Angin malam berhembus lembut melalui celah jendela yang terbuka setengah, menggerakkan tirai dengan lembut seakan mencoba menenangkan badai yang berkecamuk di dalam dada Tristan.Di ruangan yang temaram, hanya ada dua hal yang menghiasi keberadaan Tristan; bayang-bayang yang terus menghantuinya dan segelas minuman yang dingin.Ia duduk di atas sofa kulit yang dingin, tubuhnya tertelungkup dengan kepala tersandar lemah. Gelas kristal di tangannya sedikit terguncang, menandakan ketidakstabilan yang menguasai dirinya.“Di mana kamu, Revana? Kenapa sulit sekali menemukanmu,” gumamnya, suaranya seperti bisikan angin yang kehilangan arah. Tidak ada yang mendengarnya, kecuali kesunyian yang pekat dan gelap, menelannya seketika tanpa ampun.Pikiran Tristan seperti jaringan yang kusut, sulit terurai, penuh dengan penyesalan yang menggigit. Perasaan bersalah mencekik hatinya dengan cengkeraman yang dingin. Ia adalah pria yang telah membuat pilihan buruk, pria yang telah mengabaikan wanita yang
Malam yang kelam memeluk dunia dengan keheningan yang dingin, tapi tidak ada yang lebih dingin dari amarah yang membakar dalam dada Aluna.Dengan satu gerakan yang kasar, ia melemparkan ponselnya ke sofa, memantul dengan suara keras yang menggema di seluruh ruangan. Ekspresi wajahnya berubah drastis, dari kecewa menjadi penuh kemarahan yang hampir meledak.“Argh! Tristan sialan!” pekiknya, mengeluarkan kemarahan yang seolah sudah lama terpendam.Napasnya memburu, seakan setiap helaan udara yang ia hirup hanya menambah api yang berkobar di dalam dirinya. Amarah itu begitu kuat hingga ia merasa seakan akan meledak, dipenuhi oleh emosi yang tak terkendali.Pikirannya dipenuhi dengan kekecewaan dan rasa tidak percaya. Ia, Aluna, yang selama ini percaya bahwa dirinya adalah satu-satunya wanita yang mampu mengendalikan Tristan, kini dikhianati oleh kenyataan yang tak bisa ia terima.Tristan, pria yang seharusnya tunduk di bawah pesonanya, kini lebih memilih untuk bersama istrinya—wanita yan
Di dalam ruangan makan yang luas dan megah, suasana terasa mencekam. Hanya ada bunyi dentingan sendok yang terus-menerus beradu dengan piring, meski tak ada makanan yang benar-benar tersentuh.Tristan duduk di ujung meja panjang, dikelilingi oleh berbagai hidangan lezat yang telah disiapkan oleh para pelayan, tetapi tak ada satu pun yang menggugah seleranya.Makanan itu hanya diambil sejumput, dicicipi sekilas, lalu dibuang begitu saja ke piring di hadapannya.Pelayan-pelayan yang sibuk hilir-mudik, tampak semakin kewalahan menghadapi keadaan tuan mereka yang tak bisa dipuaskan oleh makanan apa pun.Hendri menghela napasnya lalu melirik ke arah Gave yang berdiri tak jauh dari Tristan. Wajahnya yang biasanya tenang kini terlihat penuh kecemasan.Gave hanya bisa menghela napas dalam, menyadari betapa parah kondisi Tristan. Pandangannya tertuju pada pria yang dulu dikenal penuh semangat dan karisma, kini hanyalah bayangan dari dirinya yang dulu."Bagaimana ini, Gave? Tuan Tristan tidak m
