“Heuh? Apa maksudmu, Mas?” tanyanya ingin tahu.Lagi-lagi Tristan hanya diam.Revana bertanya-tanya dalam hatinya sembari menunggu Tristan mau menjelaskan lebih detail mengenai ucapannya barusan.Namun, hingga ia selesai mandi dan Tristan membawanya lagi ke dalam kamar, pria itu tak kunjung bicara.Keheningan yang menghiasi momen itu terasa begitu berat, seolah-olah ada awan gelap yang menggantung di antara mereka, membawa misteri yang belum terungkap.Tristan hanya berkata, "Sarapan telah siap. Kamu sudah bisa jalan sendiri, kan?"Revana mengangguk pelan, bibirnya membentuk senyuman tipis. "Terima kasih telah membantuku," ucapnya dengan suara lembut.Tristan tidak menjawab lagi. Ia keluar dari kamar tersebut sembari mengambil ponsel miliknya yang ia taruh di atas nakas.Langkahnya mantap, namun ada sesuatu yang tampak terselubung dalam gerakannya, sesuatu yang membuat hati Revana semakin bertanya-tanya.Saat pintu kamar tertutup, Revana mengembungkan pipinya, perasaan frustrasi mengg
Roma, Italia…Di bawah langit biru yang luas, Revana duduk di atas hamparan pasir putih yang cantik dan mempesona.Angin sepoi-sepoi menerpa wajahnya yang pucat, namun tatapannya tetap kosong, menembus cakrawala tanpa fokus.Ia mendengar ombak yang bergulung-gulung di kejauhan, suara yang biasanya menenangkan, kini tak lebih dari gemuruh tak berirama yang menyayat hati.“Apa yang Tristan katakan memang benar. Aku tidak perlu menaruh harapan penuh padanya. Dia menikahiku karena utang Ayah yang tidak sanggup dibayar. Bukan karena mencintaiku.”Revana berbisik kepada dirinya sendiri, suaranya serak oleh emosi yang mendesak keluar. Ia menundukkan kepalanya, membiarkan butiran pasir mengalir di antara jemarinya. Setiap butiran terasa seperti luka kecil yang menambah kepedihan di hatinya.Ucapan Tristan tadi pagi masih terngiang dalam otaknya, seperti gema yang enggan memudar.“Jangan pernah berharap lebih dariku, Revana. Pernikahan ini adalah transaksi. Tak lebih dari itu,” katanya dengan
"Apa maksud Ayah?" tanya Dea ingin tahu dengan ucapan yang baru saja keluar dari mulut Rony. Namun, pria itu memilih untuk pergi meninggalkan Dea dan tidak mau menjelaskan apa yang dia maksud tadi.Dea merasakan kepedihan yang mendalam. Ia sedikit kesal, lalu bertanya-tanya, "Apakah aku kurang cantik? Kurang seksi? Bahkan aku bisa melakukan apa saja yang Tristan inginkan. Aku yakin, Revana tidak bisa melakukan apa yang Tristan mau."Pikirannya dipenuhi dengan berbagai skenario. Ia melipat tangan di dadanya, kesal dan marah juga iri dengki karena tidak bisa mendapatkan Tristan.Perasaan kecewa itu berubah menjadi tekad yang gelap dan mengancam, terbesit dalam otaknya untuk merebut Tristan dari tangan Revana.Dea tersenyum penuh misterius, senyum yang tidak menunjukkan niat baik, melainkan niat untuk mengambil sesuatu yang bukan miliknya."Aku pasti bisa merebut Tristan dari Revana!" ucapnya pelan, namun penuh dengan keyakinan dan ambisi yang berbahaya.Malam hari di Roma, Italia, bulan
