Langit malam mulai menjingga ketika Tristan memasuki mobilnya, rasa lelah tergurat di wajahnya yang tampan. Matanya langsung tertuju pada Gave. "Bagaimana kondisi Revana?" tanya Tristan, suaranya serak namun tegas.Gave menoleh sebentar, memberikan senyum tipis yang seolah-olah menenangkan suasana. "Dia sudah membaik, Tuan," jawab Gave dengan nada formal yang khas. "Revana ingin menemui ayahnya. Dan sekarang sedang dalam perjalanan bersama Hendri."Tristan mengangguk pelan, mata cokelatnya menyipit, memikirkan sesuatu yang jauh di dalam benaknya. “Ya, yang penting dia sudah membaik. Kita harus kembali ke markas. Urusanku belum selesai,” katanya kemudian, diikuti dengan helaan napas panjang yang menunjukkan betapa lelah dirinya.Gave mengangguk setuju. “Baik, Tuan,” balasnya singkat, namun penuh makna. Ia menatap Tristan lewat kaca spion tengah, matanya menunjukkan rasa ingin tahu yang tak terucapkan.Merasa ada yang diperhatikannya, Tristan menaikkan alisnya, lalu bertanya, “Ada apa,
“Kamu yakin, dengan keputusanmu?” suara Dea memecah keheningan yang mengikat mereka. Nadanya tenang, namun ada sedikit kekhawatiran yang terselip di dalamnya.Revana mengangkat pandangannya dan menatap balik Dea. “Keputusan untuk tetap bertahan dengan Tristan?” tanyanya, memastikan apa yang dimaksud sahabatnya itu.Dea mengangguk, sorot matanya serius. “Iya. Kamu percaya, kalau Tristan sudah melupakan Aluna? Mereka sudah menjalin hubungan sejak mereka kuliah. Dan berpisah selama tiga tahun. Hampir tujuh tahun, kamu tahu?”Revana menarik napas panjang, seakan mencoba menarik semua ketegangan di udara ke dalam paru-parunya, lalu mengembuskannya perlahan. “Iya, aku tahu. Tapi, aku rasa jika Tristan masih menaruh sedikit hati untuk Aluna, itu hal yang wajar. Mereka menjalin hubungan lama sekali,” jawabnya dengan nada pelan namun tegas. Ada kepastian dalam kata-katanya, meskipun sedikit ketidakpastian masih mengintip di sudut hatinya.Dea menyunggingkan senyum tipis, senyum yang tidak ter
Tristan menghela napas panjang memandang Revana dengan tatapan penuh makna, sebelum akhirnya memberikan ruang pada perasaan yang akan tumpah ruah di antara Gave dan Revana.Dengan gerakan halus, ia melangkah keluar, mempersilakan Revana memasuki ruangannya. Pintu sedikit bergeser saat Tristan keluar, meninggalkan hanya celah tipis yang membiarkan cahaya dari luar menyelinap masuk.Revana berdiri di tengah ruangan dengan raut wajah penuh kebingungan. “Bukan soal kamu, kan?” tanyanya, nada suaranya bergetar, penuh dengan ketidakpastian dan kecemasan.Tristan menghentikan langkahnya sejenak di ambang pintu, menggeleng pelan dengan ekspresi tenang yang tersirat di wajahnya. “Bukan, Sayang,” jawabnya dengan nada datar namun penuh empati. “Ini soal kamu dan Gave. Dia ... adalah kakakmu.”Waktu seakan berhenti. Kata-kata itu menggantung di udara, mengisi ruang dengan keheningan yang mencekam. Mata Revana membelalak, rahangnya ternganga tak percaya. Dunia seakan berputar, berubah dari segala
