Hendri menarik napas dalam-dalam, seolah mencoba menghimpun setiap kepingan memori yang tersembunyi dalam pikirannya, sebelum akhirnya menggeleng pelan."Maafkan saya, Nona. Tapi, saya tidak mengenal siapa wanita yang ada di dalam foto itu. Yang saya tahu, Tuan Tristan tidak pernah membawa wanita itu ke rumah ini."Revana mengerutkan kening, matanya menelisik tajam ke wajah Hendri, mencari celah keraguan di sana. "Tidak pernah membawa wanita ini ke rumah ini? Pak. Coba ingat-ingat lagi. Siapa tahu kamu hanya lupa atau belum lama bekerja di sini."Hendri mengangguk pelan, sembari menarik napas lagi, seolah ingin memastikan setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah kebenaran yang tak terbantahkan."Iya, Nona. Saya memang belum lama bekerja di sini. Hanya saja, saya sangat yakin jika Tuan Tristan tidak pernah membawa perempuan manapun kecuali Anda ke rumah ini."Revana terdiam, matanya masih terpaku pada wajah Hendri, mencari secercah keraguan yang bisa menjadi petunjuk.Tapi, kegigih
Gave menatap Revana dengan pandangan yang tajam namun penuh penghormatan. "Tuan Tristan sedang ada urusan bisnis, Nona. Beliau mungkin akan pulang larut malam atau bahkan pagi hari."Revana mengangguk pelan, rasa cemas masih bergelayut di hatinya. "Apakah urusannya sangat penting sampai harus pulang selarut ini?"Gave tersenyum tipis, senyum yang penuh misteri. "Urusan Tuan Tristan selalu penting, Nona. Beliau adalah orang yang sangat sibuk. Selain pebisnis hebat, beliau juga merupakan pekerja gelap yang memimpin kekuasaan di suatu tempat.”Revana menghela napas panjang, matanya kembali menatap langit malam yang kini semakin gelap. “Dan itu sangat membahayakan nyawanya, kan?” tanyanya memastikan.Gave tersenyum tipis. “Semua pekerjaan memiliki risiko masing-masing, Nona. Tuan Tristan sudah mendalami semuanya dan saya harap beliau selalu berhati-hati. Pekerjaan itu memang sangat berbahaya. Tapi, dendam yang ada dalam dirinya tidak akan pernah padam.”Revana mengerutkan keningnya. “Dend
Pagi harinya. Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Cahaya matahari merayap masuk melalui tirai tipis yang menggantung, menciptakan pola lembut di dinding kamar yang tenang.Revana membuka matanya, merasakan sisa-sisa mimpi masih membayangi pikirannya. Dia mengucek matanya dengan pelan, mencoba menghapus kantuk yang masih menempel.Tak lupa, dia merentangkan otot-otot tubuhnya sembari mengerang pelan, merasa lega dengan peregangan yang membuat seluruh tubuhnya terbangun."Astagaa!" Revana terperanjat kaget ketika melihat Tristan yang tengah duduk di sampingnya. Tatapan pria itu seperti biasanya—dingin dan tak terbaca."Mas Tristan? Kapan kamu kembali? Aku dengar dari Pak Gave, kamu sedang banyak pekerjaan," ucapnya, suaranya penuh dengan kebingungan. Revana memandang suaminya dari atas sampai bawah.Pria itu sudah sangat rapi dengan balutan jas hitam dan dasi polkadotnya."Kamu ... sudah mandi? Sudah sangat rapi sekali. Maaf, aku bangun siang. Aku tidak tahu jika kamu sudah kembali,"
