“Kamu yakin, dengan keputusanmu?” suara Dea memecah keheningan yang mengikat mereka. Nadanya tenang, namun ada sedikit kekhawatiran yang terselip di dalamnya.Revana mengangkat pandangannya dan menatap balik Dea. “Keputusan untuk tetap bertahan dengan Tristan?” tanyanya, memastikan apa yang dimaksud sahabatnya itu.Dea mengangguk, sorot matanya serius. “Iya. Kamu percaya, kalau Tristan sudah melupakan Aluna? Mereka sudah menjalin hubungan sejak mereka kuliah. Dan berpisah selama tiga tahun. Hampir tujuh tahun, kamu tahu?”Revana menarik napas panjang, seakan mencoba menarik semua ketegangan di udara ke dalam paru-parunya, lalu mengembuskannya perlahan. “Iya, aku tahu. Tapi, aku rasa jika Tristan masih menaruh sedikit hati untuk Aluna, itu hal yang wajar. Mereka menjalin hubungan lama sekali,” jawabnya dengan nada pelan namun tegas. Ada kepastian dalam kata-katanya, meskipun sedikit ketidakpastian masih mengintip di sudut hatinya.Dea menyunggingkan senyum tipis, senyum yang tidak ter
Tristan menghela napas panjang memandang Revana dengan tatapan penuh makna, sebelum akhirnya memberikan ruang pada perasaan yang akan tumpah ruah di antara Gave dan Revana.Dengan gerakan halus, ia melangkah keluar, mempersilakan Revana memasuki ruangannya. Pintu sedikit bergeser saat Tristan keluar, meninggalkan hanya celah tipis yang membiarkan cahaya dari luar menyelinap masuk.Revana berdiri di tengah ruangan dengan raut wajah penuh kebingungan. “Bukan soal kamu, kan?” tanyanya, nada suaranya bergetar, penuh dengan ketidakpastian dan kecemasan.Tristan menghentikan langkahnya sejenak di ambang pintu, menggeleng pelan dengan ekspresi tenang yang tersirat di wajahnya. “Bukan, Sayang,” jawabnya dengan nada datar namun penuh empati. “Ini soal kamu dan Gave. Dia ... adalah kakakmu.”Waktu seakan berhenti. Kata-kata itu menggantung di udara, mengisi ruang dengan keheningan yang mencekam. Mata Revana membelalak, rahangnya ternganga tak percaya. Dunia seakan berputar, berubah dari segala
Pagi itu, di ruang makan yang sunyi, hanya ada dua insan yang duduk berhadapan di meja makan kayu jati yang mengilap. Di luar, mentari baru saja menyembul dari balik awan, mengintip perlahan-lahan seolah malu-malu.Revana menatap Tristan, suaminya, yang sedang asyik menyeruput kopi hitam dari cangkir porselen putih. Keduanya terdiam, terkungkung dalam pikiran masing-masing, namun ada sesuatu yang menggantung di antara mereka—sesuatu yang belum terucap.Revana mengangkat kepalanya, menatap suaminya dengan tatapan ingin tahu. Matanya yang kecokelatan berkilau dalam cahaya pagi yang lembut. "Kamu ... sudah tahu sejak kapan soal ini?" tanyanya akhirnya, suaranya nyaris berbisik namun cukup jelas di telinga Tristan.Tristan menurunkan cangkirnya perlahan, menatap balik ke arah istrinya dengan mata yang tenang, tapi dalam. "Saat mencarimu," jawabnya pelan, dengan nada yang berat seolah mengandung beban yang telah lama dipikul. "Aku mengira jika Gave mencintaimu karena dia terlalu perhatian
Gave tertawa pelan mendengar pertanyaan Revana yang tiba-tiba. Ia menoleh ke arah adiknya yang kini menerbitkan cengiran jahil. Wajahnya menunjukkan campuran penasaran dan rasa ingin tahu yang begitu dalam.“Aku mengerti, kamu dan suamimu pasti akan berpikir seperti itu,” ujar Gave, suaranya mengalir lembut namun tegas. “Hanya saja, itu tidak benar. Sejak pertama kali Tristan membawamu ke rumah pun, aku sama sekali tidak tertarik padamu.”Revana menyunggingkan bibirnya, ekspresinya berubah seketika. Ia menoleh cepat menatap Gave, kerutan di keningnya semakin dalam. “Kak. Tapi ... tapi, kamu tidak menyukai sesama jenis, kan?”Pertanyaan itu membuat Gave tertawa lagi, kali ini lebih keras. Suaranya bergema di dalam mobil yang masih melaju pelan. “Tidak, Revana. Aku masih normal. Jangan berpikir terlalu jauh tentang kakakmu ini,” jawabnya dengan nada menggoda, matanya masih menatap jalan di depan. “Aku hanya malas mencari kekasih. Aku takut gagal, dan tidak bisa fokus pada pekerjaanku.”