Pagi itu, di ruang makan yang sunyi, hanya ada dua insan yang duduk berhadapan di meja makan kayu jati yang mengilap. Di luar, mentari baru saja menyembul dari balik awan, mengintip perlahan-lahan seolah malu-malu.Revana menatap Tristan, suaminya, yang sedang asyik menyeruput kopi hitam dari cangkir porselen putih. Keduanya terdiam, terkungkung dalam pikiran masing-masing, namun ada sesuatu yang menggantung di antara mereka—sesuatu yang belum terucap.Revana mengangkat kepalanya, menatap suaminya dengan tatapan ingin tahu. Matanya yang kecokelatan berkilau dalam cahaya pagi yang lembut. "Kamu ... sudah tahu sejak kapan soal ini?" tanyanya akhirnya, suaranya nyaris berbisik namun cukup jelas di telinga Tristan.Tristan menurunkan cangkirnya perlahan, menatap balik ke arah istrinya dengan mata yang tenang, tapi dalam. "Saat mencarimu," jawabnya pelan, dengan nada yang berat seolah mengandung beban yang telah lama dipikul. "Aku mengira jika Gave mencintaimu karena dia terlalu perhatian
Gave tertawa pelan mendengar pertanyaan Revana yang tiba-tiba. Ia menoleh ke arah adiknya yang kini menerbitkan cengiran jahil. Wajahnya menunjukkan campuran penasaran dan rasa ingin tahu yang begitu dalam.“Aku mengerti, kamu dan suamimu pasti akan berpikir seperti itu,” ujar Gave, suaranya mengalir lembut namun tegas. “Hanya saja, itu tidak benar. Sejak pertama kali Tristan membawamu ke rumah pun, aku sama sekali tidak tertarik padamu.”Revana menyunggingkan bibirnya, ekspresinya berubah seketika. Ia menoleh cepat menatap Gave, kerutan di keningnya semakin dalam. “Kak. Tapi ... tapi, kamu tidak menyukai sesama jenis, kan?”Pertanyaan itu membuat Gave tertawa lagi, kali ini lebih keras. Suaranya bergema di dalam mobil yang masih melaju pelan. “Tidak, Revana. Aku masih normal. Jangan berpikir terlalu jauh tentang kakakmu ini,” jawabnya dengan nada menggoda, matanya masih menatap jalan di depan. “Aku hanya malas mencari kekasih. Aku takut gagal, dan tidak bisa fokus pada pekerjaanku.”
Mereka telah kembali ke rumah. Kelelahan setelah perjalanan panjang, namun perasaan hangat mengisi hati Revana. Aroma rumah, wangi mawar yang lembut bercampur kayu manis, menyambutnya seperti pelukan lembut seorang ibu yang telah lama tak bertemu.“Permisi, Nona. Ada paket untuk Nona.” Salah satu pelayan memberikan sebuah amplop cokelat persegi panjang kepada Revana.Perempuan itu mengerutkan keningnya. “Untukku? Dari siapa ini?” tanyanya sembari membolak-balikkan amplop tersebut. Tak ada tanda atau petunjuk, hanya amplop polos dengan namanya tertulis rapi di atasnya.Ia melangkahkan kakinya memasuki rumahnya, gemericik sepatu hak tingginya terdengar samar di lantai marmer. Dengan hati-hati, ia merobek tepi amplop, rasa penasaran menggerogoti pikirannya. Siapa yang mengirimkan paket untuknya? Mengapa tanpa nama?“Dari siapa, Revana?” tanya Gave, kakaknya, menghampiri dengan langkah tergesa. Kekhawatiran tersirat di wajahnya, lipatan kecil di dahi yang biasanya mulus tampak lebih jelas
“Tristan. Sebaiknya pulang sekarang juga. Aluna … dia membuat onar lagi.” Gave menghubungi Tristan agar pria itu segera pulang. “Ada apa, Gave? Apa yang Aluna lakukan lagi pada Revana?” tanya Tristan sedikit cemas di seberang telepon sana. “Dia … dia mengirim beberapa foto-fotomu dengannya. Kamu pasti tahu foto apa yang dia kirim.”“Sial!” umpat Tristan kemudian menutup panggilan tersebut. Ia menyambar kunci mobilnya dan melangkah keluar dari ruang kerjanya. Tristan melangkah cepat meninggalkan kantornya begitu menerima telepon dari Gave yang mengabarkan kabar buruk. Langkahnya tergesa, seolah detik-detik yang berlalu adalah penentu hidupnya. Napasnya terengah, seakan udara enggan memasuki paru-parunya dengan lancar. Pikirannya kacau, terombang-ambing antara kenyataan yang menjerat dan ketakutan yang menghantui. Begitu sampai di rumah, matanya langsung tertuju pada sosok yang telah menghancurkan ketenangan hatinya.Di ruang tamu yang redup, Revana duduk di sofa dengan tubuh yang g
