Share

Bab 3: Tidak Terima Diputuskan

“Kenapa hobi kamu mengancamku terus? Senang sekali, sepertinya melihatku menderita!” ucapnya kesal. Suara Revana menggelegar dalam keheningan malam, seolah berusaha menembus tembok kokoh yang dibangun oleh Tristan.

“Itu pilihanmu. Kamu sudah menandatangani kesepakatan pernikahan kita, dan tidak boleh kamu ingkari, Revana. Bukankah nyawa orang-orang yang kamu sayangi jauh lebih penting, dari apa pun?” jawab Tristan, suaranya terdengar dingin dan tidak kenal ampun, seperti angin malam yang menusuk tulang.

Revana terdiam. Ia mengaku kalah. Bodohnya dia karena sudah menandatangani kesepakatan itu. Sebuah kesepakatan yang menyeretnya ke dalam jurang kegelapan tanpa akhir.

“Apa yang harus aku katakan kepada kekasihku… Mas Tristan?” tanya Revana dengan suara bergetar, mencoba menembus dinginnya malam yang semakin kelam.

“Terserah kamu. Itu urusanmu. Yang jelas, kamu harus mengakhiri hubunganmu dengan lelaki tak berguna itu!” jawab Tristan dengan nada tegas, seakan memukul palu pengadilan terakhir.

Revana menghela napasnya panjang, menatap datar wajah pria yang sialnya kini telah menjadi suaminya. Wajah yang dulu hanya ia lihat dari kejauhan kini menjadi bayangan yang menghantui setiap malamnya.

“Baiklah. Aku akan mengakhiri hubunganku dengannya,” ucapnya dengan pasrah, meskipun hatinya berteriak menolak.

Tristan tersenyum tipis, puas dengan kepatuhan Revana. Ia berbalik dan melangkah keluar dari ruangan, meninggalkan Revana yang terpaku di tempatnya, jiwanya seolah terperangkap dalam kegelapan tanpa akhir. Setiap detik yang berlalu menambah beban di hatinya, beban yang semakin sulit untuk ditanggung.

Revana berjalan pelan menuju kamarnya, setiap langkah terasa berat dan penuh kesakitan. Ia membuka pintu kamar dan mengunci diri di dalam, menenggelamkan wajahnya ke dalam bantal untuk menahan tangis yang tidak terbendung lagi.

Air mata mengalir tanpa henti, mencerminkan betapa hancurnya perasaannya saat ini.

Di luar, Tristan berdiri di teras rumah, memandang langit yang gelap dengan tatapan kosong. Hatinya juga tidak tenang, namun berbeda dari Revana, ia tahu bahwa jalan yang ia tempuh adalah bagian dari rencananya yang lebih besar.

“Selamat malam, Tuan. Michael belum berhasil ditemukan. Dia masih bersembunyi setelah mengkhianati Tuan,” kata sang bodyguard menghubungi Tristan, mengganggu kesunyian malam.

“Jangan beri tahu aku jika kalian tidak memberikan kabar baik padaku!” ucapnya dengan tegas.

Kemarahan dan kekecewaan terlihat jelas di wajahnya. Adik bungsunya yang selama ini ia percaya malah berkhianat dan memilih bekerja sama dengan Alfrod—kakaknya.

"Jangan mimpi hidup kalian akan tenang setelah berhasil mengkhianatiku. Dua keparat itu tidak berhak tertawa di atas kekacauan yang telah mereka lakukan padaku!" ucapnya dengan tangan mengepal erat hingga urat-uratnya terlihat jelas.

Malam itu, Revana berbaring di tempat tidurnya, menatap langit-langit kamar dengan mata yang sembab.

Pikirannya melayang ke Ezra, pria yang ia cintai dengan tulus. Bagaimana ia bisa menjelaskan semua ini kepadanya? Bagaimana ia bisa menghapus luka yang mungkin akan ditinggalkan oleh keputusannya ini?

Pagi harinya, Tristan sudah berdiri di depan kamar Revana dan menatapnya datar. “Temui kekasihmu, akhiri hubunganmu. Jangan sampai yang kamu temui adalah mayatnya!” ancamnya tanpa ragu.

Revana hanya mengangguk datar. Ia pun melangkahkan kakinya keluar dari rumah megah itu, tanpa semangat.

Di depan pintu, dua bodyguard siap mengantarnya. “Aku tidak butuh mereka, Mas. Aku juga tidak akan kabur,” ucap Revana kesal. “Harusnya kamu percaya padaku. Kenapa kamu tidak percaya sekali padaku?”

“Tidak bisa! Kamu harus tetap dalam pengawasan mereka. Hari ini aku ada meeting di The Gold Hotel,” jawab Tristan, suaranya penuh otoritas.

