Ada setitik harapan bagi Aluna karena Tristan akan menyelamatkan dia dari kurungan Alfrod. Aluna hanya perlu menunggu sampai Tristan menemukannya di sana. "Aku akan menunggumu, Sayang," bisik Aluna penuh harap.Sementara itu, di luar sana, Michael duduk di depan Alfrod yang tengah memilah foto mana yang harus ia kirim pada Tristan untuk melakukan negosiasi dengan pria itu.Michael bertanya, "Aluna tidak tahu kalau Tristan sudah menikah?"Alfrod menggeleng, dengan ekspresi datar. "Itu bukan urusanku. Urusanku hanya mengambil wilayah kekuasaan yang masih Tristan pegang."Michael mengangguk paham, namun ada kerutan di dahinya. "Apa benar jika Tristan masih mencintai Aluna? Sedangkan dia sudah memiliki Revana? Bahkan wanita itu sedang hamil. Bagaimana kalau ternyata Tristan tidak peduli dengan Aluna?"Alfrod terdiam, pertanyaan adik bungsunya ini berhasil membuatnya bingung. Ia menatap Michael dengan tatapan yang kosong, mencoba mencari jawaban dalam pikirannya.Michael melanjutkan, "Kita
Tristan membawa pulang Revana dengan cepat, suasana malam yang sepi menambah kesan mendalam pada perjalanan mereka. Setibanya di rumah, Tristan bergegas tanpa banyak berbicara.Ia hanya memberitahu Revana bahwa ada seseorang yang ingin mengambil wilayahnya, dan ia harus segera pergi untuk menangani masalah tersebut.Tristan tidak mengungkapkan bahwa dia telah menemukan Aluna; ia menyembunyikan semua detail penting itu dari Revana.Revana mengangguk, menerima penjelasan singkat Tristan dengan kepercayaan yang penuh.Ia percaya bahwa Tristan telah berubah, bahwa suaminya yang kini ada di sampingnya bukanlah pria yang sama seperti dulu.Namun, seiring dengan kepergian Tristan yang tiba-tiba, hati Revana terasa tidak enak. Perasaan cemas dan keraguan mulai menggelayuti pikirannya.“Kamu harus pergi lagi, Mas?” tanya Revana dengan nada lembut, berusaha untuk tidak menunjukkan betapa gelisahnya dia.Tristan mengangguk singkat. “Ya, aku harus segera berangkat. Mungkin aku akan membutuhkan wa
Di dalam markas yang sepi, cahaya remang-remang dari lampu gantung berderit-derit di langit-langit, Tristan duduk tegak di kursi kayu yang keras.Wajahnya menunjukkan ketegangan yang sulit disembunyikan, mencerminkan badai emosi yang bergejolak dalam dirinya.Di depannya, Alfrod duduk dengan santai, memandang Tristan dengan senyum kemenangan yang mengejek."Di mana kamu menemukan Aluna? Sementara aku mencari ke mana-mana, tidak juga menemukannya," tanya Tristan dengan nada yang sedingin es, matanya memancarkan kebencian yang dalam terhadap kakaknya.Alfrod mengangkat alisnya, seakan pertanyaan itu hanya menambah kegembiraannya. "Michael yang membantuku menculik Aluna," jawabnya dengan tenang, "Dia baru pulang dari luar negeri setelah tiga tahun pergi. Dan berhasil aku temukan. Kamu harus ingat, Tristan. Aku punya mata dan kaki yang bukan berasal dari tubuhku. Tapi, Michael! Hahaha!"Tertawa sinis, Alfrod menatap Tristan yang tampak semakin berapi-api. Tangan Tristan mengepal, dan waja
Di ruang tengah yang tenang, Aluna dan Tristan duduk bersebelahan di sofa yang lembut. Lampu di sudut ruangan memancarkan cahaya hangat, menciptakan suasana yang penuh keintiman.Tristan memandang Aluna dengan penuh perhatian, mencoba menangkap setiap detail dari wajah wanita yang selama ini ia rindukan."Tristan, aku harus memberitahumu sesuatu," Aluna memulai, suaranya bergetar namun tegas. "Aku tidak pergi selama tiga tahun ini karena keinginan sendiri. Aku diculik oleh musuhmu, Tom."Mendengar nama itu, Tristan merasa jantungnya berdebar kencang. Tom, musuh bebuyutannya yang selalu mencari cara untuk menjatuhkannya."Tom? Dia yang telah menyembunyikanmu selama ini?" tanya Tristan, matanya membulat tidak percaya.Aluna mengangguk pelan. "Ya, Tom. Dia ingin membuatmu hancur setelah kehilangan aku. Awalnya, dia berniat membunuhku, tapi dia mengurungkan niatnya. Dia mengatakan bahwa melihatmu hancur perlahan-lahan akan lebih memuaskan baginya."
