“Kenapa hobi kamu mengancamku terus? Senang sekali, sepertinya melihatku menderita!” ucapnya kesal. Suara Revana menggelegar dalam keheningan malam, seolah berusaha menembus tembok kokoh yang dibangun oleh Tristan.
“Itu pilihanmu. Kamu sudah menandatangani kesepakatan pernikahan kita, dan tidak boleh kamu ingkari, Revana. Bukankah nyawa orang-orang yang kamu sayangi jauh lebih penting, dari apa pun?” jawab Tristan, suaranya terdengar dingin dan tidak kenal ampun, seperti angin malam yang menusuk tulang.
Revana terdiam. Ia mengaku kalah. Bodohnya dia karena sudah menandatangani kesepakatan itu. Sebuah kesepakatan yang menyeretnya ke dalam jurang kegelapan tanpa akhir.
“Apa yang harus aku katakan kepada kekasihku… Mas Tristan?” tanya Revana dengan suara bergetar, mencoba menembus dinginnya malam yang semakin kelam.
“Terserah kamu. Itu urusanmu. Yang jelas, kamu harus mengakhiri hubunganmu dengan lelaki tak berguna itu!” jawab Tristan dengan nada tegas, seakan memukul palu pengadilan terakhir.
Revana menghela napasnya panjang, menatap datar wajah pria yang sialnya kini telah menjadi suaminya. Wajah yang dulu hanya ia lihat dari kejauhan kini menjadi bayangan yang menghantui setiap malamnya.
“Baiklah. Aku akan mengakhiri hubunganku dengannya,” ucapnya dengan pasrah, meskipun hatinya berteriak menolak.
Tristan tersenyum tipis, puas dengan kepatuhan Revana. Ia berbalik dan melangkah keluar dari ruangan, meninggalkan Revana yang terpaku di tempatnya, jiwanya seolah terperangkap dalam kegelapan tanpa akhir. Setiap detik yang berlalu menambah beban di hatinya, beban yang semakin sulit untuk ditanggung.
Revana berjalan pelan menuju kamarnya, setiap langkah terasa berat dan penuh kesakitan. Ia membuka pintu kamar dan mengunci diri di dalam, menenggelamkan wajahnya ke dalam bantal untuk menahan tangis yang tidak terbendung lagi.
Air mata mengalir tanpa henti, mencerminkan betapa hancurnya perasaannya saat ini.
Di luar, Tristan berdiri di teras rumah, memandang langit yang gelap dengan tatapan kosong. Hatinya juga tidak tenang, namun berbeda dari Revana, ia tahu bahwa jalan yang ia tempuh adalah bagian dari rencananya yang lebih besar.
“Selamat malam, Tuan. Michael belum berhasil ditemukan. Dia masih bersembunyi setelah mengkhianati Tuan,” kata sang bodyguard menghubungi Tristan, mengganggu kesunyian malam.
“Jangan beri tahu aku jika kalian tidak memberikan kabar baik padaku!” ucapnya dengan tegas.
Kemarahan dan kekecewaan terlihat jelas di wajahnya. Adik bungsunya yang selama ini ia percaya malah berkhianat dan memilih bekerja sama dengan Alfrod—kakaknya.
"Jangan mimpi hidup kalian akan tenang setelah berhasil mengkhianatiku. Dua keparat itu tidak berhak tertawa di atas kekacauan yang telah mereka lakukan padaku!" ucapnya dengan tangan mengepal erat hingga urat-uratnya terlihat jelas.
Malam itu, Revana berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar dengan mata yang sembab.
Pikirannya melayang ke Ezra, pria yang ia cintai dengan tulus. Bagaimana ia bisa menjelaskan semua ini kepadanya? Bagaimana ia bisa menghapus luka yang mungkin akan ditinggalkan oleh keputusannya ini?
Pagi harinya, Tristan sudah berdiri di depan kamar Revana dan menatapnya datar. “Temui kekasihmu, akhiri hubunganmu. Jangan sampai yang kamu temui adalah mayatnya!” ancamnya tanpa ragu.
Revana hanya mengangguk datar. Ia pun melangkahkan kakinya keluar dari rumah megah itu, tanpa semangat.
Di depan pintu, dua bodyguard siap mengantarnya. “Aku tidak butuh mereka, Mas. Aku juga tidak akan kabur,” ucap Revana kesal. “Harusnya kamu percaya padaku. Kenapa kamu tidak percaya sekali padaku?”
“Tidak bisa! Kamu harus tetap dalam pengawasan mereka. Hari ini aku ada meeting di The Gold Hotel,” jawab Tristan, suaranya penuh otoritas.