Langit malam yang pekat terasa begitu membebani, seakan turut meresapi atmosfir kelam yang mengelilingi rumah Tristan. Pintu kayu besar berderak pelan saat ia menutupnya di belakang punggungnya, mengunci diri dari kebisingan yang baru saja membakar amarah di antara dirinya dan Revana. Napasnya berat, udara malam yang sejuk tak mampu menyejukkan bara di dadanya. Revana—wanita yang ia cintai—masih terperangkap dalam gelombang ketidakpercayaan, membiarkan api emosinya membakar sisa kepercayaan yang baru saja ia raih."Tuan! Tuan, tunggu!" Terdengar suara langkah tergesa dari kejauhan, sebelum sosok Hendri mendekat. Wajah pria setengah baya itu menampakkan kepedulian yang tak tertutup.Tristan menoleh perlahan, mata kelamnya menyapu wajah Hendri. "Ada apa, Hendri?" suaranya berat, terbalut kelelahan yang tak bisa disembunyikan."Biarkan saya yang menyetir, Tuan. Biarkan saya menemani Anda di luar. Anda terlalu lelah untuk menghadapi semua ini sendirian." Hendri menawarkan diri dengan nad
Tristan yang sejak tadi diam, mengangguk kecil. Ia mengeluarkan ponselnya dan menelepon Gave. Tak butuh waktu lama, suara Gave yang penuh semangat terdengar dari seberang."Laura di sana? Serius? Dia melahirkan?!" seru Gave, suaranya melonjak kegirangan. Terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa, seperti Gave sedang berjalan sambil berputar-putar karena terlalu bahagia."Iya, Laura ada di sini. Bayi kalian lahir dengan selamat," jawab Tristan sambil tersenyum kecil.Dari seberang, suara Gave terdengar gemetar penuh haru. "Aku memang ingin menikahi Laura. Aku sudah mengajukan cuti untuk menyiapkan semuanya. Aku tidak menyangka bayi kami lahir lebih cepat dari prediksi dokter. Aku akan segera ke sana!"Tristan menutup telepon dan menatap Revana dengan tatapan geli. "Nah, kamu dengar sendiri, kan? Semua sudah jelas sekarang."Ketika Gave akhirnya tiba di rumah sakit, suasana menjadi semakin hangat. Dengan wajah penuh kerinduan, ia memeluk Laura erat, mengecup keningnya, lalu mengali
Revana akhirnya mengangguk pelan, meskipun hatinya masih penuh dengan keraguan dan luka.Sementara Tristan dan Hendri membantu wanita itu berjalan ke luar rumah, Revana berdiri diam di ambang pintu, menyaksikan mereka dengan campuran emosi yang tak terungkapkan."Revana!! Kenapa kamu diam. Ayo kita ke mobil. Tuntun Laura, cepat." Suara Tristan meninggi pada Revana.Revana mendengkus kesal dan tanpa suara air matanya menetes saat membukakan pintu mobil. Sementara erangan Laura makin membuat suasana begitu menegangkan."Aagh ... Aduh!" tak urung Laura memegang erat tangan Revana menahan rasa sakit tak tertahankan yang sebentar datang lalu reda. Lalu datang lagi sakitnya.Tristan mengemudi. Hendri dan Revana duduk di jok belakang di sisi kiri kanan Laura, sementara Laura merintih dengan wajah pucat.Jeritan Revana memenuhi lorong rumah sakit, bergema seperti sembilu yang menyayat hati Revana.Napasnya memburu, dadanya berdebar, namun bukan karena rasa simpati.Ia duduk di kursi tunggu d