“Sialan! Tristan sudah mulai berani main-main denganku!”Di ruangan yang mulai terasa sesak oleh panas dan ketegangan, Alfrod memandangi dokumen yang baru saja diterimanya.Wajahnya mengeras, rahangnya mengatup rapat, menahan amarah yang mendidih dalam dirinya. Kertas-kertas di tangannya bergetar seirama dengan getaran emosinya yang tak terkendali."Apa ini?" suaranya memecah kesunyian, bergetar karena kemarahan.Mata Alfrod menyusuri setiap kata di dokumen itu dengan kecepatan yang semakin meningkat, mencari kejelasan yang hanya menambah amarahnya.Ketika ia menyadari bahwa wilayah kekuasaan yang diberikan oleh Tristan hanyalah sebuah pabrik kecil dengan omzet yang nyaris tidak berarti, wajahnya memerah, bukan karena malu, tetapi karena marah.“Kurang ajar!” pekiknya, suaranya menggema di ruangan itu, menyatu dengan suara dokumen yang dilemparkannya ke lantai. Matanya yang tajam menatap dokumen itu seolah-olah benda itu adalah musuh utamanya."Aku telah ditipu!" lanjutnya, tinjunya m
Tristan menutup panggilan dari Gave dan menghela napas panjang. Dalam diam, ia merenungi percakapan barusan, lalu menoleh ke arah Aluna yang tengah sibuk membawa piring dan gelas kotor ke dapur.Sudah satu minggu berlalu sejak ia tiba di apartemen ini, dan selama itu pula ia merasa Aluna perlahan mulai merasa nyaman dan tak lagi ketakutan.“Sudah saatnya aku pulang ke rumah. Revana sedang menungguku.”Dengan niat yang sudah dipersiapkan matang-matang, Tristan berencana untuk berbicara dengan Aluna, meminta izin untuk pulang. Namun, ketika ia baru saja membuka mulut, Aluna tiba-tiba memotongnya."Tristan. Aku ingin pergi ke suatu tempat," katanya tiba-tiba, suaranya mengandung nada keinginan yang kuat. "Tempat yang pernah kamu janjikan padaku."Tristan terdiam sejenak, mencoba mengingat janji yang pernah ia buat, tetapi tidak bisa. Ia menggeleng pelan dan meminta maaf, "Maaf, Aluna, aku lupa. Tempat apa yang kamu maksud?"Aluna menatapnya dengan sedikit kekecewaan, tetapi bukan kemarah
Gave dengan hati-hati menurunkan tubuh Revana ke atas ranjang, memastikan bahwa perempuan itu merasa nyaman.Matanya penuh perhatian saat ia membenahi bantal di bawah kepala Revana, lalu merapikan selimut yang membungkus tubuhnya."Kamu baik-baik saja?" tanya Gave, suaranya lembut namun sarat kekhawatiran.Revana mengangguk pelan, senyum tipis menghiasi bibirnya yang pucat. "Aku baik-baik saja, Pak Gave. Mungkin aku hanya butuh istirahat," jawabnya lemah.Gave mengangguk, meski hatinya masih diselimuti kegelisahan. Ia berdiri sejenak, mengamati Revana yang sudah mulai menutup mata, lalu dengan langkah tenang, ia keluar dari kamar itu.Di luar, ia bertemu dengan Hendri, yang sedari tadi menunggunya untuk memberi tahu sesuatu."Gave, Tuan Tristan sedari tadi menghubungimu," kata Hendri sambil menyerahkan ponsel Gave.Gave menghela napas panjang, seolah beban dunia bertumpu di pundaknya. Ia menerima ponsel itu tanpa menoleh, pandangannya tetap terfokus pada pintu kamar di mana Revana ber
Hari demi hari berlalu dengan lambat dan penuh ketidakpastian. Sudah tiga hari sejak percakapan terakhir Gave dengan Tristan, di mana Tristan berjanji akan pulang untuk melihat kondisi Revana. Namun, janji itu tinggal janji. Tristan masih bersama dengan Aluna, meninggalkan Revana dalam ketidakpastian dan kesepian. Gave semakin kecewa, dan kekecewaannya mulai berubah menjadi kemarahan yang mendidih.Di ruang tamu rumah Gave, Hendri mencoba menenangkan sahabatnya yang tampak gelisah. "Pelankan suaramu, nanti Revana dengar," bisik Hendri dengan nada cemas.Namun, Gave yang sudah tersulut emosi tampaknya masa bodoh. "Biarkan dia tahu! Dia berhak tahu apa yang terjadi!" suaranya bergetar dengan kemarahan yang tertahan.Hendri hanya bisa memijat pelipisnya, mencoba meredam situasi yang semakin memanas. "Apa yang akan kamu lakukan setelah ini?" tanya Hendri, mencoba mengalihkan pembicaraan.Gave terdiam, wajahnya tampak tegang. Ia tahu bahwa memberi tahu Revana tentang keberadaan Tristan sa