Gave dengan hati-hati menurunkan tubuh Revana ke atas ranjang, memastikan bahwa perempuan itu merasa nyaman.Matanya penuh perhatian saat ia membenahi bantal di bawah kepala Revana, lalu merapikan selimut yang membungkus tubuhnya."Kamu baik-baik saja?" tanya Gave, suaranya lembut namun sarat kekhawatiran.Revana mengangguk pelan, senyum tipis menghiasi bibirnya yang pucat. "Aku baik-baik saja, Pak Gave. Mungkin aku hanya butuh istirahat," jawabnya lemah.Gave mengangguk, meski hatinya masih diselimuti kegelisahan. Ia berdiri sejenak, mengamati Revana yang sudah mulai menutup mata, lalu dengan langkah tenang, ia keluar dari kamar itu.Di luar, ia bertemu dengan Hendri, yang sedari tadi menunggunya untuk memberi tahu sesuatu."Gave, Tuan Tristan sedari tadi menghubungimu," kata Hendri sambil menyerahkan ponsel Gave.Gave menghela napas panjang, seolah beban dunia bertumpu di pundaknya. Ia menerima ponsel itu tanpa menoleh, pandangannya tetap terfokus pada pintu kamar di mana Revana ber
Hari demi hari berlalu dengan lambat dan penuh ketidakpastian. Sudah tiga hari sejak percakapan terakhir Gave dengan Tristan, di mana Tristan berjanji akan pulang untuk melihat kondisi Revana. Namun, janji itu tinggal janji. Tristan masih bersama dengan Aluna, meninggalkan Revana dalam ketidakpastian dan kesepian. Gave semakin kecewa, dan kekecewaannya mulai berubah menjadi kemarahan yang mendidih.Di ruang tamu rumah Gave, Hendri mencoba menenangkan sahabatnya yang tampak gelisah. "Pelankan suaramu, nanti Revana dengar," bisik Hendri dengan nada cemas.Namun, Gave yang sudah tersulut emosi tampaknya masa bodoh. "Biarkan dia tahu! Dia berhak tahu apa yang terjadi!" suaranya bergetar dengan kemarahan yang tertahan.Hendri hanya bisa memijat pelipisnya, mencoba meredam situasi yang semakin memanas. "Apa yang akan kamu lakukan setelah ini?" tanya Hendri, mencoba mengalihkan pembicaraan.Gave terdiam, wajahnya tampak tegang. Ia tahu bahwa memberi tahu Revana tentang keberadaan Tristan sa
Dokter Handoko keluar dari ruang rawat dengan wajah serius, menghampiri Tristan, Gave, dan Hendri yang menunggu dengan cemas di ruang tunggu. Tristan berdiri dengan cepat, tatapannya penuh kekhawatiran dan rasa bersalah."Bagaimana kondisinya, Dokter?" tanya Tristan dengan suara bergetar.Dokter Handoko menghela napas sejenak sebelum menjawab. "Kondisi Revana stabil, tapi masih lemah. Dia mengalami pendarahan yang cukup serius. Kami telah berhasil menghentikan pendarahannya, tapi dia perlu dirawat beberapa hari di sini untuk pemulihan."Wajah Tristan semakin pucat mendengar penjelasan itu. "Bagaimana dengan calon bayi kami, Dokter? Apakah dia baik-baik saja?" tanyanya dengan nada putus asa.Dokter Handoko mengangguk perlahan. "Kami telah melakukan pemeriksaan. Bayi dalam kandungan Revana juga lemah, tapi sejauh ini kondisi keduanya stabil. Yang terpenting sekarang adalah memastikan Revana mendapatkan istirahat dan perawatan yang tepat."Tristan merasa hatinya tercabik-cabik. Ia merasa