“Ingat! Jangan pulang lewat dari jam tujuh malam. Jika tidak, aku tidak akan pernah melepasmu meskipun kamu sudah memohon padaku!” ancamnya sebelum masuk ke dalam mobilnya.
Revana menggerutu kesal lalu masuk ke dalam mobil mewah yang disiapkan untuknya. Tak ada tempat untuk kabur, dua penjaga akan mengikuti ke mana pun ia pergi.
“Aku tunggu di taman kota sekarang juga. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu,” ucap Revana cepat, lalu menutup panggilan itu dan masuk ke dalam mobil.
Hari mulai sore, senja menghiasi langit dengan warna-warni yang memudar seiring datangnya malam.
Waktu terasa semakin mendesak bagi Revana untuk menyelesaikan urusan ini. Hubungan yang telah ia jalani dengan Ezra harus berakhir karena kini ia telah menjadi istri Tristan, sah di mata negara dan agamanya.
Sesampainya di taman kota, Revana melihat Ezra sudah menunggu. Ia langsung menghampiri Revana dengan langkah cepat, ekspresi cemas dan bingung tergurat jelas di wajahnya.
Baru saja bibirnya hendak mencium wajah Revana, perempuan itu langsung mencegahnya, membuat Ezra mengerutkan keningnya dalam kebingungan.
“Ada apa denganmu, Revana?” tanya Ezra, suaranya penuh kebingungan dan kekhawatiran. Ia lalu menoleh ke belakang, memperhatikan dua bodyguard yang mengikuti Revana. “Mereka siapa? Datang bareng kamu?” bisiknya dengan nada curiga.
Revana menelan salivanya, merasakan beban berat di dadanya. “Iya, Ezra. Aku ingin… aku ingin bicara sama kamu. Hanya tiga puluh menit saja.”
“Ya sudah, duduk dulu. Kamu ingin bicara apa? Dan mereka siapa? Kenapa kamu pakai pengawal segala? Dan mobil mewah itu…”
Revana menghela napasnya panjang, menyiapkan diri untuk mengungkapkan kebenaran yang menyakitkan.
“Dengarkan aku, Ezra. Sebelumnya aku minta maaf karena aku harus mengatakan ini secara mendadak. Sebenarnya aku sudah mengkhianati kamu, Ezra. Aku telah berselingkuh dengan bos di perusahaan tempatku bekerja. Dia lebih kaya darimu, dan aku lebih nyaman bersamanya.”
Suaranya bergetar, hatinya terasa perih. Namun, ia tahu bahwa ini adalah kebohongan yang harus ia katakan demi keselamatan orang-orang yang ia cintai.
“Apa? Apa kamu bilang? Revana! Kamu pasti bercanda, kan?” Ezra tak percaya dengan ucapan wanita itu, wajahnya memucat, dan matanya penuh kekhawatiran.
“Tidak, Ezra. Aku ingin mengakhiri hubungan kita. Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi dan aku pun sudah meminta maaf padamu karena telah selingkuh di belakang kamu selama ini.”
Ezra tersenyum pahit, mengusap wajahnya dengan tangan gemetar, berusaha menahan rasa sakit yang mengguncang hatinya.
“Sudah tiga puluh menit, Nona Revana,” suara bodyguard terdengar kaku, mengingatkan batas waktu yang telah ditentukan.
Revana beranjak dari duduknya, namun tangan Ezra menahannya. “Tunggu, Revana. Aku tidak terima. Kamu tidak bisa mengakhiri hubungan kita dengan seenak jidatmu! Aku tidak akan melepaskanmu begitu saja!”
Revana menggelengkan kepalanya. “Jangan egois, Ezra. Memangnya kamu punya apa? Lihatlah, apa yang diberikan oleh kekasihku? Fasilitas mewah bahkan penjaga untukku. Dan kamu? Tidak akan pernah bisa melakukannya, kan?”
Dengan hati yang hancur, Revana segera masuk ke dalam mobil, tak ingin berlama-lama berbohong di depan Ezra. Kepedihan di matanya terlalu nyata, dan setiap detik di hadapannya hanya memperdalam luka.
“Revana! Sampai kapan pun aku tidak akan pernah melepaskanmu!” teriak Ezra, suaranya penuh dengan ketidakberdayaan dan kemarahan.
Dia berdiri di sana, menatap mobil yang membawa pergi wanita yang dicintainya, kepalan tangannya bergetar dengan kemarahan yang membara.
“Arrghh! Siapa keparat yang sudah menggoda Revana? Aku akan mencarimu, keparat!” teriaknya dengan tangan mengepal erat, tekadnya membara untuk menemukan dan menghancurkan orang yang telah mencuri cinta dan kebahagiaannya.
