Dalam hening yang mencekam, Rony terdiam, seolah mencari kata-kata yang tepat di antara reruntuhan hatinya. Kebohongan yang ia tutupi begitu lama mulai terkuak.Akhirnya, dengan suara hampir tak terdengar, ia berkata, "Revana ... memang bukan anak kandung saya."Gave menarik napas dalam-dalam, mendekatkan tubuhnya pada Rony yang bergetar halus menahan rasa takutnya.Dua sosok di hadapannya ini benar-benar membuat nyalinya menciut. Gave memegang pundak Rony, sedikit meremasnya, dengan tatapan tajam yang tak terbantahkan."Katakan dengan jujur, kamu menemukan Revana di mana? Apakah benar, Revana tenggelam di danau lalu kamu mengambilnya?"Rony mengangkat kepalanya, menggelengkan kepala dengan kekhawatiran yang terpancar di wajahnya. "Bu—bukan. Revana ... saya dan istri saya menemukan dia di pinggiran danau, tapi tidak tenggelam. Bajunya basah mungkin karena kehujanan.“Malam itu, saya dan istri saya hendak pergi ke panti asuhan untuk mencari anak yang bisa kami adopsi, karena selama lim
“Kamu dengar tadi, kan? Mantan kekasih Revana. Sepertinya kita harus menemui dia,” ucap Tristan, matanya menatap lurus ke depan, namun pikirannya jauh melayang pada berbagai kemungkinan yang terus menghantui. Gave menoleh ke arah Tristan yang duduk di sampingnya, sementara tangannya dengan cekatan mengemudikan mobil yang kini membawa mereka melintasi jalanan yang sepi. “Anda yakin akan mencari tahu sampai ke mantannya Revana? Kalau bukan pria itu yang membawa Revana, Anda sendiri yang malu,” saran Gave dengan nada yang tak bisa menyembunyikan kekhawatirannya. Ia tahu, bosnya ini sedang kalang kabut, tidak bisa berpikir jernih karena situasi yang semakin menekan. “Ikuti saja, jangan banyak bicara, Gave. Memangnya kamu tidak khawatir dengan kondisi Revana di luar sana? Bagaimana jika sebenarnya Revana memang ada di sana?” Tristan memijat keningnya, mencoba meredakan sakit kepala yang terasa semakin menusuk. Bayangan Revana yang hilang, keberadaan yang tak pasti, semuanya mem
Angin malam berhembus lembut melalui celah jendela yang terbuka setengah, menggerakkan tirai dengan lembut seakan mencoba menenangkan badai yang berkecamuk di dalam dada Tristan.Di ruangan yang temaram, hanya ada dua hal yang menghiasi keberadaan Tristan; bayang-bayang yang terus menghantuinya dan segelas minuman yang dingin.Ia duduk di atas sofa kulit yang dingin, tubuhnya tertelungkup dengan kepala tersandar lemah. Gelas kristal di tangannya sedikit terguncang, menandakan ketidakstabilan yang menguasai dirinya.“Di mana kamu, Revana? Kenapa sulit sekali menemukanmu,” gumamnya, suaranya seperti bisikan angin yang kehilangan arah. Tidak ada yang mendengarnya, kecuali kesunyian yang pekat dan gelap, menelannya seketika tanpa ampun.Pikiran Tristan seperti jaringan yang kusut, sulit terurai, penuh dengan penyesalan yang menggigit. Perasaan bersalah mencekik hatinya dengan cengkeraman yang dingin. Ia adalah pria yang telah membuat pilihan buruk, pria yang telah mengabaikan wanita yang
