“Aku hanya bercanda.” Tristan menjauhkan wajahnya dari Revana lalu membuka satu persatu kancing kemeja putihnya.Namun, tatapannya masih tertuju pada Revana yang membeku sembari menyembunyikan ketakutannya. Cukup lama juga Revana tidak merasa ketakutan kalau Tristan sudah berbicara.Dan kali ini ia merasakan ketegangan itu lagi. Dan kali ini dia sendiri yang sudah membuat Tristan sedikit geram.“Kamu tidak akan mungkin menyukai di antara mereka. Bahkan untuk mencintaiku saja sepertinya sulit. Apalagi mereka.”Tristan berlalu pergi meninggalkan Revana usai mengatakan hal itu. Hati Revana mencelos. Seperti ada penekanan yang membuat relung hatinya jadi tidak baik-baik saja.Ia memegang dadanya. Kenapa rasanya jadi serba salah seperti ini. Menanggapi ucapan Tristan tadi rupanya cukup membuat hati Revana jadi gundah gulana.“Kenapa dia berkata seperti itu? Apa karena dia merasa mencintai seorang diri? Tapi, dia tidak pernah mengatakan kalau dia mencintaiku.”Revana menghela napasnya. Ia l
Tristan terbangun dengan sinar matahari yang mengintip melalui tirai, menerangi wajah Revana yang sedang terlelap di sebelahnya.Ia memperhatikan setiap lekuk wajah istrinya, dari alis yang melengkung sempurna hingga bibir yang lembut dan penuh. Hatinya bergejolak, terjebak antara cinta yang tak terucap dan rasa bersalah yang menyiksa.Dengan lembut, Tristan mengusapkan jarinya pada pipi Revana, membangunkannya dengan sentuhan penuh kasih.Revana membuka mata, menatap Tristan dengan tatapan yang penuh kehangatan dan kerinduan. Ia tersenyum, dan Tristan merasakan dadanya sesak oleh perasaan yang meluap-luap."Selamat pagi," bisik Tristan, suaranya serak namun penuh kelembutan."Selamat pagi," jawab Revana, suaranya lirih namun menggema dalam hati Tristan.Tanpa kata-kata lebih lanjut, Tristan menundukkan wajahnya, bibirnya menyentuh bibir Revana dengan lembut.Ciuman itu lambat, namun penuh dengan hasrat yang tertahan. Tristan merasakan tubuh Revana merespons, tangan kecilnya mulai men
Bibir Tristan tidak berhenti menggerutu hingga tiba ke rumah. Bukannya marah, dia malah merutuki dirinya karena sudah membuat istrinya mengalami kesulitan di masa kehamilannya karena ulahnya."Mas?" panggil Revana."Hm?" balas Tristan pelan. Tanpa menoleh ke arah Revana."Kamu marah?" tanya Revana ingin tahu.Tristan menggeleng. Ia kemudian menyunggingkan senyum tipis lalu menggenggam tangan Revana seraya menghela napasnya dengan panjang."Tidak. Aku sedang merutuki diriku sendiri karena sudah membuatmu susah. Kehamilan pertamamu jadi lemah karena ulahku.""Kamu tidak salah, Mas. Sebagai calon orang tua baru, kita tidak tahu apa saja yang harus kita hindari dan lain sebagainya. Bahkan untuk bertanya pun pada siapa? Bukankah harus bertanya pada yang lebih paham?"Tristan mengangguk. "Jangan bahas itu lagi. Aku sedang badmood. Aku harus puasa selama kurang lebih satu bulanan lagi sampai trimester pertama kamu selesai."Revana mengatup bibirnya menahan tawa melihat raut wajah Tristan yan
Tristan terlihat mondar-mandir di ruang tengah dengan tangan kirinya memegang satu botol beer sebagai penghangat tubuhnya yang sudah tidak bisa jauh dari minuman beralkohol.Sesekali ia menggigit jarinya sembari terus uring-uringan tidak jelas. Kadang duduk sekejap, lalu bangun lagi.Hendri yang melihatnya menghela napasnya. Sementara Gave hanya melirik sesekali lalu fokus lagi pada ponselnya.“Kenapa kamu tidak memintanya untuk tidur, Gave? Mau sampai kapan kita menonton bos kita mondar-mandir seperti ini?” tanya Hendri sudah mulai kesal.Gave mengendikan bahunya. “Entahlah. Bahkan aku tidak yakin dia akan tidur malam ini. Pikirannya sedang kalut.”“Karena tidak bisa menyentuh istrinya? Biasanya juga sewa perempuan untuk menuntaskan hasratnya.”“Sayangnya dia tidak mau. Dan aku kena marahnya karena menawarkan perempuan bayaran untuknya.”“Oh, ya? Woah! Tuan Tristan beneran jatuh cinta pada istrinya. Bahkan rela membuang kebiasaannya yang sering tidur dengan wanita bayaran jika sedang
