Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi ketika Tristan membuka matanya. Cahaya matahari yang lembut menerobos masuk melalui celah-celah tirai kamar, menciptakan pola-pola cahaya yang menari di dinding.Dia menoleh ke samping dan melihat Revana masih tertidur lelap, wajahnya tampak tenang dan damai. Senyum merekah di bibir Tristan, rasa syukur dan bahagia mengalir melalui nadinya.‘Ternyata ini bukan mimpi,’ pikirnya dalam hati, matanya tidak lepas memandangi wajah istrinya yang cantik. ‘Dia sudah kembali ke rumah ini, kembali ke pelukanku.’ Dengan penuh kasih sayang, Tristan menunduk dan mencium kening Revana, lembut dan penuh cinta.‘Wanita yang dulu tak pernah kuberikan cinta, malah membuatku jatuh cinta sedalam-dalamnya. Bahkan, aku rela melakukan apa saja untuk wanita ini,’ gumamnya dalam hati.Tristan mengulum senyum, merasa malu pada dirinya sendiri karena pernah mengabaikan dan bersikap kurang ajar pada Revana. Sekarang, apa pun yang diinginkan istrinya, akan segera ia turuti.
Tristan menyeret tangan Aluna dengan paksa, membawanya dengan langkah cepat menuju ruang kerjanya. Setiap tarikan napasnya terasa berat, dadanya bergemuruh penuh amarah yang tertahan.Genggaman tangannya kuat, begitu erat hingga menimbulkan rasa sakit di pergelangan tangan Aluna, membuat wanita itu meringis."Tristan! Apa yang kamu lakukan? Lepaskan, sakit, Tristan!" teriak Aluna, suaranya penuh dengan kepanikan dan rasa sakit yang menjalar di pergelangan tangannya yang tercekik oleh genggaman Tristan.Tristan tidak merespons. Matanya yang tajam menyala dengan api kemarahan, wajahnya keras, penuh determinasi. "Kamu sendiri yang datang ke sini!" ucap Tristan dengan nada dingin, pandangannya lurus ke depan, tak sudi melirik wajah Aluna yang sedang kesakitan.“Karena kamu tidak mau menerima panggilan dariku! Kamu menjauh dariku demi wanita murahan itu!” pekik Aluna, wajahnya penuh kemarahan, matanya membara.Kata-kata itu keluar seperti bisa yang menghujam langsung ke jantung Tristan, ta
Gave kembali ke rumah dengan langkah yang lebih berat dari biasanya. Meskipun wajahnya tetap tenang, hatinya bergelut dengan beban rahasia yang harus ia simpan. Ia tahu, Tristan telah memerintahkannya untuk tidak mengatakan apa pun kepada Revana tentang insiden dengan Aluna pagi ini.Namun, meskipun dia telah bekerja dengan Tristan selama bertahun-tahun dan setia, ia tidak pernah menyangka harus berbohong kepada Revana, wanita yang begitu baik dan tulus mencintai suaminya.Sesampainya di pintu masuk rumah, Gave disambut oleh Revana yang tampak khawatir. Wajah cantik wanita itu memancarkan kebingungan dan sedikit kecemasan.“Pak Gave? Apa yang terjadi? Kenapa Mas Tristan buru-buru ke kantor padahal belum sarapan?” tanyanya, suaranya lembut namun jelas penuh perhatian.Gave tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kekacauan yang baru saja terjadi di kantor. “Ah, tidak ada apa-apa, Revana. Kamu tahu sendiri, suamimu itu mafia. Jadi, kekacauan sering terjadi dalam pekerjaannya,” jawabnya