Michael menghampiri Alfrod, kakak pertamanya yang tak lain adalah bosnya juga, dengan langkah pasti dan wajah serius.Di tangannya, ia membawa satu box pistol yang berhasil ia selundupkan, senjata yang kini menjadi bagian dari bisnis gelap mereka.Ruangan itu terasa berat dengan aroma tembakau dan alkohol, dindingnya dipenuhi dengan hiasan yang mencerminkan kekuasaan dan dominasi."Bos," Michael membuka percakapan dengan nada formal, meletakkan box pistol di meja di depan Alfrod. "Ini senjata yang berhasil kita dapatkan. Semua sudah sesuai dengan permintaan."Alfrod, dengan tatapan tajam dan senyum sinis, mengangguk. "Bagus, Michael. Kamu selalu bisa diandalkan dalam hal ini." Ia membuka box tersebut, memeriksa isi dengan cermat.“Tidak ada yang terlewat sedikit pun. Good, Michael!” puji sang kakak dengan senyum terbit di bibirnya.Michael menghela napas berat. “Tapi, Alfrod. Anak buah Tristan sedang mencariku di luar sana. Hampir saja aku tertangkap saat di pelabuhan tadi.”Alih-alih
Alfrod menatap adiknya dengan mata yang penuh keyakinan, seolah-olah seluruh semesta terpusat pada momen itu.Di bawah sorotan lampu redup, bayangannya tampak seperti bayangan seorang pahlawan dalam lukisan tua."Kita akan mencari tahu lebih banyak tentang Aluna. Jika kita bisa menemukan keberadaannya atau setidaknya mendapatkan informasi yang lebih jelas tentang apa yang terjadi padanya, kita bisa menggunakan itu sebagai leverage terhadap Tristan," ucapnya dengan nada yang penuh tekad dan sedikit nada bisikan yang menyeramkan.Michael mengangguk, merasakan ketegangan yang terjalin dalam setiap kata Alfrod, merasa bahwa rencana ini mungkin bisa memberikan mereka keunggulan dalam permainan yang penuh dengan intrik dan bahaya ini."Baik, aku akan mencari tahu apa yang bisa aku temukan tentang Aluna," jawabnya dengan suara yang mengandung campuran antusiasme dan ketakutan, seperti seorang prajurit yang berangkat ke medan perang dengan senjata baru.Tatapan penuh harapan Alfrod menyelami
Sambil melipat tangan di dadanya, Tristan menatap Revana dengan tatapan datarnya, seperti seorang raja yang mengamati bawahannya dengan penuh ketidakpedulian."Berapa banyak, pembicaraan yang kamu dengar tadi?" tanyanya dingin, suaranya seperti es yang menusuk kulit.Revana menelan salivanya dengan berat. Sangat takut, bahkan kini tubuhnya terasa kaku seraya menatap sang suami yang tengah menunggu jawaban darinya."Ti—tidak ada. Eum! Maksudku tidak banyak," jawabnya gugup, suaranya hampir tidak terdengar, seolah-olah setiap kata adalah batu yang berat untuk diucapkan.Tristan menaikkan alisnya, mengamati Revana dengan tatapan yang penuh kecurigaan. "Sudah selesai, packing-nya?""Sudah. Sudah kukemas semua. Bajumu pun sudah aku masukkan ke dalam kopermu," balas Revana dengan nada yang bergetar, mencoba menjaga ketenangannya di bawah pandangan Tristan yang menembus.Tanpa menjawab apa pun, Tristan meninggalkan Revana dan keluar dari kamar itu. Revana menghela napas lega, meskipun sikap
“Siapa wanita ini?” gumam Revana sekali lagi, suaranya dipenuhi dengan kebingungan yang mendalam. Jantungnya berdebar kencang saat menatap foto itu, jemarinya yang gemetar nyaris terlepas dari bingkai foto tersebut. Bayangan wanita cantik dengan senyuman misterius seolah menghantui pikirannya.“Apakah dia kekasih Tristan? Tidak mungkin jika bukan siapa-siapa tapi dia menaruhnya di sini. Di kamar ini. Kamar yang aku tempati dengannya,” bisiknya kepada dirinya sendiri, mencoba mencari alasan di balik kehadiran foto itu. Kekhawatiran dan rasa cemburu mulai menyelimuti hatinya, menciptakan badai emosional yang sulit untuk diredam.Revana menelan salivanya dengan pelan seraya menatap foto tersebut dengan tangan gemetar. Sungguh, ia tidak menyangka jika dia akan menemukan foto seorang wanita di kamarnya sendiri. Rasanya seperti dunia di sekelilingnya berputar lebih cepat, membuatnya kehilangan keseimbangan.“Bahkan Tristan masih menyimpannya di sini,” gumamnya kemudian, suaranya nyaris tida
