Tristan duduk di ruang kerjanya yang megah, dikelilingi oleh keheningan yang hanya dipecahkan oleh dentingan jarum jam di dinding.Ruangan itu memancarkan aura kekuasaan, dengan meja kayu ek yang besar, lampu gantung kristal, dan rak-rak penuh buku yang melambangkan wibawa dan kejeniusan pemiliknya.Namun, di balik semua kemegahan itu, Tristan merasakan kegelisahan yang tak terkatakan.Pintu berderit pelan saat terbuka, memperkenankan masuk dua sosok setia: Gave dan Hendri. Mereka melangkah masuk dengan sikap penuh hormat, aura ketegangan dan keseriusan menyelimuti mereka."Ada yang bisa dibantu, Tuan?" tanya Gave, suaranya rendah dan penuh hormat, seolah takut mengusik ketenangan yang rapuh itu.Tristan mengangkat kepalanya, tatapannya tajam menembus kedua anak buahnya yang setia.“Revana hamil. Usianya baru tiga minggu. Keadaannya saat ini masih lemas dan harus tetap istirahat meskipun sudah diperbolehkan pulang hari ini.”Gave mengangguk, memahami situasi dengan cepat. “Selamat ata
“Semua yang sudah terencana dengan baik, jangan sampai gagal untuk kedua kalinya. Aku sudah katakan berkali-kali. Kalau memang ragu, jangan jalan!”Tristan tampak memarahi anak buahnya yang selalu saja gagal dalam misi pencarian musuh yang selama ini selalu mengganggu wilayah miliknya.“Aku tidak mau mendengar alasan apa pun dari kalian. Malam ini juga kalian harus menemukan pria gila itu!” ucapnya kemudian menutup panggilan tersebut.Ia lalu menyandarkan punggungnya sembari memijat kening lalu menarik napasnya dalam-dalam.“Ada apa?” tanya Tristan kepada Gave yang tengah berdiri di sampingnya.“Saya baru saja mendapat kabar dari orang yang mencari keberadaan Aluna. Dia bilang, dia pernah melihat wanita itu di dalam mall. Tapi, mereka gagal membuntutinya, Tuan. Itu artinya, Aluna sudah ada di sini.”Tristan menelan salivanya mendengar info dari anak buahnya ini. “Jadi, Aluna memang ada di sini?”“Saya tidak yakin, Tuan. Hanya saja, jika memang itu benar Aluna, seharusnya dia sudah men
“Bagaimana kondisi suami saya, Dok?” tanya Revana dengan air mata terus mengalir di pipinya.Pria yang gagah dan berani itu terkapar tak sadarkan diri di depannya tentu saja membuat Revana terkejut dan jantungnya tidak berhenti berdebar kencang ketika melihat Tristan tiba-tiba pingsan.“Tuan Tristan mengalami Vasoval Syncope. Dia tidak bisa bertahan terlalu lama di sebuah keramaian. Jika tidak, maka jantungnya akan berdebar kencang, mengalami sesak napas dan kepala yang mendadak pusing.”Revana menganga mendengar penuturan dokter mengenai kondisi Tristan yang baru ia tahu jika pria itu memiliki kelainan yang luar biasa mengejutkan.“Ke—kenapa dia bisa mengalami kondisi seperti ini, Dok?” tanya Revana dengan pelan.“Saat berusia tujuh tahun, Tuan Tristan mengalami kecelakaan yang menyebabkan kepalanya terbentur. Dia juga mengalami trauma yang cukup dalam hingga saat ini. Namun, penyebab pastinya, hanya Tuan Tristan yang tahu.”Revana memejamkan matanya sejenak. Tristan yang kuat dan ke
