Dokter Handoko keluar dari ruang rawat dengan wajah serius, menghampiri Tristan, Gave, dan Hendri yang menunggu dengan cemas di ruang tunggu. Tristan berdiri dengan cepat, tatapannya penuh kekhawatiran dan rasa bersalah."Bagaimana kondisinya, Dokter?" tanya Tristan dengan suara bergetar.Dokter Handoko menghela napas sejenak sebelum menjawab. "Kondisi Revana stabil, tapi masih lemah. Dia mengalami pendarahan yang cukup serius. Kami telah berhasil menghentikan pendarahannya, tapi dia perlu dirawat beberapa hari di sini untuk pemulihan."Wajah Tristan semakin pucat mendengar penjelasan itu. "Bagaimana dengan calon bayi kami, Dokter? Apakah dia baik-baik saja?" tanyanya dengan nada putus asa.Dokter Handoko mengangguk perlahan. "Kami telah melakukan pemeriksaan. Bayi dalam kandungan Revana juga lemah, tapi sejauh ini kondisi keduanya stabil. Yang terpenting sekarang adalah memastikan Revana mendapatkan istirahat dan perawatan yang tepat."Tristan merasa hatinya tercabik-cabik. Ia merasa
“Pak Hendri, bisa tolong ambilkan ponsel dan beberapa baju ganti untukku?” pinta Revana kepada Hendri yang sedang menemaninya di sana.Hendri mengangguk. “Tentu saja. Aku akan membawakan apa yang kamu minta, Revana. Tunggu, ya. Aku akan memberi tahu Gave dulu.”“Oh, iya. Aku tidak melihatnya sejak tadi. Ke mana dia?” tanya Revana.“Tadi bilangnya sih mau ke kantin, mau beli kopi.”Revana manggut-manggut lantas membiarkan Hendri pergi ke rumah untuk mengambil apa yang dia minta tadi.Sementara di luar sana, Tristan tengah memandangi ponselnya yang sedari tadi berdering.Beberapa kali ponselnya bergetar di sakunya, menandakan panggilan masuk. Nama Aluna tertera di layar berkali-kali, namun Tristan mengabaikannya.Hatinya berat, pikirannya bercabang antara Revana yang masih terbaring tak sadarkan diri dan Aluna yang terus-menerus menghubunginya.Ponselnya kembali bergetar, kali ini d
Tristan berdiri di luar ruang rawat Revana, menatap kosong ke depan. Cahaya lampu rumah sakit yang dingin memantulkan bayangannya di lantai mengilap, menambah kesan sepi yang menghantui malam itu. Hatinya dipenuhi kekalutan; wanita yang ia cintai kini menjauh darinya, memilih diam dan enggan berbicara. Setiap kali ia mencoba mendekat, hanya sapaan singkat yang ia terima, seakan ada tembok tebal yang memisahkan mereka.Ketika langkah kaki mendekat, Tristan mengalihkan pandangannya. Gave, dengan tubuh tegap dan ekspresi wajah yang tenang, datang mendekat. Ia duduk di sebelah Tristan tanpa berkata-kata, lalu menyerahkan satu botol bir dingin. "Anda pasti butuh ini," kata Gave dengan nada datar, namun penuh pengertian.Tristan meraih botol bir itu, mengangguk sebagai tanda terima kasih, lalu membuka tutupnya dengan bunyi kecil yang bergema di lorong sepi. "Thanks," ucapnya singkat, sebelum meneguk minuman itu. Rasanya pahit, seperti perasaannya malam itu.Gave, dengan tatapan yang tertu