Revana menghela napas lega ketika melihat arloji di tangannya baru menunjukkan angka enam lewat tiga puluh menit. Waktu masih berpihak padanya.Namun, langkahnya terhenti saat matanya menangkap sosok Tristan sudah berdiri di ambang pintu kamar mereka, tangan terlipat di dadanya, ekspresinya datar namun penuh ketegasan yang membuat jantung Revana berdebar kencang."A-aku... aku tidak telat pulang, kan?" ucap Revana gugup, suaranya gemetar menyiratkan ketidakpastian.Tristan menatapnya dengan pandangan tajam, seakan menembus lapisan-lapisan keraguan di hati Revana. "Bagaimana pertemuanmu dengan mantan kekasihmu itu?" tanyanya dengan nada datar yang tidak mengizinkan kebohongan."Sudah selesai dan aku sudah tidak punya hubungan apa pun lagi dengannya," jawab Revana jujur, mencoba mengendalikan emosi yang berkecamuk dalam dirinya.Tristan tersenyum tipis, senyum yang dingin dan penuh perhitungan, lalu mendekati Revana dengan langkah-langkah yang mantap. "Good. Pakai baju ini, malam ini ak
Pagi yang cerah menyambut, sinar matahari yang lembut menelusuri jendela, menerpa wajah cantik Revana yang perlahan terbangun dari tidurnya.Sejenak, ia menatap wajah tampan Tristan yang masih terlelap di sampingnya, tampak damai seperti anak kecil yang tidak memiliki beban di dunia.Dengan hati-hati, ia bangkit dari tempat tidur, memastikan tidak ada suara yang mengganggu kedamaian tidur suaminya.Langkah-langkah kecilnya menuju kamar mandi terasa seperti melodi yang mengiringi pagi itu. Segera, air hangat dari shower membasuh tubuhnya, menghapus segala lelah dan penat yang mengendap."Segarnya," bisiknya pelan, merasakan kenikmatan yang begitu sederhana namun mendalam. Ia memejamkan mata, membiarkan air mengalir di wajahnya, membawa pergi segala kekhawatiran yang menyelinap di benaknya.Namun, kenikmatan itu seketika terpecah saat ia merasakan tangan kekar Tristan melingkar di pinggangnya. Kejutannya tergambar jelas di wajahnya, tapi segera tergantikan oleh senyum lembut ketika ia m
Satu tonjokan keras melayang di wajah Alfrod, membuatnya terhuyung ke belakang dengan darah yang mulai mengalir dari sudut bibirnya. Tristan, dengan mata yang menyala-nyala karena amarah, berdiri tegak seperti singa yang siap menerkam. Revana yang melihat adegan itu dari ambang pintu kamar, terperanjat, membolakan mata, dan menutup mulutnya dengan kedua tangan. Ia segera berbalik dan masuk kembali ke dalam kamar, hatinya dipenuhi pertanyaan yang bergelut tanpa henti. 'Siapa pria itu? Mengapa Tristan begitu marah padanya?' pikirnya sambil duduk di tepi tempat tidur, mencoba menenangkan detak jantungnya yang semakin kencang.Di luar kamar, Tristan menggenggam kerah baju Alfrod dan menyeretnya keluar dari rumah yang megah bak istana itu. "Keluar dari rumahku sekarang juga!" pekik Tristan, suaranya menggema di seluruh ruangan.Alfrod tertawa, tawa yang dingin dan mengejek, menatap wajah Tristan dengan penuh provokasi. "Sekarang aku tahu siapa wanita itu. Rupanya kamu telah berhasil mem
Di hari yang sama, Revana dan Tristan memutuskan untuk segera pindah rumah. Langkah-langkah mereka diambil dengan cepat, penuh dengan urgensi dan ketegangan yang menggantung di udara. Ketika mereka tiba di rumah baru mereka, sebuah bangunan megah yang tak kalah mewahnya dengan rumah sebelumnya, Revana tidak bisa menyembunyikan rasa kagumnya. Matanya membesar, menganga melihat kemewahan yang terpampang di hadapannya, seolah-olah mereka baru saja melangkah ke dalam istana modern yang berkilau.Tristan menatap Revana dengan tatapan serius. “Kamu tidak boleh memberi tahu siapa pun tempat tinggal kita yang baru ini,” ucapnya dengan nada tegas, setiap kata mengandung perintah yang tidak bisa dibantah.Revana mengangguk pelan, meski hatinya bergejolak. “Apakah ayah dan adikku juga tidak boleh tahu?” tanyanya, suaranya bergetar dengan kekhawatiran.“Tidak!” tegas Tristan, suaranya menggema dengan kepastian yang menakutkan, membuat pundak Revana meringkuk ketakutan. Tatapan mata Tristan yan