"Apa? Membelot lagi?" Suaranya terdengar serak dan tajam, menunjukkan amarah yang ditahannya.Tristan meletakkan ponsel dengan wajah tegang dan pandangan tajam. Berita yang baru saja diterimanya dari penjaga wilayah kekuasaannya di pesisir pantai membuat darahnya mendidih.Pagi itu seharusnya menjadi pagi yang tenang, pagi di mana ia bisa menikmati waktu bersama Revana, istrinya yang tengah mengandung buah hati mereka. Namun, panggilan itu mengubah segalanya.Ia bangkit dari duduknya, matanya yang tajam menatap lantai, seakan mencari jawaban atas kegelisahan yang tiba-tiba menguasainya. Di ujung telepon, Alex, pemimpin markas di pantai, terdengar serius dan cemas.“Iya, Tuan. Mereka melemparkan beberapa peluru ke markas kita. Kali ini dipimpin langsung oleh Alfrod dan kawanannya. Mereka masih ingin mengambil wilayah di sini,” kata Alex. Suaranya terdengar tegas namun ada sedikit ketakutan di baliknya, karena ia tahu betul apa yang Alfrod mampu lakukan.Tristan memijat keningnya, menco
Plak!Suara itu menggema, menghentikan langkah siapa pun yang mendengarnya. Wajah-wajah penasaran berbalik, seolah terhipnotis oleh kejadian yang begitu mendadak, begitu brutal.Hendri, yang berdiri tak jauh dari kejadian itu, terperanjat. Matanya membelalak, sulit mempercayai apa yang baru saja terjadi.“Aluna!” pekiknya, penuh keterkejutan dan amarah yang bercampur jadi satu."Apa-apaan kamu?" pekiknya lagi, kali ini suaranya lebih berat, lebih tajam, seolah hendak menembus pertahanan Aluna yang berdiri dengan ekspresi tak tergoyahkan. Hendri, dalam ledakan emosinya, mendorong tubuh Aluna, membuat perempuan itu terhuyung sejenak.Matanya nyalang menatap Aluna, mencari penjelasan yang mungkin bisa menenangkan amarahnya, tapi yang ia temukan hanyalah tatapan kosong, tatapan penuh kebencian yang sama sekali tidak memberinya ruang untuk mengerti.“Jangan ikut campur kamu!” balas Aluna tajam. Suaranya yang dingin berdering seperti lonceng kematian. “Aku tidak punya urusan denganmu.”Hend
Langit mulai beranjak senja, memancarkan warna oranye dan merah jambu yang memudar di cakrawala. Di dalam sebuah ruangan yang sepi dan sunyi, suasana justru terasa tegang, udara yang semula hangat tiba-tiba berubah menjadi dingin.Tristan berdiri di ambang pintu, tatapannya tajam menatap Aluna yang sedang duduk di sofa dengan ekspresi angkuh, meski di balik keteguhan wajahnya ada kemarahan yang bergejolak.“Aluna!” Tristan memulai dengan suara datar namun penuh ketegasan, suaranya menggema di ruangan yang luas itu. “Apa yang kamu lakukan di mall tadi? Mengapa kamu harus membuat keributan seperti itu?”Aluna menoleh dengan perlahan, wajahnya yang cantik menyiratkan kekesalan yang jelas terlihat. “Kenapa? Hendri sudah mengadu padamu, ya?” katanya sinis, matanya menyipit seolah menantang Tristan untuk berdebat lebih lanjut.Tristan menghela napas panjang, mencoba meredakan emosi yang bergejolak dalam dadanya. “Ya, Hendri sudah memberitahuku. Dan aku di sini untuk memperingatkanmu, Aluna,
Langit malam mulai menjingga ketika Tristan memasuki mobilnya, rasa lelah tergurat di wajahnya yang tampan. Matanya langsung tertuju pada Gave. "Bagaimana kondisi Revana?" tanya Tristan, suaranya serak namun tegas.Gave menoleh sebentar, memberikan senyum tipis yang seolah-olah menenangkan suasana. "Dia sudah membaik, Tuan," jawab Gave dengan nada formal yang khas. "Revana ingin menemui ayahnya. Dan sekarang sedang dalam perjalanan bersama Hendri."Tristan mengangguk pelan, mata cokelatnya menyipit, memikirkan sesuatu yang jauh di dalam benaknya. “Ya, yang penting dia sudah membaik. Kita harus kembali ke markas. Urusanku belum selesai,” katanya kemudian, diikuti dengan helaan napas panjang yang menunjukkan betapa lelah dirinya.Gave mengangguk setuju. “Baik, Tuan,” balasnya singkat, namun penuh makna. Ia menatap Tristan lewat kaca spion tengah, matanya menunjukkan rasa ingin tahu yang tak terucapkan.Merasa ada yang diperhatikannya, Tristan menaikkan alisnya, lalu bertanya, “Ada apa,
