Revana memandang suaminya dari jarak lima meter. Tristan tengah sibuk dengan pekerjaannya, tenggelam dalam tumpukan berkas dan panggilan telepon yang seakan tiada habisnya.Setelah dokter meminta Tristan untuk berpuasa selama satu bulan lamanya, Tristan memilih untuk menyibukkan dirinya dan kembali seperti dulu lagi, jarang pulang.Revana menghela napas berat, perasaan hampa dan kesepian menggelayut di hatinya. Padahal anaknya sangat membutuhkan sosok ayah, dan ia ingin ditemani oleh Tristan selama masa kehamilannya itu.Revana mengusap perutnya yang mulai membuncit, merasakan gerakan lembut janinnya yang seakan merespons sentuhannya."Kamu juga ingin ayah ada di sini, kan?" gumamnya pelan, nyaris seperti bisikan yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri.“Sabar ya, Nak. Ayahmu sedang sibuk. Atau memang akan setiap hari selalu disibukkan dengan pekerjaannya.” Revana menghela napasnya.Dengan langkah perlahan, Revana melangkah ke belakang rumah, mencoba mengalihkan pikirannya denga
“Revana ….”Revana menggigit bibirnya. Salahkah ia meminta waktu Tristan dan mengatakan kekecewaannya di saat Tristan sedang marah padanya.“Maafkan aku. Seharusnya aku paham dengan apa yang kamu inginkan,” ucap Tristan, nada suaranya terdengar lirih.Revana mendongakan kepalanya menatap Tristan. Raut wajahnya terlihat jelas jika ia menyesali sikapnya yang kurang peduli padanya.Ralat. Dia tidak pernah memperlihatkan kepeduliannya pada Revana. Ia mewajarkan jika Revana berpikir negative tentangnya.“Mas?” panggil Revana pelan.Tristan membawa Revana dalam pelukannya. Mengusapi punggung yang dilapisi dress cokelat selutut yang dikenakan oleh wanita itu.“Apakah aku masih terlihat menyeramkan di matamu?” tanya Tristan yang kini sudah melepaskan pelukannya.Revana mengangguk dengan polosnya, apa adanya. “Ya. Kamu akan selalu terlihat menyeramkan.”Tristan sontak tertawa. Ia lantas mencium kening Revana, tak lupa tangannya mengusap air mata di pipi wanita itu.“Sialnya kali ini tidak bisa
Malam itu, suasana dapur dipenuhi aroma adonan yang tengah diuleni oleh tangan halus Revana. Kilauan lampu dapur memantul di atas permukaan adonan, menciptakan bayangan yang bergerak-gerak di sekeliling ruangan. Revana, dengan tawa yang menggema seperti musik yang menghidupkan ruangan, berbicara dengan Tristan yang berdiri tak jauh darinya.“Siapa sangka kamu bisa membuat pizza, Sayang?” Tristan mengedipkan mata, menatap istrinya dengan senyum tak percaya.Revana membalas tatapannya dengan senyum manis. “Selama ada bahan-bahannya di dapur, aku bisa membuatkan apa saja untukmu, Mas.”Tristan mendekat, merengkuh tubuh Revana dalam pelukannya yang hangat, lalu mendaratkan ciuman lembut di pipi wanita itu. Sekitar sepuluh menit yang lalu, dia telah meminta Gave dan Hendri untuk pergi belanja ke supermarket demi memenuhi keinginannya makan pizza buatan istrinya. Tristan melarang Revana pergi sendiri karena penyakitnya yang tak bisa terlalu lama berada di keramaian.Tristan mengamati Rev
Ada setitik harapan bagi Aluna karena Tristan akan menyelamatkan dia dari kurungan Alfrod. Aluna hanya perlu menunggu sampai Tristan menemukannya di sana. "Aku akan menunggumu, Sayang," bisik Aluna penuh harap.Sementara itu, di luar sana, Michael duduk di depan Alfrod yang tengah memilah foto mana yang harus ia kirim pada Tristan untuk melakukan negosiasi dengan pria itu.Michael bertanya, "Aluna tidak tahu kalau Tristan sudah menikah?"Alfrod menggeleng, dengan ekspresi datar. "Itu bukan urusanku. Urusanku hanya mengambil wilayah kekuasaan yang masih Tristan pegang."Michael mengangguk paham, namun ada kerutan di dahinya. "Apa benar jika Tristan masih mencintai Aluna? Sedangkan dia sudah memiliki Revana? Bahkan wanita itu sedang hamil. Bagaimana kalau ternyata Tristan tidak peduli dengan Aluna?"Alfrod terdiam, pertanyaan adik bungsunya ini berhasil membuatnya bingung. Ia menatap Michael dengan tatapan yang kosong, mencoba mencari jawaban dalam pikirannya.Michael melanjutkan, "Kita
