Pagi harinya. Waktu sudah menunjuk angka tujuh pagi. Cahaya matahari merayap masuk melalui tirai tipis yang menggantung, menciptakan pola lembut di dinding kamar yang tenang.Revana membuka matanya, merasakan sisa-sisa mimpi masih membayangi pikirannya. Dia mengucek matanya dengan pelan, mencoba menghapus kantuk yang masih menempel.Tak lupa, dia merentangkan otot-otot tubuhnya sembari mengerang pelan, merasa lega dengan peregangan yang membuat seluruh tubuhnya terbangun."Astagaa!" Revana terperanjat kaget ketika melihat Tristan yang tengah duduk di sampingnya. Tatapan pria itu seperti biasanya—dingin dan tak terbaca."Mas Tristan? Kapan kamu kembali? Aku dengar dari Pak Gave, kamu sedang banyak pekerjaan," ucapnya, suaranya penuh dengan kebingungan. Revana memandang suaminya dari atas sampai bawah.Pria itu sudah sangat rapi dengan balutan jas hitam dan dasi polkadotnya."Kamu ... sudah mandi? Sudah sangat rapi sekali. Maaf, aku bangun siang. Aku tidak tahu jika kamu sudah kembali,"
Dalam pancaran cahaya pagi yang redup, di antara bayang-bayang tirai yang tergerai dengan anggun, suasana tegang memadati udara di kamar mereka.Tristan berdiri dengan sikap yang menyerupai patung marmer, tegang dan kokoh, menghadap Revana dengan tatapan yang menyala-nyala penuh amarah."Tidak bisakah kamu memahami apa yang aku ucapkan, huh?" suara Tristan meledak seperti guntur yang memecah keheningan. "Selalu saja bertanya, apa maksudmu? Kenapa kamu melakukan ini? Kamu tidak bodoh kan, Revana?"Mata Tristan berkobar seperti bara api, menyimpan lautan kemarahan yang bergolak. Setiap kata yang terlontar dari bibirnya seperti panah berapi, menembus keheningan dan menusuk hati Revana.Wanita itu hanya mampu diam, bibirnya gemetar, takut akan menyulut lebih banyak kemarahan.Dia tahu, dalam kemarahan Tristan, tersembunyi tuntutan mutlak bahwa dia adalah miliknya. Tak seorang pun, termasuk keluarganya, diizinkan mendekatinya.Tristan mendekat, nadanya menjadi lebih rendah namun tetap meng
Bugh! Bugh!Di bawah sinar matahari yang meredup, di lorong gelap sebuah gudang tua, Tristan berdiri seperti seorang jenderal yang menghadapi musuh terbesarnya.Tangannya mengepal erat, sarat dengan amarah yang tak terbendung, sementara Rony terhuyung-huyung di hadapannya, wajahnya penuh luka lebam dan darah yang menetes perlahan."Sudah kubilang, jangan pernah menghubungi Revana lagi! Atau kamu menginginkan telingamu hilang, huh? Kebetulan sekali aku membawa belati untuk memotong kedua telingamu saat ini juga!"Tristan menggeram, matanya berkilat penuh ancaman. Ia menarik kerah baju Rony lebih erat, menarik pria yang lebih tua itu mendekat hingga wajah mereka hampir bersentuhan.Rony hanya bisa meringis kesakitan, napasnya tersengal-sengal. "Maafkan saya, Tristan. Tapi, saya tidak pernah menghubungi Revana. Bahkan pesan pun tidak." Rony berusaha mencari pembelaan, suaranya bergetar."Memang bukan kamu. Tapi, anakmu!" Tristan mengeraskan nada suaranya, tangannya yang lain mengacungkan
Tok tok tok!Tristan mengangkat kepalanya setelah mendengar suara ketukan di balik pintu ruang kerjanya. Lamunannya buyar seketika. "Gave? Ada apa? Revana di mana?" tanyanya dengan nada cemas."Nona Revana di rumah bersama Hendri, Tuan," jawab Gave dengan tenang.Tristan menghela napas lega, meski bayang-bayang kekhawatiran masih membayangi pikirannya. "Kedatanganmu membuatku cemas. Aku pikir Alfrod menemukan keberadaanku dan mengganggu Revana."Gave mengangkat alis, agak heran mendengar ucapan Tristan yang terdengar ambigu. Sejak kapan Tristan begitu peduli pada Revana? Atau hanya dia yang belum tahu tentang perubahan ini?"Ada apa, Gave? Kenapa malah diam? Jika tidak ada yang ingin kamu bicarakan denganku, sebaiknya kembali ke rumah dan jaga Revana di sana."Gave terbangun dari lamunannya dan menatap Tristan. "Maafkan saya, Tuan. Ada yang ingin saya sampaikan pada Anda.""Apa?" tanya Tristan dengan nada tegas."Nona Revana sepertinya menemukan foto Aluna. Hendri memberi tahu saya."