"Apa kalian yakin?" Alfrod membalikkan badannya, wajahnya yang penuh otoritas menatap tajam pada anak buahnya.Di ruangan itu, suasana mendadak hening, hanya terdengar desiran pelan dari kipas angin yang berputar di langit-langit.Pria bertubuh gempal bernama Max itu mengangguk dengan tegas. "Saya sangat yakin, Bos. Mana mungkin kami memberikan informasi yang salah pada Anda."Alfrod menaikkan alisnya, matanya yang tajam menelusuri wajah Max dengan cermat. Benar juga apa yang dikatakan oleh Max. Ia paling tidak suka dengan informasi setengah matang, apalagi tidak valid."Bawa aku sekarang juga ke tempat itu!" titahnya, tanpa ragu-ragu, lalu melangkah keluar dari ruang kerjanya dengan langkah yang pasti.Anak buahnya mengikutinya dari belakang, dengan penuh rasa hormat dan ketegangan yang tak terucapkan.Alfrod ingin segera membuat Tristan menunduk padanya, memberikan apa yang dia inginkan.Pemikiran itu menguasai benaknya, mendominasi setiap langkah yang diambilnya. Namun, langkahnya
Revana memandang suaminya dari jarak lima meter. Tristan tengah sibuk dengan pekerjaannya, tenggelam dalam tumpukan berkas dan panggilan telepon yang seakan tiada habisnya.Setelah dokter meminta Tristan untuk berpuasa selama satu bulan lamanya, Tristan memilih untuk menyibukkan dirinya dan kembali seperti dulu lagi, jarang pulang.Revana menghela napas berat, perasaan hampa dan kesepian menggelayut di hatinya. Padahal anaknya sangat membutuhkan sosok ayah, dan ia ingin ditemani oleh Tristan selama masa kehamilannya itu.Revana mengusap perutnya yang mulai membuncit, merasakan gerakan lembut janinnya yang seakan merespons sentuhannya."Kamu juga ingin ayah ada di sini, kan?" gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.“Sabar ya, Nak. Ayahmu sedang sibuk. Atau memang akan setiap hari selalu disibukkan dengan pekerjaannya.” Revana menghela napasnya.Dengan langkah perlahan, Revana melangkah ke belakang rumah, mencoba mengalihkan pikirannya denga
“Revana ….”Revana menggigit bibirnya. Salahkah ia meminta waktu Tristan dan mengatakan kekecewaannya di saat Tristan sedang marah padanya.“Maafkan aku. Seharusnya aku paham dengan apa yang kamu inginkan,” ucap Tristan, nada suaranya terdengar lirih.Revana mendongakan kepalanya menatap Tristan. Raut wajahnya terlihat jelas jika ia menyesali sikapnya yang kurang peduli padanya.Ralat. Dia tidak pernah memperlihatkan kepeduliannya pada Revana. Ia mewajarkan jika Revana berpikir negative tentangnya.“Mas?” panggil Revana pelan.Tristan membawa Revana dalam pelukannya. Mengusapi punggung yang dilapisi dress cokelat selutut yang dikenakan oleh wanita itu.“Apakah aku masih terlihat menyeramkan di matamu?” tanya Tristan yang kini sudah melepaskan pelukannya.Revana mengangguk dengan polosnya, apa adanya. “Ya. Kamu akan selalu terlihat menyeramkan.”Tristan sontak tertawa. Ia lantas mencium kening Revana, tak lupa tangannya mengusap air mata di pipi wanita itu.“Sialnya kali ini tidak bisa
Malam itu, suasana dapur dipenuhi aroma adonan yang tengah diuleni oleh tangan halus Revana. Kilauan lampu dapur memantul di atas permukaan adonan, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak di sekeliling ruangan. Revana, dengan tawa yang menggema seperti musik yang menghidupkan ruangan, berbicara dengan Tristan yang berdiri tak jauh darinya.“Siapa sangka kamu bisa membuat pizza, Sayang?” Tristan mengedipkan mata, menatap istrinya dengan senyum tak percaya.Revana membalas tatapannya dengan senyum manis. “Selama ada bahan-bahannya di dapur, aku bisa membuatkan apa saja untukmu, Mas.”Tristan mendekat, merengkuh tubuh Revana dalam pelukannya yang hangat, lalu mendaratkan ciuman lembut di pipi wanita itu. Sekitar sepuluh menit yang lalu, dia telah meminta Gave dan Hendri untuk pergi belanja ke supermarket demi memenuhi keinginannya makan pizza buatan istrinya. Tristan melarang Revana pergi sendiri karena penyakitnya yang tak bisa terlalu lama berada di keramaian.Tristan mengamati Rev