Brak!“Hamil?” Mata Alfrod menatap tajam ke arah Michael yang baru saja memberi tahu jika Revana sedang hamil.“Ya. Revana dan Tristan sudah menikah secara diam-diam satu bulan yang lalu. Sebagai jaminan untuk pelunasan utang ayahnya. Aku tidak tahu jika Tristan benar-benar menjadikan wanita itu sebagai istrinya.“Karena yang kupikirkan selama ini, Revana hanya akan dijadikan babu, pelayan atau mungkin hanya teman tidurnya saja. Ternyata Tristan melangkah lebih jauh dari apa yang kubayangkan.”Kepalan Alfrod semakin kuat kala mendengar penuturan Michael yang membuatnya marah, iri dan dengki. Adiknya yang selalu jadi musuh bebuyutan karena lebih sukses darinya kini semakin membuatnya murka.Pria itu sudah menikah, bahkan akan segera menjadi seorang ayah. Sedangkan dia? Bahkan hingga saat ini belum ada wanita yang mau dia jadikan sebagai istri.“Di mana Tristan? Aku ingin bicara dengannya.”“Tristan ada di rumah sakit. Penyakitnya kambuh.” Michael menelan salivanya usai memberi tahu kon
Revana menghampiri Tristan yang sedang mematut bayangannya di cermin, mengenakan dasi dengan gerakan anggun namun penuh ketegangan.Wajahnya terpantul di cermin, tatapan tajamnya tak menyembunyikan kelelahan yang bersembunyi di balik mata kelam itu.Revana berdiri di ambang pintu, ragu-ragu sejenak sebelum akhirnya membuka suara.“Kamu sudah baik-baik saja? Mau berangkat kerja? Tapi, wajah kamu masih pucat,” katanya dengan suara yang lembut, berusaha menyentuh hati Tristan yang keras bak granit.Tristan hanya mengangkat sebelah alis tanpa menoleh, jari-jarinya terus sibuk dengan simpul dasinya.“Jangan kamu pikir aku lemah, hanya karena pingsan di tempat umum,” ucapnya dengan nada dingin, seolah mematahkan setiap upaya Revana untuk mendekat.Revana menghela napas panjang, menyimpan luka di balik senyumnya yang rapuh. “Ya sudah kalau memang sudah membaik.”Ia melangkahkan kakinya perlahan keluar dari kamar tersebut, meninggalkan Tristan dengan keheningan yang menggigit.“Ck!” Tristan b
Revana duduk di tepi tempat tidurnya, tangannya gemetar saat mengambil ponsel usai mendengar notifikasi pesan masuk.Ia mengerutkan keningnya melihat pesan dari nomor yang tidak dikenalnya.“Nomor siapa ini?” gumamnya dengan suara yang nyaris tersedak oleh keraguan. Jari-jarinya ragu-ragu menekan layar, namun rasa penasaran lebih kuat menariknya.Revana menoleh ke arah pintu kamarnya. Seperti biasa, Tristan belum kembali meski waktu sudah menunjuk angka sembilan malam.“Pria itu tidak pulang lagi,” bisiknya pada diri sendiri, suaranya nyaris tenggelam dalam kesunyian.Ting!Ponselnya kembali berbunyi. Ia pun menghela napas panjang, memberanikan diri untuk membuka isi pesan tersebut.Keningnya semakin berkerut saat melihat foto seorang wanita yang tak asing baginya—Aluna. Pesan itu menyusul:[Dia adalah Aluna. Wanita yang sangat Tristan cintai. Alias suamimu hanya mencintai Aluna seorang, bukan kamu. Maka jangan pernah mengharapkan cinta dari Tristan. Bahkan anak yang sedang kamu kandu
Revana membuka matanya perlahan saat sinar matahari mulai mengintip melalui celah-celah tirai jendela.Ia menghela napas dalam-dalam, lalu duduk menyandar pada sandaran tempat tidur. Di sampingnya, Tristan masih terlelap dalam dunia mimpinya, wajahnya tenang dan damai, jauh dari sikap angkuh dan arogan yang biasa terpancar ketika ia terjaga.Revana menatap wajah pria itu dengan tatapan yang penuh perasaan. 'Sayangnya, pemandangan seperti ini hanya bisa kulihat saat dia tertidur. Jika sudah bangun, maka jangan harap bisa melihat wajah damainya ini,' pikirnya dalam hati sebelum akhirnya turun dari tempat tidur dan melangkah menuju kamar mandi.Ia ingin membersihkan diri sebelum Tristan terbangun.Air hangat dari shower mengguyur tubuhnya, memberikan sensasi relaksasi yang sangat ia rindukan. Aroma lavender yang lembut memenuhi ruang kamar mandi, menenangkan pikiran dan tubuhnya."Segarnya …," gumam Revana sambil membilas busa sabun dari tubuhnya.Namun, ketenangan itu terpecah ketika ia
