Di ruang tengah yang tenang, Aluna dan Tristan duduk bersebelahan di sofa yang lembut. Lampu di sudut ruangan memancarkan cahaya hangat, menciptakan suasana yang penuh keintiman.Tristan memandang Aluna dengan penuh perhatian, mencoba menangkap setiap detail dari wajah wanita yang selama ini ia rindukan."Tristan, aku harus memberitahumu sesuatu," Aluna memulai, suaranya bergetar namun tegas. "Aku tidak pergi selama tiga tahun ini karena keinginan sendiri. Aku diculik oleh musuhmu, Tom."Mendengar nama itu, Tristan merasa jantungnya berdebar kencang. Tom, musuh bebuyutannya yang selalu mencari cara untuk menjatuhkannya."Tom? Dia yang telah menyembunyikanmu selama ini?" tanya Tristan, matanya membulat tidak percaya.Aluna mengangguk pelan. "Ya, Tom. Dia ingin membuatmu hancur setelah kehilangan aku. Awalnya, dia berniat membunuhku, tapi dia mengurungkan niatnya. Dia mengatakan bahwa melihatmu hancur perlahan-lahan akan lebih memuaskan baginya."
“Sialan! Tristan sudah mulai berani main-main denganku!”Di ruangan yang mulai terasa sesak oleh panas dan ketegangan, Alfrod memandangi dokumen yang baru saja diterimanya.Wajahnya mengeras, rahangnya mengatup rapat, menahan amarah yang mendidih dalam dirinya. Kertas-kertas di tangannya bergetar seirama dengan getaran emosinya yang tak terkendali."Apa ini?" suaranya memecah kesunyian, bergetar karena kemarahan.Mata Alfrod menyusuri setiap kata di dokumen itu dengan kecepatan yang semakin meningkat, mencari kejelasan yang hanya menambah amarahnya.Ketika ia menyadari bahwa wilayah kekuasaan yang diberikan oleh Tristan hanyalah sebuah pabrik kecil dengan omzet yang nyaris tidak berarti, wajahnya memerah, bukan karena malu, tetapi karena marah.“Kurang ajar!” pekiknya, suaranya menggema di ruangan itu, menyatu dengan suara dokumen yang dilemparkannya ke lantai. Matanya yang tajam menatap dokumen itu seolah-olah benda itu adalah musuh utamanya."Aku telah ditipu!" lanjutnya, tinjunya m
Tristan menutup panggilan dari Gave dan menghela napas panjang. Dalam diam, ia merenungi percakapan barusan, lalu menoleh ke arah Aluna yang tengah sibuk membawa piring dan gelas kotor ke dapur.Sudah satu minggu berlalu sejak ia tiba di apartemen ini, dan selama itu pula ia merasa Aluna perlahan mulai merasa nyaman dan tak lagi ketakutan.“Sudah saatnya aku pulang ke rumah. Revana sedang menungguku.”Dengan niat yang sudah dipersiapkan matang-matang, Tristan berencana untuk berbicara dengan Aluna, meminta izin untuk pulang. Namun, ketika ia baru saja membuka mulut, Aluna tiba-tiba memotongnya."Tristan. Aku ingin pergi ke suatu tempat," katanya tiba-tiba, suaranya mengandung nada keinginan yang kuat. "Tempat yang pernah kamu janjikan padaku."Tristan terdiam sejenak, mencoba mengingat janji yang pernah ia buat, tetapi tidak bisa. Ia menggeleng pelan dan meminta maaf, "Maaf, Aluna, aku lupa. Tempat apa yang kamu maksud?"Aluna menatapnya dengan sedikit kekecewaan, tetapi bukan kemarah
Gave dengan hati-hati menurunkan tubuh Revana ke atas ranjang, memastikan bahwa perempuan itu merasa nyaman.Matanya penuh perhatian saat ia membenahi bantal di bawah kepala Revana, lalu merapikan selimut yang membungkus tubuhnya."Kamu baik-baik saja?" tanya Gave, suaranya lembut namun sarat kekhawatiran.Revana mengangguk pelan, senyum tipis menghiasi bibirnya yang pucat. "Aku baik-baik saja, Pak Gave. Mungkin aku hanya butuh istirahat," jawabnya lemah.Gave mengangguk, meski hatinya masih diselimuti kegelisahan. Ia berdiri sejenak, mengamati Revana yang sudah mulai menutup mata, lalu dengan langkah tenang, ia keluar dari kamar itu.Di luar, ia bertemu dengan Hendri, yang sedari tadi menunggunya untuk memberi tahu sesuatu."Gave, Tuan Tristan sedari tadi menghubungimu," kata Hendri sambil menyerahkan ponsel Gave.Gave menghela napas panjang, seolah beban dunia bertumpu di pundaknya. Ia menerima ponsel itu tanpa menoleh, pandangannya tetap terfokus pada pintu kamar di mana Revana ber