Malam yang kelam memeluk dunia dengan keheningan yang dingin, tapi tidak ada yang lebih dingin dari amarah yang membakar dalam dada Aluna.Dengan satu gerakan yang kasar, ia melemparkan ponselnya ke sofa, memantul dengan suara keras yang menggema di seluruh ruangan. Ekspresi wajahnya berubah drastis, dari kecewa menjadi penuh kemarahan yang hampir meledak.“Argh! Tristan sialan!” pekiknya, mengeluarkan kemarahan yang seolah sudah lama terpendam.Napasnya memburu, seakan setiap helaan udara yang ia hirup hanya menambah api yang berkobar di dalam dirinya. Amarah itu begitu kuat hingga ia merasa seakan akan meledak, dipenuhi oleh emosi yang tak terkendali.Pikirannya dipenuhi dengan kekecewaan dan rasa tidak percaya. Ia, Aluna, yang selama ini percaya bahwa dirinya adalah satu-satunya wanita yang mampu mengendalikan Tristan, kini dikhianati oleh kenyataan yang tak bisa ia terima.Tristan, pria yang seharusnya tunduk di bawah pesonanya, kini lebih memilih untuk bersama istrinya—wanita yan
Di dalam ruangan makan yang luas dan megah, suasana terasa mencekam. Hanya ada bunyi dentingan sendok yang terus-menerus beradu dengan piring, meski tak ada makanan yang benar-benar tersentuh.Tristan duduk di ujung meja panjang, dikelilingi oleh berbagai hidangan lezat yang telah disiapkan oleh para pelayan, tetapi tak ada satu pun yang menggugah seleranya.Makanan itu hanya diambil sejumput, dicicipi sekilas, lalu dibuang begitu saja ke piring di hadapannya.Pelayan-pelayan yang sibuk hilir-mudik, tampak semakin kewalahan menghadapi keadaan tuan mereka yang tak bisa dipuaskan oleh makanan apa pun.Hendri menghela napasnya lalu melirik ke arah Gave yang berdiri tak jauh dari Tristan. Wajahnya yang biasanya tenang kini terlihat penuh kecemasan.Gave hanya bisa menghela napas dalam, menyadari betapa parah kondisi Tristan. Pandangannya tertuju pada pria yang dulu dikenal penuh semangat dan karisma, kini hanyalah bayangan dari dirinya yang dulu."Bagaimana ini, Gave? Tuan Tristan tidak m
Jauh dari gemerlapnya kota dan kemewahan yang dulu mengelilingi hidupnya, Revana kini berdiri di sebuah kafe kecil yang terletak di tepi pantai. Kafe itu tak besar, tetapi cukup ramai dikunjungi orang-orang yang ingin menikmati waktu santai sambil mendengarkan debur ombak yang menenangkan.Di sinilah Revana menghabiskan hari-harinya, menyibukkan diri dengan berbagai pekerjaan yang tak pernah habis, mencoba melupakan semua kesedihan yang pernah menggerogoti hatinya.Piring-piring kotor yang menumpuk di wastafel menjadi saksi bisu dari kehidupannya yang baru. Dengan tangkas, Revana mencuci satu per satu piring itu, membiarkan pikirannya melayang pada hal-hal yang lebih menyenangkan.Meski demikian, bayangan Tristan dan kehidupan mereka yang dulu tak pernah benar-benar hilang dari benaknya.“Revana? Sudah waktunya istirahat,” suara berat Zion, pemilik kafe, membuyarkan lamunannya. Zion adalah pria paruh baya dengan wajah bersahaja yang selalu menunjukkan kepedulian terhadap para pekerjan
Rony berjalan perlahan menuju meja makan, mengamati Dea yang sedang sarapan dengan tenang. Setiap gerakannya begitu lambat, seolah-olah setiap langkah terasa berat baginya. Raut wajahnya yang suram memancarkan beban pikiran yang tak terhingga, seakan tak ada satu pun momen yang luput dari kekhawatirannya.Dea, yang menyadari kehadiran sang ayah, hanya melirik sekilas sebelum kembali menundukkan kepalanya, menikmati setiap suap sarapannya dengan penuh kehati-hatian.“Ayah masih mengkhawatirkan keberadaan Revana?” Dea bertanya tanpa mengangkat wajahnya, suaranya lembut namun penuh kepedulian. Dia tahu bahwa beban pikiran ayahnya adalah sesuatu yang tidak bisa diabaikan begitu saja.Rony menghela napas panjang, mengambil segelas air dan meminumnya dengan perlahan. “Tentu saja, Dea. Ayah mana yang tidak khawatir saat anaknya hilang dan tak diketahui keberadaannya? Dulu, Ayah mungkin khawatir Tristan tidak memperlakukan Revana dengan baik. Tapi kali ini, kekhawatiran Ayah lebih besar, kare