“Tristan tidak pulang lagi?”Revana berdiri tepat di depan jendela kamarnya yang kebetulan menghadap ke depan, bisa melihat halaman depan yang maha luas itu.Ia menghela napas berat sembari mengusapi lengannya menunggu kepulangan Tristan. Namun, pria itu lagi-lagi tidak pulang padahal sudah larut sekali.“Sebaiknya aku tidur saja. Percuma, Tristan tidak akan pulang lagi malam ini. Semenjak kami menikah pun dia tidak pernah mengunjungiku kecuali sedang menginginkanku.”Revana bergerak melangkahkan kakinya menuju tempat tidur dan menarik selimutnya. Ia tidak bisa terus menerus menunggu Tristan yang tidak akan pernah pulang apalagi sudah lewat dari jam sebelas ini.Meskipun dia ingin tahu apa yang Tristan kerjakan di luar sana. Namun, semuanya akan sia-sia, bukan? Tristan tidak akan pernah mau memberi tahu dia apa saja yang dia lakukan di sana.“Lagi pula, apa hak aku ingin tahu semuanya? Ck!” Revana berdecak lidah sebelum akhirnya menutup matanya.Namun, suara pintu terbuka berhasil mem
Satu bulan sudah usia pernikahan Revana dan Tristan, pernikahan yang diselubungi rahasia dari pandangan dunia, termasuk dari Alfrod dan Ezra, mantan kekasih Revana.Tristan ingin mengumumkan kebahagiaan mereka kepada dunia, namun kekhawatiran akan keselamatan Revana membuatnya memilih untuk tetap merahasiakan identitas istrinya.Di pagi itu, sinar matahari yang malu-malu menembus tirai jendela kamar menyapa Revana yang membuka matanya dengan rasa pahit di tenggorokannya.Dengan tergesa, ia bangkit dari tempat tidurnya dan berlari menuju kamar mandi. Tubuhnya menggigil, memuntahkan cairan kuning pekat yang menyiksa indera rasanya."Argh, kenapa perutku tiba-tiba mual seperti ini?" gumamnya, tangan memegangi perut yang terasa bergolak.Air yang dingin dari keran ia alirkan ke wajahnya, sejenak menenangkan diri, sebelum menatap bayangan pucat dirinya di cermin.“Sudah satu bulan aku dan Tristan menikah. Dan sudah dua minggu aku telat datang bulan,” suara lirihnya seakan menjadi pengingat
Setibanya di rumah sakit, Tristan tampak uring-uringan, serupa singa yang terkurung, menanti kabar dari dokter yang sedang memeriksa kondisi Revana di dalam sana.Sesekali ia mengintip dari balik kaca tembok yang menghalangi dirinya untuk masuk ke dalam, seakan-akan tatapan matanya bisa menembus segala penghalang dan mencapai istrinya.“Shit! Padahal aku suaminya. Kenapa dilarang masuk?” umpat Tristan yang sudah tidak sabar menunggu itu.Baru lima menit berlalu, tetapi rasanya seperti lima jam bagi pria yang tak kenal kesabaran ini. Entah Tristan yang tidak sabaran, atau memang dokter yang terlalu lamban memeriksa Revana. Siapa yang tahu?Tristan menggigit jarinya, ketidaksabarannya semakin menjadi-jadi. Hatinya berdebar tak karuan, padahal Revana hanya terlihat pucat saja.Kali ini, Tristan menutupi kearoganan dan keangkuhan yang selama ini selalu diperlihatkan di depan Revana.Di balik topeng kerasnya, tersembunyi kekhawatiran yang mendalam. Lihatlah, dia tidak bisa diam menunggu ka
