Tristan memasuki apartemen Aluna dengan perasaan campur aduk. Begitu pintu terbuka, Aluna langsung memeluknya erat, air matanya mengalir. "Aku sangat merindukanmu, Tristan. Kamu ke mana saja? Kenapa baru ke sini?" tanyanya dengan nada penuh kerinduan dan kebingungan.Tristan menarik napas dalam-dalam dan dengan lembut melepaskan pelukan Aluna. "Kita duduk dulu di sofa," katanya, sambil membimbing Aluna ke ruang tengah.Setelah mereka duduk, Tristan merasakan beban berat di dadanya. Ia tahu percakapan ini tidak akan mudah."Aluna, aku tidak bisa menemanimu setiap hari," Tristan memulai, suaranya penuh dengan kegetiran. "Aku akan menyewa bodyguard untuk melindungimu."Aluna menatapnya dengan kebingungan yang jelas terlihat di wajahnya. "Apa maksudmu, Tristan?" tanyanya, suaranya gemetar.Dengan berat hati, Tristan mengambil tangan Aluna. "Aku … sebenarnya aku sudah menikah, Aluna," katanya akhirnya, suaranya hampir tidak terdengar.“Bahkan sebelum kita bertemu. Aku sudah menjadi suami o
"Argh! Kenapa kamu teledor sekali, Gave?!" Tristan memekik begitu tiba di rumah sakit. Dia merasakan jantungnya berdebar kencang saat melihat bangsal kosong di ruang rawat Revana. Istrinya telah pergi. Entah ke mana, bahkan Gave saja tidak tahu.Tristan menjambak rambutnya, frustrasi dan marah, sembari terus mencari-cari keberadaan Revana. "Gave, bagaimana ini bisa terjadi? Kamu seharusnya menjaganya!"Gave mencoba menjelaskan dengan suara yang bergetar. "Tuan, saya sudah mencarinya ke seluruh rumah sakit. Saya tidak menemukan dia di mana pun. Revana tadi hanya meminta agar saya istirahat karena dia ingin tidur."Gave menelan salivanya, merasa bersalah karena telah membiarkan Revana pergi. “Saya hanya menuruti permintaan Revana untuk menjaganya di luar. Tanpa memikirkan kalau sebenarnya dia ingin pergi.”Tristan memekik lagi, menjambak rambutnya. "Ke mana kamu, Revana? Kenapa kamu pergi?" tanyanya lirih. Ia lalu duduk di bangsal bekas Revana dirawat, menunduk dengan air mata yang meng
Pohon-pohon yang rindang seakan menjadi saksi bisu dari percakapan berat yang akan segera terjadi. Di sebuah bangku kayu tua, Tristan duduk dengan kepala tertunduk, tenggelam dalam lautan pikirannya yang gelap. Dia merasa hampa dan kehilangan arah sejak kepergian Revana.Gave dan Hendri berhasil menemukan Tristan di sebuah taman sedang duduk seorang diri seraya menundukkan kepalanya. Gave menghampiri Tristan dan memintanya untuk kembali ke rumah. "Besok saja kita mencari Revana, Tuan. Anda harus beristirahat," kata Gave dengan suara yang lembut namun tegas.Tristan menggeleng pelan. "Aku tak ingin kembali ke rumah sebelum menemukan Revana," gumamnya, matanya masih menatap tanah dengan tatapan kosong.Gave sedikit membentak Tristan. "Jangan egois, Tuan! Revana hanya sedang sakit hati. Dia pasti akan kembali, terutama jika Anda berhasil meyakinkan dia!"Tristan bangun dari duduknya lalu meraih kerah kemeja Gave dengan tangan gemetar, menatapnya dengan mata nyalang. "Kamu kan, yang men
Malam itu, setelah pencarian yang melelahkan di taman dan sekitarnya, Tristan kembali ke rumah dengan hati yang gelisah. Begitu sampai di ruang tengah yang remang-remang, ia segera meraih ponselnya dan menghubungi temannya, Jay, salah satu sahabat Tristan yang sudah bergelut dengan teknologi dan IT. Ia tahu hanya Jay yang bisa membantunya melacak pergerakan Revana."Halo, Jay? Aku butuh bantuanmu," kata Tristan dengan suara tegang, berusaha menahan emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. Jantungnya berdetak kencang, seolah menandakan betapa pentingnya panggilan itu."Tristan? Ada apa malam-malam begini?" balas Jay dengan nada heran. "Kamu butuh apa?" Suara Jay terdengar berat namun penuh perhatian, mencerminkan keseriusan yang jarang ia tunjukkan."Aku perlu kamu cek CCTV di rumah sakit. Aku harus tahu ke mana sebenarnya Revana pergi," Tristan berbicara cepat, hampir tanpa jeda, menunjukkan betapa putus asanya ia. Kata-katanya berdesakan keluar, tak mampu menahan kegelisahan yang mem