Dea sedikit gelagapan, bibirnya sempat bergetar, namun ia segera menguasai dirinya. Dia tidak bisa terlihat lemah di hadapan Gave.“Tentu saja aku tahu dari ayahku,” jawab Dea dengan nada yang berusaha dibuat tenang, meski ada sedikit gemetar yang tak bisa ia sembunyikan.Gave menaikkan alisnya, tak langsung mempercayai jawaban itu. “Setahuku, ayahmu juga tidak tahu soal ini. Kami tidak pernah memberi tahu soal ini—”Dea memotong ucapan Gave dengan cepat, suaranya kini terdengar lebih tajam, menyiratkan kemarahan yang sudah lama terpendam. “Meskipun kalian tidak memberi tahu, tapi ayahku tahu mengenai kekasih Tristan itu. Dia mencari tahu semuanya, dan alasan kepergian Revana karena Aluna, kan? Karena Tristan lebih memilih menemani Aluna daripada istrinya sendiri yang sedang hamil!” Wajahnya memerah, matanya berkilat penuh kemarahan.Gave memperhatikan bagaimana emosi Dea meledak, menunjukkan betapa kecewanya dia pada Tristan. Nada suaranya lembut namun tegas saat ia berbicara kembali
Langit malam membentangkan jubah hitamnya, bertabur bintang yang gemerlap bagai luka-luka kecil yang menganga di dada langit.Tristan berdiri di tengah ruangan yang sepi, memegang berkas terakhir dari masa lalunya yang kelam. Matanya menatap Louis, sahabat lama yang menjadi saksi bisu keputusannya."Aku serahkan semuanya padamu," ucapnya, suaranya penuh kelelahan yang berat seperti batu yang diangkat dengan tangan telanjang. "Jangan pernah membawa namaku lagi dalam misi apa pun itu!"Louis menerima berkas itu dengan gerakan lambat, seperti menghormati akhir sebuah era. Senyumnya merekah samar di sudut bibirnya, sebuah ironi yang menggantung di udara."Aku tahu kamu masih memiliki urusan dengan Alfrod," ujarnya, nada bicaranya bagai belati yang menyentuh luka lama. "Dia sedang marah besar sebab kamu telah membombardir markas utamanya."Tristan mengangkat wajahnya, tatapannya yang gelap bertaut dengan mata Louis. Dalam diam itu ada badai yang berusaha ia redam. "Apakah dia sedang mencar
“Dengar kabar dari Alfrod?” tanya Tristan sambil menatap Gave yang baru saja menyerahkan dokumen-dokumen yang menuntut tanda tangannya.Nada suaranya tenang, tapi di balik ketenangan itu tersirat kewaspadaan, seperti badai yang sedang menanti waktu untuk meledak.Gave menggeleng perlahan, ekspresinya penuh kehati-hatian. “Belum ada kabar. Tapi sebaiknya kamu tetap waspada. Kemungkinan besar dia sedang menyusun strategi untuk balas dendam. Kamu tahu, Alfrod tak akan tinggal diam begitu saja setelah serangan itu.”Tristan membuka dokumen itu satu per satu, menelusuri kata-kata di dalamnya seakan setiap kata adalah butiran pasir waktu yang akan segera hilang.Pikirannya berkecamuk antara tugasnya sebagai pemimpin mafia dan permintaan Revana yang tak henti terngiang di kepalanya.“Revana memintaku berhenti jadi mafia, Gave. Tapi, aku bingung harus menyerahkan semuanya pada siapa. Tidak mungkin kalau aku memberikannya pada Alfrod—itu sama saja dengan menyerahkan harga diriku padanya.”Gave
