“Mas?” Revana menghampiri Tristan yang baru pulang dari kantor. Raut wajah pria itu terlihat sangat kusut, sepertinya kerjaannya banyak sekali sampai wajahnya berantakan seperti itu.“Tolong siapkan air hangat untukku. Aku ingin berendam. Tubuhku lelah sekali,” pinta Tristan pada Revana yang baru saja mengambil tas kerja miliknya.“Baik. Aku siapkan dulu.” Revana beralih masuk ke dalam kamar mandi untuk mengisi bath tub atas perintah Tristan.“Kenapa dia sepertinya lelah sekali? Bahkan selama dua hari ini dia selalu pulang di jam yang masih sore. Biasanya jam sembilan, jam sepuluh.”Revana jadi bingung sendiri dengan Tristan yang tiba-tiba tidak pernah telat pulang apalagi tidak pulang sama sekali.“Mas. Air hangatnya sudah siap.” Revana menghampiri Tristan yang tengah berdiri menghadap jendela.Tristan menoleh pada Revana dan menatapnya. “Ada yang ingin aku tanyakan padamu, Revana.”Wanita itu menaikan alisnya. “Silakan. Tanyakan saja. Aku akan menjawabnya.”Kilatan mata Tristan yang
Revana dan Tristan berjalan ke kamar mereka dalam diam yang penuh makna.Begitu pintu kamar tertutup, Revana menghentikan langkahnya dan menatap Tristan yang berdiri di hadapannya dengan tatapan tajam namun tersembunyi.Ia merasakan ada sesuatu yang perlu diungkapkan oleh suaminya malam ini."Ada apa?" tanyanya lembut, berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang meskipun jantungnya berdebar kencang.Tristan memandang wajah Revana yang dipenuhi oleh rasa ingin tahu. Sembari menyedekapkan tangannya di dada, Tristan terdiam, seolah mencari kata-kata yang tepat untuk diucapkan.“Jika ada yang ingin kamu tanyakan, tanyakan saja. Oh, iya. Calon bayimu baik-baik saja. Selama kamu tidak ada di rumah pun ada pelayan dan bodyguard yang menemaniku di sini.”Tanpa berkata-kata, Tristan melepaskan tangannya dari dadanya lalu menarik tangan Revana, memintanya duduk di tepi tempat tidur.Revana menelan saliva yang mendadak terasa kering. Apakah pria ini mau minta haknya malam ini? Pikiran itu mengha
“Huh? Kamu tidak ke kantor?” Revana yang semula hendak meneguk susu ibu hamil yang sudah disiapkan oleh pelayan terkejut saat melihat Tristan yang masih duduk di ruang tengah sembari membaca majalah di sana.“Apakah hari Minggu pun aku harus pergi ke kantor? Jangan mentang-mentang aku meminta lima anak padamu, kamu memintaku untuk pergi ke kantor setiap hari, Revana!”Revana lantas mengatup bibirnya menahan tawa. Meski garing, tapi ucapan Tristan mampu membuat Revana mendehem pelan.“Maaf, Mas. Aku lupa kalau hari ini hari Minggu. Hari-hariku selalu di rumah, tidak pernah keluar sekali pun. Jadi lupa hari.” Revana menerbitkan senyum tipis dan meneguk susu ibu hamil itu.“Susunya enak, Mas. Terima kasih, sudah memilihkan produk susu ibu hamil yang bagus untukku.”Tristan menyunggingkan senyum mendengar ucapan Revana tadi. “Tentu saja aku akan memilih yang bagus untuk calon anakku, Revana. Mana mungkin aku memilih denga nasal-asalan.”Revana mengangguk. “Tentu saja. Kamu kan, calon ayah
“Pak Gave. Aku mau bicara sama kamu.”Gave yang tengah mengetik pada layar ponselnya dikejutkan oleh kedatangan Revana yang bersedekap dada menatapnya dengan tatapan datar.“Ada apa?” tanyanya dengan santai.Revana menarik napasnya dalam-dalam dengan mata masih tertuju pada pria itu.“Aku baru tahu kalau kamu dianggap sebagai adik, kakak, saudara, bahkan ayah sama Mas Tristan. Bahkan dia lebih mendengarkan kamu daripada aku sebagai istrinya.”Gave mengatup bibirnya menahan tawa mendengar ucapan Revana tadi. Ia lalu menghela napasnya sebelum menjelaskan semuanya.“Karena saya bekerja dengan setulus hati. Memangnya kamu menjadi istrinya Tuan Gave sudah dengan sepenuh hati? Terpaksa, bukan? Mana mungkin dia mau mendengarkan kamu."Revana menyunggingkan bibirnya melirik Gave yang kini tidak pernah lagi memasang muka masam ataupun datar padanya.“Kenapa kamu meminta dia buat melupakan Aluna juga? Memangnya dia bisa melupakan cinta pertamanya?”Gave tak lagi bisa menahan tawanya mendengar o