“Kamu yakin, dengan keputusanmu?” suara Dea memecah keheningan yang mengikat mereka. Nadanya tenang, namun ada sedikit kekhawatiran yang terselip di dalamnya.Revana mengangkat pandangannya dan menatap balik Dea. “Keputusan untuk tetap bertahan dengan Tristan?” tanyanya, memastikan apa yang dimaksud sahabatnya itu.Dea mengangguk, sorot matanya serius. “Iya. Kamu percaya, kalau Tristan sudah melupakan Aluna? Mereka sudah menjalin hubungan sejak mereka kuliah. Dan berpisah selama tiga tahun. Hampir tujuh tahun, kamu tahu?”Revana menarik napas panjang, seakan mencoba menarik semua ketegangan di udara ke dalam paru-parunya, lalu mengembuskannya perlahan. “Iya, aku tahu. Tapi, aku rasa jika Tristan masih menaruh sedikit hati untuk Aluna, itu hal yang wajar. Mereka menjalin hubungan lama sekali,” jawabnya dengan nada pelan namun tegas. Ada kepastian dalam kata-katanya, meskipun sedikit ketidakpastian masih mengintip di sudut hatinya.Dea menyunggingkan senyum tipis, senyum yang tidak ter
Tristan yang sejak tadi diam, mengangguk kecil. Ia mengeluarkan ponselnya dan menelepon Gave. Tak butuh waktu lama, suara Gave yang penuh semangat terdengar dari seberang."Laura di sana? Serius? Dia melahirkan?!" seru Gave, suaranya melonjak kegirangan. Terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa, seperti Gave sedang berjalan sambil berputar-putar karena terlalu bahagia."Iya, Laura ada di sini. Bayi kalian lahir dengan selamat," jawab Tristan sambil tersenyum kecil.Dari seberang, suara Gave terdengar gemetar penuh haru. "Aku memang ingin menikahi Laura. Aku sudah mengajukan cuti untuk menyiapkan semuanya. Aku tidak menyangka bayi kami lahir lebih cepat dari prediksi dokter. Aku akan segera ke sana!"Tristan menutup telepon dan menatap Revana dengan tatapan geli. "Nah, kamu dengar sendiri, kan? Semua sudah jelas sekarang."Ketika Gave akhirnya tiba di rumah sakit, suasana menjadi semakin hangat. Dengan wajah penuh kerinduan, ia memeluk Laura erat, mengecup keningnya, lalu mengali
Revana akhirnya mengangguk pelan, meskipun hatinya masih penuh dengan keraguan dan luka.Sementara Tristan dan Hendri membantu wanita itu berjalan ke luar rumah, Revana berdiri diam di ambang pintu, menyaksikan mereka dengan campuran emosi yang tak terungkapkan."Revana!! Kenapa kamu diam. Ayo kita ke mobil. Tuntun Laura, cepat." Suara Tristan meninggi pada Revana.Revana mendengkus kesal dan tanpa suara air matanya menetes saat membukakan pintu mobil. Sementara erangan Laura makin membuat suasana begitu menegangkan."Aagh ... Aduh!" tak urung Laura memegang erat tangan Revana menahan rasa sakit tak tertahankan yang sebentar datang lalu reda. Lalu datang lagi sakitnya.Tristan mengemudi. Hendri dan Revana duduk di jok belakang di sisi kiri kanan Laura, sementara Laura merintih dengan wajah pucat.Jeritan Revana memenuhi lorong rumah sakit, bergema seperti sembilu yang menyayat hati Revana.Napasnya memburu, dadanya berdebar, namun bukan karena rasa simpati.Ia duduk di kursi tunggu d