Jauh dari gemerlapnya kota dan kemewahan yang dulu mengelilingi hidupnya, Revana kini berdiri di sebuah kafe kecil yang terletak di tepi pantai. Kafe itu tak besar, tetapi cukup ramai dikunjungi orang-orang yang ingin menikmati waktu santai sambil mendengarkan debur ombak yang menenangkan.Di sinilah Revana menghabiskan hari-harinya, menyibukkan diri dengan berbagai pekerjaan yang tak pernah habis, mencoba melupakan semua kesedihan yang pernah menggerogoti hatinya.Piring-piring kotor yang menumpuk di wastafel menjadi saksi bisu dari kehidupannya yang baru. Dengan tangkas, Revana mencuci satu per satu piring itu, membiarkan pikirannya melayang pada hal-hal yang lebih menyenangkan.Meski demikian, bayangan Tristan dan kehidupan mereka yang dulu tak pernah benar-benar hilang dari benaknya.“Revana? Sudah waktunya istirahat,” suara berat Zion, pemilik kafe, membuyarkan lamunannya. Zion adalah pria paruh baya dengan wajah bersahaja yang selalu menunjukkan kepedulian terhadap para pekerjan
Rony berjalan perlahan menuju meja makan, mengamati Dea yang sedang sarapan dengan tenang. Setiap gerakannya begitu lambat, seolah-olah setiap langkah terasa berat baginya. Raut wajahnya yang suram memancarkan beban pikiran yang tak terhingga, seakan tak ada satu pun momen yang luput dari kekhawatirannya.Dea, yang menyadari kehadiran sang ayah, hanya melirik sekilas sebelum kembali menundukkan kepalanya, menikmati setiap suap sarapannya dengan penuh kehati-hatian.“Ayah masih mengkhawatirkan keberadaan Revana?” Dea bertanya tanpa mengangkat wajahnya, suaranya lembut namun penuh kepedulian. Dia tahu bahwa beban pikiran ayahnya adalah sesuatu yang tidak bisa diabaikan begitu saja.Rony menghela napas panjang, mengambil segelas air dan meminumnya dengan perlahan. “Tentu saja, Dea. Ayah mana yang tidak khawatir saat anaknya hilang dan tak diketahui keberadaannya? Dulu, Ayah mungkin khawatir Tristan tidak memperlakukan Revana dengan baik. Tapi kali ini, kekhawatiran Ayah lebih besar, kare
Dea sedikit gelagapan, bibirnya sempat bergetar, namun ia segera menguasai dirinya. Dia tidak bisa terlihat lemah di hadapan Gave.“Tentu saja aku tahu dari ayahku,” jawab Dea dengan nada yang berusaha dibuat tenang, meski ada sedikit gemetar yang tak bisa ia sembunyikan.Gave menaikkan alisnya, tak langsung mempercayai jawaban itu. “Setahuku, ayahmu juga tidak tahu soal ini. Kami tidak pernah memberi tahu soal ini—”Dea memotong ucapan Gave dengan cepat, suaranya kini terdengar lebih tajam, menyiratkan kemarahan yang sudah lama terpendam. “Meskipun kalian tidak memberi tahu, tapi ayahku tahu mengenai kekasih Tristan itu. Dia mencari tahu semuanya, dan alasan kepergian Revana karena Aluna, kan? Karena Tristan lebih memilih menemani Aluna daripada istrinya sendiri yang sedang hamil!” Wajahnya memerah, matanya berkilat penuh kemarahan.Gave memperhatikan bagaimana emosi Dea meledak, menunjukkan betapa kecewanya dia pada Tristan. Nada suaranya lembut namun tegas saat ia berbicara kembali
Dea duduk di bangku taman kampusnya, mencoba menenangkan pikirannya yang penuh dengan kebingungan. Matahari sore yang hangat memeluk tubuhnya, namun tak mampu mengusir perasaan gelisah yang menyelimuti hatinya. Dia meraih ponselnya dan menekan nomor Revana, berharap mendapatkan jawaban yang dapat menenangkan perasaannya. Panggilan tersambung hanya dalam beberapa detik."Ada apa, Dea?" Suara Revana terdengar lembut namun penuh dengan kelelahan di seberang sana. Dea bisa merasakan betapa kakaknya masih tertekan dengan semua yang terjadi.Dea menghela napas panjang, mencoba mencari cara terbaik untuk menyampaikan kabar yang didengarnya pagi tadi. "Tadi, aku berangkat ke kampus dengan Gave," ujarnya dengan pelan.Di seberang sana, Revana menaikkan alisnya, merasa ada sesuatu yang janggal. "Kenapa bisa bertemu dengan Pak Gave?""Tidak sengaja, Revana. Dia berhenti di depanku ketika aku sedang menunggu taksi," jawab Dea, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih serius. "Aku ingin memberi ta