Tristan duduk di ruang kerjanya yang megah, dikelilingi oleh keheningan yang hanya dipecahkan oleh dentingan jarum jam di dinding.Ruangan itu memancarkan aura kekuasaan, dengan meja kayu ek yang besar, lampu gantung kristal, dan rak-rak penuh buku yang melambangkan wibawa dan kejeniusan pemiliknya.Namun, di balik semua kemegahan itu, Tristan merasakan kegelisahan yang tak terkatakan.Pintu berderit pelan saat terbuka, memperkenankan masuk dua sosok setia: Gave dan Hendri. Mereka melangkah masuk dengan sikap penuh hormat, aura ketegangan dan keseriusan menyelimuti mereka."Ada yang bisa dibantu, Tuan?" tanya Gave, suaranya rendah dan penuh hormat, seolah takut mengusik ketenangan yang rapuh itu.Tristan mengangkat kepalanya, tatapannya tajam menembus kedua anak buahnya yang setia.“Revana hamil. Usianya baru tiga minggu. Keadaannya saat ini masih lemas dan harus tetap istirahat meskipun sudah diperbolehkan pulang hari ini.”Gave mengangguk, memahami situasi dengan cepat. “Selamat ata
Langit malam membentangkan jubah hitamnya, bertabur bintang yang gemerlap bagai luka-luka kecil yang menganga di dada langit.Tristan berdiri di tengah ruangan yang sepi, memegang berkas terakhir dari masa lalunya yang kelam. Matanya menatap Louis, sahabat lama yang menjadi saksi bisu keputusannya."Aku serahkan semuanya padamu," ucapnya, suaranya penuh kelelahan yang berat seperti batu yang diangkat dengan tangan telanjang. "Jangan pernah membawa namaku lagi dalam misi apa pun itu!"Louis menerima berkas itu dengan gerakan lambat, seperti menghormati akhir sebuah era. Senyumnya merekah samar di sudut bibirnya, sebuah ironi yang menggantung di udara."Aku tahu kamu masih memiliki urusan dengan Alfrod," ujarnya, nada bicaranya bagai belati yang menyentuh luka lama. "Dia sedang marah besar sebab kamu telah membombardir markas utamanya."Tristan mengangkat wajahnya, tatapannya yang gelap bertaut dengan mata Louis. Dalam diam itu ada badai yang berusaha ia redam. "Apakah dia sedang mencar
“Dengar kabar dari Alfrod?” tanya Tristan sambil menatap Gave yang baru saja menyerahkan dokumen-dokumen yang menuntut tanda tangannya.Nada suaranya tenang, tapi di balik ketenangan itu tersirat kewaspadaan, seperti badai yang sedang menanti waktu untuk meledak.Gave menggeleng perlahan, ekspresinya penuh kehati-hatian. “Belum ada kabar. Tapi sebaiknya kamu tetap waspada. Kemungkinan besar dia sedang menyusun strategi untuk balas dendam. Kamu tahu, Alfrod tak akan tinggal diam begitu saja setelah serangan itu.”Tristan membuka dokumen itu satu per satu, menelusuri kata-kata di dalamnya seakan setiap kata adalah butiran pasir waktu yang akan segera hilang.Pikirannya berkecamuk antara tugasnya sebagai pemimpin mafia dan permintaan Revana yang tak henti terngiang di kepalanya.“Revana memintaku berhenti jadi mafia, Gave. Tapi, aku bingung harus menyerahkan semuanya pada siapa. Tidak mungkin kalau aku memberikannya pada Alfrod—itu sama saja dengan menyerahkan harga diriku padanya.”Gave
Usia Naira kini telah mencapai satu bulan. Bayi mungil itu, dengan pipi lembut bak kelopak mawar yang baru merekah, semakin aktif dan sehat setelah berhasil melewati masa-masa rapuhnya, di mana ia terlahir ke dunia dengan napas yang tertatih-tatih.Revana menghela napas panjang, baru saja selesai mandi, namun segera dihadapkan dengan tangis lembut Naira yang seolah memenuhi ruangan seperti melodi lembut."Sayang..." panggilan Tristan menggema, mendesak Revana keluar dari kamar mandi dengan langkah cepat