Rony menghampiri Tristan dan berdiri tepat di depan Revana. Ia menggelengkan kepalanya, tanda tidak setuju dengan permintaan Tristan.
"Tidak, Pak Tristan. Saya tidak ingin Anda mengambil anak saya," ucapnya tegas. Sebab ia tahu siapa pria yang menginginkan anaknya ini.
"Jadi, kamu lebih menyayangi anakmu daripada nyawamu sendiri?" ucap Tristan, menantang Rony. Ia paling tidak suka dengan penolakan.
"Ayah. Tidak apa-apa, aku pasti baik-baik saja. Yang penting saat ini adalah utang Ayah lunas. Benar begitu kan, Pak Tristan?" ucap Revana dengan nada datarnya.
Tristan mengangguk. "Ya."
“Pernikahan ini akan dirahasiakan. Tidak ada yang boleh tahu. Dan keluargamu akan baik-baik saja, selama kamu patuh padaku!” sambungnya kemudian.
Revana menelan ludahnya sebelum akhirnya terpaksa mengangguk, meski hatinya memberontak. Pilihan itu bukan lagi miliknya, semuanya sudah diatur sedemikian rupa.
"Jaga diri kamu baik-baik di sana, Nak. Maafkan Ayah. Karena kebodohan Ayah, kamu harus jadi korbannya," lirih Rony sembari menggenggam tangan sang anak.
Revana hanya tersenyum lirih sebelum akhirnya Tristan menarik tangan Revana dan membawanya masuk ke dalam mobil sport hitam mengkilap miliknya.
Tristan lalu menggiringnya ke rumah besar miliknya, sebuah bangunan megah yang terasa lebih seperti penjara ketimbang tempat berlindung.
Pilar-pilar marmer yang tinggi menjulang dan taman yang luas serta rapi tidak mampu menyembunyikan aura dingin dan menakutkan yang menyelimuti tempat itu.
Revana merasakan langkahnya berat setiap kali kakinya menyentuh lantai rumah yang dingin itu.
Saat mereka tiba di rumah itu, Tristan segera menghubungi seseorang melalui telepon. “Aku akan segera menemuimu, keparat! Jangan pergi ke mana-mana. Sebentar lagi aku sampai!” ucapnya penuh dengan ketegasan.
Revana berdiri tak jauh dari sana, telinganya menangkap sepotong percakapan yang tak sengaja terdengar. “Kamu harus istirahat. Aku akan pergi sebentar,” katanya dengan nada yang tak terbantahkan.
Tristan berjalan ke arah laci kecil, lalu kembali lagi dengan membawa sebuah dokumen.
Tristan melempar dokumen itu ke arah Revana. “Bacalah. Itu kesepakatan pernikahan yang harus kamu lakukan setelah menjadi istriku.”
Revana menelan ludah, tangannya gemetar saat membuka dokumen tersebut dan membaca dengan saksama.
Revana merasa aneh dengan satu poin perjanjian. Ia menengadahkan kepalanya menatap Tristan. “Kenapa aku harus pergi dari keluargaku setelah menikah?” tanyanya heran.
“Karena kamu sudah kubeli,” sahut Tristan sekenanya.
Revana mengepalkan tangan dengan erat. Meskipun kesal dengan ucapan pria ini, tapi dia memang benar. Revana praktis sudah menjual dirinya demi membebaskan ayahnya dan juga menyelamatkan adiknya dari kemelaratan.
“Atau kamu lebih memilih adikmu yang kubeli dan kemudian kujual pada pria hidung belang?”
Tatapan Revana semakin tajam pada lelaki itu. Rasa bencinya semakin membuncah!
Tapi, Revana tidak punya pilihan lain. Dia tidak sudi adiknya dibawa oleh pria ini!
Dengan terpaksa, perempuan itu kemudian menandatangani kesepakatan pernikahan itu dan melemparnya ke arah Tristan.
Tristan terkekeh kecil. Tawanya itu tampak menyeramkan di mata Revana.
Dia merasa terjebak dalam permainan yang dibuat oleh bosnya sendiri.
“Utang ayahku sudah lunas, kan?! Aku sudah menandatangani kesepakatan pernikahan ini. Jangan mengingkarinya, Pak Tristan!”