Hendri menarik napas dalam-dalam, seolah mencoba menghimpun setiap kepingan memori yang tersembunyi dalam pikirannya, sebelum akhirnya menggeleng pelan."Maafkan saya, Nona. Tapi, saya tidak mengenal siapa wanita yang ada di dalam foto itu. Yang saya tahu, Tuan Tristan tidak pernah membawa wanita itu ke rumah ini."Revana mengerutkan kening, matanya menelisik tajam ke wajah Hendri, mencari celah keraguan di sana. "Tidak pernah membawa wanita ini ke rumah ini? Pak. Coba ingat-ingat lagi. Siapa tahu kamu hanya lupa atau belum lama bekerja di sini."Hendri mengangguk pelan, sembari menarik napas lagi, seolah ingin memastikan setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah kebenaran yang tak terbantahkan."Iya, Nona. Saya memang belum lama bekerja di sini. Hanya saja, saya sangat yakin jika Tuan Tristan tidak pernah membawa perempuan manapun kecuali Anda ke rumah ini."Revana terdiam, matanya masih terpaku pada wajah Hendri, mencari secercah keraguan yang bisa menjadi petunjuk.Tapi, kegigih
Langit malam membentangkan jubah hitamnya, bertabur bintang yang gemerlap bagai luka-luka kecil yang menganga di dada langit.Tristan berdiri di tengah ruangan yang sepi, memegang berkas terakhir dari masa lalunya yang kelam. Matanya menatap Louis, sahabat lama yang menjadi saksi bisu keputusannya."Aku serahkan semuanya padamu," ucapnya, suaranya penuh kelelahan yang berat seperti batu yang diangkat dengan tangan telanjang. "Jangan pernah membawa namaku lagi dalam misi apa pun itu!"Louis menerima berkas itu dengan gerakan lambat, seperti menghormati akhir sebuah era. Senyumnya merekah samar di sudut bibirnya, sebuah ironi yang menggantung di udara."Aku tahu kamu masih memiliki urusan dengan Alfrod," ujarnya, nada bicaranya bagai belati yang menyentuh luka lama. "Dia sedang marah besar sebab kamu telah membombardir markas utamanya."Tristan mengangkat wajahnya, tatapannya yang gelap bertaut dengan mata Louis. Dalam diam itu ada badai yang berusaha ia redam. "Apakah dia sedang mencar
“Dengar kabar dari Alfrod?” tanya Tristan sambil menatap Gave yang baru saja menyerahkan dokumen-dokumen yang menuntut tanda tangannya.Nada suaranya tenang, tapi di balik ketenangan itu tersirat kewaspadaan, seperti badai yang sedang menanti waktu untuk meledak.Gave menggeleng perlahan, ekspresinya penuh kehati-hatian. “Belum ada kabar. Tapi sebaiknya kamu tetap waspada. Kemungkinan besar dia sedang menyusun strategi untuk balas dendam. Kamu tahu, Alfrod tak akan tinggal diam begitu saja setelah serangan itu.”Tristan membuka dokumen itu satu per satu, menelusuri kata-kata di dalamnya seakan setiap kata adalah butiran pasir waktu yang akan segera hilang.Pikirannya berkecamuk antara tugasnya sebagai pemimpin mafia dan permintaan Revana yang tak henti terngiang di kepalanya.“Revana memintaku berhenti jadi mafia, Gave. Tapi, aku bingung harus menyerahkan semuanya pada siapa. Tidak mungkin kalau aku memberikannya pada Alfrod—itu sama saja dengan menyerahkan harga diriku padanya.”Gave