Revana menatap meja makan dengan rasa puas. Ia merasa seperti ini adalah momen yang tepat.Sebentar lagi Tristan akan pulang, dan mereka akan merayakan ulang tahunnya bersama keluarga kecil mereka. Namun, di balik itu semua, ada sebuah kabar besar yang ingin ia bagi—kabar yang akan mengubah segalanya.Dengan hati yang penuh harapan, Revana duduk di kursi dan menunggu. Waktu terasa berjalan begitu lambat, seakan momen yang diinginkan belum tiba.Tetapi, ia tahu, kejutan ini akan menjadi awal dari babak baru dalam hidup mereka. Sebuah babak yang akan membuat mereka semakin dekat, semakin kuat, dan semakin bahagia.Tak lama kemudian, terdengar suara pintu terbuka, dan langkah kaki Tristan masuk ke dalam rumah. Revana berdiri, matanya bersinar penuh kebahagiaan, siap untuk memberi kejutan yang sudah ia siapkan dengan penuh cinta.Bau kue manis masih tercium di dapur ketika suara pintu depan terbuka. Revana, yang tengah mengatur meja makan, mendongak dengan senyum lebar di wajahnya."Mas T
Revana menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. Semua pengorbanan, semua perjuangan yang mereka lakukan, kini membuahkan hasil yang indah.Mereka bukan hanya pasangan, tapi juga sahabat sejati, yang saling mendukung dalam segala hal. Mereka telah melewati masa-masa sulit, dan kini mereka bisa menikmati momen-momen indah ini bersama.Ketika Naira kembali berlari ke arah mereka, wajahnya dipenuhi kegembiraan yang tak terbendung, Revana dan Tristan saling berpandangan, dan senyum lebar pun terukir di wajah mereka.Mereka tahu, kebahagiaan ini adalah hasil dari cinta yang telah tumbuh dalam hati mereka, dari segala perjuangan yang mereka lakukan bersama.Pada saat itulah, Revana merasakan kebahagiaan yang sejati, sebuah kebahagiaan yang tak terduga.Cinta yang dulu hanya dimulai dari keinginan sementara, kini berubah menjadi sebuah ikatan yang tak terpisahkan. Dalam pelukan keluarga kecil mereka, Revana merasa dunia ini penuh dengan kemungkinan yang tak terbatas.Dan dengan suara gelak
Pantai itu tampak indah dengan pasir putih yang membentang luas, dipadu dengan air laut yang berkilauan di bawah sinar matahari.Ombak datang bergulung-gulung, menghantam bibir pantai, menciptakan suara gemuruh yang menenangkan.Di tengah pemandangan yang menakjubkan itu, Tristan, dengan wajah lelah, berlari mengejar seorang gadis kecil yang tak kenal lelah, Naira.Matanya yang penuh kegembiraan dan keceriaan, tak bisa berhenti berlari di sepanjang garis pantai, membiarkan pasir menempel pada kaki telanjang kecilnya."Naira! Jangan lari ke sana, sayang!" seru Tristan dengan napas terengah-engah, mencoba mengejar anaknya yang semakin menjauh.Namun Naira justru tertawa riang, melangkah lebih cepat, seolah menikmati kebebasannya yang tidak terbatas.Dengan senyum penuh ceria, dia menoleh sebentar untuk melihat ayahnya, seolah mengatakan, "Kejar aku, Papi!" Lalu, tanpa peringatan, dia berlari lagi, menari-nari di tepi laut, membiarkan ombak menerjang kakinya yang mungil.Tristan tersenyu