“Aku hanya bercanda.” Tristan menjauhkan wajahnya dari Revana lalu membuka satu persatu kancing kemeja putihnya.Namun, tatapannya masih tertuju pada Revana yang membeku sembari menyembunyikan ketakutannya. Cukup lama juga Revana tidak merasa ketakutan kalau Tristan sudah berbicara.Dan kali ini ia merasakan ketegangan itu lagi. Dan kali ini dia sendiri yang sudah membuat Tristan sedikit geram.“Kamu tidak akan mungkin menyukai di antara mereka. Bahkan untuk mencintaiku saja sepertinya sulit. Apalagi mereka.”Tristan berlalu pergi meninggalkan Revana usai mengatakan hal itu. Hati Revana mencelos. Seperti ada penekanan yang membuat relung hatinya jadi tidak baik-baik saja.Ia memegang dadanya. Kenapa rasanya jadi serba salah seperti ini. Menanggapi ucapan Tristan tadi rupanya cukup membuat hati Revana jadi gundah gulana.“Kenapa dia berkata seperti itu? Apa karena dia merasa mencintai seorang diri? Tapi, dia tidak pernah mengatakan kalau dia mencintaiku.”Revana menghela napasnya. Ia l
Tristan terbangun dengan sinar matahari yang mengintip melalui tirai, menerangi wajah Revana yang sedang terlelap di sebelahnya.Ia memperhatikan setiap lekuk wajah istrinya, dari alis yang melengkung sempurna hingga bibir yang lembut dan penuh. Hatinya bergejolak, terjebak antara cinta yang tak terucap dan rasa bersalah yang menyiksa.Dengan lembut, Tristan mengusapkan jarinya pada pipi Revana, membangunkannya dengan sentuhan penuh kasih.Revana membuka mata, menatap Tristan dengan tatapan yang penuh kehangatan dan kerinduan. Ia tersenyum, dan Tristan merasakan dadanya sesak oleh perasaan yang meluap-luap."Selamat pagi," bisik Tristan, suaranya serak namun penuh kelembutan."Selamat pagi," jawab Revana, suaranya lirih namun menggema dalam hati Tristan.Tanpa kata-kata lebih lanjut, Tristan menundukkan wajahnya, bibirnya menyentuh bibir Revana dengan lembut.Ciuman itu lambat, namun penuh dengan hasrat yang tertahan. Tristan merasakan tubuh Revana merespons, tangan kecilnya mulai men
Bibir Tristan tidak berhenti menggerutu hingga tiba ke rumah. Bukannya marah, dia malah merutuki dirinya karena sudah membuat istrinya mengalami kesulitan di masa kehamilannya karena ulahnya."Mas?" panggil Revana."Hm?" balas Tristan pelan. Tanpa menoleh ke arah Revana."Kamu marah?" tanya Revana ingin tahu.Tristan menggeleng. Ia kemudian menyunggingkan senyum tipis lalu menggenggam tangan Revana seraya menghela napasnya dengan panjang."Tidak. Aku sedang merutuki diriku sendiri karena sudah membuatmu susah. Kehamilan pertamamu jadi lemah karena ulahku.""Kamu tidak salah, Mas. Sebagai calon orang tua baru, kita tidak tahu apa saja yang harus kita hindari dan lain sebagainya. Bahkan untuk bertanya pun pada siapa? Bukankah harus bertanya pada yang lebih paham?"Tristan mengangguk. "Jangan bahas itu lagi. Aku sedang badmood. Aku harus puasa selama kurang lebih satu bulanan lagi sampai trimester pertama kamu selesai."Revana mengatup bibirnya menahan tawa melihat raut wajah Tristan yan
Tristan terlihat mondar-mandir di ruang tengah dengan tangan kirinya memegang satu botol beer sebagai penghangat tubuhnya yang sudah tidak bisa jauh dari minuman beralkohol.Sesekali ia menggigit jarinya sembari terus uring-uringan tidak jelas. Kadang duduk sekejap, lalu bangun lagi.Hendri yang melihatnya menghela napasnya. Sementara Gave hanya melirik sesekali lalu fokus lagi pada ponselnya.“Kenapa kamu tidak memintanya untuk tidur, Gave? Mau sampai kapan kita menonton bos kita mondar-mandir seperti ini?” tanya Hendri sudah mulai kesal.Gave mengendikan bahunya. “Entahlah. Bahkan aku tidak yakin dia akan tidur malam ini. Pikirannya sedang kalut.”“Karena tidak bisa menyentuh istrinya? Biasanya juga sewa perempuan untuk menuntaskan hasratnya.”“Sayangnya dia tidak mau. Dan aku kena marahnya karena menawarkan perempuan bayaran untuknya.”“Oh, ya? Woah! Tuan Tristan beneran jatuh cinta pada istrinya. Bahkan rela membuang kebiasaannya yang sering tidur dengan wanita bayaran jika sedang