Usia Naira kini telah mencapai satu bulan. Bayi mungil itu, dengan pipi lembut bak kelopak mawar yang baru merekah, semakin aktif dan sehat setelah berhasil melewati masa-masa rapuhnya, di mana ia terlahir ke dunia dengan napas yang tertatih-tatih.Revana menghela napas panjang, baru saja selesai mandi, namun segera dihadapkan dengan tangis lembut Naira yang seolah memenuhi ruangan seperti melodi lembut."Sayang..." panggilan Tristan menggema, mendesak Revana keluar dari kamar mandi dengan langkah cepat namun penuh kelembutan seorang ibu."Sudah tahu, Mas." Dengan senyum yang menyiratkan kasih tak terbatas, Revana mengambil alih Naira dari dekapan sang suami. Bayi itu, yang sebelumnya tampak resah, perlahan tenang dalam kehangatan pelukannya.ASI Revana kini telah keluar, setelah minggu-minggu penuh ketekunan dan harapan. Ia ingin memberikan Naira bukan sekadar nutrisi, tetapi juga sepenggal jiwanya, sesuatu yang hanya seorang ibu bisa tawarkan pada darah dagingnya sendiri."Anteng ba
Satu minggu kemudian. Tepat hari ini, minggu ketiga Revana menjalani rawat inapnya di rumah sakit. Aroma disinfektan yang dulu membuatnya merasa gerah kini terasa seperti bagian dari napasnya, tapi hari ini, itu semua akan menjadi kenangan.Ruang perawatan yang dingin dan bernuansa steril akan ia tinggalkan, digantikan dengan kehangatan rumah yang sudah lama ia rindukan.“Namun, harus tetap cek rutin, ya. Luka dalam Anda masih dalam tahap penyembuhan. Jangan terlalu banyak melakukan aktivitas yang melelahkan,” kata dokter Pram, suaranya tegas namun hangat, menatap Revana yang tengah menggendong bayi kecilnya dengan hati-hati, seolah-olah dunia ini hanya berpusat pada mereka berdua.Baby Naira, sang buah hati yang mungil dan rapuh, sudah diperbolehkan pulang. Semakin hari, kesehatannya pun terus membaik, seperti embun yang makin bening saat sinar mentari mulai merayapi langit.Ada kelegaan mendalam yang terpancar di mata Revana, kelegaan yang hanya seorang ibu yang tahu, sebuah perasaa
Sudah dua hari Revana dipindahkan ke ruang rawat. Ketika Tristan baru saja tiba di kamar, matanya langsung menangkap wajah Revana yang ditekuk, menunjukkan ekspresi memelas yang begitu menggemaskan, seolah memohon sesuatu dengan lirih dari balik sorot matanya yang teduh.“Sayang, ada apa? Kenapa wajahmu ditekuk seperti itu, hm?” Tristan bertanya dengan senyum lembut yang terulas di bibirnya.Tanpa ragu, ia mendekat dan mencium kening istrinya dengan penuh kasih, memberikan kehangatan yang membuat Revana tersipu.“Mas… aku ingin melihat anak kita. Aku ingin melihat baby Naira. Aku sudah membaik lho, Mas.” Revana merajuk, nada suaranya manis seperti anak kecil yang merengek ingin hadiah, membuat Tristan tersenyum geli.Melihat Revana begitu menggemaskan, Tristan tak bisa menahan senyumnya. “Baiklah. Kita akan melihat anak kita hari ini,” ucapnya lembut, suaranya seperti angin sejuk yang membawa kebahagiaan di hati Revana.Seketika, senyum lebar menghiasi bibir Revana, matanya berbinar p
“Kenapa kamu menyelamatkanku?” tanya Revana, suaranya begitu lirih, seolah datang dari tempat yang jauh.Tatapan matanya yang masih redup menatap Tristan dengan penuh kebingungan dan rasa bersalah yang mengabur di kedalaman matanya.Tristan menggelengkan kepalanya pelan, senyum kecil namun penuh kasih sayang menghiasi wajahnya.“Aku tidak akan membiarkanmu meninggalkanku, Revana. Jangan pernah berpikir aku rela kehilanganmu,” bisiknya, seraya menggenggam tangan Revana dengan lembut namun erat, seolah memastikan bahwa ia tidak akan pernah terlepas lagi.Revana menutup matanya, tenggelam dalam keheningan yang begitu dalam. Rasa bersalah menggerogoti hatinya; ia terbayang kehilangan buah hatinya, menyalahkan dirinya sendiri yang tak mampu melindungi kehidupan yang pernah tumbuh dalam rahimnya.“Aku akan menjadi ibu yang jahat karena tidak melindungi anakku sendiri,” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar, penuh kepedihan yang ia pendam sendirian.“Tidak, Sayang. Jangan berpikir seperti