Tristan memasuki apartemen Aluna dengan perasaan campur aduk. Begitu pintu terbuka, Aluna langsung memeluknya erat, air matanya mengalir. "Aku sangat merindukanmu, Tristan. Kamu ke mana saja? Kenapa baru ke sini?" tanyanya dengan nada penuh kerinduan dan kebingungan.Tristan menarik napas dalam-dalam dan dengan lembut melepaskan pelukan Aluna. "Kita duduk dulu di sofa," katanya, sambil membimbing Aluna ke ruang tengah.Setelah mereka duduk, Tristan merasakan beban berat di dadanya. Ia tahu percakapan ini tidak akan mudah."Aluna, aku tidak bisa menemanimu setiap hari," Tristan memulai, suaranya penuh dengan kegetiran. "Aku akan menyewa bodyguard untuk melindungimu."Aluna menatapnya dengan kebingungan yang jelas terlihat di wajahnya. "Apa maksudmu, Tristan?" tanyanya, suaranya gemetar.Dengan berat hati, Tristan mengambil tangan Aluna. "Aku … sebenarnya aku sudah menikah, Aluna," katanya akhirnya, suaranya hampir tidak terdengar.“Bahkan sebelum kita bertemu. Aku sudah menjadi suami o
"Argh! Kenapa kamu teledor sekali, Gave?!" Tristan memekik begitu tiba di rumah sakit. Dia merasakan jantungnya berdebar kencang saat melihat bangsal kosong di ruang rawat Revana. Istrinya telah pergi. Entah ke mana, bahkan Gave saja tidak tahu.Tristan menjambak rambutnya, frustrasi dan marah, sembari terus mencari-cari keberadaan Revana. "Gave, bagaimana ini bisa terjadi? Kamu seharusnya menjaganya!"Gave mencoba menjelaskan dengan suara yang bergetar. "Tuan, saya sudah mencarinya ke seluruh rumah sakit. Saya tidak menemukan dia di mana pun. Revana tadi hanya meminta agar saya istirahat karena dia ingin tidur."Gave menelan salivanya, merasa bersalah karena telah membiarkan Revana pergi. “Saya hanya menuruti permintaan Revana untuk menjaganya di luar. Tanpa memikirkan kalau sebenarnya dia ingin pergi.”Tristan memekik lagi, menjambak rambutnya. "Ke mana kamu, Revana? Kenapa kamu pergi?" tanyanya lirih. Ia lalu duduk di bangsal bekas Revana dirawat, menunduk dengan air mata yang meng
Pohon-pohon yang rindang seakan menjadi saksi bisu dari percakapan berat yang akan segera terjadi. Di sebuah bangku kayu tua, Tristan duduk dengan kepala tertunduk, tenggelam dalam lautan pikirannya yang gelap. Dia merasa hampa dan kehilangan arah sejak kepergian Revana.Gave dan Hendri berhasil menemukan Tristan di sebuah taman sedang duduk seorang diri seraya menundukkan kepalanya. Gave menghampiri Tristan dan memintanya untuk kembali ke rumah. "Besok saja kita mencari Revana, Tuan. Anda harus beristirahat," kata Gave dengan suara yang lembut namun tegas.Tristan menggeleng pelan. "Aku tak ingin kembali ke rumah sebelum menemukan Revana," gumamnya, matanya masih menatap tanah dengan tatapan kosong.Gave sedikit membentak Tristan. "Jangan egois, Tuan! Revana hanya sedang sakit hati. Dia pasti akan kembali, terutama jika Anda berhasil meyakinkan dia!"Tristan bangun dari duduknya lalu meraih kerah kemeja Gave dengan tangan gemetar, menatapnya dengan mata nyalang. "Kamu kan, yang men
Malam itu, setelah pencarian yang melelahkan di taman dan sekitarnya, Tristan kembali ke rumah dengan hati yang gelisah. Begitu sampai di ruang tengah yang remang-remang, ia segera meraih ponselnya dan menghubungi temannya, Jay, salah satu sahabat Tristan yang sudah bergelut dengan teknologi dan IT. Ia tahu hanya Jay yang bisa membantunya melacak pergerakan Revana."Halo, Jay? Aku butuh bantuanmu," kata Tristan dengan suara tegang, berusaha menahan emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. Jantungnya berdetak kencang, seolah menandakan betapa pentingnya panggilan itu."Tristan? Ada apa malam-malam begini?" balas Jay dengan nada heran. "Kamu butuh apa?" Suara Jay terdengar berat namun penuh perhatian, mencerminkan keseriusan yang jarang ia tunjukkan."Aku perlu kamu cek CCTV di rumah sakit. Aku harus tahu ke mana sebenarnya Revana pergi," Tristan berbicara cepat, hampir tanpa jeda, menunjukkan betapa putus asanya ia. Kata-katanya berdesakan keluar, tak mampu menahan kegelisahan yang mem
