Rony berjalan perlahan menuju meja makan, mengamati Dea yang sedang sarapan dengan tenang. Setiap gerakannya begitu lambat, seolah-olah setiap langkah terasa berat baginya. Raut wajahnya yang suram memancarkan beban pikiran yang tak terhingga, seakan tak ada satu pun momen yang luput dari kekhawatirannya.Dea, yang menyadari kehadiran sang ayah, hanya melirik sekilas sebelum kembali menundukkan kepalanya, menikmati setiap suap sarapannya dengan penuh kehati-hatian.“Ayah masih mengkhawatirkan keberadaan Revana?” Dea bertanya tanpa mengangkat wajahnya, suaranya lembut namun penuh kepedulian. Dia tahu bahwa beban pikiran ayahnya adalah sesuatu yang tidak bisa diabaikan begitu saja.Rony menghela napas panjang, mengambil segelas air dan meminumnya dengan perlahan. “Tentu saja, Dea. Ayah mana yang tidak khawatir saat anaknya hilang dan tak diketahui keberadaannya? Dulu, Ayah mungkin khawatir Tristan tidak memperlakukan Revana dengan baik. Tapi kali ini, kekhawatiran Ayah lebih besar, kare
Dea sedikit gelagapan, bibirnya sempat bergetar, namun ia segera menguasai dirinya. Dia tidak bisa terlihat lemah di hadapan Gave.“Tentu saja aku tahu dari ayahku,” jawab Dea dengan nada yang berusaha dibuat tenang, meski ada sedikit gemetar yang tak bisa ia sembunyikan.Gave menaikkan alisnya, tak langsung mempercayai jawaban itu. “Setahuku, ayahmu juga tidak tahu soal ini. Kami tidak pernah memberi tahu soal ini—”Dea memotong ucapan Gave dengan cepat, suaranya kini terdengar lebih tajam, menyiratkan kemarahan yang sudah lama terpendam. “Meskipun kalian tidak memberi tahu, tapi ayahku tahu mengenai kekasih Tristan itu. Dia mencari tahu semuanya, dan alasan kepergian Revana karena Aluna, kan? Karena Tristan lebih memilih menemani Aluna daripada istrinya sendiri yang sedang hamil!” Wajahnya memerah, matanya berkilat penuh kemarahan.Gave memperhatikan bagaimana emosi Dea meledak, menunjukkan betapa kecewanya dia pada Tristan. Nada suaranya lembut namun tegas saat ia berbicara kembali
Dea duduk di bangku taman kampusnya, mencoba menenangkan pikirannya yang penuh dengan kebingungan. Matahari sore yang hangat memeluk tubuhnya, namun tak mampu mengusir perasaan gelisah yang menyelimuti hatinya. Dia meraih ponselnya dan menekan nomor Revana, berharap mendapatkan jawaban yang dapat menenangkan perasaannya. Panggilan tersambung hanya dalam beberapa detik."Ada apa, Dea?" Suara Revana terdengar lembut namun penuh dengan kelelahan di seberang sana. Dea bisa merasakan betapa kakaknya masih tertekan dengan semua yang terjadi.Dea menghela napas panjang, mencoba mencari cara terbaik untuk menyampaikan kabar yang didengarnya pagi tadi. "Tadi, aku berangkat ke kampus dengan Gave," ujarnya dengan pelan.Di seberang sana, Revana menaikkan alisnya, merasa ada sesuatu yang janggal. "Kenapa bisa bertemu dengan Pak Gave?""Tidak sengaja, Revana. Dia berhenti di depanku ketika aku sedang menunggu taksi," jawab Dea, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih serius. "Aku ingin memberi ta
Malam sudah larut ketika Jay tiba di kediaman Tristan. Ia sudah terbiasa dengan pemandangan megah rumah sang mafia, tapi malam ini ada sesuatu yang berbeda. Begitu melangkah masuk, Jay langsung disambut oleh suasana yang suram dan gelap.Lampu-lampu yang biasanya menerangi ruangan besar itu kini hanya remang-remang, dan bau khas obat-obatan samar tercium di udara.Ketika Jay melihat kondisi Tristan, ia tak bisa menahan diri untuk bertanya. "Apakah sang mafia ini sedang dilanda malarindu?" tanya Jay dengan nada bercanda, mencoba mengurangi ketegangan yang ia rasakan. Namun, candaannya tidak direspons dengan tawa.Gave, yang berdiri di samping Tristan, hanya mengangkat bahu dengan ekspresi lelah. Dia sudah berhari-hari mencoba mengajak Tristan untuk fokus pada bisnis atau bahkan sekadar makan dengan teratur, tapi semua usahanya sia-sia. Tristan menolak untuk memikirkan apa pun kecuali satu hal—di mana istrinya, Revana, berada.“Jangan banyak bicara, Jay. Cepat katakan, apa yang kamu dap