“Pak Hendri, bisa tolong ambilkan ponsel dan beberapa baju ganti untukku?” pinta Revana kepada Hendri yang sedang menemaninya di sana.Hendri mengangguk. “Tentu saja. Aku akan membawakan apa yang kamu minta, Revana. Tunggu, ya. Aku akan memberi tahu Gave dulu.”“Oh, iya. Aku tidak melihatnya sejak tadi. Ke mana dia?” tanya Revana.“Tadi bilangnya sih mau ke kantin, mau beli kopi.”Revana manggut-manggut lantas membiarkan Hendri pergi ke rumah untuk mengambil apa yang dia minta tadi.Sementara di luar sana, Tristan tengah memandangi ponselnya yang sedari tadi berdering.Beberapa kali ponselnya bergetar di sakunya, menandakan panggilan masuk. Nama Aluna tertera di layar berkali-kali, namun Tristan mengabaikannya.Hatinya berat, pikirannya bercabang antara Revana yang masih terbaring tak sadarkan diri dan Aluna yang terus-menerus menghubunginya.Ponselnya kembali bergetar, kali ini d
Tristan berdiri di luar ruang rawat Revana, menatap kosong ke depan. Cahaya lampu rumah sakit yang dingin memantulkan bayangannya di lantai mengilap, menambah kesan sepi yang menghantui malam itu. Hatinya dipenuhi kekalutan; wanita yang ia cintai kini menjauh darinya, memilih diam dan enggan berbicara. Setiap kali ia mencoba mendekat, hanya sapaan singkat yang ia terima, seakan ada tembok tebal yang memisahkan mereka.Ketika langkah kaki mendekat, Tristan mengalihkan pandangannya. Gave, dengan tubuh tegap dan ekspresi wajah yang tenang, datang mendekat. Ia duduk di sebelah Tristan tanpa berkata-kata, lalu menyerahkan satu botol bir dingin. "Anda pasti butuh ini," kata Gave dengan nada datar, namun penuh pengertian.Tristan meraih botol bir itu, mengangguk sebagai tanda terima kasih, lalu membuka tutupnya dengan bunyi kecil yang bergema di lorong sepi. "Thanks," ucapnya singkat, sebelum meneguk minuman itu. Rasanya pahit, seperti perasaannya malam itu.Gave, dengan tatapan yang tertu
Tristan memasuki apartemen Aluna dengan perasaan campur aduk. Begitu pintu terbuka, Aluna langsung memeluknya erat, air matanya mengalir. "Aku sangat merindukanmu, Tristan. Kamu ke mana saja? Kenapa baru ke sini?" tanyanya dengan nada penuh kerinduan dan kebingungan.Tristan menarik napas dalam-dalam dan dengan lembut melepaskan pelukan Aluna. "Kita duduk dulu di sofa," katanya, sambil membimbing Aluna ke ruang tengah.Setelah mereka duduk, Tristan merasakan beban berat di dadanya. Ia tahu percakapan ini tidak akan mudah."Aluna, aku tidak bisa menemanimu setiap hari," Tristan memulai, suaranya penuh dengan kegetiran. "Aku akan menyewa bodyguard untuk melindungimu."Aluna menatapnya dengan kebingungan yang jelas terlihat di wajahnya. "Apa maksudmu, Tristan?" tanyanya, suaranya gemetar.Dengan berat hati, Tristan mengambil tangan Aluna. "Aku … sebenarnya aku sudah menikah, Aluna," katanya akhirnya, suaranya hampir tidak terdengar.“Bahkan sebelum kita bertemu. Aku sudah menjadi suami o
"Argh! Kenapa kamu teledor sekali, Gave?!" Tristan memekik begitu tiba di rumah sakit. Dia merasakan jantungnya berdebar kencang saat melihat bangsal kosong di ruang rawat Revana. Istrinya telah pergi. Entah ke mana, bahkan Gave saja tidak tahu.Tristan menjambak rambutnya, frustrasi dan marah, sembari terus mencari-cari keberadaan Revana. "Gave, bagaimana ini bisa terjadi? Kamu seharusnya menjaganya!"Gave mencoba menjelaskan dengan suara yang bergetar. "Tuan, saya sudah mencarinya ke seluruh rumah sakit. Saya tidak menemukan dia di mana pun. Revana tadi hanya meminta agar saya istirahat karena dia ingin tidur."Gave menelan salivanya, merasa bersalah karena telah membiarkan Revana pergi. “Saya hanya menuruti permintaan Revana untuk menjaganya di luar. Tanpa memikirkan kalau sebenarnya dia ingin pergi.”Tristan memekik lagi, menjambak rambutnya. "Ke mana kamu, Revana? Kenapa kamu pergi?" tanyanya lirih. Ia lalu duduk di bangsal bekas Revana dirawat, menunduk dengan air mata yang meng