Dalam pancaran cahaya pagi yang redup, di antara bayang-bayang tirai yang tergerai dengan anggun, suasana tegang memadati udara di kamar mereka.Tristan berdiri dengan sikap yang menyerupai patung marmer, tegang dan kokoh, menghadap Revana dengan tatapan yang menyala-nyala penuh amarah."Tidak bisakah kamu memahami apa yang aku ucapkan, huh?" suara Tristan meledak seperti guntur yang memecah keheningan. "Selalu saja bertanya, apa maksudmu? Kenapa kamu melakukan ini? Kamu tidak bodoh kan, Revana?"Mata Tristan berkobar seperti bara api, menyimpan lautan kemarahan yang bergolak. Setiap kata yang terlontar dari bibirnya seperti panah berapi, menembus keheningan dan menusuk hati Revana.Wanita itu hanya mampu diam, bibirnya gemetar, takut akan menyulut lebih banyak kemarahan.Dia tahu, dalam kemarahan Tristan, tersembunyi tuntutan mutlak bahwa dia adalah miliknya. Tak seorang pun, termasuk keluarganya, diizinkan mendekatinya.Tristan mendekat, nadanya menjadi lebih rendah namun tetap meng
Bugh! Bugh!Di bawah sinar matahari yang meredup, di lorong gelap sebuah gudang tua, Tristan berdiri seperti seorang jenderal yang menghadapi musuh terbesarnya.Tangannya mengepal erat, sarat dengan amarah yang tak terbendung, sementara Rony terhuyung-huyung di hadapannya, wajahnya penuh luka lebam dan darah yang menetes perlahan."Sudah kubilang, jangan pernah menghubungi Revana lagi! Atau kamu menginginkan telingamu hilang, huh? Kebetulan sekali aku membawa belati untuk memotong kedua telingamu saat ini juga!"Tristan menggeram, matanya berkilat penuh ancaman. Ia menarik kerah baju Rony lebih erat, menarik pria yang lebih tua itu mendekat hingga wajah mereka hampir bersentuhan.Rony hanya bisa meringis kesakitan, napasnya tersengal-sengal. "Maafkan saya, Tristan. Tapi, saya tidak pernah menghubungi Revana. Bahkan pesan pun tidak." Rony berusaha mencari pembelaan, suaranya bergetar."Memang bukan kamu. Tapi, anakmu!" Tristan mengeraskan nada suaranya, tangannya yang lain mengacungkan
Tok tok tok!Tristan mengangkat kepalanya setelah mendengar suara ketukan di balik pintu ruang kerjanya. Lamunannya buyar seketika. "Gave? Ada apa? Revana di mana?" tanyanya dengan nada cemas."Nona Revana di rumah bersama Hendri, Tuan," jawab Gave dengan tenang.Tristan menghela napas lega, meski bayang-bayang kekhawatiran masih membayangi pikirannya. "Kedatanganmu membuatku cemas. Aku pikir Alfrod menemukan keberadaanku dan mengganggu Revana."Gave mengangkat alis, agak heran mendengar ucapan Tristan yang terdengar ambigu. Sejak kapan Tristan begitu peduli pada Revana? Atau hanya dia yang belum tahu tentang perubahan ini?"Ada apa, Gave? Kenapa malah diam? Jika tidak ada yang ingin kamu bicarakan denganku, sebaiknya kembali ke rumah dan jaga Revana di sana."Gave terbangun dari lamunannya dan menatap Tristan. "Maafkan saya, Tuan. Ada yang ingin saya sampaikan pada Anda.""Apa?" tanya Tristan dengan nada tegas."Nona Revana sepertinya menemukan foto Aluna. Hendri memberi tahu saya."