Hari demi hari berlalu dengan lambat dan penuh ketidakpastian. Sudah tiga hari sejak percakapan terakhir Gave dengan Tristan, di mana Tristan berjanji akan pulang untuk melihat kondisi Revana. Namun, janji itu tinggal janji. Tristan masih bersama dengan Aluna, meninggalkan Revana dalam ketidakpastian dan kesepian. Gave semakin kecewa, dan kekecewaannya mulai berubah menjadi kemarahan yang mendidih.Di ruang tamu rumah Gave, Hendri mencoba menenangkan sahabatnya yang tampak gelisah. "Pelankan suaramu, nanti Revana dengar," bisik Hendri dengan nada cemas.Namun, Gave yang sudah tersulut emosi tampaknya masa bodoh. "Biarkan dia tahu! Dia berhak tahu apa yang terjadi!" suaranya bergetar dengan kemarahan yang tertahan.Hendri hanya bisa memijat pelipisnya, mencoba meredam situasi yang semakin memanas. "Apa yang akan kamu lakukan setelah ini?" tanya Hendri, mencoba mengalihkan pembicaraan.Gave terdiam, wajahnya tampak tegang. Ia tahu bahwa memberi tahu Revana tentang keberadaan Tristan sa
Dokter Handoko keluar dari ruang rawat dengan wajah serius, menghampiri Tristan, Gave, dan Hendri yang menunggu dengan cemas di ruang tunggu. Tristan berdiri dengan cepat, tatapannya penuh kekhawatiran dan rasa bersalah."Bagaimana kondisinya, Dokter?" tanya Tristan dengan suara bergetar.Dokter Handoko menghela napas sejenak sebelum menjawab. "Kondisi Revana stabil, tapi masih lemah. Dia mengalami pendarahan yang cukup serius. Kami telah berhasil menghentikan pendarahannya, tapi dia perlu dirawat beberapa hari di sini untuk pemulihan."Wajah Tristan semakin pucat mendengar penjelasan itu. "Bagaimana dengan calon bayi kami, Dokter? Apakah dia baik-baik saja?" tanyanya dengan nada putus asa.Dokter Handoko mengangguk perlahan. "Kami telah melakukan pemeriksaan. Bayi dalam kandungan Revana juga lemah, tapi sejauh ini kondisi keduanya stabil. Yang terpenting sekarang adalah memastikan Revana mendapatkan istirahat dan perawatan yang tepat."Tristan merasa hatinya tercabik-cabik. Ia merasa
“Pak Hendri, bisa tolong ambilkan ponsel dan beberapa baju ganti untukku?” pinta Revana kepada Hendri yang sedang menemaninya di sana.Hendri mengangguk. “Tentu saja. Aku akan membawakan apa yang kamu minta, Revana. Tunggu, ya. Aku akan memberi tahu Gave dulu.”“Oh, iya. Aku tidak melihatnya sejak tadi. Ke mana dia?” tanya Revana.“Tadi bilangnya sih mau ke kantin, mau beli kopi.”Revana manggut-manggut lantas membiarkan Hendri pergi ke rumah untuk mengambil apa yang dia minta tadi.Sementara di luar sana, Tristan tengah memandangi ponselnya yang sedari tadi berdering.Beberapa kali ponselnya bergetar di sakunya, menandakan panggilan masuk. Nama Aluna tertera di layar berkali-kali, namun Tristan mengabaikannya.Hatinya berat, pikirannya bercabang antara Revana yang masih terbaring tak sadarkan diri dan Aluna yang terus-menerus menghubunginya.Ponselnya kembali bergetar, kali ini d
Tristan berdiri di luar ruang rawat Revana, menatap kosong ke depan. Cahaya lampu rumah sakit yang dingin memantulkan bayangannya di lantai mengilap, menambah kesan sepi yang menghantui malam itu. Hatinya dipenuhi kekalutan; wanita yang ia cintai kini menjauh darinya, memilih diam dan enggan berbicara. Setiap kali ia mencoba mendekat, hanya sapaan singkat yang ia terima, seakan ada tembok tebal yang memisahkan mereka.Ketika langkah kaki mendekat, Tristan mengalihkan pandangannya. Gave, dengan tubuh tegap dan ekspresi wajah yang tenang, datang mendekat. Ia duduk di sebelah Tristan tanpa berkata-kata, lalu menyerahkan satu botol bir dingin. "Anda pasti butuh ini," kata Gave dengan nada datar, namun penuh pengertian.Tristan meraih botol bir itu, mengangguk sebagai tanda terima kasih, lalu membuka tutupnya dengan bunyi kecil yang bergema di lorong sepi. "Thanks," ucapnya singkat, sebelum meneguk minuman itu. Rasanya pahit, seperti perasaannya malam itu.Gave, dengan tatapan yang tertu