Pohon-pohon yang rindang seakan menjadi saksi bisu dari percakapan berat yang akan segera terjadi. Di sebuah bangku kayu tua, Tristan duduk dengan kepala tertunduk, tenggelam dalam lautan pikirannya yang gelap. Dia merasa hampa dan kehilangan arah sejak kepergian Revana.Gave dan Hendri berhasil menemukan Tristan di sebuah taman sedang duduk seorang diri seraya menundukkan kepalanya. Gave menghampiri Tristan dan memintanya untuk kembali ke rumah. "Besok saja kita mencari Revana, Tuan. Anda harus beristirahat," kata Gave dengan suara yang lembut namun tegas.Tristan menggeleng pelan. "Aku tak ingin kembali ke rumah sebelum menemukan Revana," gumamnya, matanya masih menatap tanah dengan tatapan kosong.Gave sedikit membentak Tristan. "Jangan egois, Tuan! Revana hanya sedang sakit hati. Dia pasti akan kembali, terutama jika Anda berhasil meyakinkan dia!"Tristan bangun dari duduknya lalu meraih kerah kemeja Gave dengan tangan gemetar, menatapnya dengan mata nyalang. "Kamu kan, yang men
Tristan yang sejak tadi diam, mengangguk kecil. Ia mengeluarkan ponselnya dan menelepon Gave. Tak butuh waktu lama, suara Gave yang penuh semangat terdengar dari seberang."Laura di sana? Serius? Dia melahirkan?!" seru Gave, suaranya melonjak kegirangan. Terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa, seperti Gave sedang berjalan sambil berputar-putar karena terlalu bahagia."Iya, Laura ada di sini. Bayi kalian lahir dengan selamat," jawab Tristan sambil tersenyum kecil.Dari seberang, suara Gave terdengar gemetar penuh haru. "Aku memang ingin menikahi Laura. Aku sudah mengajukan cuti untuk menyiapkan semuanya. Aku tidak menyangka bayi kami lahir lebih cepat dari prediksi dokter. Aku akan segera ke sana!"Tristan menutup telepon dan menatap Revana dengan tatapan geli. "Nah, kamu dengar sendiri, kan? Semua sudah jelas sekarang."Ketika Gave akhirnya tiba di rumah sakit, suasana menjadi semakin hangat. Dengan wajah penuh kerinduan, ia memeluk Laura erat, mengecup keningnya, lalu mengali
Revana akhirnya mengangguk pelan, meskipun hatinya masih penuh dengan keraguan dan luka.Sementara Tristan dan Hendri membantu wanita itu berjalan ke luar rumah, Revana berdiri diam di ambang pintu, menyaksikan mereka dengan campuran emosi yang tak terungkapkan."Revana!! Kenapa kamu diam. Ayo kita ke mobil. Tuntun Laura, cepat." Suara Tristan meninggi pada Revana.Revana mendengkus kesal dan tanpa suara air matanya menetes saat membukakan pintu mobil. Sementara erangan Laura makin membuat suasana begitu menegangkan."Aagh ... Aduh!" tak urung Laura memegang erat tangan Revana menahan rasa sakit tak tertahankan yang sebentar datang lalu reda. Lalu datang lagi sakitnya.Tristan mengemudi. Hendri dan Revana duduk di jok belakang di sisi kiri kanan Laura, sementara Laura merintih dengan wajah pucat.Jeritan Revana memenuhi lorong rumah sakit, bergema seperti sembilu yang menyayat hati Revana.Napasnya memburu, dadanya berdebar, namun bukan karena rasa simpati.Ia duduk di kursi tunggu d
