Gave kembali ke rumah dengan langkah yang lebih berat dari biasanya. Meskipun wajahnya tetap tenang, hatinya bergelut dengan beban rahasia yang harus ia simpan. Ia tahu, Tristan telah memerintahkannya untuk tidak mengatakan apa pun kepada Revana tentang insiden dengan Aluna pagi ini.Namun, meskipun dia telah bekerja dengan Tristan selama bertahun-tahun dan setia, ia tidak pernah menyangka harus berbohong kepada Revana, wanita yang begitu baik dan tulus mencintai suaminya.Sesampainya di pintu masuk rumah, Gave disambut oleh Revana yang tampak khawatir. Wajah cantik wanita itu memancarkan kebingungan dan sedikit kecemasan.“Pak Gave? Apa yang terjadi? Kenapa Mas Tristan buru-buru ke kantor padahal belum sarapan?” tanyanya, suaranya lembut namun jelas penuh perhatian.Gave tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kekacauan yang baru saja terjadi di kantor. “Ah, tidak ada apa-apa, Revana. Kamu tahu sendiri, suamimu itu mafia. Jadi, kekacauan sering terjadi dalam pekerjaannya,” jawabnya
"Apa? Membelot lagi?" Suaranya terdengar serak dan tajam, menunjukkan amarah yang ditahannya.Tristan meletakkan ponsel dengan wajah tegang dan pandangan tajam. Berita yang baru saja diterimanya dari penjaga wilayah kekuasaannya di pesisir pantai membuat darahnya mendidih.Pagi itu seharusnya menjadi pagi yang tenang, pagi di mana ia bisa menikmati waktu bersama Revana, istrinya yang tengah mengandung buah hati mereka. Namun, panggilan itu mengubah segalanya.Ia bangkit dari duduknya, matanya yang tajam menatap lantai, seakan mencari jawaban atas kegelisahan yang tiba-tiba menguasainya. Di ujung telepon, Alex, pemimpin markas di pantai, terdengar serius dan cemas.“Iya, Tuan. Mereka melemparkan beberapa peluru ke markas kita. Kali ini dipimpin langsung oleh Alfrod dan kawanannya. Mereka masih ingin mengambil wilayah di sini,” kata Alex. Suaranya terdengar tegas namun ada sedikit ketakutan di baliknya, karena ia tahu betul apa yang Alfrod mampu lakukan.Tristan memijat keningnya, menco
Plak!Suara itu menggema, menghentikan langkah siapa pun yang mendengarnya. Wajah-wajah penasaran berbalik, seolah terhipnotis oleh kejadian yang begitu mendadak, begitu brutal.Hendri, yang berdiri tak jauh dari kejadian itu, terperanjat. Matanya membelalak, sulit mempercayai apa yang baru saja terjadi.“Aluna!” pekiknya, penuh keterkejutan dan amarah yang bercampur jadi satu."Apa-apaan kamu?" pekiknya lagi, kali ini suaranya lebih berat, lebih tajam, seolah hendak menembus pertahanan Aluna yang berdiri dengan ekspresi tak tergoyahkan. Hendri, dalam ledakan emosinya, mendorong tubuh Aluna, membuat perempuan itu terhuyung sejenak.Matanya nyalang menatap Aluna, mencari penjelasan yang mungkin bisa menenangkan amarahnya, tapi yang ia temukan hanyalah tatapan kosong, tatapan penuh kebencian yang sama sekali tidak memberinya ruang untuk mengerti.“Jangan ikut campur kamu!” balas Aluna tajam. Suaranya yang dingin berdering seperti lonceng kematian. “Aku tidak punya urusan denganmu.”Hend
Langit mulai beranjak senja, memancarkan warna oranye dan merah jambu yang memudar di cakrawala. Di dalam sebuah ruangan yang sepi dan sunyi, suasana justru terasa tegang, udara yang semula hangat tiba-tiba berubah menjadi dingin.Tristan berdiri di ambang pintu, tatapannya tajam menatap Aluna yang sedang duduk di sofa dengan ekspresi angkuh, meski di balik keteguhan wajahnya ada kemarahan yang bergejolak.“Aluna!” Tristan memulai dengan suara datar namun penuh ketegasan, suaranya menggema di ruangan yang luas itu. “Apa yang kamu lakukan di mall tadi? Mengapa kamu harus membuat keributan seperti itu?”Aluna menoleh dengan perlahan, wajahnya yang cantik menyiratkan kekesalan yang jelas terlihat. “Kenapa? Hendri sudah mengadu padamu, ya?” katanya sinis, matanya menyipit seolah menantang Tristan untuk berdebat lebih lanjut.Tristan menghela napas panjang, mencoba meredakan emosi yang bergejolak dalam dadanya. “Ya, Hendri sudah memberitahuku. Dan aku di sini untuk memperingatkanmu, Aluna,