“Utang ayahmu aka kuhapus setelah kita menikah. Dan pernikahan itu akan dilaksanakan besok.”
Revana sontak terkejut dan menatap Tristan tidak percaya.
"Apa?! Besok kita akan menikah?! Kenapa mendadak sekali, Pak?” tanyanya dengan suara sedikit tinggi.
“Lebih cepat lebih baik, Revana. Aku harus pergi.”
Revana mengerutkan kening, keberanian kecil muncul di hatinya. “Kamu mau ke mana?” tanyanya ingin tahu.
Tristan hanya tersenyum samar, jawabannya mengambang di udara. “Ada urusan yang harus kuselesaikan. Tidak akan lama.”
Revana hanya bisa mengangguk pasrah. Malam itu terasa begitu panjang, kegelisahan melilit hatinya. Pikiran-pikiran gelap menyerang tanpa henti, seolah-olah bayangan tembok-tembok besar itu menekan jiwanya yang rapuh.
Besok adalah hari pernikahannya, dan ia merasa seolah terperangkap dalam kabut ketidakpastian. Pikirannya melayang ke ayah dan adiknya, berharap mereka baik-baik saja di tengah kekacauan ini.
Ia harus percaya pada Tristan, percaya bahwa pria itu akan menepati janjinya untuk menghapus utang milik sang ayah.
Hampir dua jam lamanya Revana menunggu kepulangan Tristan. Lelaki itu akhirnya kembali ke rumah dan langsung menemui Revana yang masih terjaga.
“Kenapa kamu belum tidur? Sudah kubilang kan, tidur! Besok adalah hari pernikahan kita.”
Revana menoleh seraya membolakan matanya. “Aku hanya ingin tahu kenapa besok? Kenapa mendadak sekali, Pak Tristan?”
“Berhenti memanggilku dengan sebuat ‘pak’! Aku ini suamimu, panggil aku dengan sebutan yang lebih pantas dari itu! Kamu harus menuruti semua yang aku perintahkan.”
Revana menelan salivanya. “Kamu mau kupanggil apa?”
“Yang buat kamu nyaman. Apa pun itu asal jangan yang tadi.”
**
Pagi pun tiba dengan cepat, membawa serta kenyataan yang tak bisa dihindari. Matahari yang biasanya membawa harapan kini terasa hanya sebagai saksi bisu penderitaan yang sedang ia alami. Revana dan Tristan menikah dalam sebuah upacara sederhana dan sunyi.
Tidak ada perayaan, tidak ada kebahagiaan yang terpancar. Hanya kesunyian yang menyelimuti, bagaikan kabut tebal yang menutupi setiap sudut hatinya.
Revana merasa seolah-olah semuanya adalah mimpi buruk yang nyata, tanpa kehadiran ayah dan adiknya yang membuat hatinya semakin hancur.
Setelah upacara singkat itu, Revana mendekati Tristan, hatinya dipenuhi pertanyaan yang mendesak. “Bagaimana dengan keluargaku? Apakah mereka aman?” tanyanya.
Tristan memandangnya dengan ekspresi cuek, seolah pertanyaan itu tidak berarti apa-apa. “Aku bukan laki-laki yang tidak bisa menepati janji. Kenapa sepertinya kamu tidak percaya padaku?!” ucapnya dengan tegas dan terdengar datar.
Revana merunduk sedikit takut dengan ucapan Tristan. “Aku hanya ingin memastikan jika kamu akan menepati janjimu, Mas.”
Tristan menatap datar wajah Revana. “Mereka aman dan sudah kembali di rumah yang nyaman.”
“Asal mereka aman, aku juga baik-baik saja,” ucap Revana, meskipun dalam hatinya masih tersisa keraguan.
Tristan menaikkan alisnya, lalu melangkahkan kakinya hendak pergi meninggalkan wanita yang kini telah resmi menjadi istrinya. Ia menelan salivanya ketika nama ‘Ezra’ terpampang di layar ponselnya. Kekasihnya yang belum mengetahui bahwa dirinya telah menikah dengan Tristan.
“Halo? Aku ingin bertemu denganmu,” suara kekasihnya terdengar cemas di seberang sana.
