Sambil melipat tangan di dadanya, Tristan menatap Revana dengan tatapan datarnya, seperti seorang raja yang mengamati bawahannya dengan penuh ketidakpedulian."Berapa banyak, pembicaraan yang kamu dengar tadi?" tanyanya dingin, suaranya seperti es yang menusuk kulit.Revana menelan salivanya dengan berat. Sangat takut, bahkan kini tubuhnya terasa kaku seraya menatap sang suami yang tengah menunggu jawaban darinya."Ti—tidak ada. Eum! Maksudku tidak banyak," jawabnya gugup, suaranya hampir tidak terdengar, seolah-olah setiap kata adalah batu yang berat untuk diucapkan.Tristan menaikkan alisnya, mengamati Revana dengan tatapan yang penuh kecurigaan. "Sudah selesai, packing-nya?""Sudah. Sudah kukemas semua. Bajumu pun sudah aku masukkan ke dalam kopermu," balas Revana dengan nada yang bergetar, mencoba menjaga ketenangannya di bawah pandangan Tristan yang menembus.Tanpa menjawab apa pun, Tristan meninggalkan Revana dan keluar dari kamar itu. Revana menghela napas lega, meskipun sikap
“Siapa wanita ini?” gumam Revana sekali lagi, suaranya dipenuhi dengan kebingungan yang mendalam. Jantungnya berdebar kencang saat menatap foto itu, jemarinya yang gemetar nyaris terlepas dari bingkai foto tersebut. Bayangan wanita cantik dengan senyuman misterius seolah menghantui pikirannya.“Apakah dia kekasih Tristan? Tidak mungkin jika bukan siapa-siapa tapi dia menaruhnya di sini. Di kamar ini. Kamar yang aku tempati dengannya,” bisiknya kepada dirinya sendiri, mencoba mencari alasan di balik kehadiran foto itu. Kekhawatiran dan rasa cemburu mulai menyelimuti hatinya, menciptakan badai emosional yang sulit untuk diredam.Revana menelan salivanya dengan pelan seraya menatap foto tersebut dengan tangan gemetar. Sungguh, ia tidak menyangka jika dia akan menemukan foto seorang wanita di kamarnya sendiri. Rasanya seperti dunia di sekelilingnya berputar lebih cepat, membuatnya kehilangan keseimbangan.“Bahkan Tristan masih menyimpannya di sini,” gumamnya kemudian, suaranya nyaris tida
Hendri menarik napas dalam-dalam, seolah mencoba menghimpun setiap kepingan memori yang tersembunyi dalam pikirannya, sebelum akhirnya menggeleng pelan."Maafkan saya, Nona. Tapi, saya tidak mengenal siapa wanita yang ada di dalam foto itu. Yang saya tahu, Tuan Tristan tidak pernah membawa wanita itu ke rumah ini."Revana mengerutkan kening, matanya menelisik tajam ke wajah Hendri, mencari celah keraguan di sana. "Tidak pernah membawa wanita ini ke rumah ini? Pak. Coba ingat-ingat lagi. Siapa tahu kamu hanya lupa atau belum lama bekerja di sini."Hendri mengangguk pelan, sembari menarik napas lagi, seolah ingin memastikan setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah kebenaran yang tak terbantahkan."Iya, Nona. Saya memang belum lama bekerja di sini. Hanya saja, saya sangat yakin jika Tuan Tristan tidak pernah membawa perempuan manapun kecuali Anda ke rumah ini."Revana terdiam, matanya masih terpaku pada wajah Hendri, mencari secercah keraguan yang bisa menjadi petunjuk.Tapi, kegigih
Gave menatap Revana dengan pandangan yang tajam namun penuh penghormatan. "Tuan Tristan sedang ada urusan bisnis, Nona. Beliau mungkin akan pulang larut malam atau bahkan pagi hari."Revana mengangguk pelan, rasa cemas masih bergelayut di hatinya. "Apakah urusannya sangat penting sampai harus pulang selarut ini?"Gave tersenyum tipis, senyum yang penuh misteri. "Urusan Tuan Tristan selalu penting, Nona. Beliau adalah orang yang sangat sibuk. Selain pebisnis hebat, beliau juga merupakan pekerja gelap yang memimpin kekuasaan di suatu tempat.”Revana menghela napas panjang, matanya kembali menatap langit malam yang kini semakin gelap. “Dan itu sangat membahayakan nyawanya, kan?” tanyanya memastikan.Gave tersenyum tipis. “Semua pekerjaan memiliki risiko masing-masing, Nona. Tuan Tristan sudah mendalami semuanya dan saya harap beliau selalu berhati-hati. Pekerjaan itu memang sangat berbahaya. Tapi, dendam yang ada dalam dirinya tidak akan pernah padam.”Revana mengerutkan keningnya. “Dend
