bekerja dengan Tristan selama bertahun-tahun dan setia, ia tidak pernah menyangka harus berbohong kepada Revana, wanita yang begitu baik dan tulus mencintai suaminya.Sesampainya di pintu masuk rumah, Gave disambut oleh Revana yang tampak khawatir. Wajah cantik wanita itu memancarkan kebingungan dan sedikit kecemasan.“Pak Gave? Apa yang terjadi? Kenapa Mas Tristan buru-buru ke kantor padahal belum sarapan?” tanyanya, suaranya lembut namun jelas penuh perhatian.Gave tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kekacauan yang baru saja terjadi di kantor. “Ah, tidak ada apa-apa, Revana. Kamu tahu sendiri, suamimu itu mafia. Jadi, kekacauan sering terjadi dalam pekerjaannya,” jawabnya
"Apa? Membelot lagi?" Suaranya terdengar serak dan tajam, menunjukkan amarah yang ditahannya.Tristan meletakkan ponsel dengan wajah tegang dan pandangan tajam. Berita yang baru saja diterimanya dari penjaga wilayah kekuasaannya di pesisir pantai membuat darahnya mendidih.Pagi itu seharusnya menjadi pagi yang tenang, pagi di mana ia bisa menikmati waktu bersama Revana, istrinya yang tengah mengandung buah hati mereka. Namun, panggilan itu mengubah segalanya.Ia bangkit dari duduknya, matanya yang tajam menatap lantai, seakan mencari jawaban atas kegelisahan yang tiba-tiba menguasainya. Di ujung telepon, Alex, pemimpin markas di pantai, terdengar serius dan cemas.“Iya, Tuan. Mereka melemparkan beberapa peluru ke markas kita. Kali ini dipimpin langsung oleh Alfrod dan kawanannya. Mereka masih ingin mengambil wilayah di sini,” kata Alex. Suaranya terdengar tegas namun ada sedikit ketakutan di baliknya, karena ia tahu betul apa yang Alfrod mampu lakukan.Tristan memijat keningnya, menco
Plak!Suara itu menggema, menghentikan langkah siapa pun yang mendengarnya. Wajah-wajah penasaran berbalik, seolah terhipnotis oleh kejadian yang begitu mendadak, begitu brutal.Hendri, yang berdiri tak jauh dari kejadian itu, terperanjat. Matanya membelalak, sulit mempercayai apa yang baru saja terjadi.“Aluna!” pekiknya, penuh keterkejutan dan amarah yang bercampur jadi satu."Apa-apaan kamu?" pekiknya lagi, kali ini suaranya lebih berat, lebih tajam, seolah hendak menembus pertahanan Aluna yang berdiri dengan ekspresi tak tergoyahkan. Hendri, dalam ledakan emosinya, mendorong tubuh Aluna, membuat perempuan itu terhuyung sejenak.Matanya nyalang menatap Aluna, mencari penjelasan yang mungkin bisa menenangkan amarahnya, tapi yang ia temukan hanyalah tatapan kosong, tatapan penuh kebencian yang sama sekali tidak memberinya ruang untuk mengerti.“Jangan ikut campur kamu!” balas Aluna tajam. Suaranya yang dingin berdering seperti lonceng kematian. “Aku tidak punya urusan denganmu.”Hend