“Tristan tidak pulang lagi?”Revana berdiri tepat di depan jendela kamarnya yang kebetulan menghadap ke depan, bisa melihat halaman depan yang maha luas itu.Ia menghela napas berat sembari mengusapi lengannya menunggu kepulangan Tristan. Namun, pria itu lagi-lagi tidak pulang padahal sudah larut sekali.“Sebaiknya aku tidur saja. Percuma, Tristan tidak akan pulang lagi malam ini. Semenjak kami menikah pun dia tidak pernah mengunjungiku kecuali sedang menginginkanku.”Revana bergerak melangkahkan kakinya menuju tempat tidur dan menarik selimutnya. Ia tidak bisa terus menerus menunggu Tristan yang tidak akan pernah pulang apalagi sudah lewat dari jam sebelas ini.Meskipun dia ingin tahu apa yang Tristan kerjakan di luar sana. Namun, semuanya akan sia-sia, bukan? Tristan tidak akan pernah mau memberi tahu dia apa saja yang dia lakukan di sana.“Lagi pula, apa hak aku ingin tahu semuanya? Ck!” Revana berdecak lidah sebelum akhirnya menutup matanya.Namun, suara pintu terbuka berhasil mem
Satu bulan sudah usia pernikahan Revana dan Tristan, pernikahan yang diselubungi rahasia dari pandangan dunia, termasuk dari Alfrod dan Ezra, mantan kekasih Revana.Tristan ingin mengumumkan kebahagiaan mereka kepada dunia, namun kekhawatiran akan keselamatan Revana membuatnya memilih untuk tetap merahasiakan identitas istrinya.Di pagi itu, sinar matahari yang malu-malu menembus tirai jendela kamar menyapa Revana yang membuka matanya dengan rasa pahit di tenggorokannya.Dengan tergesa, ia bangkit dari tempat tidurnya dan berlari menuju kamar mandi. Tubuhnya menggigil, memuntahkan cairan kuning pekat yang menyiksa indera rasanya."Argh, kenapa perutku tiba-tiba mual seperti ini?" gumamnya, tangan memegangi perut yang terasa bergolak.Air yang dingin dari keran ia alirkan ke wajahnya, sejenak menenangkan diri, sebelum menatap bayangan pucat dirinya di cermin.“Sudah satu bulan aku dan Tristan menikah. Dan sudah dua minggu aku telat datang bulan,” suara lirihnya seakan menjadi pengingat
Tristan yang sejak tadi diam, mengangguk kecil. Ia mengeluarkan ponselnya dan menelepon Gave. Tak butuh waktu lama, suara Gave yang penuh semangat terdengar dari seberang."Laura di sana? Serius? Dia melahirkan?!" seru Gave, suaranya melonjak kegirangan. Terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa, seperti Gave sedang berjalan sambil berputar-putar karena terlalu bahagia."Iya, Laura ada di sini. Bayi kalian lahir dengan selamat," jawab Tristan sambil tersenyum kecil.Dari seberang, suara Gave terdengar gemetar penuh haru. "Aku memang ingin menikahi Laura. Aku sudah mengajukan cuti untuk menyiapkan semuanya. Aku tidak menyangka bayi kami lahir lebih cepat dari prediksi dokter. Aku akan segera ke sana!"Tristan menutup telepon dan menatap Revana dengan tatapan geli. "Nah, kamu dengar sendiri, kan? Semua sudah jelas sekarang."Ketika Gave akhirnya tiba di rumah sakit, suasana menjadi semakin hangat. Dengan wajah penuh kerinduan, ia memeluk Laura erat, mengecup keningnya, lalu mengali
Revana akhirnya mengangguk pelan, meskipun hatinya masih penuh dengan keraguan dan luka.Sementara Tristan dan Hendri membantu wanita itu berjalan ke luar rumah, Revana berdiri diam di ambang pintu, menyaksikan mereka dengan campuran emosi yang tak terungkapkan."Revana!! Kenapa kamu diam. Ayo kita ke mobil. Tuntun Laura, cepat." Suara Tristan meninggi pada Revana.Revana mendengkus kesal dan tanpa suara air matanya menetes saat membukakan pintu mobil. Sementara erangan Laura makin membuat suasana begitu menegangkan."Aagh ... Aduh!" tak urung Laura memegang erat tangan Revana menahan rasa sakit tak tertahankan yang sebentar datang lalu reda. Lalu datang lagi sakitnya.Tristan mengemudi. Hendri dan Revana duduk di jok belakang di sisi kiri kanan Laura, sementara Laura merintih dengan wajah pucat.Jeritan Revana memenuhi lorong rumah sakit, bergema seperti sembilu yang menyayat hati Revana.Napasnya memburu, dadanya berdebar, namun bukan karena rasa simpati.Ia duduk di kursi tunggu d
