Share

Bab 2: Akhiri Hubunganmu dengan Kekasihmu!

Rony menghampiri Tristan dan berdiri tepat di depan Revana. Ia menggelengkan kepalanya, tanda tidak setuju dengan permintaan Tristan.

"Tidak, Pak Tristan. Saya tidak ingin Anda mengambil anak saya," ucapnya tegas. Sebab ia tahu siapa pria yang menginginkan anaknya ini.

"Jadi, kamu lebih menyayangi anakmu daripada nyawamu sendiri?" ucap Tristan, menantang Rony. Ia paling tidak suka dengan penolakan.

"Ayah. Tidak apa-apa, aku pasti baik-baik saja. Yang penting saat ini adalah utang Ayah lunas. Benar begitu kan, Pak Tristan?" ucap Revana dengan nada datarnya.

Tristan mengangguk. "Ya."

“Pernikahan ini akan dirahasiakan. Tidak ada yang boleh tahu. Dan keluargamu akan baik-baik saja, selama kamu patuh padaku!” sambungnya kemudian.

Revana menelan ludahnya sebelum akhirnya terpaksa mengangguk, meski hatinya memberontak. Pilihan itu bukan lagi miliknya, semuanya sudah diatur sedemikian rupa.

"Jaga diri kamu baik-baik di sana, Nak. Maafkan Ayah. Karena kebodohan Ayah, kamu harus jadi korbannya," lirih Rony sembari menggenggam tangan sang anak.

Revana hanya tersenyum lirih sebelum akhirnya Tristan menarik tangan Revana dan membawanya masuk ke dalam mobil sport hitam mengkilap miliknya.

Tristan lalu menggiringnya ke rumah besar miliknya, sebuah bangunan megah yang terasa lebih seperti penjara ketimbang tempat berlindung.

Pilar-pilar marmer yang tinggi menjulang dan taman yang luas serta rapi tidak mampu menyembunyikan aura dingin dan menakutkan yang menyelimuti tempat itu.

Revana merasakan langkahnya berat setiap kali kakinya menyentuh lantai rumah yang dingin itu.

Saat mereka tiba di rumah itu, Tristan segera menghubungi seseorang melalui telepon. “Aku akan segera menemuimu, keparat! Jangan pergi ke mana-mana. Sebentar lagi aku sampai!” ucapnya penuh dengan ketegasan.

Revana berdiri tak jauh dari sana, telinganya menangkap sepotong percakapan yang tak sengaja terdengar. “Kamu harus istirahat. Aku akan pergi sebentar,” katanya dengan nada yang tak terbantahkan.

Tristan berjalan ke arah laci kecil, lalu kembali lagi dengan membawa sebuah dokumen.

Tristan melempar dokumen itu ke arah Revana. “Bacalah. Itu kesepakatan pernikahan yang harus kamu lakukan setelah menjadi istriku.”

Revana menelan ludah, tangannya gemetar saat membuka dokumen tersebut dan membaca dengan saksama.

Revana merasa aneh dengan satu poin perjanjian. Ia menengadahkan kepalanya menatap Tristan. “Kenapa aku harus pergi dari keluargaku setelah menikah?” tanyanya heran.

“Karena kamu sudah kubeli,” sahut Tristan sekenanya.

Revana mengepalkan tangan dengan erat. Meskipun kesal dengan ucapan pria ini, tapi dia memang benar. Revana praktis sudah menjual dirinya demi membebaskan ayahnya dan juga menyelamatkan adiknya dari kemelaratan.

“Atau kamu lebih memilih adikmu yang kubeli dan kemudian kujual pada pria hidung belang?”

Tatapan Revana semakin tajam pada lelaki itu. Rasa bencinya semakin membuncah!

Tapi, Revana tidak punya pilihan lain. Dia tidak sudi adiknya dibawa oleh pria ini!

Dengan terpaksa, perempuan itu kemudian menandatangani kesepakatan pernikahan itu dan melemparnya ke arah Tristan.

Tristan terkekeh kecil. Tawanya itu tampak menyeramkan di mata Revana.

Dia merasa terjebak dalam permainan yang dibuat oleh bosnya sendiri.

“Utang ayahku sudah lunas, kan?! Aku sudah menandatangani kesepakatan pernikahan ini. Jangan mengingkarinya, Pak Tristan!”

“Utang ayahmu aka kuhapus setelah kita menikah. Dan pernikahan itu akan dilaksanakan besok.”

Revana sontak terkejut dan menatap Tristan tidak percaya.

"Apa?! Besok kita akan menikah?! Kenapa mendadak sekali, Pak?” tanyanya dengan suara sedikit tinggi.

“Lebih cepat lebih baik, Revana. Aku harus pergi.”