Tristan berhenti di tengah langkahnya, wajahnya berubah kaku mendengar percakapan itu. Meski tampak berusaha menahan diri, kemarahan terpancar jelas di matanya.
“Maaf, Ezra. Tapi tidak bisa sekarang. Aku … aku sedang bekerja. Aku akan menghubungimu lagi setelah pekerjaanku selesai.”
“Aku ingin bertemu denganmu secepatnya, Sayang. Urgent.”
Revana mengadahkan kepalanya menatap punggung Tristan yang membelakanginya. Namun, ia yakin lelaki itu pasti akan memarahinya.
“Aku akan menghubungimu nanti,” ucapnya lalu menutup panggilan tersebut.
Tristan berbalik badan menatap dingin Revana. “Kamu harus memutuskan hubungan dengan pria itu,” katanya dingin. “Sebelum aku melakukan sesuatu untuk menyingkirkannya!”
“Kenapa hobi kamu mengancamku terus? Senang sekali, sepertinya melihatku menderita!” ucapnya kesal. Suara Revana menggelegar dalam keheningan malam, seolah berusaha menembus tembok kokoh yang dibangun oleh Tristan.“Itu pilihanmu. Kamu sudah menandatangani kesepakatan pernikahan kita, dan tidak boleh kamu ingkari, Revana. Bukankah nyawa orang-orang yang kamu sayangi jauh lebih penting, dari apa pun?” jawab Tristan, suaranya terdengar dingin dan tidak kenal ampun, seperti angin malam yang menusuk tulang.Revana terdiam. Ia mengaku kalah. Bodohnya dia karena sudah menandatangani kesepakatan itu. Sebuah kesepakatan yang menyeretnya ke dalam jurang kegelapan tanpa akhir.“Apa yang harus aku katakan kepada kekasihku… Mas Tristan?” tanya Revana dengan suara bergetar, mencoba menembus dinginnya malam yang semakin kelam.“Terserah kamu. Itu urusanmu. Yang jelas, kamu harus mengakhiri hubunganmu dengan lelaki tak berguna itu!” jawab Tristan dengan nada tegas, seakan memukul palu pengadilan ter
Revana menghela napas lega ketika melihat arloji di tangannya baru menunjukkan angka enam lewat tiga puluh menit. Waktu masih berpihak padanya.Namun, langkahnya terhenti saat matanya menangkap sosok Tristan sudah berdiri di ambang pintu kamar mereka, tangan terlipat di dadanya, ekspresinya datar namun penuh ketegasan yang membuat jantung Revana berdebar kencang."A-aku... aku tidak telat pulang, kan?" ucap Revana gugup, suaranya gemetar menyiratkan ketidakpastian.Tristan menatapnya dengan pandangan tajam, seakan menembus lapisan-lapisan keraguan di hati Revana. "Bagaimana pertemuanmu dengan mantan kekasihmu itu?" tanyanya dengan nada datar yang tidak mengizinkan kebohongan."Sudah selesai dan aku sudah tidak punya hubungan apa pun lagi dengannya," jawab Revana jujur, mencoba mengendalikan emosi yang berkecamuk dalam dirinya.Tristan tersenyum tipis, senyum yang dingin dan penuh perhitungan, lalu mendekati Revana dengan langkah-langkah yang mantap. "Good. Pakai baju ini, malam ini ak
Pagi yang cerah menyambut, sinar matahari yang lembut menelusuri jendela, menerpa wajah cantik Revana yang perlahan terbangun dari tidurnya.Sejenak, ia menatap wajah tampan Tristan yang masih terlelap di sampingnya, tampak damai seperti anak kecil yang tidak memiliki beban di dunia.Dengan hati-hati, ia bangkit dari tempat tidur, memastikan tidak ada suara yang mengganggu kedamaian tidur suaminya.Langkah-langkah kecilnya menuju kamar mandi terasa seperti melodi yang mengiringi pagi itu. Segera, air hangat dari shower membasuh tubuhnya, menghapus segala lelah dan penat yang mengendap."Segarnya," bisiknya pelan, merasakan kenikmatan yang begitu sederhana namun mendalam. Ia memejamkan mata, membiarkan air mengalir di wajahnya, membawa pergi segala kekhawatiran yang menyelinap di benaknya.Namun, kenikmatan itu seketika terpecah saat ia merasakan tangan kekar Tristan melingkar di pinggangnya. Kejutannya tergambar jelas di wajahnya, tapi segera tergantikan oleh senyum lembut ketika ia m