Revana menatap meja makan dengan rasa puas. Ia merasa seperti ini adalah momen yang tepat.Sebentar lagi Tristan akan pulang, dan mereka akan merayakan ulang tahunnya bersama keluarga kecil mereka. Namun, di balik itu semua, ada sebuah kabar besar yang ingin ia bagi—kabar yang akan mengubah segalanya.Dengan hati yang penuh harapan, Revana duduk di kursi dan menunggu. Waktu terasa berjalan begitu lambat, seakan momen yang diinginkan belum tiba.Tetapi, ia tahu, kejutan ini akan menjadi awal dari babak baru dalam hidup mereka. Sebuah babak yang akan membuat mereka semakin dekat, semakin kuat, dan semakin bahagia.Tak lama kemudian, terdengar suara pintu terbuka, dan langkah kaki Tristan masuk ke dalam rumah. Revana berdiri, matanya bersinar penuh kebahagiaan, siap untuk memberi kejutan yang sudah ia siapkan dengan penuh cinta.Bau kue manis masih tercium di dapur ketika suara pintu depan terbuka. Revana, yang tengah mengatur meja makan, mendongak dengan senyum lebar di wajahnya."Mas T
Revana menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. Semua pengorbanan, semua perjuangan yang mereka lakukan, kini membuahkan hasil yang indah.Mereka bukan hanya pasangan, tapi juga sahabat sejati, yang saling mendukung dalam segala hal. Mereka telah melewati masa-masa sulit, dan kini mereka bisa menikmati momen-momen indah ini bersama.Ketika Naira kembali berlari ke arah mereka, wajahnya dipenuhi kegembiraan yang tak terbendung, Revana dan Tristan saling berpandangan, dan senyum lebar pun terukir di wajah mereka.Mereka tahu, kebahagiaan ini adalah hasil dari cinta yang telah tumbuh dalam hati mereka, dari segala perjuangan yang mereka lakukan bersama.Pada saat itulah, Revana merasakan kebahagiaan yang sejati, sebuah kebahagiaan yang tak terduga.Cinta yang dulu hanya dimulai dari keinginan sementara, kini berubah menjadi sebuah ikatan yang tak terpisahkan. Dalam pelukan keluarga kecil mereka, Revana merasa dunia ini penuh dengan kemungkinan yang tak terbatas.Dan dengan suara gelak
Pantai itu tampak indah dengan pasir putih yang membentang luas, dipadu dengan air laut yang berkilauan di bawah sinar matahari.Ombak datang bergulung-gulung, menghantam bibir pantai, menciptakan suara gemuruh yang menenangkan.Di tengah pemandangan yang menakjubkan itu, Tristan, dengan wajah lelah, berlari mengejar seorang gadis kecil yang tak kenal lelah, Naira.Matanya yang penuh kegembiraan dan keceriaan, tak bisa berhenti berlari di sepanjang garis pantai, membiarkan pasir menempel pada kaki telanjang kecilnya."Naira! Jangan lari ke sana, sayang!" seru Tristan dengan napas terengah-engah, mencoba mengejar anaknya yang semakin menjauh.Namun Naira justru tertawa riang, melangkah lebih cepat, seolah menikmati kebebasannya yang tidak terbatas.Dengan senyum penuh ceria, dia menoleh sebentar untuk melihat ayahnya, seolah mengatakan, "Kejar aku, Papi!" Lalu, tanpa peringatan, dia berlari lagi, menari-nari di tepi laut, membiarkan ombak menerjang kakinya yang mungil.Tristan tersenyu