"Tapi kamu masih mencintainya, kan?" desis Revana dengan suara yang hampir terdengar putus asa, tangan memegang erat lengan Tristan. "Aku hanya ingin bersiap andai wanita itu sudah kembali padamu. Sampai saat ini dia pasti belum tahu kan, kalau kamu sudah menikah?"Kepalan tangan Tristan semakin mengencang, mengekspresikan gelisah yang sulit diungkapkan dengan kata-kata.Raut wajah Revana memucat, seolah dihantam oleh pukulan emosional yang tak terduga. "Bahkan sampai saat ini pun kamu tidak mencintaiku. Dan sekarang aku paham. Karena ada wanita lain yang selalu kamu cintai hingga detik ini," ucapnya lirih, tersenyum getir dalam kehampaan yang melanda.“Memangnya kamu mencintaiku?” tanya Tristan pada akhirnya. Pertanyaan yang terlontar dari bibir Tristan mengoyak hatinya lebih dalam lagi. "Memangnya kamu mencintaiku?"Revana terdiam, menggaruk ujung kuku dengan ragu. Hatinya terombang-ambing antara keinginan untuk mencintai dan rasa sakit yang mendalam karena kepastian yang menggan
Langit malam membentangkan jubah hitamnya, bertabur bintang yang gemerlap bagai luka-luka kecil yang menganga di dada langit.Tristan berdiri di tengah ruangan yang sepi, memegang berkas terakhir dari masa lalunya yang kelam. Matanya menatap Louis, sahabat lama yang menjadi saksi bisu keputusannya."Aku serahkan semuanya padamu," ucapnya, suaranya penuh kelelahan yang berat seperti batu yang diangkat dengan tangan telanjang. "Jangan pernah membawa namaku lagi dalam misi apa pun itu!"Louis menerima berkas itu dengan gerakan lambat, seperti menghormati akhir sebuah era. Senyumnya merekah samar di sudut bibirnya, sebuah ironi yang menggantung di udara."Aku tahu kamu masih memiliki urusan dengan Alfrod," ujarnya, nada bicaranya bagai belati yang menyentuh luka lama. "Dia sedang marah besar sebab kamu telah membombardir markas utamanya."Tristan mengangkat wajahnya, tatapannya yang gelap bertaut dengan mata Louis. Dalam diam itu ada badai yang berusaha ia redam. "Apakah dia sedang mencar
“Dengar kabar dari Alfrod?” tanya Tristan sambil menatap Gave yang baru saja menyerahkan dokumen-dokumen yang menuntut tanda tangannya.Nada suaranya tenang, tapi di balik ketenangan itu tersirat kewaspadaan, seperti badai yang sedang menanti waktu untuk meledak.Gave menggeleng perlahan, ekspresinya penuh kehati-hatian. “Belum ada kabar. Tapi sebaiknya kamu tetap waspada. Kemungkinan besar dia sedang menyusun strategi untuk balas dendam. Kamu tahu, Alfrod tak akan tinggal diam begitu saja setelah serangan itu.”Tristan membuka dokumen itu satu per satu, menelusuri kata-kata di dalamnya seakan setiap kata adalah butiran pasir waktu yang akan segera hilang.Pikirannya berkecamuk antara tugasnya sebagai pemimpin mafia dan permintaan Revana yang tak henti terngiang di kepalanya.“Revana memintaku berhenti jadi mafia, Gave. Tapi, aku bingung harus menyerahkan semuanya pada siapa. Tidak mungkin kalau aku memberikannya pada Alfrod—itu sama saja dengan menyerahkan harga diriku padanya.”Gave