Satu tonjokan keras melayang di wajah Alfrod, membuatnya terhuyung ke belakang dengan darah yang mulai mengalir dari sudut bibirnya. Tristan, dengan mata yang menyala-nyala karena amarah, berdiri tegak seperti singa yang siap menerkam. Revana yang melihat adegan itu dari ambang pintu kamar, terperanjat, membolakan mata, dan menutup mulutnya dengan kedua tangan. Ia segera berbalik dan masuk kembali ke dalam kamar, hatinya dipenuhi pertanyaan yang bergelut tanpa henti. 'Siapa pria itu? Mengapa Tristan begitu marah padanya?' pikirnya sambil duduk di tepi tempat tidur, mencoba menenangkan detak jantungnya yang semakin kencang.Di luar kamar, Tristan menggenggam kerah baju Alfrod dan menyeretnya keluar dari rumah yang megah bak istana itu. "Keluar dari rumahku sekarang juga!" pekik Tristan, suaranya menggema di seluruh ruangan.Alfrod tertawa, tawa yang dingin dan mengejek, menatap wajah Tristan dengan penuh provokasi. "Sekarang aku tahu siapa wanita itu. Rupanya kamu telah berhasil mem
Di hari yang sama, Revana dan Tristan memutuskan untuk segera pindah rumah. Langkah-langkah mereka diambil dengan cepat, penuh dengan urgensi dan ketegangan yang menggantung di udara. Ketika mereka tiba di rumah baru mereka, sebuah bangunan megah yang tak kalah mewahnya dengan rumah sebelumnya, Revana tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya. Matanya membesar, menganga melihat kemewahan yang terpampang di hadapannya, seolah-olah mereka baru saja melangkah ke dalam istana modern yang berkilau.Tristan menatap Revana dengan tatapan serius. “Kamu tidak boleh memberi tahu siapa pun tempat tinggal kita yang baru ini,” ucapnya dengan nada tegas, setiap kata mengandung perintah yang tidak bisa dibantah.Revana mengangguk pelan, meski hatinya bergejolak. “Apakah ayah dan adikku juga tidak boleh tahu?” tanyanya, suaranya bergetar dengan kekhawatiran.“Tidak!” tegas Tristan, suaranya menggema dengan kepastian yang menakutkan, membuat pundak Revana meringkuk ketakutan. Tatapan mata Tristan yan
Dua hari kemudian, Tristan membawa Revana ke Roma, Italia untuk berbulan madu, sebuah janji manis yang telah terlaksana dengan gemerlapnya kota tua yang mengundang dengan cahayanya yang keemasan.“Woah! Pemandangan di sini luar biasa indah,” gumamnya saat membuka jendela Villa.Revana terkesima oleh keindahan pemandangan villa yang mereka tempati, dikelilingi oleh gemerlap pantai yang berkilauan di bawah sinar matahari senja.Tristan tersenyum tipis saat melihat mata istrinya yang bersinar-sinar dalam kekaguman yang tak tersembunyi."Dilarang kampungan, ya, Revana," ujar Tristan dengan nada lembut, namun kata-katanya terdengar seperti gurauan penuh arti.Revana merasa terguncang. Ia tidak menyangka suaminya akan mengungkapkan sesuatu seperti itu.Tristan menatapnya dengan hangat, berharap untuk meredakan ketegangan yang tiba-tiba muncul."Maksudmu?" tanya Revana dengan suara yang gemetar sedikit.Tristan mengangguk, lalu menjelaskan dengan lembut, "Aku tahu ini pertama kalinya kamu ke