Tristan membawa pulang Revana dengan cepat, suasana malam yang sepi menambah kesan mendalam pada perjalanan mereka. Setibanya di rumah, Tristan bergegas tanpa banyak berbicara.Ia hanya memberitahu Revana bahwa ada seseorang yang ingin mengambil wilayahnya, dan ia harus segera pergi untuk menangani masalah tersebut.Tristan tidak mengungkapkan bahwa dia telah menemukan Aluna; ia menyembunyikan semua detail penting itu dari Revana.Revana mengangguk, menerima penjelasan singkat Tristan dengan kepercayaan yang penuh.Ia percaya bahwa Tristan telah berubah, bahwa suaminya yang kini ada di sampingnya bukanlah pria yang sama seperti dulu.Namun, seiring dengan kepergian Tristan yang tiba-tiba, hati Revana terasa tidak enak. Perasaan cemas dan keraguan mulai menggelayuti pikirannya.“Kamu harus pergi lagi, Mas?” tanya Revana dengan nada lembut, berusaha untuk tidak menunjukkan betapa gelisahnya dia.Tristan mengangguk singkat. “Ya, aku harus segera berangkat. Mungkin aku akan membutuhkan wa
Di dalam markas yang sepi, cahaya remang-remang dari lampu gantung berderit-derit di langit-langit, Tristan duduk tegak di kursi kayu yang keras.Wajahnya menunjukkan ketegangan yang sulit disembunyikan, mencerminkan badai emosi yang bergejolak dalam dirinya.Di depannya, Alfrod duduk dengan santai, memandang Tristan dengan senyum kemenangan yang mengejek."Di mana kamu menemukan Aluna? Sementara aku mencari ke mana-mana, tidak juga menemukannya," tanya Tristan dengan nada yang sedingin es, matanya memancarkan kebencian yang dalam terhadap kakaknya.Alfrod mengangkat alisnya, seakan pertanyaan itu hanya menambah kegembiraannya. "Michael yang membantuku menculik Aluna," jawabnya dengan tenang, "Dia baru pulang dari luar negeri setelah tiga tahun pergi. Dan berhasil aku temukan. Kamu harus ingat, Tristan. Aku punya mata dan kaki yang bukan berasal dari tubuhku. Tapi, Michael! Hahaha!"Tertawa sinis, Alfrod menatap Tristan yang tampak semakin berapi-api. Tangan Tristan mengepal, dan waja
Di ruang tengah yang tenang, Aluna dan Tristan duduk bersebelahan di sofa yang lembut. Lampu di sudut ruangan memancarkan cahaya hangat, menciptakan suasana yang penuh keintiman.Tristan memandang Aluna dengan penuh perhatian, mencoba menangkap setiap detail dari wajah wanita yang selama ini ia rindukan."Tristan, aku harus memberitahumu sesuatu," Aluna memulai, suaranya bergetar namun tegas. "Aku tidak pergi selama tiga tahun ini karena keinginan sendiri. Aku diculik oleh musuhmu, Tom."Mendengar nama itu, Tristan merasa jantungnya berdebar kencang. Tom, musuh bebuyutannya yang selalu mencari cara untuk menjatuhkannya."Tom? Dia yang telah menyembunyikanmu selama ini?" tanya Tristan, matanya membulat tidak percaya.Aluna mengangguk pelan. "Ya, Tom. Dia ingin membuatmu hancur setelah kehilangan aku. Awalnya, dia berniat membunuhku, tapi dia mengurungkan niatnya. Dia mengatakan bahwa melihatmu hancur perlahan-lahan akan lebih memuaskan baginya."
“Sialan! Tristan sudah mulai berani main-main denganku!”Di ruangan yang mulai terasa sesak oleh panas dan ketegangan, Alfrod memandangi dokumen yang baru saja diterimanya.Wajahnya mengeras, rahangnya mengatup rapat, menahan amarah yang mendidih dalam dirinya. Kertas-kertas di tangannya bergetar seirama dengan getaran emosinya yang tak terkendali."Apa ini?" suaranya memecah kesunyian, bergetar karena kemarahan.Mata Alfrod menyusuri setiap kata di dokumen itu dengan kecepatan yang semakin meningkat, mencari kejelasan yang hanya menambah amarahnya.Ketika ia menyadari bahwa wilayah kekuasaan yang diberikan oleh Tristan hanyalah sebuah pabrik kecil dengan omzet yang nyaris tidak berarti, wajahnya memerah, bukan karena malu, tetapi karena marah.“Kurang ajar!” pekiknya, suaranya menggema di ruangan itu, menyatu dengan suara dokumen yang dilemparkannya ke lantai. Matanya yang tajam menatap dokumen itu seolah-olah benda itu adalah musuh utamanya."Aku telah ditipu!" lanjutnya, tinjunya m