Pesta itu meriah. Lampu-lampu indah berpendar di seluruh sudut ballroom yang luas, menciptakan atmosfer magis yang terasa seperti sebuah dunia terpisah.Para tamu berdiri, berbincang, dan tertawa, sementara musik lembut mengalun dari panggung, menambah kehangatan suasana.Di tengah keramaian itu, Tristan berdiri di depan mikrofon, mengenakan jas hitam yang sempurna, dengan senyum yang penuh kasih sayang untuk satu orang yang paling ia cintai di dunia ini—Revana.“Selamat malam semuanya,” suara Tristan menggema, menyentuh hati setiap orang yang mendengarnya Anggukan tamu undangan menjawab sapa Tristan. “Terima kasih telah hadir di acara spesial kami malam ini. Hari ini, aku dan Revana merayakan dua tahun yang penuh kebahagiaan, dan aku ingin berbagi sedikit cerita dengan kalian semua.”Revana berdiri di sampingnya, wajahnya terlihat begitu cantik dengan gaun merah yang berkilau, rambut panjangnya yang tertata rapi menambah pesona.Matanya memandang Tristan penuh cinta, seolah tidak p
Ruangan kantor terasa hening. Hanya suara jam dinding yang berdetak lembut menemani dua pria itu. Michael duduk di kursi di hadapan Tristan, wajahnya tertunduk dalam, menahan air mata yang sudah menggenang sejak tadi.Tristan baru saja menceritakan detail kejadian yang menimpa Mami karen ulah Alfrod. Sehingga Mami akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir.Michael tahu tidak ada kebohongan di sana. Semua yang dikisahkan Tristan mendukung bukti yang ia temukan.Sementara itu, Tristan bersandar di kursinya, menatap adiknya dengan tatapan yang sulit diartikan—campuran kasih sayang dan rasa prihatin. Mengenang masa lalu itu begitu pahit dan nyeri bagi mereka berdua.“Michael, semua rasa ingin tahumu sudah terjawab. Bukti kuat sudah kamu dapatkan,” suara Tristan memecah keheningan. Lembut tapi tegas, seperti pelukan yang menenangkan.“Ada yang ingin kuberitahukan padamu. Sesuatu yang selama ini kupendam dan ingin kamu lakukan.”Michael mengangkat wajahnya perlahan, mata merahnya bertem
Satu bulan telah berlalu sejak insiden penembakan di kantor Tristan. Kehidupan perlahan kembali seperti biasa.Luka di tubuhnya memang sudah sembuh, tapi Tristan tahu, luka di hatinya dan keluarganya butuh waktu lebih lama untuk pulih.Bagaimanapun Alfrod adalah keluarga dan kini semua berakhir seperti ini. Tristan kadang tidak percaya ini akhir persaudaraan mereka. Kadang rasa sedih sebagai satu dalam ikatan saudara masih saja ada.Pagi itu, suasana di kantor terlihat tenang. Tristan duduk di balik meja kerjanya, menandatangani beberapa dokumen penting.Cahaya matahari menyelinap melalui jendela besar di belakangnya, menciptakan siluet yang menonjolkan ketegasan wajahnya.Pintu ruangannya terbuka perlahan. Michael melangkah masuk dengan ragu-ragu, membawa dua cangkir kopi. "Kupikir kamu butuh ini," katanya pelan, menaruh salah satu cangkir di meja Tristan.Tristan mendongak, tersenyum kecil. “Terima kasih. Duduklah. Apa kabarmu Michae
Tristan tersenyum penuh kemenangan. Dengan hati-hati, ia meraih bayi kecil itu dan meletakkannya di pelukan.Naira menggeliat kecil sebelum kembali tertidur dengan damai. Perasaan hangat menyelimuti dada Tristan. "Aku merindukanmu, Sayang," bisiknya lembut. "Bayiku yang cantik dan manis."Revana tersenyum melihat pemandangan itu, meski ia tetap mengawasi dengan cermat. “Aku akan membuatkan sup untukmu. Jangan coba-coba bergerak dari sini.”“Baiklah. Aku tidak akan pergi ke tempat gym, Sayang.” Tristan menjawab dengan nada bercanda, membuat Revana mendengus kecil sebelum pergi ke dapur.Saat Revana sibuk di dapur, Tristan duduk di tempat tidur sambil berbicara pelan dengan Naira. “Kamu tahu, Nak? Papi akan memastikan dunia ini aman untukmu. Apa pun yang terjadi, kamu tidak perlu takut.”Pintu depan terdengar diketuk, dan beberapa saat kemudian Gave muncul di ambang pintu kamar. "Aku boleh masuk?"&ldq