Malam sudah larut ketika Jay tiba di kediaman Tristan. Ia sudah terbiasa dengan pemandangan megah rumah sang mafia, tapi malam ini ada sesuatu yang berbeda. Begitu melangkah masuk, Jay langsung disambut oleh suasana yang suram dan gelap.Lampu-lampu yang biasanya menerangi ruangan besar itu kini hanya remang-remang, dan bau khas obat-obatan samar tercium di udara.Ketika Jay melihat kondisi Tristan, ia tak bisa menahan diri untuk bertanya. "Apakah sang mafia ini sedang dilanda malarindu?" tanya Jay dengan nada bercanda, mencoba mengurangi ketegangan yang ia rasakan. Namun, candaannya tidak direspons dengan tawa.Gave, yang berdiri di samping Tristan, hanya mengangkat bahu dengan ekspresi lelah. Dia sudah berhari-hari mencoba mengajak Tristan untuk fokus pada bisnis atau bahkan sekadar makan dengan teratur, tapi semua usahanya sia-sia. Tristan menolak untuk memikirkan apa pun kecuali satu hal—di mana istrinya, Revana, berada.“Jangan banyak bicara, Jay. Cepat katakan, apa yang kamu dap
Tristan yang sejak tadi diam, mengangguk kecil. Ia mengeluarkan ponselnya dan menelepon Gave. Tak butuh waktu lama, suara Gave yang penuh semangat terdengar dari seberang."Laura di sana? Serius? Dia melahirkan?!" seru Gave, suaranya melonjak kegirangan. Terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa, seperti Gave sedang berjalan sambil berputar-putar karena terlalu bahagia."Iya, Laura ada di sini. Bayi kalian lahir dengan selamat," jawab Tristan sambil tersenyum kecil.Dari seberang, suara Gave terdengar gemetar penuh haru. "Aku memang ingin menikahi Laura. Aku sudah mengajukan cuti untuk menyiapkan semuanya. Aku tidak menyangka bayi kami lahir lebih cepat dari prediksi dokter. Aku akan segera ke sana!"Tristan menutup telepon dan menatap Revana dengan tatapan geli. "Nah, kamu dengar sendiri, kan? Semua sudah jelas sekarang."Ketika Gave akhirnya tiba di rumah sakit, suasana menjadi semakin hangat. Dengan wajah penuh kerinduan, ia memeluk Laura erat, mengecup keningnya, lalu mengali
Revana akhirnya mengangguk pelan, meskipun hatinya masih penuh dengan keraguan dan luka.Sementara Tristan dan Hendri membantu wanita itu berjalan ke luar rumah, Revana berdiri diam di ambang pintu, menyaksikan mereka dengan campuran emosi yang tak terungkapkan."Revana!! Kenapa kamu diam. Ayo kita ke mobil. Tuntun Laura, cepat." Suara Tristan meninggi pada Revana.Revana mendengkus kesal dan tanpa suara air matanya menetes saat membukakan pintu mobil. Sementara erangan Laura makin membuat suasana begitu menegangkan."Aagh ... Aduh!" tak urung Laura memegang erat tangan Revana menahan rasa sakit tak tertahankan yang sebentar datang lalu reda. Lalu datang lagi sakitnya.Tristan mengemudi. Hendri dan Revana duduk di jok belakang di sisi kiri kanan Laura, sementara Laura merintih dengan wajah pucat.Jeritan Revana memenuhi lorong rumah sakit, bergema seperti sembilu yang menyayat hati Revana.Napasnya memburu, dadanya berdebar, namun bukan karena rasa simpati.Ia duduk di kursi tunggu d