“Tuan. Anda akan pergi ke rumah Rony, kan?”Tristan yang tengah mengancingkan kemeja putihnya lalu mengangguk. “Ya. Aku harap Revana pergi ke rumah ayahnya. Kenapa?” tanya Tristan.“Izinkan saya ikut. Saya ingin menanyakan tentang Revana kenapa bisa jadi anak Rony. Padahal dia adalah adik kandung saya.”Tristan menghela napasnya. “Kamu ingin memastikan sesuatu?”Gave mengangguk. “Ya. Saya ingin tahu. Apakah benar, dia yang telah menculik Revana, atau bukan.”Tristan yang sudah dengar cerita tentang adik Gave yang hilang tenggelam di danau saat usianya masih tujuh tahun itu paham dengan rasa penasaran Gave yang tinggi.“Ikut saja, Gave. Kamu masih jadi bodyguard-ku, kan?”Gave tersenyum. Namun, tidak dengan Tristan. Pria itu masih belum bisa bernapas lega sebelum menemukan sang istri yang entah ada di mana kini ia berada.Pagi itu, Tristan dan Gave melangkah dengan cepat menuju rumah Rony, ayah Revana. Harapan mereka hanyalah menemukan wanita itu di sana.Hari-hari sebelumnya penuh den
Langit malam membentangkan jubah hitamnya, bertabur bintang yang gemerlap bagai luka-luka kecil yang menganga di dada langit.Tristan berdiri di tengah ruangan yang sepi, memegang berkas terakhir dari masa lalunya yang kelam. Matanya menatap Louis, sahabat lama yang menjadi saksi bisu keputusannya."Aku serahkan semuanya padamu," ucapnya, suaranya penuh kelelahan yang berat seperti batu yang diangkat dengan tangan telanjang. "Jangan pernah membawa namaku lagi dalam misi apa pun itu!"Louis menerima berkas itu dengan gerakan lambat, seperti menghormati akhir sebuah era. Senyumnya merekah samar di sudut bibirnya, sebuah ironi yang menggantung di udara."Aku tahu kamu masih memiliki urusan dengan Alfrod," ujarnya, nada bicaranya bagai belati yang menyentuh luka lama. "Dia sedang marah besar sebab kamu telah membombardir markas utamanya."Tristan mengangkat wajahnya, tatapannya yang gelap bertaut dengan mata Louis. Dalam diam itu ada badai yang berusaha ia redam. "Apakah dia sedang mencar
“Dengar kabar dari Alfrod?” tanya Tristan sambil menatap Gave yang baru saja menyerahkan dokumen-dokumen yang menuntut tanda tangannya.Nada suaranya tenang, tapi di balik ketenangan itu tersirat kewaspadaan, seperti badai yang sedang menanti waktu untuk meledak.Gave menggeleng perlahan, ekspresinya penuh kehati-hatian. “Belum ada kabar. Tapi sebaiknya kamu tetap waspada. Kemungkinan besar dia sedang menyusun strategi untuk balas dendam. Kamu tahu, Alfrod tak akan tinggal diam begitu saja setelah serangan itu.”Tristan membuka dokumen itu satu per satu, menelusuri kata-kata di dalamnya seakan setiap kata adalah butiran pasir waktu yang akan segera hilang.Pikirannya berkecamuk antara tugasnya sebagai pemimpin mafia dan permintaan Revana yang tak henti terngiang di kepalanya.“Revana memintaku berhenti jadi mafia, Gave. Tapi, aku bingung harus menyerahkan semuanya pada siapa. Tidak mungkin kalau aku memberikannya pada Alfrod—itu sama saja dengan menyerahkan harga diriku padanya.”Gave