Pagi harinya. Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Cahaya matahari merayap masuk melalui tirai tipis yang menggantung, menciptakan pola lembut di dinding kamar yang tenang.Revana membuka matanya, merasakan sisa-sisa mimpi masih membayangi pikirannya. Dia mengucek matanya dengan pelan, mencoba menghapus kantuk yang masih menempel.Tak lupa, dia merentangkan otot-otot tubuhnya sembari mengerang pelan, merasa lega dengan peregangan yang membuat seluruh tubuhnya terbangun."Astagaa!" Revana terperanjat kaget ketika melihat Tristan yang tengah duduk di sampingnya. Tatapan pria itu seperti biasanya—dingin dan tak terbaca."Mas Tristan? Kapan kamu kembali? Aku dengar dari Pak Gave, kamu sedang banyak pekerjaan," ucapnya, suaranya penuh dengan kebingungan. Revana memandang suaminya dari atas sampai bawah.Pria itu sudah sangat rapi dengan balutan jas hitam dan dasi polkadotnya."Kamu ... sudah mandi? Sudah sangat rapi sekali. Maaf, aku bangun siang. Aku tidak tahu jika kamu sudah kembali,"
Revana menemukan pemandangan yang membuat jantungnya berdegup kencang dan darahnya seakan membeku.Ayahnya, Rony, berlutut di depan seorang pria tampan dengan perawakan tinggi dan tegap, sosok yang begitu mendominasi seolah menguasai seluruh ruang dengan keanggunannya.“Ayah, apa yang sedang Ayah lakukan di sini? Kenapa berlutut seperti itu?” tanyanya dengan suara bergetar, seakan angin malam yang menerpa dedaunan di hutan yang sunyi.Rony tidak segera menjawab. Wajahnya memancarkan campuran rasa malu dan ketakutan, dua emosi yang bersarang di matanya yang kini tak berani menatap Revana.Ia hanya memandang lurus ke depan, ke arah pria yang berdiri dengan sikap angkuh dan tak tertembus.Revana mengikuti arah pandangan ayahnya, dan hatinya semakin mencelos saat ia mengenali siapa pria di depannya.Sanders Valerio Tristan, seorang CEO perusahaan tempat Revana bekerja, berdiri dengan angkuh, menatapnya dengan pandangan datar yang menembus relung jiwanya.“Pak Tristan? Apa yang Anda lakuka
Rony menghampiri Tristan dan berdiri tepat di depan Revana. Ia menggelengkan kepalanya, tanda tidak setuju dengan permintaan Tristan."Tidak, Pak Tristan. Saya tidak ingin Anda mengambil anak saya," ucapnya tegas. Sebab ia tahu siapa pria yang menginginkan anaknya ini."Jadi, kamu lebih menyayangi anakmu daripada nyawamu sendiri?" ucap Tristan, menantang Rony. Ia paling tidak suka dengan penolakan."Ayah. Tidak apa-apa, aku pasti baik-baik saja. Yang penting saat ini adalah utang Ayah lunas. Benar begitu kan, Pak Tristan?" ucap Revana dengan nada datarnya.Tristan mengangguk. "Ya."“Pernikahan ini akan dirahasiakan. Tidak ada yang boleh tahu. Dan keluargamu akan baik-baik saja, selama kamu patuh padaku!” sambungnya kemudian.Revana menelan ludahnya sebelum akhirnya terpaksa mengangguk, meski hatinya memberontak. Pilihan itu bukan lagi miliknya, semuanya sudah diatur sedemikian rupa."Jaga diri kamu baik-baik di sana, Nak. Maafkan Ayah. Karena kebodohan Ayah, kamu harus jadi korbannya,
“Kenapa hobi kamu mengancamku terus? Senang sekali, sepertinya melihatku menderita!” ucapnya kesal. Suara Revana menggelegar dalam keheningan malam, seolah berusaha menembus tembok kokoh yang dibangun oleh Tristan.“Itu pilihanmu. Kamu sudah menandatangani kesepakatan pernikahan kita, dan tidak boleh kamu ingkari, Revana. Bukankah nyawa orang-orang yang kamu sayangi jauh lebih penting, dari apa pun?” jawab Tristan, suaranya terdengar dingin dan tidak kenal ampun, seperti angin malam yang menusuk tulang.Revana terdiam. Ia mengaku kalah. Bodohnya dia karena sudah menandatangani kesepakatan itu. Sebuah kesepakatan yang menyeretnya ke dalam jurang kegelapan tanpa akhir.“Apa yang harus aku katakan kepada kekasihku… Mas Tristan?” tanya Revana dengan suara bergetar, mencoba menembus dinginnya malam yang semakin kelam.“Terserah kamu. Itu urusanmu. Yang jelas, kamu harus mengakhiri hubunganmu dengan lelaki tak berguna itu!” jawab Tristan dengan nada tegas, seakan memukul palu pengadilan ter