Revana menatap meja makan dengan rasa puas. Ia merasa seperti ini adalah momen yang tepat.Sebentar lagi Tristan akan pulang, dan mereka akan merayakan ulang tahunnya bersama keluarga kecil mereka. Namun, di balik itu semua, ada sebuah kabar besar yang ingin ia bagi—kabar yang akan mengubah segalanya.Dengan hati yang penuh harapan, Revana duduk di kursi dan menunggu. Waktu terasa berjalan begitu lambat, seakan momen yang diinginkan belum tiba.Tetapi, ia tahu, kejutan ini akan menjadi awal dari babak baru dalam hidup mereka. Sebuah babak yang akan membuat mereka semakin dekat, semakin kuat, dan semakin bahagia.Tak lama kemudian, terdengar suara pintu terbuka, dan langkah kaki Tristan masuk ke dalam rumah. Revana berdiri, matanya bersinar penuh kebahagiaan, siap untuk memberi kejutan yang sudah ia siapkan dengan penuh cinta.Bau kue manis masih tercium di dapur ketika suara pintu depan terbuka. Revana, yang tengah mengatur meja makan, mendongak dengan senyum lebar di wajahnya."Mas T
Revana menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. Semua pengorbanan, semua perjuangan yang mereka lakukan, kini membuahkan hasil yang indah.Mereka bukan hanya pasangan, tapi juga sahabat sejati, yang saling mendukung dalam segala hal. Mereka telah melewati masa-masa sulit, dan kini mereka bisa menikmati momen-momen indah ini bersama.Ketika Naira kembali berlari ke arah mereka, wajahnya dipenuhi kegembiraan yang tak terbendung, Revana dan Tristan saling berpandangan, dan senyum lebar pun terukir di wajah mereka.Mereka tahu, kebahagiaan ini adalah hasil dari cinta yang telah tumbuh dalam hati mereka, dari segala perjuangan yang mereka lakukan bersama.Pada saat itulah, Revana merasakan kebahagiaan yang sejati, sebuah kebahagiaan yang tak terduga.Cinta yang dulu hanya dimulai dari keinginan sementara, kini berubah menjadi sebuah ikatan yang tak terpisahkan. Dalam pelukan keluarga kecil mereka, Revana merasa dunia ini penuh dengan kemungkinan yang tak terbatas.Dan dengan suara gelak
Pantai itu tampak indah dengan pasir putih yang membentang luas, dipadu dengan air laut yang berkilauan di bawah sinar matahari.Ombak datang bergulung-gulung, menghantam bibir pantai, menciptakan suara gemuruh yang menenangkan.Di tengah pemandangan yang menakjubkan itu, Tristan, dengan wajah lelah, berlari mengejar seorang gadis kecil yang tak kenal lelah, Naira.Matanya yang penuh kegembiraan dan keceriaan, tak bisa berhenti berlari di sepanjang garis pantai, membiarkan pasir menempel pada kaki telanjang kecilnya."Naira! Jangan lari ke sana, sayang!" seru Tristan dengan napas terengah-engah, mencoba mengejar anaknya yang semakin menjauh.Namun Naira justru tertawa riang, melangkah lebih cepat, seolah menikmati kebebasannya yang tidak terbatas.Dengan senyum penuh ceria, dia menoleh sebentar untuk melihat ayahnya, seolah mengatakan, "Kejar aku, Papi!" Lalu, tanpa peringatan, dia berlari lagi, menari-nari di tepi laut, membiarkan ombak menerjang kakinya yang mungil.Tristan tersenyu