Revana menatap meja makan dengan rasa puas. Ia merasa seperti ini adalah momen yang tepat.Sebentar lagi Tristan akan pulang, dan mereka akan merayakan ulang tahunnya bersama keluarga kecil mereka. Namun, di balik itu semua, ada sebuah kabar besar yang ingin ia bagi—kabar yang akan mengubah segalanya.Dengan hati yang penuh harapan, Revana duduk di kursi dan menunggu. Waktu terasa berjalan begitu lambat, seakan momen yang diinginkan belum tiba.Tetapi, ia tahu, kejutan ini akan menjadi awal dari babak baru dalam hidup mereka. Sebuah babak yang akan membuat mereka semakin dekat, semakin kuat, dan semakin bahagia.Tak lama kemudian, terdengar suara pintu terbuka, dan langkah kaki Tristan masuk ke dalam rumah. Revana berdiri, matanya bersinar penuh kebahagiaan, siap untuk memberi kejutan yang sudah ia siapkan dengan penuh cinta.Bau kue manis masih tercium di dapur ketika suara pintu depan terbuka. Revana, yang tengah mengatur meja makan, mendongak dengan senyum lebar di wajahnya."Mas T
Revana menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. Semua pengorbanan, semua perjuangan yang mereka lakukan, kini membuahkan hasil yang indah.Mereka bukan hanya pasangan, tapi juga sahabat sejati, yang saling mendukung dalam segala hal. Mereka telah melewati masa-masa sulit, dan kini mereka bisa menikmati momen-momen indah ini bersama.Ketika Naira kembali berlari ke arah mereka, wajahnya dipenuhi kegembiraan yang tak terbendung, Revana dan Tristan saling berpandangan, dan senyum lebar pun terukir di wajah mereka.Mereka tahu, kebahagiaan ini adalah hasil dari cinta yang telah tumbuh dalam hati mereka, dari segala perjuangan yang mereka lakukan bersama.Pada saat itulah, Revana merasakan kebahagiaan yang sejati, sebuah kebahagiaan yang tak terduga.Cinta yang dulu hanya dimulai dari keinginan sementara, kini berubah menjadi sebuah ikatan yang tak terpisahkan. Dalam pelukan keluarga kecil mereka, Revana merasa dunia ini penuh dengan kemungkinan yang tak terbatas.Dan dengan suara gelak
Pantai itu tampak indah dengan pasir putih yang membentang luas, dipadu dengan air laut yang berkilauan di bawah sinar matahari.Ombak datang bergulung-gulung, menghantam bibir pantai, menciptakan suara gemuruh yang menenangkan.Di tengah pemandangan yang menakjubkan itu, Tristan, dengan wajah lelah, berlari mengejar seorang gadis kecil yang tak kenal lelah, Naira.Matanya yang penuh kegembiraan dan keceriaan, tak bisa berhenti berlari di sepanjang garis pantai, membiarkan pasir menempel pada kaki telanjang kecilnya."Naira! Jangan lari ke sana, sayang!" seru Tristan dengan napas terengah-engah, mencoba mengejar anaknya yang semakin menjauh.Namun Naira justru tertawa riang, melangkah lebih cepat, seolah menikmati kebebasannya yang tidak terbatas.Dengan senyum penuh ceria, dia menoleh sebentar untuk melihat ayahnya, seolah mengatakan, "Kejar aku, Papi!" Lalu, tanpa peringatan, dia berlari lagi, menari-nari di tepi laut, membiarkan ombak menerjang kakinya yang mungil.Tristan tersenyu
Pesta itu meriah. Lampu-lampu indah berpendar di seluruh sudut ballroom yang luas, menciptakan atmosfer magis yang terasa seperti sebuah dunia terpisah.Para tamu berdiri, berbincang, dan tertawa, sementara musik lembut mengalun dari panggung, menambah kehangatan suasana.Di tengah keramaian itu, Tristan berdiri di depan mikrofon, mengenakan jas hitam yang sempurna, dengan senyum yang penuh kasih sayang untuk satu orang yang paling ia cintai di dunia ini—Revana.“Selamat malam semuanya,” suara Tristan menggema, menyentuh hati setiap orang yang mendengarnya Anggukan tamu undangan menjawab sapa Tristan. “Terima kasih telah hadir di acara spesial kami malam ini. Hari ini, aku dan Revana merayakan dua tahun yang penuh kebahagiaan, dan aku ingin berbagi sedikit cerita dengan kalian semua.”Revana berdiri di sampingnya, wajahnya terlihat begitu cantik dengan gaun merah yang berkilau, rambut panjangnya yang tertata rapi menambah pesona.Matanya memandang Tristan penuh cinta, seolah tidak p