namun penuh kelembutan seorang ibu."Sudah tahu, Mas." Dengan senyum yang menyiratkan kasih tak terbatas, Revana mengambil alih Naira dari dekapan sang suami. Bayi itu, yang sebelumnya tampak resah, perlahan tenang dalam kehangatan pelukannya.ASI Revana kini telah keluar, setelah minggu-minggu penuh ketekunan dan harapan. Ia ingin memberikan Naira bukan sekadar nutrisi, tetapi juga sepenggal jiwanya, sesuatu yang hanya seorang ibu bisa tawarkan pada darah dagingnya sendiri."Anteng ba
Satu minggu kemudian. Tepat hari ini, minggu ketiga Revana menjalani rawat inapnya di rumah sakit. Aroma disinfektan yang dulu membuatnya merasa gerah kini terasa seperti bagian dari napasnya, tapi hari ini, itu semua akan menjadi kenangan.Ruang perawatan yang dingin dan bernuansa steril akan ia tinggalkan, digantikan dengan kehangatan rumah yang sudah lama ia rindukan.“Namun, harus tetap cek rutin, ya. Luka dalam Anda masih dalam tahap penyembuhan. Jangan terlalu banyak melakukan aktivitas yang melelahkan,” kata dokter Pram, suaranya tegas namun hangat, menatap Revana yang tengah menggendong bayi kecilnya dengan hati-hati, seolah-olah dunia ini hanya berpusat pada mereka berdua.Baby Naira, sang buah hati yang mungil dan rapuh, sudah diperbolehkan pulang. Semakin hari, kesehatannya pun terus membaik, seperti embun yang makin bening saat sinar mentari mulai merayapi langit.Ada kelegaan mendalam yang terpancar di mata Revana, kelegaan yang hanya seorang ibu yang tahu, sebuah perasaa
Sudah dua hari Revana dipindahkan ke ruang rawat. Ketika Tristan baru saja tiba di kamar, matanya langsung menangkap wajah Revana yang ditekuk, menunjukkan ekspresi memelas yang begitu menggemaskan, seolah memohon sesuatu dengan lirih dari balik sorot matanya yang teduh.“Sayang, ada apa? Kenapa wajahmu ditekuk seperti itu, hm?” Tristan bertanya dengan senyum lembut yang terulas di bibirnya.Tanpa ragu, ia mendekat dan mencium kening istrinya dengan penuh kasih, memberikan kehangatan yang membuat Revana tersipu.“Mas… aku ingin melihat anak kita. Aku ingin melihat baby Naira. Aku sudah membaik lho, Mas.” Revana merajuk, nada suaranya manis seperti anak kecil yang merengek ingin hadiah, membuat Tristan tersenyum geli.Melihat Revana begitu menggemaskan, Tristan tak bisa menahan senyumnya. “Baiklah. Kita akan melihat anak kita hari ini,” ucapnya lembut, suaranya seperti angin sejuk yang membawa kebahagiaan di hati Revana.Seketika, senyum lebar menghiasi bibir Revana, matanya berbinar p
“Kenapa kamu menyelamatkanku?” tanya Revana, suaranya begitu lirih, seolah datang dari tempat yang jauh.Tatapan matanya yang masih redup menatap Tristan dengan penuh kebingungan dan rasa bersalah yang mengabur di kedalaman matanya.Tristan menggelengkan kepalanya pelan, senyum kecil namun penuh kasih sayang menghiasi wajahnya.“Aku tidak akan membiarkanmu meninggalkanku, Revana. Jangan pernah berpikir aku rela kehilanganmu,” bisiknya, seraya menggenggam tangan Revana dengan lembut namun erat, seolah memastikan bahwa ia tidak akan pernah terlepas lagi.Revana menutup matanya, tenggelam dalam keheningan yang begitu dalam. Rasa bersalah menggerogoti hatinya; ia terbayang kehilangan buah hatinya, menyalahkan dirinya sendiri yang tak mampu melindungi kehidupan yang pernah tumbuh dalam rahimnya.“Aku akan menjadi ibu yang jahat karena tidak melindungi anakku sendiri,” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar, penuh kepedihan yang ia pendam sendirian.“Tidak, Sayang. Jangan berpikir seperti