Dengan perlahan, Revana mengangguk, menerima nasib yang telah ia pilih sendiri.Matanya yang bercahaya menatap Tristan dengan perasaan yang sulit diungkapkan, campuran antara rasa takut dan keberanian.Ia tahu bahwa malam ini akan menjadi malam yang panjang, penuh dengan hasrat dan penyerahan yang tak terhindarkan.Tristan tersenyum tipis, melihat anggukan Revana sebagai tanda persetujuan. Ia lalu meraih wajah istrinya dengan lembut, mengangkat dagunya hingga mata mereka bertemu dalam tatapan yang intens.Sentuhan tangan Tristan terasa dingin namun menenangkan, seakan membawa ketenangan di tengah badai yang berkecamuk dalam hati Revana."Malam ini, aku akan membuatmu melayang, Revana," bisik Tristan lagi, suaranya menggema dalam keheningan yang kini terasa begitu intim.Perlahan tapi pasti, Tristan menyentuh pipi Revana dengan kelembutan yang menggetarkan hati. Sentuhan itu begitu halus, seolah-olah menyentuh permata yang rapuh, namun mampu menghantarkan kehangatan yang membakar dari
Tubuh Revana remuk seremuk-remuknya saat bangun di pagi hari. Setiap sendi terasa seperti dilumat, meninggalkan jejak kelelahan yang mendalam di setiap pori-porinya.“Aah! Tubuhku sakit sekali,” rintihnya pelan sembari mengusapi pundaknya yang terasa pegal.Dia mengeluh pelan, suara lirih yang nyaris tak terdengar, lalu menoleh ke arah samping. Tristan sudah tidak ada di tempat.Kamar yang semalam penuh gairah kini terasa kosong dan dingin, meninggalkan bekas-bekas pertempuran yang hanya ia dan Tristan yang tahu.Revana memanggil nama suaminya, namun hanya keheningan yang menjawab panggilannya."Ke mana pria itu?" gumam Revana, suaranya hampir tenggelam dalam desahan napasnya yang masih tersengal.Ia baru saja hendak bangun dari tidurnya, namun diurungkan karena badannya terlalu lelah. Rasa sakit dan lelah bercampur, membentuk beban yang sulit diangkat.“Aw! Tubuhku terasa seperti baru saja ditimpa batu satu ton. Benar-benar remuk dan sakit. Pria itu memang benar-benar gila,” gerutuny
Langit malam membentangkan jubah hitamnya, bertabur bintang yang gemerlap bagai luka-luka kecil yang menganga di dada langit.Tristan berdiri di tengah ruangan yang sepi, memegang berkas terakhir dari masa lalunya yang kelam. Matanya menatap Louis, sahabat lama yang menjadi saksi bisu keputusannya."Aku serahkan semuanya padamu," ucapnya, suaranya penuh kelelahan yang berat seperti batu yang diangkat dengan tangan telanjang. "Jangan pernah membawa namaku lagi dalam misi apa pun itu!"Louis menerima berkas itu dengan gerakan lambat, seperti menghormati akhir sebuah era. Senyumnya merekah samar di sudut bibirnya, sebuah ironi yang menggantung di udara."Aku tahu kamu masih memiliki urusan dengan Alfrod," ujarnya, nada bicaranya bagai belati yang menyentuh luka lama. "Dia sedang marah besar sebab kamu telah membombardir markas utamanya."Tristan mengangkat wajahnya, tatapannya yang gelap bertaut dengan mata Louis. Dalam diam itu ada badai yang berusaha ia redam. "Apakah dia sedang mencar
“Dengar kabar dari Alfrod?” tanya Tristan sambil menatap Gave yang baru saja menyerahkan dokumen-dokumen yang menuntut tanda tangannya.Nada suaranya tenang, tapi di balik ketenangan itu tersirat kewaspadaan, seperti badai yang sedang menanti waktu untuk meledak.Gave menggeleng perlahan, ekspresinya penuh kehati-hatian. “Belum ada kabar. Tapi sebaiknya kamu tetap waspada. Kemungkinan besar dia sedang menyusun strategi untuk balas dendam. Kamu tahu, Alfrod tak akan tinggal diam begitu saja setelah serangan itu.”Tristan membuka dokumen itu satu per satu, menelusuri kata-kata di dalamnya seakan setiap kata adalah butiran pasir waktu yang akan segera hilang.Pikirannya berkecamuk antara tugasnya sebagai pemimpin mafia dan permintaan Revana yang tak henti terngiang di kepalanya.“Revana memintaku berhenti jadi mafia, Gave. Tapi, aku bingung harus menyerahkan semuanya pada siapa. Tidak mungkin kalau aku memberikannya pada Alfrod—itu sama saja dengan menyerahkan harga diriku padanya.”Gave