Ruangan kantor terasa hening. Hanya suara jam dinding yang berdetak lembut menemani dua pria itu. Michael duduk di kursi di hadapan Tristan, wajahnya tertunduk dalam, menahan air mata yang sudah menggenang sejak tadi.Tristan baru saja menceritakan detail kejadian yang menimpa Mami karen ulah Alfrod. Sehingga Mami akhirnya menghembuskan nafasnya yang terakhir.Michael tahu tidak ada kebohongan di sana. Semua yang dikisahkan Tristan mendukung bukti yang ia temukan.Sementara itu, Tristan bersandar di kursinya, menatap adiknya dengan tatapan yang sulit diartikan—campuran kasih sayang dan rasa prihatin. Mengenang masa lalu itu begitu pahit dan nyeri bagi mereka berdua.“Michael, semua rasa ingin tahumu sudah terjawab. Bukti kuat sudah kamu dapatkan,” suara Tristan memecah keheningan. Lembut tapi tegas, seperti pelukan yang menenangkan.“Ada yang ingin kuberitahukan padamu. Sesuatu yang selama ini kupendam dan ingin kamu lakukan.”Michael mengangkat wajahnya perlahan, mata merahnya bertem
Satu bulan telah berlalu sejak insiden penembakan di kantor Tristan. Kehidupan perlahan kembali seperti biasa.Luka di tubuhnya memang sudah sembuh, tapi Tristan tahu, luka di hatinya dan keluarganya butuh waktu lebih lama untuk pulih.Bagaimanapun Alfrod adalah keluarga dan kini semua berakhir seperti ini. Tristan kadang tidak percaya ini akhir persaudaraan mereka. Kadang rasa sedih sebagai satu dalam ikatan saudara masih saja ada.Pagi itu, suasana di kantor terlihat tenang. Tristan duduk di balik meja kerjanya, menandatangani beberapa dokumen penting.Cahaya matahari menyelinap melalui jendela besar di belakangnya, menciptakan siluet yang menonjolkan ketegasan wajahnya.Pintu ruangannya terbuka perlahan. Michael melangkah masuk dengan ragu-ragu, membawa dua cangkir kopi. "Kupikir kamu butuh ini," katanya pelan, menaruh salah satu cangkir di meja Tristan.Tristan mendongak, tersenyum kecil. “Terima kasih. Duduklah. Apa kabarmu Michae
Tristan tersenyum penuh kemenangan. Dengan hati-hati, ia meraih bayi kecil itu dan meletakkannya di pelukan.Naira menggeliat kecil sebelum kembali tertidur dengan damai. Perasaan hangat menyelimuti dada Tristan. "Aku merindukanmu, Sayang," bisiknya lembut. "Bayiku yang cantik dan manis."Revana tersenyum melihat pemandangan itu, meski ia tetap mengawasi dengan cermat. “Aku akan membuatkan sup untukmu. Jangan coba-coba bergerak dari sini.”“Baiklah. Aku tidak akan pergi ke tempat gym, Sayang.” Tristan menjawab dengan nada bercanda, membuat Revana mendengus kecil sebelum pergi ke dapur.Saat Revana sibuk di dapur, Tristan duduk di tempat tidur sambil berbicara pelan dengan Naira. “Kamu tahu, Nak? Papi akan memastikan dunia ini aman untukmu. Apa pun yang terjadi, kamu tidak perlu takut.”Pintu depan terdengar diketuk, dan beberapa saat kemudian Gave muncul di ambang pintu kamar. "Aku boleh masuk?"&ldq