Revana menatap meja makan dengan rasa puas. Ia merasa seperti ini adalah momen yang tepat.Sebentar lagi Tristan akan pulang, dan mereka akan merayakan ulang tahunnya bersama keluarga kecil mereka. Namun, di balik itu semua, ada sebuah kabar besar yang ingin ia bagi—kabar yang akan mengubah segalanya.Dengan hati yang penuh harapan, Revana duduk di kursi dan menunggu. Waktu terasa berjalan begitu lambat, seakan momen yang diinginkan belum tiba.Tetapi, ia tahu, kejutan ini akan menjadi awal dari babak baru dalam hidup mereka. Sebuah babak yang akan membuat mereka semakin dekat, semakin kuat, dan semakin bahagia.Tak lama kemudian, terdengar suara pintu terbuka, dan langkah kaki Tristan masuk ke dalam rumah. Revana berdiri, matanya bersinar penuh kebahagiaan, siap untuk memberi kejutan yang sudah ia siapkan dengan penuh cinta.Bau kue manis masih tercium di dapur ketika suara pintu depan terbuka. Revana, yang tengah mengatur meja makan, mendongak dengan senyum lebar di wajahnya."Mas T
Revana menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. Semua pengorbanan, semua perjuangan yang mereka lakukan, kini membuahkan hasil yang indah.Mereka bukan hanya pasangan, tapi juga sahabat sejati, yang saling mendukung dalam segala hal. Mereka telah melewati masa-masa sulit, dan kini mereka bisa menikmati momen-momen indah ini bersama.Ketika Naira kembali berlari ke arah mereka, wajahnya dipenuhi kegembiraan yang tak terbendung, Revana dan Tristan saling berpandangan, dan senyum lebar pun terukir di wajah mereka.Mereka tahu, kebahagiaan ini adalah hasil dari cinta yang telah tumbuh dalam hati mereka, dari segala perjuangan yang mereka lakukan bersama.Pada saat itulah, Revana merasakan kebahagiaan yang sejati, sebuah kebahagiaan yang tak terduga.Cinta yang dulu hanya dimulai dari keinginan sementara, kini berubah menjadi sebuah ikatan yang tak terpisahkan. Dalam pelukan keluarga kecil mereka, Revana merasa dunia ini penuh dengan kemungkinan yang tak terbatas.Dan dengan suara gelak
Pantai itu tampak indah dengan pasir putih yang membentang luas, dipadu dengan air laut yang berkilauan di bawah sinar matahari.Ombak datang bergulung-gulung, menghantam bibir pantai, menciptakan suara gemuruh yang menenangkan.Di tengah pemandangan yang menakjubkan itu, Tristan, dengan wajah lelah, berlari mengejar seorang gadis kecil yang tak kenal lelah, Naira.Matanya yang penuh kegembiraan dan keceriaan, tak bisa berhenti berlari di sepanjang garis pantai, membiarkan pasir menempel pada kaki telanjang kecilnya."Naira! Jangan lari ke sana, sayang!" seru Tristan dengan napas terengah-engah, mencoba mengejar anaknya yang semakin menjauh.Namun Naira justru tertawa riang, melangkah lebih cepat, seolah menikmati kebebasannya yang tidak terbatas.Dengan senyum penuh ceria, dia menoleh sebentar untuk melihat ayahnya, seolah mengatakan, "Kejar aku, Papi!" Lalu, tanpa peringatan, dia berlari lagi, menari-nari di tepi laut, membiarkan ombak menerjang kakinya yang mungil.Tristan tersenyu