Langit malam mulai menjingga ketika Tristan memasuki mobilnya, rasa lelah tergurat di wajahnya yang tampan. Matanya langsung tertuju pada Gave. "Bagaimana kondisi Revana?" tanya Tristan, suaranya serak namun tegas.Gave menoleh sebentar, memberikan senyum tipis yang seolah-olah menenangkan suasana. "Dia sudah membaik, Tuan," jawab Gave dengan nada formal yang khas. "Revana ingin menemui ayahnya. Dan sekarang sedang dalam perjalanan bersama Hendri."Tristan mengangguk pelan, mata cokelatnya menyipit, memikirkan sesuatu yang jauh di dalam benaknya. “Ya, yang penting dia sudah membaik. Kita harus kembali ke markas. Urusanku belum selesai,” katanya kemudian, diikuti dengan helaan napas panjang yang menunjukkan betapa lelah dirinya.Gave mengangguk setuju. “Baik, Tuan,” balasnya singkat, namun penuh makna. Ia menatap Tristan lewat kaca spion tengah, matanya menunjukkan rasa ingin tahu yang tak terucapkan.Merasa ada yang diperhatikannya, Tristan menaikkan alisnya, lalu bertanya, “Ada apa,
“Kamu yakin, dengan keputusanmu?” suara Dea memecah keheningan yang mengikat mereka. Nadanya tenang, namun ada sedikit kekhawatiran yang terselip di dalamnya.Revana mengangkat pandangannya dan menatap balik Dea. “Keputusan untuk tetap bertahan dengan Tristan?” tanyanya, memastikan apa yang dimaksud sahabatnya itu.Dea mengangguk, sorot matanya serius. “Iya. Kamu percaya, kalau Tristan sudah melupakan Aluna? Mereka sudah menjalin hubungan sejak mereka kuliah. Dan berpisah selama tiga tahun. Hampir tujuh tahun, kamu tahu?”Revana menarik napas panjang, seakan mencoba menarik semua ketegangan di udara ke dalam paru-parunya, lalu mengembuskannya perlahan. “Iya, aku tahu. Tapi, aku rasa jika Tristan masih menaruh sedikit hati untuk Aluna, itu hal yang wajar. Mereka menjalin hubungan lama sekali,” jawabnya dengan nada pelan namun tegas. Ada kepastian dalam kata-katanya, meskipun sedikit ketidakpastian masih mengintip di sudut hatinya.Dea menyunggingkan senyum tipis, senyum yang tidak ter
Tristan menghela napas panjang memandang Revana dengan tatapan penuh makna, sebelum akhirnya memberikan ruang pada perasaan yang akan tumpah ruah di antara Gave dan Revana.Dengan gerakan halus, ia melangkah keluar, mempersilakan Revana memasuki ruangannya. Pintu sedikit bergeser saat Tristan keluar, meninggalkan hanya celah tipis yang membiarkan cahaya dari luar menyelinap masuk.Revana berdiri di tengah ruangan dengan raut wajah penuh kebingungan. “Bukan soal kamu, kan?” tanyanya, nada suaranya bergetar, penuh dengan ketidakpastian dan kecemasan.Tristan menghentikan langkahnya sejenak di ambang pintu, menggeleng pelan dengan ekspresi tenang yang tersirat di wajahnya. “Bukan, Sayang,” jawabnya dengan nada datar namun penuh empati. “Ini soal kamu dan Gave. Dia ... adalah kakakmu.”Waktu seakan berhenti. Kata-kata itu menggantung di udara, mengisi ruang dengan keheningan yang mencekam. Mata Revana membelalak, rahangnya ternganga tak percaya. Dunia seakan berputar, berubah dari segala
Pagi itu, di ruang makan yang sunyi, hanya ada dua insan yang duduk berhadapan di meja makan kayu jati yang mengilap. Di luar, mentari baru saja menyembul dari balik awan, mengintip perlahan-lahan seolah malu-malu.Revana menatap Tristan, suaminya, yang sedang asyik menyeruput kopi hitam dari cangkir porselen putih. Keduanya terdiam, terkungkung dalam pikiran masing-masing, namun ada sesuatu yang menggantung di antara mereka—sesuatu yang belum terucap.Revana mengangkat kepalanya, menatap suaminya dengan tatapan ingin tahu. Matanya yang kecokelatan berkilau dalam cahaya pagi yang lembut. "Kamu ... sudah tahu sejak kapan soal ini?" tanyanya akhirnya, suaranya nyaris berbisik namun cukup jelas di telinga Tristan.Tristan menurunkan cangkirnya perlahan, menatap balik ke arah istrinya dengan mata yang tenang, tapi dalam. "Saat mencarimu," jawabnya pelan, dengan nada yang berat seolah mengandung beban yang telah lama dipikul. "Aku mengira jika Gave mencintaimu karena dia terlalu perhatian