Mereka telah kembali ke rumah. Kelelahan setelah perjalanan panjang, namun perasaan hangat mengisi hati Revana. Aroma rumah, wangi mawar yang lembut bercampur kayu manis, menyambutnya seperti pelukan lembut seorang ibu yang telah lama tak bertemu.“Permisi, Nona. Ada paket untuk Nona.” Salah satu pelayan memberikan sebuah amplop cokelat persegi panjang kepada Revana.Perempuan itu mengerutkan keningnya. “Untukku? Dari siapa ini?” tanyanya sembari membolak-balikkan amplop tersebut. Tak ada tanda atau petunjuk, hanya amplop polos dengan namanya tertulis rapi di atasnya.Ia melangkahkan kakinya memasuki rumahnya, gemericik sepatu hak tingginya terdengar samar di lantai marmer. Dengan hati-hati, ia merobek tepi amplop, rasa penasaran menggerogoti pikirannya. Siapa yang mengirimkan paket untuknya? Mengapa tanpa nama?“Dari siapa, Revana?” tanya Gave, kakaknya, menghampiri dengan langkah tergesa. Kekhawatiran tersirat di wajahnya, lipatan kecil di dahi yang biasanya mulus tampak lebih jelas
“Tristan. Sebaiknya pulang sekarang juga. Aluna … dia membuat onar lagi.” Gave menghubungi Tristan agar pria itu segera pulang. “Ada apa, Gave? Apa yang Aluna lakukan lagi pada Revana?” tanya Tristan sedikit cemas di seberang telepon sana. “Dia … dia mengirim beberapa foto-fotomu dengannya. Kamu pasti tahu foto apa yang dia kirim.”“Sial!” umpat Tristan kemudian menutup panggilan tersebut. Ia menyambar kunci mobilnya dan melangkah keluar dari ruang kerjanya. Tristan melangkah cepat meninggalkan kantornya begitu menerima telepon dari Gave yang mengabarkan kabar buruk. Langkahnya tergesa, seolah detik-detik yang berlalu adalah penentu hidupnya. Napasnya terengah, seakan udara enggan memasuki paru-parunya dengan lancar. Pikirannya kacau, terombang-ambing antara kenyataan yang menjerat dan ketakutan yang menghantui. Begitu sampai di rumah, matanya langsung tertuju pada sosok yang telah menghancurkan ketenangan hatinya.Di ruang tamu yang redup, Revana duduk di sofa dengan tubuh yang g
Langit malam yang pekat terasa begitu membebani, seakan turut meresapi atmosfir kelam yang mengelilingi rumah Tristan. Pintu kayu besar berderak pelan saat ia menutupnya di belakang punggungnya, mengunci diri dari kebisingan yang baru saja membakar amarah di antara dirinya dan Revana. Napasnya berat, udara malam yang sejuk tak mampu menyejukkan bara di dadanya. Revana—wanita yang ia cintai—masih terperangkap dalam gelombang ketidakpercayaan, membiarkan api emosinya membakar sisa kepercayaan yang baru saja ia raih."Tuan! Tuan, tunggu!" Terdengar suara langkah tergesa dari kejauhan, sebelum sosok Hendri mendekat. Wajah pria setengah baya itu menampakkan kepedulian yang tak tertutup.Tristan menoleh perlahan, mata kelamnya menyapu wajah Hendri. "Ada apa, Hendri?" suaranya berat, terbalut kelelahan yang tak bisa disembunyikan."Biarkan saya yang menyetir, Tuan. Biarkan saya menemani Anda di luar. Anda terlalu lelah untuk menghadapi semua ini sendirian." Hendri menawarkan diri dengan nad
Gave berjalan mendekati Revana yang duduk terdiam di tepi sofa, matanya kosong menatap jauh ke depan seakan mencari jawaban yang tak pernah datang. Udara di ruangan itu terasa berat, diiringi suara detik jarum jam yang terlampau pelan. Gave tak ingin memecahkan keheningan yang rapuh, namun dia tahu, ada sesuatu yang harus dibicarakan.Ia duduk perlahan di samping adiknya, menghela napas panjang. "Masih belum bisa percaya kalau itu hanya foto lama?" tanyanya lembut, mencoba membuka percakapan.Revana menarik napas perlahan, suaranya nyaris tersesat di antara desahan angin kecil yang berhembus dari jendela. "Sulit, Kak," jawabnya akhirnya, suaranya bergetar tipis. "Mereka pernah saling mencintai ... terpisah oleh jarak dan waktu. Mereka pasti saling merindu. Rasanya tidak mungkin jika mereka tidak melakukan apa-apa."Gave memperhatikan wajah adiknya dengan seksama. Mata Revana yang biasanya cerah dan penuh semangat kini tampak lelah dan memerah setelah semalaman menangis. Tangisan itu