Usia Naira kini telah mencapai satu bulan. Bayi mungil itu, dengan pipi lembut bak kelopak mawar yang baru merekah, semakin aktif dan sehat setelah berhasil melewati masa-masa rapuhnya, di mana ia terlahir ke dunia dengan napas yang tertatih-tatih.Revana menghela napas panjang, baru saja selesai mandi, namun segera dihadapkan dengan tangis lembut Naira yang seolah memenuhi ruangan seperti melodi lembut."Sayang..." panggilan Tristan menggema, mendesak Revana keluar dari kamar mandi dengan langkah cepat namun penuh kelembutan seorang ibu."Sudah tahu, Mas." Dengan senyum yang menyiratkan kasih tak terbatas, Revana mengambil alih Naira dari dekapan sang suami. Bayi itu, yang sebelumnya tampak resah, perlahan tenang dalam kehangatan pelukannya.ASI Revana kini telah keluar, setelah minggu-minggu penuh ketekunan dan harapan. Ia ingin memberikan Naira bukan sekadar nutrisi, tetapi juga sepenggal jiwanya, sesuatu yang hanya seorang ibu bisa tawarkan pada darah dagingnya sendiri."Anteng ba
Satu minggu kemudian. Tepat hari ini, minggu ketiga Revana menjalani rawat inapnya di rumah sakit. Aroma disinfektan yang dulu membuatnya merasa gerah kini terasa seperti bagian dari napasnya, tapi hari ini, itu semua akan menjadi kenangan.Ruang perawatan yang dingin dan bernuansa steril akan ia tinggalkan, digantikan dengan kehangatan rumah yang sudah lama ia rindukan.“Namun, harus tetap cek rutin, ya. Luka dalam Anda masih dalam tahap penyembuhan. Jangan terlalu banyak melakukan aktivitas yang melelahkan,” kata dokter Pram, suaranya tegas namun hangat, menatap Revana yang tengah menggendong bayi kecilnya dengan hati-hati, seolah-olah dunia ini hanya berpusat pada mereka berdua.Baby Naira, sang buah hati yang mungil dan rapuh, sudah diperbolehkan pulang. Semakin hari, kesehatannya pun terus membaik, seperti embun yang makin bening saat sinar mentari mulai merayapi langit.Ada kelegaan mendalam yang terpancar di mata Revana, kelegaan yang hanya seorang ibu yang tahu, sebuah perasaa
Sudah dua hari Revana dipindahkan ke ruang rawat. Ketika Tristan baru saja tiba di kamar, matanya langsung menangkap wajah Revana yang ditekuk, menunjukkan ekspresi memelas yang begitu menggemaskan, seolah memohon sesuatu dengan lirih dari balik sorot matanya yang teduh.“Sayang, ada apa? Kenapa wajahmu ditekuk seperti itu, hm?” Tristan bertanya dengan senyum lembut yang terulas di bibirnya.Tanpa ragu, ia mendekat dan mencium kening istrinya dengan penuh kasih, memberikan kehangatan yang membuat Revana tersipu.“Mas… aku ingin melihat anak kita. Aku ingin melihat baby Naira. Aku sudah membaik lho, Mas.” Revana merajuk, nada suaranya manis seperti anak kecil yang merengek ingin hadiah, membuat Tristan tersenyum geli.Melihat Revana begitu menggemaskan, Tristan tak bisa menahan senyumnya. “Baiklah. Kita akan melihat anak kita hari ini,” ucapnya lembut, suaranya seperti angin sejuk yang membawa kebahagiaan di hati Revana.Seketika, senyum lebar menghiasi bibir Revana, matanya berbinar p
“Kenapa kamu menyelamatkanku?” tanya Revana, suaranya begitu lirih, seolah datang dari tempat yang jauh.Tatapan matanya yang masih redup menatap Tristan dengan penuh kebingungan dan rasa bersalah yang mengabur di kedalaman matanya.Tristan menggelengkan kepalanya pelan, senyum kecil namun penuh kasih sayang menghiasi wajahnya.“Aku tidak akan membiarkanmu meninggalkanku, Revana. Jangan pernah berpikir aku rela kehilanganmu,” bisiknya, seraya menggenggam tangan Revana dengan lembut namun erat, seolah memastikan bahwa ia tidak akan pernah terlepas lagi.Revana menutup matanya, tenggelam dalam keheningan yang begitu dalam. Rasa bersalah menggerogoti hatinya; ia terbayang kehilangan buah hatinya, menyalahkan dirinya sendiri yang tak mampu melindungi kehidupan yang pernah tumbuh dalam rahimnya.“Aku akan menjadi ibu yang jahat karena tidak melindungi anakku sendiri,” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar, penuh kepedihan yang ia pendam sendirian.“Tidak, Sayang. Jangan berpikir seperti