Pesta itu meriah. Lampu-lampu indah berpendar di seluruh sudut ballroom yang luas, menciptakan atmosfer magis yang terasa seperti sebuah dunia terpisah.Para tamu berdiri, berbincang, dan tertawa, sementara musik lembut mengalun dari panggung, menambah kehangatan suasana.Di tengah keramaian itu, Tristan berdiri di depan mikrofon, mengenakan jas hitam yang sempurna, dengan senyum yang penuh kasih sayang untuk satu orang yang paling ia cintai di dunia ini—Revana.“Selamat malam semuanya,” suara Tristan menggema, menyentuh hati setiap orang yang mendengarnya Anggukan tamu undangan menjawab sapa Tristan. “Terima kasih telah hadir di acara spesial kami malam ini. Hari ini, aku dan Revana merayakan dua tahun yang penuh kebahagiaan, dan aku ingin berbagi sedikit cerita dengan kalian semua.”Revana berdiri di sampingnya, wajahnya terlihat begitu cantik dengan gaun merah yang berkilau, rambut panjangnya yang tertata rapi menambah pesona.Matanya memandang Tristan penuh cinta, seolah tidak p
Ruangan kantor terasa hening. Hanya suara jam dinding yang berdetak lembut menemani dua pria itu. Michael duduk di kursi di hadapan Tristan, wajahnya tertunduk dalam, menahan air mata yang sudah menggenang sejak tadi.Tristan baru saja menceritakan detail kejadian yang menimpa Mami karen ulah Alfrod. Sehingga Mami akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir.Michael tahu tidak ada kebohongan di sana. Semua yang dikisahkan Tristan mendukung bukti yang ia temukan.Sementara itu, Tristan bersandar di kursinya, menatap adiknya dengan tatapan yang sulit diartikan—campuran kasih sayang dan rasa prihatin. Mengenang masa lalu itu begitu pahit dan nyeri bagi mereka berdua.“Michael, semua rasa ingin tahumu sudah terjawab. Bukti kuat sudah kamu dapatkan,” suara Tristan memecah keheningan. Lembut tapi tegas, seperti pelukan yang menenangkan.“Ada yang ingin kuberitahukan padamu. Sesuatu yang selama ini kupendam dan ingin kamu lakukan.”Michael mengangkat wajahnya perlahan, mata merahnya bertem
Satu bulan telah berlalu sejak insiden penembakan di kantor Tristan. Kehidupan perlahan kembali seperti biasa.Luka di tubuhnya memang sudah sembuh, tapi Tristan tahu, luka di hatinya dan keluarganya butuh waktu lebih lama untuk pulih.Bagaimanapun Alfrod adalah keluarga dan kini semua berakhir seperti ini. Tristan kadang tidak percaya ini akhir persaudaraan mereka. Kadang rasa sedih sebagai satu dalam ikatan saudara masih saja ada.Pagi itu, suasana di kantor terlihat tenang. Tristan duduk di balik meja kerjanya, menandatangani beberapa dokumen penting.Cahaya matahari menyelinap melalui jendela besar di belakangnya, menciptakan siluet yang menonjolkan ketegasan wajahnya.Pintu ruangannya terbuka perlahan. Michael melangkah masuk dengan ragu-ragu, membawa dua cangkir kopi. "Kupikir kamu butuh ini," katanya pelan, menaruh salah satu cangkir di meja Tristan.Tristan mendongak, tersenyum kecil. “Terima kasih. Duduklah. Apa kabarmu Michae
Tristan tersenyum penuh kemenangan. Dengan hati-hati, ia meraih bayi kecil itu dan meletakkannya di pelukan.Naira menggeliat kecil sebelum kembali tertidur dengan damai. Perasaan hangat menyelimuti dada Tristan. "Aku merindukanmu, Sayang," bisiknya lembut. "Bayiku yang cantik dan manis."Revana tersenyum melihat pemandangan itu, meski ia tetap mengawasi dengan cermat. “Aku akan membuatkan sup untukmu. Jangan coba-coba bergerak dari sini.”“Baiklah. Aku tidak akan pergi ke tempat gym, Sayang.” Tristan menjawab dengan nada bercanda, membuat Revana mendengus kecil sebelum pergi ke dapur.Saat Revana sibuk di dapur, Tristan duduk di tempat tidur sambil berbicara pelan dengan Naira. “Kamu tahu, Nak? Papi akan memastikan dunia ini aman untukmu. Apa pun yang terjadi, kamu tidak perlu takut.”Pintu depan terdengar diketuk, dan beberapa saat kemudian Gave muncul di ambang pintu kamar. "Aku boleh masuk?"&ldq