Dua minggu kemudian ...Langkah Tristan terdengar pelan namun penuh keteguhan ketika ia memasuki rumah sakit.Di tangannya, tergenggam sebuah paper bag besar berisi popok dan susu formula untuk putrinya yang mungil, yang hingga kini masih terlelap dalam ruang inkubator, seolah berselimut dalam kehangatan buatan yang melindunginya dari dunia yang masih terlalu keras.“Sus. Ini, susu dan popok untuk satu minggu ke depan.” Tristan menyerahkan tas itu kepada perawat, suaranya tenang namun terselip rasa sayang yang dalam.“Baik, Pak. Terima kasih,” jawab perawat itu, mengangguk hormat.Tristan menghela napas panjang, lalu sedikit membungkukkan tubuhnya, ingin menyapa sang buah hati yang belum sepenuhnya ia rangkul. Senyum tipis terlukis di bibirnya, menyiratkan kerinduan yang tak terkatakan.“Hei. Sebentar lagi kamu sudah bisa Papi gendong,” ucapnya dengan kelembutan yang menetes seperti embun pagi. Pandangannya melekat pada wajah mungil yang terbaring tenang, jiwanya berbisik penuh harapa
“Siapa yang berani menghancurkan markasku!” pekik Alfrod, suaranya bergemuruh bak badai menggelegar, mengguncang dunia di bawah cakrawala yang muram.Matanya menatap kosong pada pemandangan yang menyayat hati; markas yang selama ini menjadi simbol kejayaannya kini hanya menyisakan puing-puing berdebu, sisa-sisa dari ledakan yang menyapu semalam, meninggalkan kehampaan yang dingin dan mematikan.Empat nyawa turut lenyap dalam kobaran tanpa sisa—hanya debu dan kenangan yang tinggal mengambang di udara yang pekat.“Berengsek! Barang-barang berhargaku hancur lebur! Arghh!!” teriaknya lagi.Amarah menyelubunginya, merambat seperti api liar dalam gurun kering, sampai-sampai tangan kasarnya tak segan-segan menjambak rambutnya sendiri, seolah merobek sebagian dari dirinya yang tak mampu menerima kenyataan pahit ini.Michael, dengan ketenangan yang kontras, menatap Alfrod. “Siapa lagi kalau bukan Tristan,” ujarnya ringan, suaranya seperti angin yang mengalir lembut di tengah badai.Ia sangat y
Tristan melangkah perlahan mendekati tabung inkubator, tempat bayi mungilnya tertidur dengan damai, seolah terlelap dalam dunia kecilnya yang penuh ketenangan.Wajahnya yang lembut dan polos dipagari tabung kaca, memberikan Tristan pandangan pertama pada keajaiban yang kini menjadi bagian dari hidupnya.Dengan hati yang penuh haru, Tristan mengulas senyum lirih, menyadari bahwa dirinya kini seorang ayah.“Hai, Nak,” bisiknya lembut, suaranya nyaris serak oleh emosi yang meluap. “Ini Papi… Ayah yang selalu menunggumu sejak tahu kamu hadir di perut mamimu.”Kata-katanya mengalir pelan, penuh kehangatan dan kasih sayang yang mendalam. Ia menatap buah hatinya dengan sorot penuh kelembutan, mengagumi setiap detail wajah mungil itu—wajah yang begitu mirip dirinya.Di sampingnya, Gave tersenyum lebar sambil melihat lebih dekat keponakan kecilnya. “Wajahnya mirip sekali denganmu, Tristan. Sepertinya Revana hanya mengandung saja,” canda Gave, tertawa pelan.Tristan tersenyum, teringat betapa b