Usia Naira kini telah mencapai satu bulan. Bayi mungil itu, dengan pipi lembut bak kelopak mawar yang baru merekah, semakin aktif dan sehat setelah berhasil melewati masa-masa rapuhnya, di mana ia terlahir ke dunia dengan napas yang tertatih-tatih.Revana menghela napas panjang, baru saja selesai mandi, namun segera dihadapkan dengan tangis lembut Naira yang seolah memenuhi ruangan seperti melodi lembut."Sayang..." panggilan Tristan menggema, mendesak Revana keluar dari kamar mandi dengan langkah cepat namun penuh kelembutan seorang ibu."Sudah tahu, Mas." Dengan senyum yang menyiratkan kasih tak terbatas, Revana mengambil alih Naira dari dekapan sang suami. Bayi itu, yang sebelumnya tampak resah, perlahan tenang dalam kehangatan pelukannya.ASI Revana kini telah keluar, setelah minggu-minggu penuh ketekunan dan harapan. Ia ingin memberikan Naira bukan sekadar nutrisi, tetapi juga sepenggal jiwanya, sesuatu yang hanya seorang ibu bisa tawarkan pada darah dagingnya sendiri."Anteng ba
Satu minggu kemudian. Tepat hari ini, minggu ketiga Revana menjalani rawat inapnya di rumah sakit. Aroma disinfektan yang dulu membuatnya merasa gerah kini terasa seperti bagian dari napasnya, tapi hari ini, itu semua akan menjadi kenangan.Ruang perawatan yang dingin dan bernuansa steril akan ia tinggalkan, digantikan dengan kehangatan rumah yang sudah lama ia rindukan.“Namun, harus tetap cek rutin, ya. Luka dalam Anda masih dalam tahap penyembuhan. Jangan terlalu banyak melakukan aktivitas yang melelahkan,” kata dokter Pram, suaranya tegas namun hangat, menatap Revana yang tengah menggendong bayi kecilnya dengan hati-hati, seolah-olah dunia ini hanya berpusat pada mereka berdua.Baby Naira, sang buah hati yang mungil dan rapuh, sudah diperbolehkan pulang. Semakin hari, kesehatannya pun terus membaik, seperti embun yang makin bening saat sinar mentari mulai merayapi langit.Ada kelegaan mendalam yang terpancar di mata Revana, kelegaan yang hanya seorang ibu yang tahu, sebuah perasaa
Sudah dua hari Revana dipindahkan ke ruang rawat. Ketika Tristan baru saja tiba di kamar, matanya langsung menangkap wajah Revana yang ditekuk, menunjukkan ekspresi memelas yang begitu menggemaskan, seolah memohon sesuatu dengan lirih dari balik sorot matanya yang teduh.“Sayang, ada apa? Kenapa wajahmu ditekuk seperti itu, hm?” Tristan bertanya dengan senyum lembut yang terulas di bibirnya.Tanpa ragu, ia mendekat dan mencium kening istrinya dengan penuh kasih, memberikan kehangatan yang membuat Revana tersipu.“Mas… aku ingin melihat anak kita. Aku ingin melihat baby Naira. Aku sudah membaik lho, Mas.” Revana merajuk, nada suaranya manis seperti anak kecil yang merengek ingin hadiah, membuat Tristan tersenyum geli.Melihat Revana begitu menggemaskan, Tristan tak bisa menahan senyumnya. “Baiklah. Kita akan melihat anak kita hari ini,” ucapnya lembut, suaranya seperti angin sejuk yang membawa kebahagiaan di hati Revana.Seketika, senyum lebar menghiasi bibir Revana, matanya berbinar p