Dua minggu kemudian ...Langkah Tristan terdengar pelan namun penuh keteguhan ketika ia memasuki rumah sakit.Di tangannya, tergenggam sebuah paper bag besar berisi popok dan susu formula untuk putrinya yang mungil, yang hingga kini masih terlelap dalam ruang inkubator, seolah berselimut dalam kehangatan buatan yang melindunginya dari dunia yang masih terlalu keras.“Sus. Ini, susu dan popok untuk satu minggu ke depan.” Tristan menyerahkan tas itu kepada perawat, suaranya tenang namun terselip rasa sayang yang dalam.“Baik, Pak. Terima kasih,” jawab perawat itu, mengangguk hormat.Tristan menghela napas panjang, lalu sedikit membungkukkan tubuhnya, ingin menyapa sang buah hati yang belum sepenuhnya ia rangkul. Senyum tipis terlukis di bibirnya, menyiratkan kerinduan yang tak terkatakan.“Hei. Sebentar lagi kamu sudah bisa Papi gendong,” ucapnya dengan kelembutan yang menetes seperti embun pagi. Pandangannya melekat pada wajah mungil yang terbaring tenang, jiwanya berbisik penuh harapa
“Siapa yang berani menghancurkan markasku!” pekik Alfrod, suaranya bergemuruh bak badai menggelegar, mengguncang dunia di bawah cakrawala yang muram.Matanya menatap kosong pada pemandangan yang menyayat hati; markas yang selama ini menjadi simbol kejayaannya kini hanya menyisakan puing-puing berdebu, sisa-sisa dari ledakan yang menyapu semalam, meninggalkan kehampaan yang dingin dan mematikan.Empat nyawa turut lenyap dalam kobaran tanpa sisa—hanya debu dan kenangan yang tinggal mengambang di udara yang pekat.“Berengsek! Barang-barang berhargaku hancur lebur! Arghh!!” teriaknya lagi.Amarah menyelubunginya, merambat seperti api liar dalam gurun kering, sampai-sampai tangan kasarnya tak segan-segan menjambak rambutnya sendiri, seolah merobek sebagian dari dirinya yang tak mampu menerima kenyataan pahit ini.Michael, dengan ketenangan yang kontras, menatap Alfrod. “Siapa lagi kalau bukan Tristan,” ujarnya ringan, suaranya seperti angin yang mengalir lembut di tengah badai.Ia sangat y
Tristan melangkah perlahan mendekati tabung inkubator, tempat bayi mungilnya tertidur dengan damai, seolah terlelap dalam dunia kecilnya yang penuh ketenangan.Wajahnya yang lembut dan polos dipagari tabung kaca, memberikan Tristan pandangan pertama pada keajaiban yang kini menjadi bagian dari hidupnya.Dengan hati yang penuh haru, Tristan mengulas senyum lirih, menyadari bahwa dirinya kini seorang ayah.“Hai, Nak,” bisiknya lembut, suaranya nyaris serak oleh emosi yang meluap. “Ini Papi… Ayah yang selalu menunggumu sejak tahu kamu hadir di perut mamimu.”Kata-katanya mengalir pelan, penuh kehangatan dan kasih sayang yang mendalam. Ia menatap buah hatinya dengan sorot penuh kelembutan, mengagumi setiap detail wajah mungil itu—wajah yang begitu mirip dirinya.Di sampingnya, Gave tersenyum lebar sambil melihat lebih dekat keponakan kecilnya. “Wajahnya mirip sekali denganmu, Tristan. Sepertinya Revana hanya mengandung saja,” canda Gave, tertawa pelan.Tristan tersenyum, teringat betapa b