Dua hari setelah Tristan diperbolehkan pulang oleh dokter, mereka akhirnya memutuskan untuk meninggalkan villa tempat mereka tinggal sementara waktu.Revana, yang sangat peduli dengan kesejahteraan Tristan, mengajaknya menuju tempat tinggalnya selama di Bali—sebuah kostan sederhana yang telah menjadi rumah mereka sementara.Meskipun Tristan tahu Revana memiliki pengaturan yang sederhana, dia tetap tidak bisa menahan rasa ingin tahunya untuk melihat tempat itu.Ketika mereka tiba di kostan, Tristan terperangah melihat betapa kecil dan sederhana tempat tinggal Revana. Ruangan yang sempit dan perlengkapan yang minim benar-benar berbeda dari apa yang biasa ia bayangkan.Lantai yang tidak rata, dinding yang penuh dengan bekas-bekas, dan perabotan yang sudah usang membuat Tristan merasa tidak nyaman.“Revana … ini ….” Tristan menatap horror tempat itu, suaranya penuh dengan kekagetan dan kekhawatiran. “Ini tidak bisa disebut sebagai tempat tinggal. Bagaimana kamu bisa tinggal di sini?”Reva
Pagi itu, matahari baru saja mengintip dari balik tirai-tirai langit, menciptakan semburat keemasan yang menerobos jendela kamar. Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Namun, keheningan masih menyelimuti ruangan itu, seolah waktu enggan bergerak maju.Revana membuka matanya perlahan, kelopak matanya yang masih berat oleh sisa-sisa mimpi berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya yang mulai merebak.Ia menoleh ke arah samping, di mana Tristan terbaring di sampingnya, tubuhnya masih memeluk erat, seolah takut kehangatan itu akan hilang jika ia melepaskan genggamannya.Senyum kecil terulas di bibir Revana, tipis namun penuh makna. Ia menatap wajah sang suami yang masih tenggelam dalam tidur, dengan mata yang masih tertutup rapat.Di balik ekspresi damai itu, tersimpan sosok yang begitu ia kagumi, yang dulu hanya menginginkan dirinya sebagai seorang istri tanpa cinta, namun kini telah memberikannya cinta yang tak pernah ia bayangkan akan ia rasakan.“Jangan dulu membuka matamu. Aku ingin m
Langit senja di pesisir pantai mulai berubah warna, perlahan-lahan mencampurkan semburat jingga dengan warna biru yang masih tersisa di langit. Angin laut berhembus pelan, menggiring gelombang kecil yang bergulung lembut ke tepian.Di tempat ini, di tepian dunia mereka yang tenang, Revana dan Tristan berjalan beriringan di atas pasir yang lembut. Mereka memilih untuk tidak berbicara lebih dulu, membiarkan suara ombak menjadi latar dari percakapan yang belum dimulai.“Kenapa kamu pergi? Padahal aku punya kabar baik saat itu.” Suara Tristan memecah keheningan, lembut namun sarat akan beban. Matanya menatap lurus ke depan, menelusuri garis pantai yang seolah tak berujung.Revana berhenti sejenak, menoleh ke arah Tristan. Matanya menyelidik, seolah mencari jawaban di balik kata-kata yang baru saja dilontarkan sang suami.Mereka melangkah pelan, menyusuri pesisir pantai di dekat villa mereka, tempat di mana banyak kenangan terukir di antara butiran pasir dan deburan ombak.“Aku pergi hanya
"Apa kamu yakin, tidak akan kembali lagi padanya?" tanya Revana, suaranya lembut tapi tegas, seolah mencoba menembus dinding pertahanan terakhir yang Tristan mungkin bangun di antara mereka.Matanya mencari-cari di wajah Tristan, berharap menemukan kebenaran yang tidak bisa diungkapkan hanya dengan kata-kata.Tristan menatap Revana dengan mata yang lembut namun penuh keyakinan. “Apa kamu melihat keraguan dalam ucapanku? Kamu pikir, selama ini aku tidak tersiksa ketika kamu pergi?” suaranya rendah, penuh dengan perasaan yang sudah lama terpendam.“Bahkan selama dua minggu saat bersama dengan Aluna pun aku selalu memastikan kamu baik-baik saja di rumah. Pikiran dan hatiku hanya padamu meski saat itu aku sedang bersama dengan Aluna.”Revana diam, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Tristan. Ada kejujuran di sana, ada rasa sakit yang terdengar jelas, tetapi juga ada cinta yang seolah ingin meyakinkan dirinya.“Aku tidak jujur padamu karena aku tidak ingin kamu kepikiran, apala