Dua minggu kemudian ...Langkah Tristan terdengar pelan namun penuh keteguhan ketika ia memasuki rumah sakit.Di tangannya, tergenggam sebuah paper bag besar berisi popok dan susu formula untuk putrinya yang mungil, yang hingga kini masih terlelap dalam ruang inkubator, seolah berselimut dalam kehangatan buatan yang melindunginya dari dunia yang masih terlalu keras.“Sus. Ini, susu dan popok untuk satu minggu ke depan.” Tristan menyerahkan tas itu kepada perawat, suaranya tenang namun terselip rasa sayang yang dalam.“Baik, Pak. Terima kasih,” jawab perawat itu, mengangguk hormat.Tristan menghela napas panjang, lalu sedikit membungkukkan tubuhnya, ingin menyapa sang buah hati yang belum sepenuhnya ia rangkul. Senyum tipis terlukis di bibirnya, menyiratkan kerinduan yang tak terkatakan.“Hei. Sebentar lagi kamu sudah bisa Papi gendong,” ucapnya dengan kelembutan yang menetes seperti embun pagi. Pandangannya melekat pada wajah mungil yang terbaring tenang, jiwanya berbisik penuh harapa
“Siapa yang berani menghancurkan markasku!” pekik Alfrod, suaranya bergemuruh bak badai menggelegar, mengguncang dunia di bawah cakrawala yang muram.Matanya menatap kosong pada pemandangan yang menyayat hati; markas yang selama ini menjadi simbol kejayaannya kini hanya menyisakan puing-puing berdebu, sisa-sisa dari ledakan yang menyapu semalam, meninggalkan kehampaan yang dingin dan mematikan.Empat nyawa turut lenyap dalam kobaran tanpa sisa—hanya debu dan kenangan yang tinggal mengambang di udara yang pekat.“Berengsek! Barang-barang berhargaku hancur lebur! Arghh!!” teriaknya lagi.Amarah menyelubunginya, merambat seperti api liar dalam gurun kering, sampai-sampai tangan kasarnya tak segan-segan menjambak rambutnya sendiri, seolah merobek sebagian dari dirinya yang tak mampu menerima kenyataan pahit ini.Michael, dengan ketenangan yang kontras, menatap Alfrod. “Siapa lagi kalau bukan Tristan,” ujarnya ringan, suaranya seperti angin yang mengalir lembut di tengah badai.Ia sangat y
Tristan melangkah perlahan mendekati tabung inkubator, tempat bayi mungilnya tertidur dengan damai, seolah terlelap dalam dunia kecilnya yang penuh ketenangan.Wajahnya yang lembut dan polos dipagari tabung kaca, memberikan Tristan pandangan pertama pada keajaiban yang kini menjadi bagian dari hidupnya.Dengan hati yang penuh haru, Tristan mengulas senyum lirih, menyadari bahwa dirinya kini seorang ayah.“Hai, Nak,” bisiknya lembut, suaranya nyaris serak oleh emosi yang meluap. “Ini Papi… Ayah yang selalu menunggumu sejak tahu kamu hadir di perut mamimu.”Kata-katanya mengalir pelan, penuh kehangatan dan kasih sayang yang mendalam. Ia menatap buah hatinya dengan sorot penuh kelembutan, mengagumi setiap detail wajah mungil itu—wajah yang begitu mirip dirinya.Di sampingnya, Gave tersenyum lebar sambil melihat lebih dekat keponakan kecilnya. “Wajahnya mirip sekali denganmu, Tristan. Sepertinya Revana hanya mengandung saja,” canda Gave, tertawa pelan.Tristan tersenyum, teringat betapa b