Revana mengerutkan kening, keberanian kecil muncul di hatinya. “Kamu mau ke mana?” tanyanya ingin tahu.

Tristan hanya tersenyum samar, jawabannya mengambang di udara. “Ada urusan yang harus kuselesaikan. Tidak akan lama.”

Revana hanya bisa mengangguk pasrah. Malam itu terasa begitu panjang, kegelisahan melilit hatinya. Pikiran-pikiran gelap menyerang tanpa henti, seolah-olah bayangan tembok-tembok besar itu menekan jiwanya yang rapuh.

Besok adalah hari pernikahannya, dan ia merasa seolah terperangkap dalam kabut ketidakpastian. Pikirannya melayang ke ayah dan adiknya, berharap mereka baik-baik saja di tengah kekacauan ini.

Ia harus percaya pada Tristan, percaya bahwa pria itu akan menepati janjinya untuk menghapus utang milik sang ayah.

Hampir dua jam lamanya Revana menunggu kepulangan Tristan. Lelaki itu akhirnya kembali ke rumah dan langsung menemui Revana yang masih terjaga.

“Kenapa kamu belum tidur? Sudah kubilang kan, tidur! Besok adalah hari pernikahan kita.”

Revana menoleh seraya membolakan matanya. “Aku hanya ingin tahu kenapa besok? Kenapa mendadak sekali, Pak Tristan?”

“Berhenti memanggilku dengan sebuat ‘pak’! Aku ini suamimu, panggil aku dengan sebutan yang lebih pantas dari itu! Kamu harus menuruti semua yang aku perintahkan.”

Revana menelan salivanya. “Kamu mau kupanggil apa?”

“Yang buat kamu nyaman. Apa pun itu asal jangan yang tadi.”

**

Pagi pun tiba dengan cepat, membawa serta kenyataan yang tak bisa dihindari. Matahari yang biasanya membawa harapan kini terasa hanya sebagai saksi bisu penderitaan yang sedang ia alami. Revana dan Tristan menikah dalam sebuah upacara sederhana dan sunyi.

Tidak ada perayaan, tidak ada kebahagiaan yang terpancar. Hanya kesunyian yang menyelimuti, bagaikan kabut tebal yang menutupi setiap sudut hatinya.

Revana merasa seolah-olah semuanya adalah mimpi buruk yang nyata, tanpa kehadiran ayah dan adiknya yang membuat hatinya semakin hancur.

Setelah upacara singkat itu, Revana mendekati Tristan, hatinya dipenuhi pertanyaan yang mendesak. “Bagaimana dengan keluargaku? Apakah mereka aman?” tanyanya.

Tristan memandangnya dengan ekspresi cuek, seolah pertanyaan itu tidak berarti apa-apa. “Aku bukan laki-laki yang tidak bisa menepati janji. Kenapa sepertinya kamu tidak percaya padaku?!” ucapnya dengan tegas dan terdengar datar.

Revana merunduk sedikit takut dengan ucapan Tristan. “Aku hanya ingin memastikan jika kamu akan menepati janjimu, Mas.”

Tristan menatap datar wajah Revana. “Mereka aman dan sudah kembali di rumah yang nyaman.”

“Asal mereka aman, aku juga baik-baik saja,” ucap Revana, meskipun dalam hatinya masih tersisa keraguan.

Tristan menaikkan alisnya, lalu melangkahkan kakinya hendak pergi meninggalkan wanita yang kini telah resmi menjadi istrinya. Ia menelan salivanya ketika nama ‘Ezra’ terpampang di layar ponselnya. Kekasihnya yang belum mengetahui bahwa dirinya telah menikah dengan Tristan.

“Halo? Aku ingin bertemu denganmu,” suara kekasihnya terdengar cemas di seberang sana.

Tristan berhenti di tengah langkahnya, wajahnya berubah kaku mendengar percakapan itu. Meski tampak berusaha menahan diri, kemarahan terpancar jelas di matanya.

“Maaf, Ezra. Tapi tidak bisa sekarang. Aku … aku sedang bekerja. Aku akan menghubungimu lagi setelah pekerjaanku selesai.”

“Aku ingin bertemu denganmu secepatnya, Sayang. Urgent.”

Revana mengadahkan kepalanya menatap punggung Tristan yang membelakanginya. Namun, ia yakin lelaki itu pasti akan memarahinya.

“Aku akan menghubungimu nanti,” ucapnya lalu menutup panggilan tersebut.

Tristan berbalik badan menatap dingin Revana. “Kamu harus memutuskan hubungan dengan pria itu,” katanya dingin. “Sebelum aku melakukan sesuatu untuk menyingkirkannya!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status