Usia Naira kini telah mencapai satu bulan. Bayi mungil itu, dengan pipi lembut bak kelopak mawar yang baru merekah, semakin aktif dan sehat setelah berhasil melewati masa-masa rapuhnya, di mana ia terlahir ke dunia dengan napas yang tertatih-tatih.Revana menghela napas panjang, baru saja selesai mandi, namun segera dihadapkan dengan tangis lembut Naira yang seolah memenuhi ruangan seperti melodi lembut."Sayang..." panggilan Tristan menggema, mendesak Revana keluar dari kamar mandi dengan langkah cepat namun penuh kelembutan seorang ibu."Sudah tahu, Mas." Dengan senyum yang menyiratkan kasih tak terbatas, Revana mengambil alih Naira dari dekapan sang suami. Bayi itu, yang sebelumnya tampak resah, perlahan tenang dalam kehangatan pelukannya.ASI Revana kini telah keluar, setelah minggu-minggu penuh ketekunan dan harapan. Ia ingin memberikan Naira bukan sekadar nutrisi, tetapi juga sepenggal jiwanya, sesuatu yang hanya seorang ibu bisa tawarkan pada darah dagingnya sendiri."Anteng ba
Satu minggu kemudian. Tepat hari ini, minggu ketiga Revana menjalani rawat inapnya di rumah sakit. Aroma disinfektan yang dulu membuatnya merasa gerah kini terasa seperti bagian dari napasnya, tapi hari ini, itu semua akan menjadi kenangan.Ruang perawatan yang dingin dan bernuansa steril akan ia tinggalkan, digantikan dengan kehangatan rumah yang sudah lama ia rindukan.“Namun, harus tetap cek rutin, ya. Luka dalam Anda masih dalam tahap penyembuhan. Jangan terlalu banyak melakukan aktivitas yang melelahkan,” kata dokter Pram, suaranya tegas namun hangat, menatap Revana yang tengah menggendong bayi kecilnya dengan hati-hati, seolah-olah dunia ini hanya berpusat pada mereka berdua.Baby Naira, sang buah hati yang mungil dan rapuh, sudah diperbolehkan pulang. Semakin hari, kesehatannya pun terus membaik, seperti embun yang makin bening saat sinar mentari mulai merayapi langit.Ada kelegaan mendalam yang terpancar di mata Revana, kelegaan yang hanya seorang ibu yang tahu, sebuah perasaa
Sudah dua hari Revana dipindahkan ke ruang rawat. Ketika Tristan baru saja tiba di kamar, matanya langsung menangkap wajah Revana yang ditekuk, menunjukkan ekspresi memelas yang begitu menggemaskan, seolah memohon sesuatu dengan lirih dari balik sorot matanya yang teduh.“Sayang, ada apa? Kenapa wajahmu ditekuk seperti itu, hm?” Tristan bertanya dengan senyum lembut yang terulas di bibirnya.Tanpa ragu, ia mendekat dan mencium kening istrinya dengan penuh kasih, memberikan kehangatan yang membuat Revana tersipu.“Mas… aku ingin melihat anak kita. Aku ingin melihat baby Naira. Aku sudah membaik lho, Mas.” Revana merajuk, nada suaranya manis seperti anak kecil yang merengek ingin hadiah, membuat Tristan tersenyum geli.Melihat Revana begitu menggemaskan, Tristan tak bisa menahan senyumnya. “Baiklah. Kita akan melihat anak kita hari ini,” ucapnya lembut, suaranya seperti angin sejuk yang membawa kebahagiaan di hati Revana.Seketika, senyum lebar menghiasi bibir Revana, matanya berbinar p
“Kenapa kamu menyelamatkanku?” tanya Revana, suaranya begitu lirih, seolah datang dari tempat yang jauh.Tatapan matanya yang masih redup menatap Tristan dengan penuh kebingungan dan rasa bersalah yang mengabur di kedalaman matanya.Tristan menggelengkan kepalanya pelan, senyum kecil namun penuh kasih sayang menghiasi wajahnya.“Aku tidak akan membiarkanmu meninggalkanku, Revana. Jangan pernah berpikir aku rela kehilanganmu,” bisiknya, seraya menggenggam tangan Revana dengan lembut namun erat, seolah memastikan bahwa ia tidak akan pernah terlepas lagi.Revana menutup matanya, tenggelam dalam keheningan yang begitu dalam. Rasa bersalah menggerogoti hatinya; ia terbayang kehilangan buah hatinya, menyalahkan dirinya sendiri yang tak mampu melindungi kehidupan yang pernah tumbuh dalam rahimnya.“Aku akan menjadi ibu yang jahat karena tidak melindungi anakku sendiri,” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar, penuh kepedihan yang ia pendam sendirian.“Tidak, Sayang. Jangan berpikir seperti