Dua hari kemudian, Tristan membawa Revana ke Roma, Italia untuk berbulan madu, sebuah janji manis yang telah terlaksana dengan gemerlapnya kota tua yang mengundang dengan cahayanya yang keemasan.“Woah! Pemandangan di sini luar biasa indah,” gumamnya saat membuka jendela Villa.Revana terkesima oleh keindahan pemandangan villa yang mereka tempati, dikelilingi oleh gemerlap pantai yang berkilauan di bawah sinar matahari senja.Tristan tersenyum tipis saat melihat mata istrinya yang bersinar-sinar dalam kekaguman yang tak tersembunyi."Dilarang kampungan, ya, Revana," ujar Tristan dengan nada lembut, namun kata-katanya terdengar seperti gurauan penuh arti.Revana merasa terguncang. Ia tidak menyangka suaminya akan mengungkapkan sesuatu seperti itu.Tristan menatapnya dengan hangat, berharap untuk meredakan ketegangan yang tiba-tiba muncul."Maksudmu?" tanya Revana dengan suara yang gemetar sedikit.Tristan mengangguk, lalu menjelaskan dengan lembut, "Aku tahu ini pertama kalinya kamu ke
Dengan perlahan, Revana mengangguk, menerima nasib yang telah ia pilih sendiri.Matanya yang bercahaya menatap Tristan dengan perasaan yang sulit diungkapkan, campuran antara rasa takut dan keberanian.Ia tahu bahwa malam ini akan menjadi malam yang panjang, penuh dengan hasrat dan penyerahan yang tak terhindarkan.Tristan tersenyum tipis, melihat anggukan Revana sebagai tanda persetujuan. Ia lalu meraih wajah istrinya dengan lembut, mengangkat dagunya hingga mata mereka bertemu dalam tatapan yang intens.Sentuhan tangan Tristan terasa dingin namun menenangkan, seakan membawa ketenangan di tengah badai yang berkecamuk dalam hati Revana."Malam ini, aku akan membuatmu melayang, Revana," bisik Tristan lagi, suaranya menggema dalam keheningan yang kini terasa begitu intim.Perlahan tapi pasti, Tristan menyentuh pipi Revana dengan kelembutan yang menggetarkan hati. Sentuhan itu begitu halus, seolah-olah menyentuh permata yang rapuh, namun mampu menghantarkan kehangatan yang membakar dari
Tubuh Revana remuk seremuk-remuknya saat bangun di pagi hari. Setiap sendi terasa seperti dilumat, meninggalkan jejak kelelahan yang mendalam di setiap pori-porinya.“Aah! Tubuhku sakit sekali,” rintihnya pelan sembari mengusapi pundaknya yang terasa pegal.Dia mengeluh pelan, suara lirih yang nyaris tak terdengar, lalu menoleh ke arah samping. Tristan sudah tidak ada di tempat.Kamar yang semalam penuh gairah kini terasa kosong dan dingin, meninggalkan bekas-bekas pertempuran yang hanya ia dan Tristan yang tahu.Revana memanggil nama suaminya, namun hanya keheningan yang menjawab panggilannya."Ke mana pria itu?" gumam Revana, suaranya hampir tenggelam dalam desahan napasnya yang masih tersengal.Ia baru saja hendak bangun dari tidurnya, namun diurungkan karena badannya terlalu lelah. Rasa sakit dan lelah bercampur, membentuk beban yang sulit diangkat.“Aw! Tubuhku terasa seperti baru saja ditimpa batu satu ton. Benar-benar remuk dan sakit. Pria itu memang benar-benar gila,” gerutuny
“Heuh? Apa maksudmu, Mas?” tanyanya ingin tahu.Lagi-lagi Tristan hanya diam.Revana bertanya-tanya dalam hatinya sembari menunggu Tristan mau menjelaskan lebih detail mengenai ucapannya barusan.Namun, hingga ia selesai mandi dan Tristan membawanya lagi ke dalam kamar, pria itu tak kunjung bicara.Keheningan yang menghiasi momen itu terasa begitu berat, seolah-olah ada awan gelap yang menggantung di antara mereka, membawa misteri yang belum terungkap.Tristan hanya berkata, "Sarapan telah siap. Kamu sudah bisa jalan sendiri, kan?"Revana mengangguk pelan, bibirnya membentuk senyuman tipis. "Terima kasih telah membantuku," ucapnya dengan suara lembut.Tristan tidak menjawab lagi. Ia keluar dari kamar tersebut sembari mengambil ponsel miliknya yang ia taruh di atas nakas.Langkahnya mantap, namun ada sesuatu yang tampak terselubung dalam gerakannya, sesuatu yang membuat hati Revana semakin bertanya-tanya.Saat pintu kamar tertutup, Revana mengembungkan pipinya, perasaan frustrasi mengg