“Tuan. Anda akan pergi ke rumah Rony, kan?”Tristan yang tengah mengancingkan kemeja putihnya lalu mengangguk. “Ya. Aku harap Revana pergi ke rumah ayahnya. Kenapa?” tanya Tristan.“Izinkan saya ikut. Saya ingin menanyakan tentang Revana kenapa bisa jadi anak Rony. Padahal dia adalah adik kandung saya.”Tristan menghela napasnya. “Kamu ingin memastikan sesuatu?”Gave mengangguk. “Ya. Saya ingin tahu. Apakah benar, dia yang telah menculik Revana, atau bukan.”Tristan yang sudah dengar cerita tentang adik Gave yang hilang tenggelam di danau saat usianya masih tujuh tahun itu paham dengan rasa penasaran Gave yang tinggi.“Ikut saja, Gave. Kamu masih jadi bodyguard-ku, kan?”Gave tersenyum. Namun, tidak dengan Tristan. Pria itu masih belum bisa bernapas lega sebelum menemukan sang istri yang entah ada di mana kini ia berada.Pagi itu, Tristan dan Gave melangkah dengan cepat menuju rumah Rony, ayah Revana. Harapan mereka hanyalah menemukan wanita itu di sana.Hari-hari sebelumnya penuh den
Dalam hening yang mencekam, Rony terdiam, seolah mencari kata-kata yang tepat di antara reruntuhan hatinya. Kebohongan yang ia tutupi begitu lama mulai terkuak.Akhirnya, dengan suara hampir tak terdengar, ia berkata, "Revana ... memang bukan anak kandung saya."Gave menarik napas dalam-dalam, mendekatkan tubuhnya pada Rony yang bergetar halus menahan rasa takutnya.Dua sosok di hadapannya ini benar-benar membuat nyalinya menciut. Gave memegang pundak Rony, sedikit meremasnya, dengan tatapan tajam yang tak terbantahkan."Katakan dengan jujur, kamu menemukan Revana di mana? Apakah benar, Revana tenggelam di danau lalu kamu mengambilnya?"Rony mengangkat kepalanya, menggelengkan kepala dengan kekhawatiran yang terpancar di wajahnya. "Bu—bukan. Revana ... saya dan istri saya menemukan dia di pinggiran danau, tapi tidak tenggelam. Bajunya basah mungkin karena kehujanan.“Malam itu, saya dan istri saya hendak pergi ke panti asuhan untuk mencari anak yang bisa kami adopsi, karena selama lim
“Kamu dengar tadi, kan? Mantan kekasih Revana. Sepertinya kita harus menemui dia,” ucap Tristan, matanya menatap lurus ke depan, namun pikirannya jauh melayang pada berbagai kemungkinan yang terus menghantui. Gave menoleh ke arah Tristan yang duduk di sampingnya, sementara tangannya dengan cekatan mengemudikan mobil yang kini membawa mereka melintasi jalanan yang sepi. “Anda yakin akan mencari tahu sampai ke mantannya Revana? Kalau bukan pria itu yang membawa Revana, Anda sendiri yang malu,” saran Gave dengan nada yang tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Ia tahu, bosnya ini sedang kalang kabut, tidak bisa berpikir jernih karena situasi yang semakin menekan. “Ikuti saja, jangan banyak bicara, Gave. Memangnya kamu tidak khawatir dengan kondisi Revana di luar sana? Bagaimana jika sebenarnya Revana memang ada di sana?” Tristan memijat keningnya, mencoba meredakan sakit kepala yang terasa semakin menusuk. Bayangan Revana yang hilang, keberadaan yang tak pasti, semuanya mem
Angin malam berhembus lembut melalui celah jendela yang terbuka setengah, menggerakkan tirai dengan lembut seakan mencoba menenangkan badai yang berkecamuk di dalam dada Tristan.Di ruangan yang temaram, hanya ada dua hal yang menghiasi keberadaan Tristan; bayang-bayang yang terus menghantuinya dan segelas minuman yang dingin.Ia duduk di atas sofa kulit yang dingin, tubuhnya tertelungkup dengan kepala tersandar lemah. Gelas kristal di tangannya sedikit terguncang, menandakan ketidakstabilan yang menguasai dirinya.“Di mana kamu, Revana? Kenapa sulit sekali menemukanmu,” gumamnya, suaranya seperti bisikan angin yang kehilangan arah. Tidak ada yang mendengarnya, kecuali kesunyian yang pekat dan gelap, menelannya seketika tanpa ampun.Pikiran Tristan seperti jaringan yang kusut, sulit terurai, penuh dengan penyesalan yang menggigit. Perasaan bersalah mencekik hatinya dengan cengkeraman yang dingin. Ia adalah pria yang telah membuat pilihan buruk, pria yang telah mengabaikan wanita yang