Angin sore menyapu lembut wajah Revana saat ia melangkah keluar dari pintu kedatangan bandara. Suara-suara riuh para penumpang dan lalu lalang orang-orang yang menjemput berpadu menjadi satu, menciptakan simfoni kehidupan yang mengisi telinga. Di sampingnya, Tristan berjalan dengan tenang, tangan kanannya menggenggam koper mereka, sementara tangan kirinya sesekali menyentuh punggung Revana dengan lembut, seolah takut jika perempuan itu kembali pergi menghilang.Tiba-tiba, ponsel Revana bergetar di dalam tasnya. Ia merogoh dengan cepat dan melihat nama yang tertera di layar. "Dea." Dengan sigap, ia menerima panggilan itu. “Halo, Dea? Ada apa?” tanyanya, mencoba menyembunyikan kegugupan di suaranya.“Kenapa nomormu baru aktif? Dari tadi aku telepon tapi nggak aktif. Aku khawatir tahu!” terdengar suara Dea yang penuh kekhawatiran di ujung sana, suaranya sedikit meninggi, memarahi sekaligus melampiaskan kekesalannya karena selama ini tidak bisa menghubungi Revana.Revana terkekeh pelan,
Dengan satu gerakan cepat, Tristan kembali menundukkan kepalanya dan mencium bibir Revana dengan lebih agresif. Revana merasakan tubuhnya dipenuhi gelombang panas yang menggairahkan. Ia tahu ke mana arah ini akan berlanjut, namun ada sesuatu tentang bagaimana Tristan mendekapnya kali ini yang membuatnya lebih bersemangat.“Mas ...,” ucap Revana setengah berbisik, setengah mendesah, saat Tristan mulai menjelajahi lehernya dengan ciuman-ciuman lembut namun berapi-api.Tristan menghentikan sejenak kegiatannya, mengangkat kepalanya untuk menatap Revana. “Apa?” tanyanya pelan, tapi dengan mata yang penuh gairah. "Kamu tahu aku tak bisa menahan diri kalau kamu sudah di hadapanku begini. Aku selalu merindukanmu, setiap detik yang kita lewatkan berpisah terasa begitu berat bagiku."Revana menggigit bibir bawahnya, matanya memandang Tristan dengan penuh cinta. “Aku juga, Mas. Aku selalu merindukanmu, bahkan ketika aku merasa marah padamu,” jawabnya jujur.Mendengar itu, Tristan tersenyum dan
Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh pagi ketika Tristan membuka matanya. Cahaya matahari yang lembut menerobos masuk melalui celah-celah tirai kamar, menciptakan pola-pola cahaya yang menari di dinding.Dia menoleh ke samping dan melihat Revana masih tertidur lelap, wajahnya tampak tenang dan damai. Senyum merekah di bibir Tristan, rasa syukur dan bahagia mengalir melalui nadinya.‘Ternyata ini bukan mimpi,’ pikirnya dalam hati, matanya tidak lepas memandangi wajah istrinya yang cantik. ‘Dia sudah kembali ke rumah ini, kembali ke pelukanku.’ Dengan penuh kasih sayang, Tristan menunduk dan mencium kening Revana, lembut dan penuh cinta.‘Wanita yang dulu tak pernah kuberikan cinta, malah membuatku jatuh cinta sedalam-dalamnya. Bahkan, aku rela melakukan apa saja untuk wanita ini,’ gumamnya dalam hati.Tristan mengulum senyum, merasa malu pada dirinya sendiri karena pernah mengabaikan dan bersikap kurang ajar pada Revana. Sekarang, apa pun yang diinginkan istrinya, akan segera ia turuti.
Tristan menyeret tangan Aluna dengan paksa, membawanya dengan langkah cepat menuju ruang kerjanya. Setiap tarikan napasnya terasa berat, dadanya bergemuruh penuh amarah yang tertahan.Genggaman tangannya kuat, begitu erat hingga menimbulkan rasa sakit di pergelangan tangan Aluna, membuat wanita itu meringis."Tristan! Apa yang kamu lakukan? Lepaskan, sakit, Tristan!" teriak Aluna, suaranya penuh dengan kepanikan dan rasa sakit yang menjalar di pergelangan tangannya yang tercekik oleh genggaman Tristan.Tristan tidak merespons. Matanya yang tajam menyala dengan api kemarahan, wajahnya keras, penuh determinasi. "Kamu sendiri yang datang ke sini!" ucap Tristan dengan nada dingin, pandangannya lurus ke depan, tak sudi melirik wajah Aluna yang sedang kesakitan.“Karena kamu tidak mau menerima panggilan dariku! Kamu menjauh dariku demi wanita murahan itu!” pekik Aluna, wajahnya penuh kemarahan, matanya membara.Kata-kata itu keluar seperti bisa yang menghujam langsung ke jantung Tristan, ta