“Ingat! Jangan pulang lewat dari jam tujuh malam. Jika tidak, aku tidak akan pernah melepasmu meskipun kamu sudah memohon padaku!” ancamnya sebelum masuk ke dalam mobilnya.

Revana menggerutu kesal lalu masuk ke dalam mobil mewah yang disiapkan untuknya. Tak ada tempat untuk kabur, dua penjaga akan mengikuti ke mana pun ia pergi.

“Aku tunggu di taman kota sekarang juga. Ada yang ingin aku bicarakan denganmu,” ucap Revana cepat, lalu menutup panggilan itu dan masuk ke dalam mobil.

Hari mulai sore, senja menghiasi langit dengan warna-warni yang memudar seiring datangnya malam.

Waktu terasa semakin mendesak bagi Revana untuk menyelesaikan urusan ini. Hubungan yang telah ia jalani dengan Ezra harus berakhir karena kini ia telah menjadi istri Tristan, sah di mata negara dan agamanya.

Sesampainya di taman kota, Revana melihat Ezra sudah menunggu. Ia langsung menghampiri Revana dengan langkah cepat, ekspresi cemas dan bingung tergurat jelas di wajahnya.

Baru saja bibirnya hendak mencium wajah Revana, perempuan itu langsung mencegahnya, membuat Ezra mengerutkan keningnya dalam kebingungan.

“Ada apa denganmu, Revana?” tanya Ezra, suaranya penuh kebingungan dan kekhawatiran. Ia lalu menoleh ke belakang, memperhatikan dua bodyguard yang mengikuti Revana. “Mereka siapa? Datang bareng kamu?” bisiknya dengan nada curiga.

Revana menelan salivanya, merasakan beban berat di dadanya. “Iya, Ezra. Aku ingin… aku ingin bicara sama kamu. Hanya tiga puluh menit saja.”

“Ya sudah, duduk dulu. Kamu ingin bicara apa? Dan mereka siapa? Kenapa kamu pakai pengawal segala? Dan mobil mewah itu…”

Revana menghela napasnya panjang, menyiapkan diri untuk mengungkapkan kebenaran yang menyakitkan.

“Dengarkan aku, Ezra. Sebelumnya aku minta maaf karena aku harus mengatakan ini secara mendadak. Sebenarnya aku sudah mengkhianati kamu, Ezra. Aku telah berselingkuh dengan bos di perusahaan tempatku bekerja. Dia lebih kaya darimu, dan aku lebih nyaman bersamanya.”

Suaranya bergetar, hatinya terasa perih. Namun, ia tahu bahwa ini adalah kebohongan yang harus ia katakan demi keselamatan orang-orang yang ia cintai.

“Apa? Apa kamu bilang? Revana! Kamu pasti bercanda, kan?” Ezra tak percaya dengan ucapan wanita itu, wajahnya memucat, dan matanya penuh kekhawatiran.

“Tidak, Ezra. Aku ingin mengakhiri hubungan kita. Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi dan aku pun sudah meminta maaf padamu karena telah selingkuh di belakang kamu selama ini.”

Ezra tersenyum pahit, mengusap wajahnya dengan tangan gemetar, berusaha menahan rasa sakit yang mengguncang hatinya.

“Sudah tiga puluh menit, Nona Revana,” suara bodyguard terdengar kaku, mengingatkan batas waktu yang telah ditentukan.

Revana beranjak dari duduknya, namun tangan Ezra menahannya. “Tunggu, Revana. Aku tidak terima. Kamu tidak bisa mengakhiri hubungan kita dengan seenak jidatmu! Aku tidak akan melepaskanmu begitu saja!”

Revana menggelengkan kepalanya. “Jangan egois, Ezra. Memangnya kamu punya apa? Lihatlah, apa yang diberikan oleh kekasihku? Fasilitas mewah bahkan penjaga untukku. Dan kamu? Tidak akan pernah bisa melakukannya, kan?”

Dengan hati yang hancur, Revana segera masuk ke dalam mobil, tak ingin berlama-lama berbohong di depan Ezra. Kepedihan di matanya terlalu nyata, dan setiap detik di hadapannya hanya memperdalam luka.

“Revana! Sampai kapan pun aku tidak akan pernah melepaskanmu!” teriak Ezra, suaranya penuh dengan ketidakberdayaan dan kemarahan.

Dia berdiri di sana, menatap mobil yang membawa pergi wanita yang dicintainya, kepalan tangannya bergetar dengan kemarahan yang membara.

“Arrghh! Siapa keparat yang sudah menggoda Revana? Aku akan mencarimu, keparat!” teriaknya dengan tangan mengepal erat, tekadnya membara untuk menemukan dan menghancurkan orang yang telah mencuri cinta dan kebahagiaannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status