Pagi yang tenang menyelimuti suasana di jalan kecil yang menghubungkan kostan Revana dan Indri dengan café tempat mereka bekerja.Udara segar mengalir lembut, membawa aroma embun yang masih menempel di dedaunan. Keduanya berjalan santai, menikmati kesunyian pagi sebelum hiruk pikuk hari dimulai."Weekday gini nggak akan terlalu banyak pengunjung apalagi di pagi hari. Jadi, kita bisa santai," kata Indri sambil menyelipkan rambutnya yang tertiup angin di belakang telinga. Langkahnya mantap namun ringan, seolah-olah dunia ini tidak memiliki beban yang terlalu berat untuk dipikirkan.Revana mengangguk, mengiringi senyuman kecil yang muncul di wajahnya. "Iya, kamu benar. Hari ini yang jaga kasir siapa, ya?" tanyanya, mencoba mengalihkan pikirannya yang sejak tadi mengawang ke tempat lain."Bukannya kamu? Pak Zion kan lagi ada tugas keluar katanya," jawab Indri dengan santai."Oh, ya? Aku tidak tahu kalau Pak Zion hari ini keluar," Revana menjawab, sedikit terkejut. Ia tidak begitu memperha
Tristan berjalan cepat keluar dari tempat itu, menggandeng Revana yang masih terlihat ragu-ragu.Ia bisa pingsan jika terlalu lama berada di dalam café tadi, di tengah keramaian yang hanya menambah rasa sesak di dadanya.Kini, mereka berada di tempat yang lebih sepi, di taman kecil dengan bangku panjang yang tampak sepi dari pengunjung. Hanya ada Tristan dan Revana di sana, dalam keheningan yang kian menambah jarak di antara mereka.Revana sekali lagi membuang muka setelah melepaskan genggaman tangan Tristan, tak ingin memperlihatkan ekspresi hatinya yang berkecamuk.Tristan, dengan penuh kasih, mengusapi perut buncit istrinya yang sedang hamil besar. Ia menunduk, mencium perut itu dengan penuh cinta. “Apa kabar kamu di sini, Sayang? Kamu tidak menyusahkan ibumu, kan?” bisiknya lirih, seakan berbicara langsung kepada calon buah hati mereka.Revana merasakan sentuhan lembut Tristan di perutnya, namun ia segera menyingkirkan tangan suaminya itu. Tatapannya dingin dan datar saat ia menata
Rumah sakit itu terasa dingin, meski udara luar cukup hangat. Lampu-lampu putih menerangi lorong panjang yang sepi, hanya terdengar suara langkah-langkah tergesa dan bunyi mesin di kejauhan.Tristan baru saja dibawa ke ruang gawat darurat setelah pingsan di taman. Untungnya, seorang teman yang kebetulan berada di café segera memanggil ambulans dan membawanya ke rumah sakit.Revana kini berdiri di depan pintu ruang IGD, matanya merah dan bengkak akibat tangis yang tak henti-henti sejak tadi.Pikirannya masih dipenuhi dengan bayangan Tristan yang tergeletak tak sadarkan diri, kulitnya yang pucat dan napasnya yang lemah membuat hati Revana terasa seperti ditikam.Tak lama kemudian, dua sosok yang sangat dikenalnya muncul di ujung lorong. Gave dan Hendri, dua orang kepercayaan Tristan, berjalan cepat menghampiri Revana. Ekspresi mereka serius, penuh kekhawatiran.“Revana …,” suara Hendri pecah di udara saat melihat wajah adik iparnya. Ia sedikit terkejut melihat Revana setelah sekian lama
Tristan membuka matanya secara perlahan setelah satu hari lamanya tidak sadarkan diri. Kegelapan dan kebisingan yang mengelilinginya perlahan-lahan memudar, meninggalkan keheningan yang menggetarkan.Lampu-lampu redup di kamar rumah sakit menyebar cahaya lembut ke wajahnya, yang kini mulai merasakan kehangatan dan kelembutan dari sesuatu yang lebih berharga daripada apa pun di dunia ini.Revana, yang masih setia menemani Tristan, berada di samping ranjang dengan tatapan cemas namun penuh kasih. Dia tidak pernah meninggalkan sisi Tristan selama waktu-waktu kritis itu.Saat Tristan membuka matanya, Revana langsung menoleh. Ada kelegaan yang tergambar di wajahnya, seolah seluruh dunia akhirnya kembali ke tempatnya yang semestinya.“Sayang …,” Tristan berucap lirih, suaranya nyaris seperti bisikan angin di tengah malam. Meski tubuhnya masih lemas dan terasa berat, ia tetap berusaha untuk bangun.Kepalanya berdenyut-denyut seperti sebuah drum yang tidak mau berhenti, tetapi dia berusaha me