“Kenapa kamu menyelamatkanku?” tanya Revana, suaranya begitu lirih, seolah datang dari tempat yang jauh.Tatapan matanya yang masih redup menatap Tristan dengan penuh kebingungan dan rasa bersalah yang mengabur di kedalaman matanya.Tristan menggelengkan kepalanya pelan, senyum kecil namun penuh kasih sayang menghiasi wajahnya.“Aku tidak akan membiarkanmu meninggalkanku, Revana. Jangan pernah berpikir aku rela kehilanganmu,” bisiknya, seraya menggenggam tangan Revana dengan lembut namun erat, seolah memastikan bahwa ia tidak akan pernah terlepas lagi.Revana menutup matanya, tenggelam dalam keheningan yang begitu dalam. Rasa bersalah menggerogoti hatinya; ia terbayang kehilangan buah hatinya, menyalahkan dirinya sendiri yang tak mampu melindungi kehidupan yang pernah tumbuh dalam rahimnya.“Aku akan menjadi ibu yang jahat karena tidak melindungi anakku sendiri,” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar, penuh kepedihan yang ia pendam sendirian.“Tidak, Sayang. Jangan berpikir seperti
Dua minggu kemudian ...Langkah Tristan terdengar pelan namun penuh keteguhan ketika ia memasuki rumah sakit.Di tangannya, tergenggam sebuah paper bag besar berisi popok dan susu formula untuk putrinya yang mungil, yang hingga kini masih terlelap dalam ruang inkubator, seolah berselimut dalam kehangatan buatan yang melindunginya dari dunia yang masih terlalu keras.“Sus. Ini, susu dan popok untuk satu minggu ke depan.” Tristan menyerahkan tas itu kepada perawat, suaranya tenang namun terselip rasa sayang yang dalam.“Baik, Pak. Terima kasih,” jawab perawat itu, mengangguk hormat.Tristan menghela napas panjang, lalu sedikit membungkukkan tubuhnya, ingin menyapa sang buah hati yang belum sepenuhnya ia rangkul. Senyum tipis terlukis di bibirnya, menyiratkan kerinduan yang tak terkatakan.“Hei. Sebentar lagi kamu sudah bisa Papi gendong,” ucapnya dengan kelembutan yang menetes seperti embun pagi. Pandangannya melekat pada wajah mungil yang terbaring tenang, jiwanya berbisik penuh harapa
“Siapa yang berani menghancurkan markasku!” pekik Alfrod, suaranya bergemuruh bak badai menggelegar, mengguncang dunia di bawah cakrawala yang muram.Matanya menatap kosong pada pemandangan yang menyayat hati; markas yang selama ini menjadi simbol kejayaannya kini hanya menyisakan puing-puing berdebu, sisa-sisa dari ledakan yang menyapu semalam, meninggalkan kehampaan yang dingin dan mematikan.Empat nyawa turut lenyap dalam kobaran tanpa sisa—hanya debu dan kenangan yang tinggal mengambang di udara yang pekat.“Berengsek! Barang-barang berhargaku hancur lebur! Arghh!!” teriaknya lagi.Amarah menyelubunginya, merambat seperti api liar dalam gurun kering, sampai-sampai tangan kasarnya tak segan-segan menjambak rambutnya sendiri, seolah merobek sebagian dari dirinya yang tak mampu menerima kenyataan pahit ini.Michael, dengan ketenangan yang kontras, menatap Alfrod. “Siapa lagi kalau bukan Tristan,” ujarnya ringan, suaranya seperti angin yang mengalir lembut di tengah badai.Ia sangat y
Tristan melangkah perlahan mendekati tabung inkubator, tempat bayi mungilnya tertidur dengan damai, seolah terlelap dalam dunia kecilnya yang penuh ketenangan.Wajahnya yang lembut dan polos dipagari tabung kaca, memberikan Tristan pandangan pertama pada keajaiban yang kini menjadi bagian dari hidupnya.Dengan hati yang penuh haru, Tristan mengulas senyum lirih, menyadari bahwa dirinya kini seorang ayah.“Hai, Nak,” bisiknya lembut, suaranya nyaris serak oleh emosi yang meluap. “Ini Papi… Ayah yang selalu menunggumu sejak tahu kamu hadir di perut mamimu.”Kata-katanya mengalir pelan, penuh kehangatan dan kasih sayang yang mendalam. Ia menatap buah hatinya dengan sorot penuh kelembutan, mengagumi setiap detail wajah mungil itu—wajah yang begitu mirip dirinya.Di sampingnya, Gave tersenyum lebar sambil melihat lebih dekat keponakan kecilnya. “Wajahnya mirip sekali denganmu, Tristan. Sepertinya Revana hanya mengandung saja,” canda Gave, tertawa pelan.Tristan tersenyum, teringat betapa b