Usia Naira kini telah mencapai satu bulan. Bayi mungil itu, dengan pipi lembut bak kelopak mawar yang baru merekah, semakin aktif dan sehat setelah berhasil melewati masa-masa rapuhnya, di mana ia terlahir ke dunia dengan napas yang tertatih-tatih.Revana menghela napas panjang, baru saja selesai mandi, namun segera dihadapkan dengan tangis lembut Naira yang seolah memenuhi ruangan seperti melodi lembut."Sayang..." panggilan Tristan menggema, mendesak Revana keluar dari kamar mandi dengan langkah cepat namun penuh kelembutan seorang ibu."Sudah tahu, Mas." Dengan senyum yang menyiratkan kasih tak terbatas, Revana mengambil alih Naira dari dekapan sang suami. Bayi itu, yang sebelumnya tampak resah, perlahan tenang dalam kehangatan pelukannya.ASI Revana kini telah keluar, setelah minggu-minggu penuh ketekunan dan harapan. Ia ingin memberikan Naira bukan sekadar nutrisi, tetapi juga sepenggal jiwanya, sesuatu yang hanya seorang ibu bisa tawarkan pada darah dagingnya sendiri."Anteng ba
Satu minggu kemudian. Tepat hari ini, minggu ketiga Revana menjalani rawat inapnya di rumah sakit. Aroma disinfektan yang dulu membuatnya merasa gerah kini terasa seperti bagian dari napasnya, tapi hari ini, itu semua akan menjadi kenangan.Ruang perawatan yang dingin dan bernuansa steril akan ia tinggalkan, digantikan dengan kehangatan rumah yang sudah lama ia rindukan.“Namun, harus tetap cek rutin, ya. Luka dalam Anda masih dalam tahap penyembuhan. Jangan terlalu banyak melakukan aktivitas yang melelahkan,” kata dokter Pram, suaranya tegas namun hangat, menatap Revana yang tengah menggendong bayi kecilnya dengan hati-hati, seolah-olah dunia ini hanya berpusat pada mereka berdua.Baby Naira, sang buah hati yang mungil dan rapuh, sudah diperbolehkan pulang. Semakin hari, kesehatannya pun terus membaik, seperti embun yang makin bening saat sinar mentari mulai merayapi langit.Ada kelegaan mendalam yang terpancar di mata Revana, kelegaan yang hanya seorang ibu yang tahu, sebuah perasaa
Sudah dua hari Revana dipindahkan ke ruang rawat. Ketika Tristan baru saja tiba di kamar, matanya langsung menangkap wajah Revana yang ditekuk, menunjukkan ekspresi memelas yang begitu menggemaskan, seolah memohon sesuatu dengan lirih dari balik sorot matanya yang teduh.“Sayang, ada apa? Kenapa wajahmu ditekuk seperti itu, hm?” Tristan bertanya dengan senyum lembut yang terulas di bibirnya.Tanpa ragu, ia mendekat dan mencium kening istrinya dengan penuh kasih, memberikan kehangatan yang membuat Revana tersipu.“Mas… aku ingin melihat anak kita. Aku ingin melihat baby Naira. Aku sudah membaik lho, Mas.” Revana merajuk, nada suaranya manis seperti anak kecil yang merengek ingin hadiah, membuat Tristan tersenyum geli.Melihat Revana begitu menggemaskan, Tristan tak bisa menahan senyumnya. “Baiklah. Kita akan melihat anak kita hari ini,” ucapnya lembut, suaranya seperti angin sejuk yang membawa kebahagiaan di hati Revana.Seketika, senyum lebar menghiasi bibir Revana, matanya berbinar p
“Kenapa kamu menyelamatkanku?” tanya Revana, suaranya begitu lirih, seolah datang dari tempat yang jauh.Tatapan matanya yang masih redup menatap Tristan dengan penuh kebingungan dan rasa bersalah yang mengabur di kedalaman matanya.Tristan menggelengkan kepalanya pelan, senyum kecil namun penuh kasih sayang menghiasi wajahnya.“Aku tidak akan membiarkanmu meninggalkanku, Revana. Jangan pernah berpikir aku rela kehilanganmu,” bisiknya, seraya menggenggam tangan Revana dengan lembut namun erat, seolah memastikan bahwa ia tidak akan pernah terlepas lagi.Revana menutup matanya, tenggelam dalam keheningan yang begitu dalam. Rasa bersalah menggerogoti hatinya; ia terbayang kehilangan buah hatinya, menyalahkan dirinya sendiri yang tak mampu melindungi kehidupan yang pernah tumbuh dalam rahimnya.“Aku akan menjadi ibu yang jahat karena tidak melindungi anakku sendiri,” bisiknya, suaranya nyaris tak terdengar, penuh kepedihan yang ia pendam sendirian.“Tidak, Sayang. Jangan berpikir seperti