Pesta itu meriah. Lampu-lampu indah berpendar di seluruh sudut ballroom yang luas, menciptakan atmosfer magis yang terasa seperti sebuah dunia terpisah.Para tamu berdiri, berbincang, dan tertawa, sementara musik lembut mengalun dari panggung, menambah kehangatan suasana.Di tengah keramaian itu, Tristan berdiri di depan mikrofon, mengenakan jas hitam yang sempurna, dengan senyum yang penuh kasih sayang untuk satu orang yang paling ia cintai di dunia ini—Revana.“Selamat malam semuanya,” suara Tristan menggema, menyentuh hati setiap orang yang mendengarnya Anggukan tamu undangan menjawab sapa Tristan. “Terima kasih telah hadir di acara spesial kami malam ini. Hari ini, aku dan Revana merayakan dua tahun yang penuh kebahagiaan, dan aku ingin berbagi sedikit cerita dengan kalian semua.”Revana berdiri di sampingnya, wajahnya terlihat begitu cantik dengan gaun merah yang berkilau, rambut panjangnya yang tertata rapi menambah pesona.Matanya memandang Tristan penuh cinta, seolah tidak p
Ruangan kantor terasa hening. Hanya suara jam dinding yang berdetak lembut menemani dua pria itu. Michael duduk di kursi di hadapan Tristan, wajahnya tertunduk dalam, menahan air mata yang sudah menggenang sejak tadi.Tristan baru saja menceritakan detail kejadian yang menimpa Mami karen ulah Alfrod. Sehingga Mami akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir.Michael tahu tidak ada kebohongan di sana. Semua yang dikisahkan Tristan mendukung bukti yang ia temukan.Sementara itu, Tristan bersandar di kursinya, menatap adiknya dengan tatapan yang sulit diartikan—campuran kasih sayang dan rasa prihatin. Mengenang masa lalu itu begitu pahit dan nyeri bagi mereka berdua.“Michael, semua rasa ingin tahumu sudah terjawab. Bukti kuat sudah kamu dapatkan,” suara Tristan memecah keheningan. Lembut tapi tegas, seperti pelukan yang menenangkan.“Ada yang ingin kuberitahukan padamu. Sesuatu yang selama ini kupendam dan ingin kamu lakukan.”Michael mengangkat wajahnya perlahan, mata merahnya bertem
Satu bulan telah berlalu sejak insiden penembakan di kantor Tristan. Kehidupan perlahan kembali seperti biasa.Luka di tubuhnya memang sudah sembuh, tapi Tristan tahu, luka di hatinya dan keluarganya butuh waktu lebih lama untuk pulih.Bagaimanapun Alfrod adalah keluarga dan kini semua berakhir seperti ini. Tristan kadang tidak percaya ini akhir persaudaraan mereka. Kadang rasa sedih sebagai satu dalam ikatan saudara masih saja ada.Pagi itu, suasana di kantor terlihat tenang. Tristan duduk di balik meja kerjanya, menandatangani beberapa dokumen penting.Cahaya matahari menyelinap melalui jendela besar di belakangnya, menciptakan siluet yang menonjolkan ketegasan wajahnya.Pintu ruangannya terbuka perlahan. Michael melangkah masuk dengan ragu-ragu, membawa dua cangkir kopi. "Kupikir kamu butuh ini," katanya pelan, menaruh salah satu cangkir di meja Tristan.Tristan mendongak, tersenyum kecil. “Terima kasih. Duduklah. Apa kabarmu Michae
Tristan tersenyum penuh kemenangan. Dengan hati-hati, ia meraih bayi kecil itu dan meletakkannya di pelukan.Naira menggeliat kecil sebelum kembali tertidur dengan damai. Perasaan hangat menyelimuti dada Tristan. "Aku merindukanmu, Sayang," bisiknya lembut. "Bayiku yang cantik dan manis."Revana tersenyum melihat pemandangan itu, meski ia tetap mengawasi dengan cermat. “Aku akan membuatkan sup untukmu. Jangan coba-coba bergerak dari sini.”“Baiklah. Aku tidak akan pergi ke tempat gym, Sayang.” Tristan menjawab dengan nada bercanda, membuat Revana mendengus kecil sebelum pergi ke dapur.Saat Revana sibuk di dapur, Tristan duduk di tempat tidur sambil berbicara pelan dengan Naira. “Kamu tahu, Nak? Papi akan memastikan dunia ini aman untukmu. Apa pun yang terjadi, kamu tidak perlu takut.”Pintu depan terdengar diketuk, dan beberapa saat kemudian Gave muncul di ambang pintu kamar. "Aku boleh masuk?"&ldq