Pesta itu meriah. Lampu-lampu indah berpendar di seluruh sudut ballroom yang luas, menciptakan atmosfer magis yang terasa seperti sebuah dunia terpisah.Para tamu berdiri, berbincang, dan tertawa, sementara musik lembut mengalun dari panggung, menambah kehangatan suasana.Di tengah keramaian itu, Tristan berdiri di depan mikrofon, mengenakan jas hitam yang sempurna, dengan senyum yang penuh kasih sayang untuk satu orang yang paling ia cintai di dunia ini—Revana.“Selamat malam semuanya,” suara Tristan menggema, menyentuh hati setiap orang yang mendengarnya Anggukan tamu undangan menjawab sapa Tristan. “Terima kasih telah hadir di acara spesial kami malam ini. Hari ini, aku dan Revana merayakan dua tahun yang penuh kebahagiaan, dan aku ingin berbagi sedikit cerita dengan kalian semua.”Revana berdiri di sampingnya, wajahnya terlihat begitu cantik dengan gaun merah yang berkilau, rambut panjangnya yang tertata rapi menambah pesona.Matanya memandang Tristan penuh cinta, seolah tidak p
Ruangan kantor terasa hening. Hanya suara jam dinding yang berdetak lembut menemani dua pria itu. Michael duduk di kursi di hadapan Tristan, wajahnya tertunduk dalam, menahan air mata yang sudah menggenang sejak tadi.Tristan baru saja menceritakan detail kejadian yang menimpa Mami karen ulah Alfrod. Sehingga Mami akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir.Michael tahu tidak ada kebohongan di sana. Semua yang dikisahkan Tristan mendukung bukti yang ia temukan.Sementara itu, Tristan bersandar di kursinya, menatap adiknya dengan tatapan yang sulit diartikan—campuran kasih sayang dan rasa prihatin. Mengenang masa lalu itu begitu pahit dan nyeri bagi mereka berdua.“Michael, semua rasa ingin tahumu sudah terjawab. Bukti kuat sudah kamu dapatkan,” suara Tristan memecah keheningan. Lembut tapi tegas, seperti pelukan yang menenangkan.“Ada yang ingin kuberitahukan padamu. Sesuatu yang selama ini kupendam dan ingin kamu lakukan.”Michael mengangkat wajahnya perlahan, mata merahnya bertem
Satu bulan telah berlalu sejak insiden penembakan di kantor Tristan. Kehidupan perlahan kembali seperti biasa.Luka di tubuhnya memang sudah sembuh, tapi Tristan tahu, luka di hatinya dan keluarganya butuh waktu lebih lama untuk pulih.Bagaimanapun Alfrod adalah keluarga dan kini semua berakhir seperti ini. Tristan kadang tidak percaya ini akhir persaudaraan mereka. Kadang rasa sedih sebagai satu dalam ikatan saudara masih saja ada.Pagi itu, suasana di kantor terlihat tenang. Tristan duduk di balik meja kerjanya, menandatangani beberapa dokumen penting.Cahaya matahari menyelinap melalui jendela besar di belakangnya, menciptakan siluet yang menonjolkan ketegasan wajahnya.Pintu ruangannya terbuka perlahan. Michael melangkah masuk dengan ragu-ragu, membawa dua cangkir kopi. "Kupikir kamu butuh ini," katanya pelan, menaruh salah satu cangkir di meja Tristan.Tristan mendongak, tersenyum kecil. “Terima kasih. Duduklah. Apa kabarmu Michae
Tristan tersenyum penuh kemenangan. Dengan hati-hati, ia meraih bayi kecil itu dan meletakkannya di pelukan.Naira menggeliat kecil sebelum kembali tertidur dengan damai. Perasaan hangat menyelimuti dada Tristan. "Aku merindukanmu, Sayang," bisiknya lembut. "Bayiku yang cantik dan manis."Revana tersenyum melihat pemandangan itu, meski ia tetap mengawasi dengan cermat. “Aku akan membuatkan sup untukmu. Jangan coba-coba bergerak dari sini.”“Baiklah. Aku tidak akan pergi ke tempat gym, Sayang.” Tristan menjawab dengan nada bercanda, membuat Revana mendengus kecil sebelum pergi ke dapur.Saat Revana sibuk di dapur, Tristan duduk di tempat tidur sambil berbicara pelan dengan Naira. “Kamu tahu, Nak? Papi akan memastikan dunia ini aman untukmu. Apa pun yang terjadi, kamu tidak perlu takut.”Pintu depan terdengar diketuk, dan beberapa saat kemudian Gave muncul di ambang pintu kamar. "Aku boleh masuk?"&ldq