Dua minggu kemudian ...Langkah Tristan terdengar pelan namun penuh keteguhan ketika ia memasuki rumah sakit.Di tangannya, tergenggam sebuah paper bag besar berisi popok dan susu formula untuk putrinya yang mungil, yang hingga kini masih terlelap dalam ruang inkubator, seolah berselimut dalam kehangatan buatan yang melindunginya dari dunia yang masih terlalu keras.“Sus. Ini, susu dan popok untuk satu minggu ke depan.” Tristan menyerahkan tas itu kepada perawat, suaranya tenang namun terselip rasa sayang yang dalam.“Baik, Pak. Terima kasih,” jawab perawat itu, mengangguk hormat.Tristan menghela napas panjang, lalu sedikit membungkukkan tubuhnya, ingin menyapa sang buah hati yang belum sepenuhnya ia rangkul. Senyum tipis terlukis di bibirnya, menyiratkan kerinduan yang tak terkatakan.“Hei. Sebentar lagi kamu sudah bisa Papi gendong,” ucapnya dengan kelembutan yang menetes seperti embun pagi. Pandangannya melekat pada wajah mungil yang terbaring tenang, jiwanya berbisik penuh harapa
“Siapa yang berani menghancurkan markasku!” pekik Alfrod, suaranya bergemuruh bak badai menggelegar, mengguncang dunia di bawah cakrawala yang muram.Matanya menatap kosong pada pemandangan yang menyayat hati; markas yang selama ini menjadi simbol kejayaannya kini hanya menyisakan puing-puing berdebu, sisa-sisa dari ledakan yang menyapu semalam, meninggalkan kehampaan yang dingin dan mematikan.Empat nyawa turut lenyap dalam kobaran tanpa sisa—hanya debu dan kenangan yang tinggal mengambang di udara yang pekat.“Berengsek! Barang-barang berhargaku hancur lebur! Arghh!!” teriaknya lagi.Amarah menyelubunginya, merambat seperti api liar dalam gurun kering, sampai-sampai tangan kasarnya tak segan-segan menjambak rambutnya sendiri, seolah merobek sebagian dari dirinya yang tak mampu menerima kenyataan pahit ini.Michael, dengan ketenangan yang kontras, menatap Alfrod. “Siapa lagi kalau bukan Tristan,” ujarnya ringan, suaranya seperti angin yang mengalir lembut di tengah badai.Ia sangat y
Tristan melangkah perlahan mendekati tabung inkubator, tempat bayi mungilnya tertidur dengan damai, seolah terlelap dalam dunia kecilnya yang penuh ketenangan.Wajahnya yang lembut dan polos dipagari tabung kaca, memberikan Tristan pandangan pertama pada keajaiban yang kini menjadi bagian dari hidupnya.Dengan hati yang penuh haru, Tristan mengulas senyum lirih, menyadari bahwa dirinya kini seorang ayah.“Hai, Nak,” bisiknya lembut, suaranya nyaris serak oleh emosi yang meluap. “Ini Papi… Ayah yang selalu menunggumu sejak tahu kamu hadir di perut mamimu.”Kata-katanya mengalir pelan, penuh kehangatan dan kasih sayang yang mendalam. Ia menatap buah hatinya dengan sorot penuh kelembutan, mengagumi setiap detail wajah mungil itu—wajah yang begitu mirip dirinya.Di sampingnya, Gave tersenyum lebar sambil melihat lebih dekat keponakan kecilnya. “Wajahnya mirip sekali denganmu, Tristan. Sepertinya Revana hanya mengandung saja,” canda Gave, tertawa pelan.Tristan tersenyum, teringat betapa b