Dua minggu kemudian ...Langkah Tristan terdengar pelan namun penuh keteguhan ketika ia memasuki rumah sakit.Di tangannya, tergenggam sebuah paper bag besar berisi popok dan susu formula untuk putrinya yang mungil, yang hingga kini masih terlelap dalam ruang inkubator, seolah berselimut dalam kehangatan buatan yang melindunginya dari dunia yang masih terlalu keras.“Sus. Ini, susu dan popok untuk satu minggu ke depan.” Tristan menyerahkan tas itu kepada perawat, suaranya tenang namun terselip rasa sayang yang dalam.“Baik, Pak. Terima kasih,” jawab perawat itu, mengangguk hormat.Tristan menghela napas panjang, lalu sedikit membungkukkan tubuhnya, ingin menyapa sang buah hati yang belum sepenuhnya ia rangkul. Senyum tipis terlukis di bibirnya, menyiratkan kerinduan yang tak terkatakan.“Hei. Sebentar lagi kamu sudah bisa Papi gendong,” ucapnya dengan kelembutan yang menetes seperti embun pagi. Pandangannya melekat pada wajah mungil yang terbaring tenang, jiwanya berbisik penuh harapa
“Siapa yang berani menghancurkan markasku!” pekik Alfrod, suaranya bergemuruh bak badai menggelegar, mengguncang dunia di bawah cakrawala yang muram.Matanya menatap kosong pada pemandangan yang menyayat hati; markas yang selama ini menjadi simbol kejayaannya kini hanya menyisakan puing-puing berdebu, sisa-sisa dari ledakan yang menyapu semalam, meninggalkan kehampaan yang dingin dan mematikan.Empat nyawa turut lenyap dalam kobaran tanpa sisa—hanya debu dan kenangan yang tinggal mengambang di udara yang pekat.“Berengsek! Barang-barang berhargaku hancur lebur! Arghh!!” teriaknya lagi.Amarah menyelubunginya, merambat seperti api liar dalam gurun kering, sampai-sampai tangan kasarnya tak segan-segan menjambak rambutnya sendiri, seolah merobek sebagian dari dirinya yang tak mampu menerima kenyataan pahit ini.Michael, dengan ketenangan yang kontras, menatap Alfrod. “Siapa lagi kalau bukan Tristan,” ujarnya ringan, suaranya seperti angin yang mengalir lembut di tengah badai.Ia sangat y
Tristan melangkah perlahan mendekati tabung inkubator, tempat bayi mungilnya tertidur dengan damai, seolah terlelap dalam dunia kecilnya yang penuh ketenangan.Wajahnya yang lembut dan polos dipagari tabung kaca, memberikan Tristan pandangan pertama pada keajaiban yang kini menjadi bagian dari hidupnya.Dengan hati yang penuh haru, Tristan mengulas senyum lirih, menyadari bahwa dirinya kini seorang ayah.“Hai, Nak,” bisiknya lembut, suaranya nyaris serak oleh emosi yang meluap. “Ini Papi… Ayah yang selalu menunggumu sejak tahu kamu hadir di perut mamimu.”Kata-katanya mengalir pelan, penuh kehangatan dan kasih sayang yang mendalam. Ia menatap buah hatinya dengan sorot penuh kelembutan, mengagumi setiap detail wajah mungil itu—wajah yang begitu mirip dirinya.Di sampingnya, Gave tersenyum lebar sambil melihat lebih dekat keponakan kecilnya. “Wajahnya mirip sekali denganmu, Tristan. Sepertinya Revana hanya mengandung saja,” canda Gave, tertawa pelan.Tristan tersenyum, teringat betapa b